Ini hari minggu. Vero dibangunkan oleh cahaya matahari pagi yang menembus jendela kaca. Lagi-lagi, ia tertidur tidak keruan di depan televisi.
"Aku akan mengantar surat perceraian itu besok," satu-satunya kalimat yang diingat Vero ketika ia terbangun. Amira menelponnya semalam setelah seminggu meninggalkan rumah dan pergi entah ke mana. Vero seharusnya memarahi anak itu karena seenaknya bolos dari jadwal kuliah. Namun, Vero sudah lebih dulu dibuat syok dengan keputusan Amira.
"Tidak ada alasan! Heuh…tentu saja kalian semua jahat karena membiarkanku sendirian!" umpatnya mengingat Amira terus mengatakan tidak ada alasan mereka tetap bersama setelah ibunya meninggal.
Vero menepuk-nepuk dadanya sendiri. Ia bingung kenapa rasanya terbakar sejak mendengar keputusan Amira semalam.
Suara bel terdengar.
"Sial! Kenapa pagi sekali?" keluh Vero tidak beranjak.
Bel berbunyi lagi.
Kening Vero mengerut. "Apa maksudnya ini? Apa begini caranya? ...Melupakan lebih dulu kode masuk ke rumah?"
"Apa setelah kita bercerai, kita akan berpura-pura menjadi orang asing seperti ini?" ucap Vero ketika melebarkan daun pintu.
Sayangnya, Vero salah menebak, yang menghadangnya di depan pintu bukan Amira.
"Hai, Ver!" ucap Angel dengan mata berkaca-kaca.
Vero kehilangan kata-kata. Makhluk indah berlabel bidadari seperti sedang menjemputnya di surga, muncul di antara perasaan hampanya beberapa bulan ini.
"Boleh aku masuk?"
…
Vero tidak mengerti apa yang membawa Angel datang ke rumahnya. Tidakkah hubungan mereka sudah berubah. Mereka juga jarang bertemu sejak Angel memutuskan untuk pindah dan bekerja di luar kota. Untuk beberapa hal yang terjadi pada perempuan di hadapannya, Vero merasa bersalah, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Aku tetap berharap kamu nggak akan ngelepasin aku gitu aja. Tapi," Angel menyerahkan selembar kertas berwarna merah dengan aksen gold yang dibalut dengan sebuah pita. "Minggu depan aku akan menikah," ujarnya.
Vero hanya membayangkannya saja, gerak bibir Angel dan tatapan matanya yang memancarkan keputusasaan. Vero tidak sanggup menegakkan kepala dan matanya terpaku pada coral yang menjadi hiasan di meja tamu. Vero duduk bersandar di sofa dengan kaki menyilang, posisinya tak berubah bahkan ketika Angel berdiri dan bersiap pergi.
Melepaskan Angel pada laki-laki lain, membuat Vero kehilangan harga dirinya. Laki-laki seharusnya memeluk wanitanya hingga napas tak lagi mengisi raga. Vero pernah memimpikan itu. Namun, ketakutannya pada kenyataan lebih besar dan akhirnya Vero menyerah.
Amira terpaku ketika melihat seorang perempuan keluar dari rumah Vero. Perempuan dengan kulitnya yang eksotis, dibalut dengan dress berbahan sifon dan bermotif bunga. Entah apa yang baru saja terjadi, tapi air matanya yang menetes ke aspal menjelaskan bahwa dia tidak baik-baik saja.
"Anda ngebiarin dia pergi gitu aja?" tanya Amira yang tampak yakin bahwa perempuan yang berpapasan dengannya adalah Angel. Vero yang ditemui Amira saat ini, terkulai dengan kondisi tak kalah mengerikan.
Vero menoleh perlahan pada Amira, ia tersenyum kemudian. "Aku baik-baik saja," ujarnya dengan mata memerah.
"Nggak. Aku nggak akan ngebiarin Angel pergi. Aku akan ngejelasin yang sebenarnya!"
Belum sempat Amira berpaling, Vero sudah menangkap lengan perempuan itu. Ia menengadahkan kepalanya dan menatap Amira dengan tatapan penuh harap, bahwa ini harus dihentikan. Pada akhirnya, yang Amira dengar hanyalah dengusan pelan dari seorang yang terluka. Dan…hangat…
Amira mendekat pada Vero dan langsung meletakkan tangannya dikening Vero. Benar saja, kening Vero teraba lebih hangat dibanding genggaman tangannya. Ia juga tampak lebih pucat.
"Anda sakit?" Amira mengusap butiran keringat yang membasahi kening Vero.
"Lebih baik masakkan makanan untukku!"
Amira tidak menyahut. Ia merasa kesal sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk laki-laki yang kelihatan sangat buruk hari itu.
"Lupakan masalah Angel! Aku juga akan belajar melupakannya!"
"Maaf. Aku nggak bisa janji. Aku benci Anda yang seperti ini dan sudah pasti aku akan membenci Angel juga yang telah membuat Anda jadi begini. Walaupun aku tidak tahu alasannya, aku merasa ini nggak adil buat Anda."
"Kalau kamu bilang yang sebenarnya, itu bakal nyakitin dia… dan nyakitin aku juga."
Amira menghela napas. "Dan jika Anda sakit, itu akan menyakitiku juga" ucap Amira dalam hati. "Ayo, kita ke kamar!"
