Chereads / Am I Your Crush? / Chapter 7 - WHAT HAPPEN ?

Chapter 7 - WHAT HAPPEN ?

Universitas negeri kota mulai ramai mengikuti pagi dengan segala aktivitasnya yang menggeliat. Satu per satu mahasiswa dari segala jurusan berdatangan mengikuti kelas pagi. Universitas yang memiliki kurang lebih 11 jurusan ini mulai sesak dengan manusia yang datang dari berbagai tempat dan penjuru negeri untuk menuntut ilmu. Bertahan sendirian jauh dari keluarga dan orang tua demi mengharapkan masa depan yang cerah setelah menjadi sarjana nanti.

Sebagaimana peraturan dunia berlaku, dalam setiap tempat, setiap strata, setiap ada perkumpulan manusia, maka selalu ada sosok-sosok yang lebih menarik perhatian dibanding yang lain. Bagai permata diantara lautan batu hitam. Mereka menjadi pusat perhatian. Berkilauan. Ditakdirkan menjadi orang-orang unggul.

Dari gerbang kampus meluncur mobil ferarri hitam yang mentereng mewah. Seorang laki-laki keluar dari mobil dengan tergesa-gesa, merapikan kemejanya yang sebenarnya sudah sangat rapi. Berjalan buru-buru meninggalkan tempat parkir diiringi tatapan kagum mahasiswa lain. Bintang Salendra, ketua bem yang selalu terlihat super sibuk sedang mengejar waktu memimpin rapat ukm event sebelum jam kuliah pertama di mulai.

Motor klasik keluaran tahun 70-an yang sangat langka juga terparkir hampir bersamaan, ikut menarik perhatian. Awan, senior jurusan animasi melepas helmnya. Membuat wajahnya yang bagai laki-laki tampan dari jepang membuat beberapa mahasiswa mengelus dada. Pagi di kampus ini memang yang terbaik, mereka disuguhi banyak pemandangan indah.

Tak berselang lama mobil yang tak kalah mewah ikut merapat, menampakkan wanita anggun dengan rambut panjang tergerai indah. Pakaian yang ia kenakan benar-benar cocok dengan imej-nya yang bagaikan tuan putri. Di sisi lain pintu mobil seorang yang menjadi idola seluruh kampus menampakkan wajahnya yang terlihat lelah dan kurang tidur dengan pakaian sedikit acak-acakan. Membuat seluruh mata tercuri perhatiannya. Mereka bagai melihat pasangan selebritis.

"Bukankah itu Sakti dan mahasiswa baru jurusan animasi yang sedang jadi hot topik karena kecantikannya, Vanya?". Mahasiswa yang mengenakan kacamata tebal menyikut lengan teman disampingnya.

"Betul, aku tidak menyangka ternyata mereka dekat, Sakti benar-benar terlihat cocok dengan Vanya dibanding teman cupunya itu, siapa namanya?".

"Raina".

"Benar, Raina si cupu tak tau diri yang selalu menempeli pangeran kampus".

Kedua mahasiswa itu bicara dengan suara cukup lantang. Membuat Raina yang baru saja turun dari ojek bisa mendengarnya. Beberapa mahasiswa di dekat tempat parkir itu memandangnya sejenak, untuk kemudian berbisik dan tertawa meremehkan.

"Sang kurcaci akhirnya dijauhi setelah sang pangeran menemukan tuan putrinya".

Mahasiswa berkacamata tebal itu kembali membuka suara, lantang agar Raina mendengar.

Memutuskan berjalan lebih cepat. Raina berusaha menghindari intimidasi dan hinaan dari mahasiswa lain. Benar-benar tidak menyangka dijauhi oleh Sakti membawa dampak besar dalam kehidupannya di kampus. Ia menerima hinaan dan cacian karena dijauhi oleh Sakti.

Raina menyeka ujung mata. Tenang, semua akan segera baik-baik saja. Raina hanya belum terbiasa. Entah itu tak terbiasa dengan hinaan, atau tak terbiasa jauh dari Sakti.

Merapatkan jaket coklatnya yang lusuh, Raina berjalan terlalu menunduk menyembunyikan wajah. Membuatnya tak bisa berjalan dengan baik, menabrak orang dihadapannya. Tangan seseorang menahan punggung Raina. Sentuhannya benar-benar tak asing, Raina mengangkat kepala, matanya bertemu manik coklat muda yang begitu jernih namun seakan penuh tekanan.

"Rain.."

Tersadar sudah menambrak siapa, Raina buru-buru mendorong. Membuatnya mundur satu langkah.

"Menjauh dariku Sakti, apa kau belum puas mendengar hinaan untukku dari mahasiswa diluar sana?".

Saat ini tak seharusnya ia menyalahkan Sakti, ini semua bukan salahnya. Namun melihat samar sosok Vanya yang berdiri dibelakang Sakti, benar-benar membuat emosinya kembali membumbung tinggi.

