Chereads / Am I Your Crush? / Chapter 9 - SHOULD I SCREW UP ?

Chapter 9 - SHOULD I SCREW UP ?

Malam datang menggantikan siang yang telah menyelesaikan tugasnya hari ini dengan baik. Matahari telah tenggelam bagai beristirahat di tempatnya sejak beberapa jam yang lalu. Bintang dan bulan muncul menghiasi langit. Indah. Jika saja tak ada kemacetan khas kota beserta polusi yang entah kenapa lebih menyita perhatian orang-orang. Berita di televisi, koran, internet, bahkan topik pembicaraan para bapak di warung kopi, sering membahas tentang invasi mesin beroda itu, bagai koloni semut, menjalar panjang dan banyak sekali tanpa bisa di hentikan, pun belum ditemukan solusi mengatasinya. Dan celakanya suaranya sungguh berisik juga terkadang membuat batuk.

Raina beridiri sambil menopang dagunya dengan tangan. Menumpukan lengan pada pembatas balkon kamarnya yang setinggi dada. Menatap lurus jendela kamar Sakti yang lampunya menyala dari dalam, tanda si pemilik sedang ada di rumah.

Harusnya setelah mempermalukan dirinya sendiri setelah memuji Sakti tampan secara terang-terangan membuatnya mengurung diri saja di dalam panti, menutup jendela rapat-rapat. Menyibukkan diri membantu pr adiknya atau bermain dengan si kecil Rom dan yang lain di lantai bawah. Tak bisa dibayangkan apa yang harus ia lakukan dan katakan setelah melihat reaksi Sakti tadi sore. Wajahnya merah menahan malu.

Kok cowok bisa ganteng banget begitu, astaga!.

Bunda masuk ke kamar Raina saat ia hendak berbalik meninggalkan balkon kamar. Bunda menatap dengan pandangan sayu, baju batik dan kerudung selendang bunda terlibat acak-acakan, wajahnya lelah.

"Bunda" Raina bergegas menghapiri bunda yang berdiri diambang pintu.

"Bunda dari mana aja baru pulang malam? Apa terjadi sesuatu? Kok baju sama kerudung bunda bisa begini".

Bunda menggeleng, tersenyum menatap anak sulungnya.

"Bunda cuma dari kantor kepala yayasan, berbicang mencari kesepakatan tentang donasi yang ingin dihentikan itu. Pakaian bunda jadi begini karena mang Dadang kenceng banget bawa motornya".

Raina tidak percaya, diluar sedang macet parah, mang Dadang tidak mungkin bisa ngebut bawa motor, tapi ia tidak mau gegabah bertanya terlalu dalam. Bunda bukan tipe orang yang mau berbicara pada siapapun jika terjadi masalah. Kecuali atas kehendak bunda sendiri.

Ia harus menunggu.

"Tidak usah khawatir nak, bunda yakin kita akan baik-baik saja, panti asuhan ini akan selalu bertahan".

Hanya bisa mengangguk pelan. Raina bisa dengan jelas melihat beban berat yang sedang di emban bunda lewat sorot matanya.

"Kalau begitu bunda kembali ke kamar dulu, hendak istirahat. Seharian jalan-jalan naik motor mang Dadang membuat pinggang bunda pegal".

Raina tertawa, mengangguk. Bunda berjalan pelan meninggalkan kamar, namun sebelum sosoknya hilang dari balik pintu, bunda berpesan pada Raina, berkata dengan suara pelan.

"Jika suatu hari nanti bunda tiada, tolong jaga adik-adikmu, nak".

Pesan itu bagai bisik, hingga Raina yang berdiri dengan jarak cukup jauh tak bisa mendengarnya, suara yang terdengar hanya bagai gumaman.

Bunda menatap nanar, untuk kemudian meninggalkan kamar itu dengan langkahnya yang sudah tua, disambut anak-anak panti yang menunggunya di lantai bawah. Rom, si bungsu memeluk erat bundanya seperti biasa. Menyeka ujung mata, bunda hampir tidak bisa menahan tangis yang diam-diam ia tumpahkan saat semua orang terlelap. Mengelus sayang anak yatim piatu yang telah ia anggap anak kandung sendiri.

Bagaimana bisa ia rela anak-anak ini akan dipisahkan darinya?.

Bunda memeluk Rom, air matanya akhirnya benar-benar tumpah.

***

Setelah cukup lama berkutat dengan pikirannya sendiri, Raina akhirnya memutuskan beristirahat. Fisik dan pikirannya juga perlu di tenangkan. Lagipula malam ini Anggi sedang bekerja part-time. Ia tidak punya teman ngobrol.

Berjalan menuju jendela dan ingin menutupnya. Gerakan tangan Raina terhenti setelah melihat seseorang berdiri sambil bertopang dagu di seberang kamarnya, menatapnya dari jendela jati usang khas rumah tua. Wajahnya yang tampan terpapar sinar bulan. Raina terdiam, untuk sesaat tenggelam dalam manik mata Sakti, cukup lama mereka saling melempar pandangan hingga akhirnya Sakti membuka suara.

