"Ini dari ICU, aku Reina!"
…
Wajah Vero memucat ketika ia memencet tombol merah handphone-nya. Ia segera keluar dari ruangannya dan berlari ke ruang kuliah.
"Ada apa?" tanya Bu Amber yang waktu itu kebetulan mengajar di kelas Amira.
Pandangan Vero menyorot ke bangku barisan belakang auditorium. Pada Amira yang juga menatapnya terkejut. Di luar, angin berhembus tenang. Tidak terlalu terik, tapi juga tidak ada tanda akan hujan. Namun, di hati Vero, ia merasakan dingin seperti ribuan tetesan hujan telah menghujamnya. Hujan yang terselip di antara cahaya perak dan keheningan. Kecuali suara tangis ketidakrelaan yang akan menggema nyaring.
Satu per satu, kaki Vero menapaki tangga auditorium. Semua mata tertuju pada Vero, tapi tidak ada yang tahu apa sebenarnya yang diinginkan dosen mereka yang satu itu. Tidak ada yang tahu juga bahwa berat untuk Vero berada di tempat itu,di tangannya seperti ada bunga lili putih yang harus ia hantarkan pada Amira.
"Berapa usiamu sekarang? Berapa usiamu saat kamu merasa sangat kehilangan? Berapa usiamu saat kamu pikir kamu mampu menanggungnya? Berapa usiamu saat mulai merasakan kesendirian? Apakah itu sudah sangat lama? Atau itu baru saja dimulai? Kapanpun itu, aku hanya punya satu permintaan… jangan menyerah dan tetaplah bahagia meski banyak hal menyakitkan terjadi padamu!" Vero menggigit bibir bawahnya, ia juga memalingkan wajahnya karena butiran air lebih dulu jatuh di sudut matanya.
"Ada apa? Jangan membuatku takut!" rintih Amira. Amira berusaha menyingkirkan hal buruk yang mungkin terjadi padanya. Tapi, usaha itu justru membuat pikirannya tak keruan.
Vero masih tertunduk saat ia berada hanya setengah meter di hadapan Amira. Vero menangkap lengan Amira yang bergetar, kemudian ia menjatuhkan Amira ke dalam pelukannya.
"Dengarkan yang kukatakan! Tenanglah dan yakin bahwa aku akan bersamamu!"
Amira menggelengkan kepalanya. Perasaan gugup bercampur takut semakin hebat menyergapnya. Segera, Amira berusaha melepaskan diri dari dekapan Vero. Tapi, ia tidak berdaya.
"Ibumu!"
"Nggak, Dok! Nggak. Ibuku baik-baik saja! Aku tidak mau mendengar hal buruk soal Ibuku!" sangkal Amira. Air mata mulai menetes dari sudut matanya. Bayangan kesendirian membuatnya hampir lunglai.
"Amira! Sayang! Ayo, lihat aku!" sekarang wajah Amira berada di antara genggaman Vero. "Ikhlaskan dia!" lanjut Vero.
Amira menggelengkan kepalanya. Menangis tidak bersuara. Perempuan itu kemudian mendorong Vero dan berlari keluar.
…
Di ruang intensif care,
Amira menemukan ibunya masih dengan alat-alat yang terpasang seperti sebelumnya. Dadanya masih mengembang, tapi monitor sudah menunjukkan garis lurus. "Jangan ada yang menyentuhnya!" teriak Amira ketika seseorang berniat melepas sadapan EKG dari dada ibunya.
Amira mendekati ibunya yang terbaring dengan tubuh yang sudah memucat. Ketika ia mencoba meraih lengan ibunya, spontan ia menariknya lagi. Tangan ibunya dingin seperti es dan itu fakta yang sekali lagi ingin ia sangkal. Ingin sekali ia bertanya pada orang itu ke mana sebenarnya ia ingin pergi.
"Apa ibu tega meninggalkan aku sendiri? Aku sendirian, Bu!" ulangnya dengan wajah menempel di kening ibunya.
Saat berpikir apa yang mesti ia lakukan setelah ini. Amira tiba-tiba terpikir tentang sudah seharusnya mereka bersama apa pun yang terjadi. "Aku mohon sama kalian! Biarkan ibuku di sini!" ujar Amira tampak lebih tenang di sela-sela isakannya. Ia kemudian meratapi orang-orang berpakaian biru yang sebenarnya sudah cukup akrab dengannya. Mereka yang cenderung diam tertunduk saat itu. Seorang di antara mereka kemudian maju, seperti ingin merangkul Amira. Tapi, Amira buru-buru menghindar.
"Amira!" sebut orang itu. "Itu nggak mungkin!" ujarnya lemah. "Kamu harus merelakan ibumu!"
Amira membuka bak instrumen yang ada di dekatnya. Tutup benda yang terbuat dari stainless itu terpental cukup nyaring. Ia kemudian mengambil scalpel dari dalam bak instrument dan mengarahkan mata pisau bedah itu pada orang-orang yang coba mendekatinya.
"Kalau begitu… kirim aku bersama ibuku!" ujar Amira dengan penuh keyakinan.
Vero yang datang belakangan merinding sendiri mendengar ancaman Amira. Scalpel itu lebih dari cukup untuk mengantarkannya ke kematian. Dengan masih terengah, Vero menghampiri Amira. Tatapannya lurus ke mata Amira dan ia samasekali tak takut pada mata pisau yang sekarang mengarah padanya.
"Apa Anda juga mau bilang bahwa aku nggak boleh begini? Anda juga akan memisahkan aku dari ibuku?" tanya Amira dengan posisi terus terdesak oleh Vero. Ia melangkah mundur setiap kali Vero melangkah maju. Ya. Vero tidak akan terluka karena Amira memang tidak berniat mengarahkan pisau itu padanya.