"Siapa yang menghinamu ?. Katakan padaku Rain".

Sakti berjalan perlahan, mendekat, berusaha mendekati Raina yang terlihat sangat rapuh.

Namun disaat bersamaan, sebuah tanparan menghantam telak pipi kiri Sakti, membuatnya terkejut. Juga orang yang menamparnya. Raina, memegang tangannya, menatap tidak percaya apa yang telah ia lakukan. Kemudian berlari meninggalkan Sakti yang berdiri mematung, memegang pipinya yang memerah.

"Semarah itu kah kau padaku Rain?".

***

"Minumlah Ra, kau benar-benar terlihat kacau sepanjang jam kuliah". Kayla yang akhirnya sembuh dari demam dan bisa kembali ke kampus seperti biasa menyerahkan sekaleng minuman dingin. Memandang prihatin teman baiknya yang terlihat mengenaskan.

Menerima kaleng dengan tatapan kosong, Raina menghabiskan minuman itu sekali tenggak. Menghela nafas, bayangan wajah Sakti yang terkejut atas perlakuannya kembali menghinggapi kepala. Sepanjang jam perkuliahan ia sama sekali tidak mendapati Sakti, sepertinya Sakti lebih memilih bolos dan bersenang-senang dengan Vanya ketimbang masuk kelas dan bertemu dengan 'sahabat' yang sudah menamparnya.

"Ku anter pulang ya Ra, kelas kamu udah selesai semua kan?. Yuk!".

Berusaha menarik Raina bangkit, Kayla terus membujuk temannya untuk ikut pulang bersamanya, tapi Raina menggeleng. Bicara dengan suara serak.

"Aku belum bisa pulang, aku harus kerja".

"Kamu bisa izin dulu Ra, sekarang bukan waktunya kamu jadi orang super rajin, kamu perlu istirahat".

"Aku punya job gede yang nggak bisa ditinggalin, Kay. Kalo kamu mau bantu, aku minta tolong anterin aku ke tempat kerjaku aja ya".

"Tapi itu artinya kan kamu bakal ketemu monyet kampus itu lagi, emang kamu siap ?".

"Monyet kampus ?".

Kayla menggaruk belakang kepalanya.

"Well.. Ku rasa disaat kayak gini kamu nggak mau denger namanya jadi aku samarin aja". Jika keadaannya berbeda, mungkin Raina akan tertawa terbahak-bahak. Untuk pertama kalinya Sakti yang terkenal karena ketampanan dan kepintarannya, mendapat gelar monyet.

"Aku nggak papa kok Kay, kamu tenang aja. Bagaimanapun buruknya keadaan hubungan aku dan Sakti sekarang. Aku harus tetap profesional".

Raina menyerahkan secarik kertas berisikan alamat. Kayla membacanya dengan wajah bingung, alamat ini sama sekali tidak ia kenali.

"Ini kayaknya bukan alamat kantormu deh Ra".

"Memang bukan, itu alamat rumah Vanya".

Kayla refleks berseru.

"Hah? Udah gila ya kamu Ra ?".

Butuh waktu yang cukup lama Raina membujuk Kayla agar mau mengerti keeadaan dan mau mengantarnya, menjelaskan segala sesuatunya. Menjelaskan alasan mengapa ia harus mendatangi rumah Vanya karena tuntutan pekerjaan. Alasan mengapa ia sangat ngotot ikut andil dalam job itu karena bayarannya yang sangat bagus. Juga menyakinkan Kayla kalau ia akan baik-baik saja. Tentu saja yang terakhir yang paling sulit. Namun akhirnya Kayla menyerah, mengambil tasnya yang masih berada diatas meja.

"Oke, sebagai teman yang baik aku akan mengantarmu. Tapi aku berpesan satu hal ya Ra, kalo si Vanya menye-menye itu gangguin kamu, cakar aja mukanya, biar bisa ngerasain gimana rasanya jadi orang jelek".

Raina tertawa kecil, mengangguk. Sudah pasti dia tidak akan melakukan apa yang Kayla katakan.

***

20 menit, Kayla dan Raina akhirnya sampai di alamat tujuan. Mereka langsung saja dihadapkan dengan pagar besi hitam setinggi 2 meter. Dilihat dari luar pagar saja rumah bernuansa putih dan emas itu sudah terlihat sangat megah. Tingginya kurang lebih 10 meter. Membuat Raina berdecak kagum, sedangkan Kayla menatap rumah itu dengan wajah biasa saja. Setelah memalingkan motor matic bututnya, Kayla berpamitan pada Raina yang melambaikan tangan, berterima kasih.

Dari awal memasuki daerah rumah Raina sama sekali tidak bisa berhenti menatap sekitar, rumah Vanya tidak hanya megah, pekarangannya pun sangat luas. Beberapa mobil yang Raina yakini harganya fantastis berjejer di halaman.

