Rumah Sakit Jiwa, beberapa hari kemudian…
Vero melempar jas putihnya ke tempat tidur. Cahaya sephia memenuhi kamar tempat istirahatnya di rumah sakit. Baru pukul dua belas saat itu, seharusnya ia ke kampus dan mengajar. Tapi, Vero berpikir untuk membatalkan semua jadwalnya di kampus dan tetap mengurung diri di kamar tempatnya sekarang. "Amira", entah ada apa dengan nama itu, seperti semut kecil, beberapa hari ini nama itu terus saja menggerogoti memorinya. Mengacaukan setiap persepsinya.
Ketika malam, Vero sebenarnya tahu tidak ada lagi yang akan menunggunya di meja makan dengan makanan yang tertata rapi meski sudah dingin. Tidak ada lagi yang merecokinya dengan hal absurd soal "menjaga perasaan". Selalu saja Amira bersikap hati-hati ketika bersamanya, Vero tahu perempuan itu sudah sangat berusaha, tapi perempuan itu juga terlalu ceroboh untuk tidak bersikap superior dan membuatnya berada di luar batas. Aslinya, Amira bukan perempuan penurut dan tanpa diakui, Vero sebenarnya merindukan kejadian-kejadian kecil yang hanya terjadi jika bersama Amira.
Sejak ia pergi dari rumah, belum sekalipun Amira menghubungi Vero dan itu membuat Vero sedikit merasa kesal. Di kampus, mereka sebenarnya pernah berpapasan beberapa kali, tapi Amira hanya menunduk untuk sebuah penghormatan kemudian berlalu begitu saja. Dan pagi kemarin, Vero menemukan tumpukan hasil terjemahan dan sebuah jam tangan Rolex di atas mejanya. Vero tahu itu dari Amira dan jam tangan Rolex itu adalah jam tangan yang perempuan itu curi dulu. Satu benda yang membuat Vero mengira Amira adalah kleptomania, dan benda itu juga yang membuatnya menemukan takdir untuk menikah dengan seseorang. Meski tanpa cinta, Vero tahu menikah adalah hal yang sakral. Sejak mengidap skizofrenia, ia bersumpah untuk tidak akan menikah dengan siapa pun. Dengan alasan tidak ingin menjadi seperti ayahnya, orang yang dinikahinya mungkin akan terluka meski itu tidak disengaja. Amira, dulu Vero harus menyebutnya sebagai istri, dan sekarang adalah mantan istri, namun perasaan Vero tetap sama. Ia merasa harus tetap bertanggung jawab terhadap perempuan bertubuh mungil itu. Hanya saja, sekali lagi Amira membuatnya kecewa. Vero meminta Amira untuk segera menemuinya di kantor. Ia sampaikan pesan itu lewat seorang mahasiswanya. Vero sudah menunggu hingga sore hari, tapi Amira tidak juga datang.
Di ruang ICU Rumah Sakit Umum Pemerintah Provinsi,
Vero mengganti seragamnya menjadi seragam khusus berwarna biru. Ia keluar dari kamar ganti setelah memasang cup di kepalanya.
"Ada kasus baru?" tanyanya pada perawat.
"Ada, Dok! Baru masuk kemarin. Awalnya gelisah, sekarang GCS-nya tinggal 1-3-4 post. kejang berulang. Hasil CT-Scan-nya sudah ada."
"Usia 21 tahun, perempuan, panasnya nggak turun-turun dan barusan dipasang ventilator," Reina menyela.
"Hasil lumbal fungsi sama leukosit apa sudah dikonfirmasi?" tanya Vero seraya menerawang hasil CT-Scan. Ia fokus pada area putih yang abnormal dalam gambar itu.
"Memang ada peningkatan leukosit."
"Enshepalithis!" kesimpulan yang diambil Vero, meski ia tak terlalu yakin. Ada banyak diagnosa banding untuk penyakit ini.