Dan apa yang terjadi ketika Amira membalik arah mata pisau itu? Saat itulah ketakutan Vero memuncak, ia menangkap lengan Amira. Dengan gerakan tak tertangkap oleh mata, pisau sudah terlepas dan Vero mendekap Amira dari belakang.
"Stop, Amira!" bisik Vero.
Amira meronta. Reina mendekat dan langsung menampar Amira.
Sejenak suasana menjadi hening. Tamparan Reina bukan main-main.
"Kamu mau liat ibu kamu sendiri membusuk di tempat tidur?" teriak Reina. "Pupil midriasis penuh dan sudah nggak ada reaksi! MBO! Mati batang otak! Ada tugas lain dari seorang dokter setelah berusaha semaksimal mungkin, dokter harus mengantarkan seseorang ke kedamaian sebenarnya! Aku harap kamu mengerti itu!" Reina ikut meneteskan air matanya.
"Maaf aku bicara kasar selama ini. Mungkin ini yang terakhir kalinya. Kamu mengunjungi ibumu setiap hari, bicara banyak sama dia, aku yakin dia pasti bangga banget sama kamu dan sangat berterima kasih atas semua yang kamu lakukan untuknya. Tapi, kamu harus berani menghadapi ini," ujar Reina dengan nada suara lebih rendah.
Jakun Vero bergerak ketika ia menelan ludahnya sendiri. Seperti tak terima Amira harus menerima tamparan sekeras itu padahal dia baru saja kehilangan ibunya. Hanya saja, benar apa yang dikatakan Reina. Amira harus punya keberanian untuk menghadapi ini. Suatu saat jika ia menjadi dokter, ia akan mengingat hari ini, hari di mana ia kehilangan seseorang yang paling ia sayangi. Rasa itu sangat sakit dan Amira tidak akan membiarkan perasaan itu menimpa orang lain, itulah cara yang harusnya ia pilih untuk menolong orang lain. Amira bisa melakukan itu, karena Amira bukan orang yang gampang menyerah.
Amira benar-benar kehilangan tujuan dalam hidupnya, ia masih mengunjungi ruang perawatan intensif care, dan selama berjam-jam memandangi bed kosong yang pernah menjadi pembaringan ibunya. Saat pulang ke rumah, Amira langsung mengurung diri di kamar.
Sudah lewat seminggu dari kematian ibunya dan Amira tidak menunjukkan perilaku ke arah penerimaan. Ia mengabaikan kebiasaanya untuk memasak, mengabaikan kuliahnya dan dia juga tidak makan jika Vero tidak memaksanya. Denial, salah satu fase dalam "berduka", Vero takut Amira akan terus berada di tahap itu.
"Boleh aku bicara," Vero masuk ke kamar Amira. Ia menemukan istrinya duduk dengan lutut menekuk di lantai. Punggungnya bersandar di sisi tempat tidur.
Amira berpaling pada Vero dan buat Vero itu respon yang bagus.
"Bagaimana perasaanmu?"
Amira diam sejenak, " Rasanya ingin mati."
"Ehmm…,"Vero tiba-tiba merasa tenggorokannya agak kering. Ia memperhatikan sekujur tubuh Amira dengan teliti. Ia tidak menemukan adanya defisit perawatan diri dan bekas luka percobaan bunuh diri. Sekali lagi itu hal yang bagus.
"Apa aku bisa percaya sama kamu… kalau nanti aku pergi kerja, kamu akan baik-baik saja?"
"Anda mau bawa aku ke rumah sakit jiwa?" sahut Amira.
Vero terkekeh seketika dan Amira tersenyum bersamanya.
"Kamu merasa nyaman terus-terusan seperti ini? Di kamar ini?"
"Aku hanya sedang berpikir bagaimana keadaan ibuku di sana? Apa ada yang memijatinya? Menyeka badannya? Menyuapinya, dan menyelimutinya jika dia kedinginan?
Vero mengagguk. "Yah. Memang tidak ada yang bisa kita lakukan. Tapi, kamu pernah denger nggak soal 'Do'a'? Mungkin bisa ngebantu. Apa salahnya kalau kita coba?"
Amira mengangguk, "Caranya?"
"Emmm…" kening Vero megerut. Ia tidak yakin bisa melakukan itu. "Mungkin kayak gini ya….kamu ikutin aku!" Vero mengangkat dua tangannya. "Ya Tuhan! Tolong kasih orang yang sudah melahirkan Amira ke dunia ini, pelayanan terbaik kelas VIP hotel bintang lima!"
"Ah! Mana ada orang do'a kayak gitu!"Amira mendorong Vero.
"Terus gimana?"
Amira mengangkat dua tangannya dan memejamkan matanya, "Ya Tuhan! Aku makhlukmu yang paling bahagia. Aku tidak akan meminta apa pun darimu karena aku sudah merasa sangat bahagia. Tapi, jika ada sedikit kebaikan yang ingin Kau berikan padaku, mohon berikan itu pada ibuku. Sampai mati pun aku tidak akan berhenti meminta kebahagian untuk ibuku, baik di dunia atau pun di akhirat-Mu. Aku percaya Kau akan menyayangi ibuku. Terima Kasih. Amin!"
Vero mencoba menahannya. Air mata yang hampir bocor dari sudut matanya. Ia mengusap punggung Amira dan tersenyum untuk orang itu. "Sekali lagi, aku tidak harusnya meremehkanmu!" katanya tanpa suara.