"Kamu nggak papa Ra?".
Langit menyentuh pelan bahu Raina yang duduk di sampingnya. Mobil yang di kendarai Langit sudah terparkir sempurna di tempat tujuan.
Sejak perjalanan dari panti hingga kantor mereka tak bicara banyak, hanya sedikit obrolan ringan yang dijawab singkat oleh Raina. Membuat Langit yang biasanya punya segudang candaan dan gombalan memilih untuk lebih banyak diam. Padahal momen ini sudah sangat lama ia nantikan, untuk pertama kalinya Raina meminta di jemput, membuat Langit kaget dan senang luar biasa. Namun harusnya sejak awal ia menyadari ada yang salah, Raina tak pernah terpisah dari Sakti, pasti ada sesuatu yang terjadi.
"Eh, iya bang Raina baik".
Raina tersentak, mengalihkan pandangannya yang sejak tadi hanya memandang keluar jendela, dengan pikiran yang menerawang jauh. Langit menatapnya khawatir.
"Kamu ada masalah sama Sakti?".
Tepat sasaran, pertanyaan Langit membuat Raina gelagapan, berusaha menghindari manik mata Langit yang berwarna hitam pekat, tidak seharusnya ia membawa masalahnya ketempat kerja apalagi bercerita pada bos nya, sikap profesional harus selalu ia utamakan, tak seharusnya ia bersikap seperti tadi, murung sepanjang perjalanan, membuat orang lain khawatir.
"Nggak ada masalah kok bang, cuma lagi kurang sehat aja".
Raina tersenyum, senyum yang biasa ia perlihatkan pada Langit, membuat Langit ikut tersenyum lega.
"Syukurlah, aku kira kamu lagi ada masalah sama Sakti, atau nggak nyaman pergi ke kantor bareng aku".
Raina menggeleng cepat. "Raina senang bisa pergi ke kantor bareng abang, makasih ya sudah mau jemput".
Wajah Langit menghangat, senyuman Raina memang selalu bisa membuat jantungnya berdebar. Mengusap wajah, Langit mencopot safety beltnya, segera keluar dari mobil. Bahaya jika terus-terusan di dalam, Raina akan mendapati dirinya salah tingkah.
"Nanti aku anter pulang ya".
Raina yang juga sudah turun dari mobil menoleh. Mengangguk samar. Entah kenapa lebih mengharapkan Sakti yang mengajaknya pulang nanti, menaiki si biru.
***
Raina dan Langit adalah peserta rapat terakhir yang datang. Sedangkan Awan, Sakti, juga sang client, Vanya sudah berada di kursinya masing-masing. Membuat Raina sedikit kaget karena Sakti berangkat ke kantor lebih dulu.
Pandangan Sakti dan Raina bertemu beberapa saat, jika keadaannya berbeda mereka biasanya akan saling melempar senyuman, namun kali ini Sakti lebih dulu memalingkan wajahnya. Berfokus pada Vanya yang mengoceh di samping, duduk di kursi yang biasa Raina duduki, sesekali mengangguk, tersenyum.
Berusaha mengabaikan perasaannya meski rasanya ingin sekali ia menghampiri kursi mereka, mengacak- acak rambut Vanya yang indah itu, juga menampar wajah Sakti. Tapi urung ia lakukan, Raina memilih duduk se-santai mungkin di samping Awan yang sedang menulis sesuatu, wajahnya begitu senang karena pundi-pundi uang banyak akan segera mengalir ke kantongnya, tak sempat memperhatikan Raina yang kentara sekali terlihat memaksakan diri.
Sesekali menghela nafas untuk mengurangi sesak di dada. Raina mensugestikan pada dirinya sendiri untuk tetap tenang. Hanya untuk beberapa jam, kemudian ia bisa langsung pulang, menenangkan diri.
Syukurlah rapat berjalan lancar, karyawan PARTY PLAN GROUP mengemukakan gagasan kreatif dengan sangat baik, membuat Vanya tersenyum puas, setuju sepenuhnya tanpa koreksi. Rapat dan pertemuan itu selesai lebih cepat dari yang di jadwalkan. Hingga rapat itu selesai, Raina bergegas membereskan barang-barangnya, bersiap pulang, ia tak sabar lagi ingin menjauh dari Sakti, dan Vanya yang terlihat selalu nempel padanya.
Hanya tinggal menunggu Langit mengambil kunci mobil.