"Ya. Sepertinya,"ujar Reina. Ia tetap harus mengumpulkan semua hasil pemeriksaan diagnostik sebelum menentukan diagnosa medis pasien. Ini terkesan lebih mudah untuk Vero, karena keberadaan Vero di ruangan itu hanya untuk kepentingan penelitian rumah sakit. Biar begitu, Vero tidak jarang turun tangan untuk tindakan-tindakan emergensi yang diperlukan. Pada fase peyembuhan setelah terjadi gangguan pada otak, kadang menimbulkan gejala sisa berupa penurunan fungsi kognitif, gangguan memori, hingga paralyze atau kelumpuhan. Kondisi emosi pasien berubah seiring kerusakan pada bagian frontal otak, untuk ini Vero harus lebih memberi perhatian dan motivasi pada keluarga dibanding harus meributkan tentang "mengapa sikap keluarganya berubah?"
"Terima saja beasiswa itu, neurosurgery mungkin akan lebih banyak menolong dalam kondisi darurat seperti ini. Aku heran kenapa kamu masih berkutat di respon emosi pasien," ujar Reina untuk kesekian kalinya.
"Iya. Kalau saja aku tidak melihat serabut saraf seperti cacing yang menggeliat dan siap keluar dari otak. Aku pasti sudah lari terbirit-birit," ucap Vero terkekeh sendiri. Ia tampak sedang bercanda, tapi hatinya miris membayangkan jika saja itu terjadi.
Reina ikut terkekeh. Ia sendiri merasa ngeri membayangkan sebuah mata bor yang besar ditancapkan ke kepala, tengkorak dibuka dan terlihat jaringan yang amat lunak berwarna merah muda. Dan lihatlah serabut urat saraf yang amat rumit, serumit gumpalan benang yang kusut, dan menjadi server utama untuk kinerja organ lainnya. Namun, pada Vero, dirinya tetap merasa heran. Dulu ketika masih menjadi dokter umum dan masih bekerja di rumah sakit umum pemerintah provinsi, seingat Reina Vero sering ikut ke ruang operasi dan menjadi asisten khusus di ruang bedah saraf. Dokter Reinanda Aditya, ahli bedah saraf senior sampai mencak-mencak ketika asisten kesayangannya justru memilih spesialis kejiwaan.
"Eh, by the way, kamu tahu nggak Dokter Rei masuk rumah sakit?" kata Reina. Dokter perempuan itu tidak mengalihkan pandangannya dari wajah Vero, penasaran bagaimana reaksi Vero. Sudah jadi rahasia umum kalau Dokter Rei memang memperlakukan Vero bak seorang yang paling ia benci sejak Vero memutuskan menjadi resident spesialist kejiwaan. Namun, Reina yakin Vero memahami maksud Dokter Rei sebenarnya, ia yang amat menginginkan Vero menjadi seorang ahli bedah saraf seperti dirinya.
"Kenapa?"
"Hipertensi," jawab Reina.
"Terus…gimana keadaannya?"
"Kalau mau tahu datang aja ke VVIP 1108, di lantai lima."
Kerutan di kening Vero masih belum menghilang, ia ragu untuk bertemu dengan dokter itu meski datang ke sana buat Vero menjadi sebuah keharusan.
Pukul 15.00 ,
Vero meratapi pintu kamar dengan tulisan VVIP 1108 yang terpampang cukup besar. Ia merapikan baju, jas, dan rambutnya sebelum mengetuk pintu. Tidak lama setelah mengetuk pintu, seorang perempuan muda berambut agak kecokelatan muncul di balik pintu. Vero mengangguk sekali. Dari celah sempit yang terbuka, Vero menyorot ke sosok yang terbaring di atas tempat tidur. Suasana hening sejenak ketika Dokter Rei balas menatap pada Vero.
"Biarkan dia masuk," ujar lelaki paruh baya tampak tidak ikhlas.