"Bagaimana kakimu, Rain?".

Sakti bertanya dengan wajah kuyu, pasti sangat melelahkan bekerja seharian sekaligus menggantikan bagian Raina yang dengan mudahnya lari di tengah tanggung jawabnya sebagai penyedia jasa yang harusnya bersikap profesional. Membuat Raina merasa bersalah sekaligus canggung, kejadian siang itu terbayang lagi.

"Sudah lebih baik, Anggi juga membatu merawat lukaku".

Sakti mengangguk lega mendengar jawaban Raina. Ia mebalikkan badan, berniat meninggalkan balkon untuk kembali ke kamarnya.

"Ku rasa, kakiku akan baik-baik saja, bahkan mungkin bergabung dengan yang lain saat dansa besok malam tetap akan baik-baik saja".

Raina menggenggam tangannya, berkata dengan suara cukup keras. Apakah 'kode' darinya terlalu jelas?. Ia ingin sekali di ajak oleh Sakti menjadi partner dansa. Karena mungkin dengan itu bisa memperbaiki hubungan mereka yang kini merenggang. Ia hanya mengikuti saran Anggi, jika Sakti terlalu sulit untuk memperbaiki keadaan, setidaknya Raina jangan terlalu naif untuk mulai berbenah, karena segala hal yang terjadi bukan salah Sakti sepenuhnya.

"Baguslah, semoga malam dansa mu besok menyenangkan".

Sakti masuk ke dalam kamarnya, menutup jendela rapat-rapat. Membuat Raina yang masih diam di balkon melongo tak percaya. Dia di tolak secara tidak langsung.

Atau malah Sakti tidak mengerti 'kode'nya?.

Sakti bodoh.

***

Acara ulang tahun besar-besaran Vanya dimulai dari malam hari, Awan, Raina, dan Sakti bekerja ekstra di sisa jam terakhir. Terpaksa mengambil jatah absen mereka di kampus yang syukurnya masih ada. Lebih fokus bekerja dibanding kemarin, terutama Raina, dia di 'hajar' habis-habisan oleh Awan, bekerja lebih keras dari yang lain. Hal ini sekaligus hukuman untuknya karena bolos kerja kemarin.

Beberapa kali Sakti berbaik hati mengambilkan minum untuk Raina, mengingatkannya untuk selalu hati-hati. Kalau tidak sedang kena 'azab' dari Awan, Raina akan menghambur pada Sakti, memeluknya, berterima-kasih pada sahabatnya itu.

Tapi sayangnya itu tidak mungkin terjadi, boro-boro meluk. Bilang terima kasih saja canggung.

Pekerjaan selesai tepat waktu, Raina terduduk di sofa panjang di sudut ruangan, kelelahan dengan pakaiannya yang kusut juga kotor oleh cat. Di belakangnya ada meja panjang yang disulap menjadi minibar, lengkap dengan bartender asli yang didatangkan dari bar ternama.

"Ra, nggak ganti baju? Acaranya udah mau mulai". Awan menarik dasinya, rapi mengenakan setelan yang kemarin dibelikan Vanya.

Raina memandang Awan kesal, ingin sekali membentak orang dihadapannya. Yang bikin capek setengah mati gini siapa hah? Mana bisa mikir buat ganti baju?.

Tapi urung, mana berani Raina. Dia kan penakut.

"Cantik, kok belum dress up?". Sekarang Langit yang menghampirinya.

"Iya bang, bentar lagi ya Raina mau duduk sebentar". Raina menghela nafas, sedang Awan sudah berjalan menuju mini bar, memesan minuman kesukaannya. Merayakan kemerdekaan menyiksa Raina hari ini.

"Oke, tapi sebaiknya cepat ya, tamu udah mulai berdatangan, abang tau kamu pemalu, jadi kalau orang lihat kamu masih pakai baju kerja kamu pasti bakal lebih malu". Langit menatap Raina dari rambut hingga kaki.

Benar juga, sudah cukup di bully di kampus, Raina tidak mau jadi bahan bully-an juga di pesta super mewah Vanya ini. Jadi paling 'gembel' di tengah manusia yang berlomba-lomba berpakaian paling modis. Bergegas berdiri, Raina menyampirkan tas nya hendak keluar rumah mencari tempat ganti baju, di toilet umum pun jadi, pikirnya.

Tapi undangan datang lebih cepat dari yang di duga, rumah penuh sesak, pesta mewah nan glamour telah di mulai.

Dari tangga di tengah rumah, Vanya berjalan anggun menuruninya, dengan gaun mewah berkilauan berwarna merah muda, ia tersenyum menggandeng Sakti di sampingnya, membuat para undangan berseru. Meelukan mereka yang terlihat sangat serasi, bagai pangeran dan putri negeri dongeng.

Raina terpaku, apa benar Sakti yang disana itu adalah sahabatnya? Rasanya kini mereka memiliki dunia yang berbeda. Raina tak pernah menyangkan ternyata Sakti yang selama ini ia anggap biasa saja, punya pesona seperti ini. Tapi Raina terlambat menyadari, kini ia hanya bisa melihat Sakti dari jauh, terpisah beberapa meter, namun bagai terpisah ribuan planet.