"Kak Raina?". Bahu Raina tiba-tiba menegang mendengar suara perempuan yang memanggilnya dari belakang. Membuatnya terpaksa menoleh dan berusaha tersenyum normal, Raina sempat melirik Sakti yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Ya, ada apa client Vanya?".
Vanya tertawa kecil, anggun menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Panggil saja Vanya kak, atau dek Vanya".
Sudut bibir Raina berkedut, keadaan canggung macam apa ini.
"Sepertinya saya perlu sedikit waktu untuk melakukan itu, client Vanya".
"Tak perlu buru-buru kak, kita masih punya banyak waktu untuk saling mengenal". Vanya tersenyum, menatap Raina dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Ngomong-ngomong, seberapa jauh kau sudah mengenal Sakti-ku, kak Raina?".
Raina terkejut, apa dia baru saja bilang Sakti-ku ?. Aura disekitar mereka tiba-tiba saja berubah.
"Bertahun-tahun kakak menjaga Sakti-ku dengan baik, tapi sekarang kakak lengah, ku rasa sudah waktunya sekarang giliran aku yang menjaga Sakti-ku ya". Vanya menjeda kalimatnya.
"Kakak tau kan aku begitu mengagumi kak Sakti, sudah lama aku menantikan kesempatan untuk bisa mendekatinya, tapi kakak selalu ada di sekitarnya, dimanapun, kapanpun. Membuat kakak terlihat seperti parasit, menempel pada kak Sakti, tak membiarkannya membuka dunianya lebih luas".
Vanya kembali tertawa pelan nan anggun, namun tatapannya mengintimidasi.
"Akan ku buat kak Sakti merasakan arti dicintai yang sesungguhnya kak, kakak tidak keberatan bukan? Toh tak ada hubungan spesial diantara kalian".
Raina meremas jari hingga kukunya memutih. Kata-kata Vanya jelas menunjukkan bahwa ia ingin merebut Sakti, memisahkan mereka.
Ingin sekali Raina menyerang balik kata-kata Vanya, menegaskan bahwa Sakti adalah orang yang sangat berharga dalam kehidupannya dan tak bisa di pisahkan darinya begitu saja. Namun mulutnya seakan terkunci, ucapan terakhir Vanya benar-benar membuatnya bungkam.
Vanya benar, mereka tak memiliki hubungan spesial.
"Terima kasih atas kerja kerasnya hari ini kak, sampai jumpa di rumahku besok hari, aku yakin sudah menyerahkan acara ini pada ahlinya, jangan kecewakan aku ya".
Masih berdiri mematung, Raina menyaksikan sendiri Vanya yang berjalan menjauh menggandeng lengan Sakti meninggalkan kantor. Terlihat sangat dekat dalam waktu yang sangat singkat. Raina bertanya-tanya atas sikap Sakti yang kini benar-benar membuatnya kecewa.
Apakah ini artinya Sakti telah sepenuhnya menjauh darinya? Lantas apa arti kedekatan mereka selama ini jika Sakti bertingkah seakan tak mengenalnya sama sekali?. Sebesar itukah kesalahan yang telah ia buat sampai Sakti tega mengabaikannya?.
Apakah ini artinya Sakti tak mau bersahabat dengannya lagi?.
"Sahabat". Raina mendecih pelan, benar, mereka hanya sahabat, tak ada hubungan khusus diantara mereka. Tanpa sadar setetes air mata Raina kembali jatuh, namun belum sempat ia menyeka, tangan Langit lebih dulu menyekanya.
"Tolong, katakan padaku siapa yang membuatmu meneteskan air mata, akan ku balas dengan hal menyakitkan yang tak akan terbayang olehnya seumur hidup".
Tangan Langit masih memegang pipi Raina, mengelusnya.
"Katakan padaku Raina, apakah Sakti yang membuatmu sedih?".
Raina hanya menunduk menyembunyikan wajah dan perasaannya yang kacau. Memegang tangan Langit, menjauhkannya dari pipi. Diam seribu bahasa.
Langit yang melihat itu langsung menggenggam tangan Raina, berusaha menguatkan.
Di tengah momen itu tanpa Raina dan Langit sadari Sakti masih belum meninggalkan kantor, memandang mereka dari tempat parkir, menatap tajam tangan Langit yang menggenggam erat tangan Raina yang berada di balik ruangan kaca.
"Kak Sakti, ada apa?". Vanya memegang bahu Sakti. Ikut mengikuti arah pandangnya.
"Vanya.." Sakti menghela nafas berat, matanya berkaca-kaca.
"Ku rasa langkah yang ku ambil telah salah".
___