Bagian dalam rumahnya pun tak kalah mewahnya, perabotan antik nan mahal bejejer di sudut-sudut ruangan, piano, juga lampu gantung super besar. Ruangan tamu yang begitu luas sesuai rencana akan diubah menjadi lantai dansa. Tepat dibawah lampu besar itu.

Suasana terlihat sibuk, beberapa orang yang tidak dikenali Raina ikut membantu pekerjaan mereka. Awan yang melihatnya lebih dulu melambaikan tangan, beberapa peralatan dekorasi sudah berada di tangannya. Menghampiri Raina yang mengeluarkan buku khusus dari tas nya.

"Hai Ra, kamu bawa rancangan lantai dansanya ?".

Raina membuka buku lebar itu diatas meja panjang di tengah ruangan.

"Sudah siap bang".

"Bagus, berarti tinggal realisasi. By the way kita cuma bertiga nih Ra, si Langit belum datang, nggak tau tu anak kemana".

Raina mengangguk. Tak masalah. Langit memang suka menghilang saat mereka sedang sibuk-sibuknya.

Tanpa sadar sudut mata Raina menangkap sosok Sakti yang sepertinya sedang mengurus properti. Ditemani Vanya yang terus mengoceh disampingnya entah sedang membahas apa. Membuat Raina tanpa sadar melamun, membuat Awan terpaksa mengguncang bahunya agar kembali fokus.

"Ra, kamu nggak papa? Jangan bengong kayak orang kesambet gitu dong".

"Eh, maaf bang Raina nggak papa kok". Raina menggaruk leher tak enak.

"Kalo gitu kamu tolong urus dekorasi stikernya ya. Di sudut dekat panggung dj. Tapi hati-hati, disitu banyak properti keras dan tajam, jangan sampai terluka".

Tanpa diminta dua kali Raina langsung bergerak menuju spot yang dimaksud awan, menaiki tangga kecil agar lebih nyaman. Semuanya berjalan lancar hingga Raina melakukan kesalahan, lupa pesan Awan.

Ketika turun dari tangga kecil, bukannya melihat lebih dulu Raina langsung menurunkan kakinya ke lantai, tanpa menyadari ada paku yang siap menghujam kakinya. Sukses membuat Raina berteriak karena kaget dan sakit. Paku itu menancap dalam, darah mulai merembes mengenai lantai.

Belum sempat Raina memanggil Awan untuk minta tolong. Sakti sudah lebih dulu menghampirinya. Melihat kaki Raina yang sudah cukup banyak mengeluarkan darah membuatnya tanpa pikir panjang langsung menggendong Raina. Membawanya ke sebuah ruangan yang berbeda dari

ruang tamu.

"Rain, tahan ya, di dekat sini ada kamar yang ada kota obatnya".

Untuk beberapa saat Raina terpaku menatap wajah Sakti yang terlihat sangat panik, yang entah kenapa malah membuatnya terpesona. Hingga akhirnya ia sadar, mengangkat alis. Bagaimana Sakti bisa tau di rumah ini ada kamar yang ada kotak obatnya?.

Belum sempat Raina bertanya tanpa sadar mereka sudah sampai di kamar itu. Nuansanya masih sama, putih dan emas, namun luasnya tidak bisa di ragukan, satu kamar ini mungkin sama dengan 3 kamar panti yang digabung menjadi satu.

Sakti mendudukkan Raina di kasur, dengan sigap mengambil kotak obat yang berada di sudut ruangan. Raina memandang takzim, Sakti tidak berbohong, kotak obat benar-benar ada di dalam kamar ini.

Berlutut, Sakti berusaha memegang paku yang terlanjur menancap dalam di kaki Raina, membuatnya berseru tertahan, paku yang cukup panjang tak bisa dicabut dengan mudah.

"Sakit ?".

Sakti bertanya dengan wajah kentara sekali paniknya.

"Sangat". Raina berkata jujur, tidak ada gunanya sok kuat untuk saat ini.

"Aku akan mengeluarkan paku ini dengan cepat, tahan Rain".

Sakti berusaha kembali berusaha mencabut paku itu, namun rasa sakitnya benar-benar tak bisa Raina tahan, ia menangis terisak.

"Sakti.."

"Tenang Rain, aku tidak akan membuatmu lebih sakit dari ini".

Tangan kanan Sakti tiba-tiba memegang leher Raina, untuk kemudian menariknya mendekat. Bibir mereka bertemu. Membuat seluruh otot Raina menegang, matanya membulat, pikirannya terasa kosong. Sentuhan hangat dan lembut bibir Sakti sukses membuatnya hampir terkulai.

Paku itu berhasil di cabut satu detik sebelum ciuman mereka berakhir.

Dengan cepat Sakti membalut luka Raina, terlihat sigap dan terbiasa dengan keadaan darurat.

Sedang Raina masih memegangi bibirnya. Tak percaya atas apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdegup kencang seakan ingin keluar dari tubuhnya. Pun wajahnya kini merah seperti kepiting rebus.

Ciuman pertamanya, telah diambil oleh Sakti.

---