Raina bergegas keluar rumah saat Vanya memulai kata sambutan.

Pesta berjalan meriah di dalam sana, Raina yang memutuskan tidak mengikuti pesta hanya duduk di belakang rumah, tepat di bawah box listrik dengan tuas besar rumah Vanya, Raina memandangnya sejenak, daya listriknya pasti ratusan volt. Seharusnya Awan yang bertugas menjaga listrik agar tak terjadi gangguan, tapi entah dimana ia sekarang.

Tadi Awan pergi ke mini bar kan?. Raina mendecih pelan, pasti sekarang orang itu sudah mabuk, lupa pekerjaannya.

Langit? Apalagi, Raina bahkan tidak jarang memergoki atasannya itu kolaps di tengah ruangan kantor, meracau tidak jelas.

Hanya Sakti yang ia tau tidak pernah minum-minum.

Apa kabar Sakti di dalam?. Pasti dia sedang bersenang-senang bersama Vanya. Raina melipat kakinya, entah kenapa pikirannya sendiri membuatnya kesal. Dia tidak benci Vanya, dia juga tidak membenci Sakti, dia benci dirinya sendiri yang terlarut dalam keegoisan dan kecemburuan.

Cemburu? Benar, Raina tak akan berbohong lagi pada dirinya sendiri, dia cemburu.

Sayup-sayup terdengar lagu romantis dari dalam sana, Raina melirik jam tangan karet miliknya, sudah waktunya pesta dansa.

Sakti pasti sedang berdansa dengan Vanya.

Membayangkan betapa romantisnya mereka saat ini membuat Raina mengacak rambutnya, berusaha mengusir bayang-bayang yang bisa menyakiti hatinya sendiri.

Haruskah ia mengacau? Pikir Raina, membuatnya menggeleng keras, itu bukan dia sama sekali, seorang Raina tidak mungkin melakukan hal seperti itu.

Namun sedetik kemudian Raina menengadah, menatap box listrik besar rumah Vanya. Berdiri, ia membuka box yang kebetulan tak terkunci, untuk kemudian menarik tuasnya ke bawah. Gelap. Suara teriakan panik terdengar sahut-sahutan dari dalam rumah.

Raina mundur beberapa langkah, mengangkat kedua tangannya.

"Ups.."

Keributan masih terdengar hingga seseorang menepuk bahu Raina. Membuatnya terlonjak.

"Hei, nyalakan, nanti gaji kita di potong Langit".

Raina menoleh, wajah orang di belakangnya samar-samar terlihat ditengah kegelapan, tapi Raina masih bisa mengenalinya dengan baik.

"Sakti".

"Nggak mau nyalain?. Ya udah aku aja".

Sakti berjalan menuju box listrik, membalikan tuas ke arah yang benar, lampu kembali menyala terang dan kepanikan berangsur reda.

"Kok kamu disini?".

"Kamu yang kenapa bisa disini? Aku nyari kamu Rain".

Raina terdiam.

"Kok nyariin aku?".

Sakti menggaruk belakang lehernya, terlihat berusaha mencari jawaban yang tepat.

"Emm.. Langit, iya Langit tadi nyariin kamu jadi..".

"Kenapa nggak bang Awan aja yang diminta nyariin aku?. Kamu kan sibuk jadi bintang tamu".

"Karena wibu bawang lagi mabuk di dalem"

"Ninggalin acara pas lagi jadi bintang tamu itu nggak sopan loh, Sak".

Sakti menghela napas.

"Iya Rain, aku tau, aku cuma khawatir karena dari tadi aku liat-liat di pesta kamu nggak ada. Makanya aku lebih milih ninggalin pesta buat nyari kamu".

Tanpa sadar pipi Raina menghangat, ternyata Sakti masih mengkhawatirkannya.

"Sekarang aku sudah ketemu, kamu bisa balik ke pesta lagi, Sak".

Sakti mengangkat bahu.

"Nggak mau".

"Tapi, pesta dansanya? Nanti Vanya marah loh, kita nggak di bayar nanti".

"Aku datang buat jadi bintang tamu, bukan buat jadi partner dansa".

Tiba-tiba Sakti menarik tangan Raina, membawa ke dalam dekapannya.

"Maaf Rain, aku tau beberapa hari ini semuanya jadi kacau gara-gara aku. Maaf aku bikin kamu sedih".

Ditengah keterjutannya, Raina hanya bisa terdiam, menikmati hangatnya tubuh Sakti dan aroma green tea yang begitu dirindukuannya. Untuk kemudian mengangguk pelan.

"Kapan-kapan mau dansa?".

Raina mengangguk lagi.

"Emang kamu bisa?"

"Enggak".

"Aku juga nggak".

Mereka kemudian tertawa bersama. Sakti mengeratkan pelukannya, Raina membalasnya, bersyukur akhirnya sahabatnya kembali.

Sahabat yang bisa membuat ia bertingkah seperti orang jatuh cinta.

Atau dia memang sudah jatuh cinta?.

---