Jakun Vero bergerak naik turun, selalu saja ia tidak bisa mengambil sikap untuk mencairkan suasana ketika itu bersama Dokter Rei. Apa yang dialami Vero saat ini benar-benar kontras saat dulu mereka bersama di kamar operasi. Dokter Rei sangat suka bercanda, ia sering membuat lelucon tentang perempuan muda yang seksi. Menurutnya, mana ada lelaki yang tidak menyukai hal seperti itu, dan Vero akhirnya juga harus terlihat seperti itu. Setidaknya lelaki dengan pembawaan tenang itu, yang tidak sempat mengukir nama seorang perempuan diotaknya, akhirnya harus belajar untuk menjadi playboy. Dokter Rei bilang, cewek-cewek suka gaya seorang playboy, yang ramah dengan tutur kata yang halus dan penuh pengertian. "Dan seorang misterious boy sepertimu," tunjuk Dokter Rei pada Vero suatu waktu, "sering bikin cewek-cewek kesal karena penasaran,"lanjut Dokter Rei yang membuat semua orang di ruang operasi tertawa hebat.
Vero berdiri di jarak satu meter dari tempat tidur Dokter Rei. Ia hanya menunduk saat itu.
"Hmmm… bagaimana kabarmu?"
Vero tidak menjawab. Tentunya Dokter Rei bisa melihat sendiri bahwa Vero masih berdiri tegak.
"Sekarang aku di sini, tidak ada yang menggantikanku di ruang operasi. Aku membunuh lebih banyak orang dengan kegawatan saraf saat aku diam," ujar Dokter Rei membuat napas Vero tertahan. Memang kota mereka adalah kota kecil, dan hanya memiliki seorang spesialis bedah saraf.
"Saya sungguh berharap Anda baik-baik saja."
Hembusan napas Dokter Rei terdengar kemudian. Ia memperhatikan Vero yang terus saja menunduk dengan tatapan sendu. Sebagai orang tua, entah sejak kapan ia mulai menganggap Vero seperti anaknya sendiri dan ia benar-benar kecewa ketika Vero mengabaikan permintaannya.
"Tarik kursi dan duduklah!" ujar Dokter Rei.
Vero menuruti kata-kata orang tua itu.
"Apa kamu sudah melihat puteriku? Apa menurutmu dia cantik?" Pertanyaan Dokter Rei membuat Vero sedikit terkejut. Beberapa tahun lalu, Dokter Rei pernah menanyakan hal yang sama padanya dan memperlihatkan sebuah foto puterinya yang masih SMP.
"Renata sekarang sudah kuliah di Fakultas Kedokteran di Jakarta. Sudah banyak laki-laki yang mendekatinya dan itu membuatku khawatir. Kekhawatiranku tentu tidak akan sebesar ini jika saja itu dirimu. Kamu berbeda dari laki-laki lain, seseorang yang selalu berpikir tentang keselamatan orang lain, pasti akan lebih baik dalam menjaga keluarganya sendiri. Aku juga berpikir, pasti akan sempurna jika saja Renata menikah dengan seorang dokter bedah saraf sepertiku. Bagaimana menurutmu soal Renata?"
Vero merasakan kaku di seluruh tubuhnya, tangannya mengepal erat saat itu. Renata, jika benar itu perempuan yang barusan membukakan pintu untuknya dan sekarang kebetulan sedang tidak ada di ruangan itu, maka…Vero sebenarnya tidak terlalu memperhatikannya. Yang Vero ingat, perempuan itu sangat cantik dengan potongan rambut panjang kecokelatan, matanya agak sipit dengan bola mata hitam, bibirnya tipis dan kulitnya putih kemerahan.
"Dia sangat cantik," ucap Vero yang masih merasa tegang. Ia merasa begitu kurang ajar dengan mengucapkan penilaiannya itu. Bagaimana pun, Vero tidak seharusnya menegakkan pandangannya pada perempuan mana pun yang berada di sekitar Dokter Rei karena Vero sendiri sangat menghormati Dokter Rei.
"Aku berniat menikahkanmu dengannya jika saja kamu bersedia menerima beasiswa untuk menjadi ahli bedah saraf. Katakan saja kalau kamu berubah pikiran, dan meminta maaflah padaku soal keputusanmu dulu. Aku tahu kamu menyesalinya," ujar Dokter Rei terlihat sangat percaya diri.
Vero masih berusaha bersikap tenang. Ia kira Dokter Rei tahu bahwa dirinya sudah mempunyai istri, setidaknya nama Dokter Rei masuk di daftar tamu undangan waktu itu. Namun, agaknya orang itu ingin mendominasi keadaan sehingga mengabaikan apa pun yang menghalangi keinginannya.
"Tapi, saya...tidak bisa."
"Apa kamu tidak menyukai Renata?"
"Saya sudah menikah," ujar Vero, "meskipun sekarang ada masalah, saya tetap tidak bisa berpikir tentang perempuan lain."
"Kenapa? Apa kamu sangat mencintai istrimu? Laki-laki punya lebih dari satu istri bukan hal yang aneh."
Sekali lagi Vero dibuat terperangah dengan pernyataan Dokter Rei. "Saya tidak tahu apa Anda sedang menguji saya sekarang?"
"Baiklah. Lupakan soal perempuan. Bagaimana dengan Sp.Kj, apa kamu tidak menyesal meninggalkan neurosurgery untuk menjadi ahli kejiwaan?"
"Saya tidak seharusnya berada di posisi harus menyesal atau tidak. Saya juga tidak seharusnya meminta maaf dengan pilihan saya. Saya merasa apa yang saya pilih sejauh ini adalah benar."
Dokter Rei tersenyum, "Dan kamu tetap tidak ingin mengatakan alasanmu kenapa lebih memilih menjadi ahli jiwa?"
Vero kembali tertunduk.
Sesaat, terdengar lagi helaan napas Dokter Rei, "Aku tahu aku orang yang ambisius dan egois, kupikir aku bisa mempengaruhi pikiranmu dan masa depanmu. Tapi, aku justru menyesal dua kali. Pertama saat aku bersikap seperti ini dan yang kedua saat kudengar kamu memutuskan untuk menikah. Sekarang aku terbaring di sini, rasanya begitu mengerikan membayangkan pada akhirnya aku akan mati tanpa tahu siapa yang akan mendampingi Renata. Hari ini, aku melamarmu untuk puteriku, kuharap kamu benar-benar mempertimbangkan permintaanku ini."
"Apa Anda tidak mempertimbangkan apa yang diinginkan Renata?"
"Aku tidak bisa mempercayai siapa pun. Bagimana pun kehidupannmu dan mengingat kau sudah menikah, aku tetap percaya kamu akan bersikap baik terhadap puteriku."
Vero menelan ludahnya, ia merasa tenggorokannya begitu kering. "Anda mau mendengar sebuah rahasia. Saya kira saya mengungkapkan ini hanya untuk meringankan hati Anda. Dulu, saya mengatakan tidak untuk menjadi seorang ahli neurosurgery dan sekarang saya harus menolak Renata juga," ucap Vero tanpa ragu. "Saya, Alvero Yudistiro,di usia 19 tahun pernah mengalami gejala psikosis. Saya kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dan merawat diri selama hampir enam bulan. Saya juga mengalami penurunan fungsi kognitif selama fase itu. Sebenarnya sudah bisa dicap sebagai ODS, orang dengan skizofrenia. Keputusan saya untuk menjadi seorang ahli jiwa adalah untuk memahami diri saya sendiri dan saya menjadi orang yang sangat mengerti ODS yang lain. Tentang mereka yang terabaikan. Saya juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ayah saya juga seorang skizofrenia dan saya tumbuh bersama orang itu," Vero tersenyum getir. "Dulu saya meninggalkan neurosurgery dan sekarang saya harus bersiap meninggalkan profesi saya sebagai seorang dokter. Saya mengatakan ini karena saya sangat menghormati Anda. Saya yakin setelah mengetahui ini… Anda akan setuju dengan saya dan berubah pikiran soal Renata," ucap Vero yang kemudian berdiri.
Vero bisa menangkap ekspresi keterkejutan di wajah Dokter Rei. Ia kemudian menundukkan kepalanya sebagai salam terakhir pertemuan mereka, hal yang sama yang ia lakukan pada perempuan muda yang baru saja muncul dari balik pintu.
"Oh, kenapa cepat banget? Nggak mau minum dulu?" Renata memang membawa dua cangkir kopi berlabel Starbuks.
"Terimakasih. Lain kali," ujar Vero dengan senyuman yang membuat Renata tersipu.
"Aku permisi," ucap Vero yang kemudian melangkah cepat ke luar ruang perawatan itu.