…
Selimut berwarna cokelat elegan menutupi kaki hingga paha Vero. Sekali lagi, Vero merasakan usapan lembut singgah di dahinya karena keringat yang terus keluar. Vero memang merasa tidak enak badan sejak semalam, badannya lemas dan ia merasa kepalanya seperti mau pecah.
"Di sana!" tunjuk Vero pada lemari di samping tempat tidur. "Ada obat-obatan di sana dan beberapa cairan infus. Bawa semuanya padaku!" pinta Vero.
"Oh!" Amira hampir lupa bahwa Vero juga seorang dokter.
Jarum, cairan obat dalam botol kaca, selang infus, semua itu tampak tak familiar ada di rumah. Dengan tangan bergetar, Vero mematahkan botol obat dan menyedot isinya dengan jarum suntik. Ia kemudian menusukkan jarum yang telah terisi obat ke dalam botol cairan infus. Cairan yang bening berubah menjadi kuning. Selanjutnya, botol cairan infus dihubungkan dengan selang dan cairan dialirkan hingga memenuhi selang.
"Bantu aku!" Vero menyodorkan sebuah jarum yang lebih pendek, kapas beralkohol dan sebuah pengikat dari kain pada Amira. Vero juga menyodorkan lengan kirinya.
"Aku?" tanya Amira tak yakin.
"Ya."
"Tapi, aku belum pernah diajarin memasang infus, Dok!"
"Aku tahu. Tusuk saja! Cari urat yang berwarna kehijauan dan tampak menonjol!"
Amira memperhatikan tangan Vero yang mengepal. Ototnya terlihat semakin rapat saat itu, pembuluh darahnya yang besar kehijauan terlihat dengan jelas.
"Nggak! Gimana kalau gagal?" kata Amira ragu.
"Tusuk lagi!" tegas Vero.
"Nggak bisa, Dok!"
"Kamu nggak kasihan …badanku panas dan lemas banget rasanya."
Amira melihat pada Vero dengan kerutan di keningnya. Mana tega ia melihat wajah Vero yang semakin pucat dan bahkan untuk tetap membuka mata saja sepertinya perlu usaha yang keras.
Akhirnya, Amira mengikat lengan Vero dan menentukan satu target area penusukan di bawahnya. Ia mengusap kulit Vero dengan kapas alkohol, kemudian bersiap untuk menusuk kulit Vero.
"Apa aku harus melakukan ini meski nggak yakin?"ujar Amira yang didengar samar oleh Vero. Tangan Amira bergetar saat ujung jarum menyentuh kulit Vero. Vero meringis untuk tekanan yang dibuat oleh Amira hingga jarum itu menembus kulit dan dagingnya.
Darah segar segera mengalir dan semakin deras ketika Amira mencabut jarum infus bagian dalam.
"Oh Tuhan! Apa yang terjadi?" ujar Amira panik. Darah Vero terus mengalir dari jarum pelastik yang tertempel ke pembuluh darah Vero dan Amira tak tahu bagaimana harus menghentikannya peradarahannya.
Segera Vero menekan bagian atas lengan kirinya, "Sambungkan!" ujar Vero melirik pada selang infus dengan cairannya yang berwarna kuning.
"Buka klemnya!"perintah Vero lagi.
Cairan menetes dengan cepat.
"Atur tetesannya!"
Amira menggeser klem infus dan cairan menetes dengan lebih wajar.
"Sudah! Kamu berhasil! Sekarang fiksasi!" Vero tersenyum ditengah perasaan tidak nyaman yang mendera tubuhnya. Sebenarnya, bukan karena Amira berhasil memasangkan infus padanya yang membuatnya tersenyum senang, tapi ekspresi Amira yang begitu tegang yang hampir membuatnya ngakak sendiri.
"Apa aku menyakiti Anda?" tanya Amira merasa tak tega pada Vero. Perempuan itu bahkan tampak sangat hati-hati untuk menempelkan perekat kelengan Vero.
"Samasekali tidak! Terimakasih," ujarnya.
Amira membersihkan darah yang mengalir di lengan Vero, kemudian merapikan obat-obatan yang berserakan. "Jangan seperti ini lagi! Panggil perawat di rumah sakit saja buat ngelakuin ini! Akhhh, rasanya mengerikan, membayangkan Anda di tusuk aja sudah bikin aku merinding," kesal Amira.
Vero diam sambil memperhatikan gerak-gerik Amira yang sibuk sendiri. Ia kira ia tidak punya cara untuk membuat Amira percaya bahwa dirinya tidak apa-apa. Jarum yang tertancap di kulitnya samasekali bukan hal yang perlu dikhawatirkan.
"Seperti apa rasanya?" tanya Amira ketika mulai merasa lebih tenang.
"Apanya?"'
"Saat aku menusuk Anda tadi?"
Vero menggeser bola matanya ke botol infus yang tergantung. Ia mencoba mengingat-ingat bagaimana sebenarnya rasanya. Ia kira ia tidak memperhatikan apakah jarum itu ditusuk dengan sudut yang benar ke dalam pembuluh darahnya. Memang sedikit terasa sakit, namun wajah Amira lebih menjadi fokus Vero. Air mata perempuan itu yang tiba-tiba jatuh menyentuh kulit tangannya.
"Jangan terlalu mengkhawatirkanku! Setelah ini aku mungkin akan tertidur sangat lelap. O ya, surat cerai yang sudah kamu tandatangani, taruh saja di sini! Nanti kuurus!" Vero menggeser tubuhnya hingga kepalanya benar-benar menempel ke bantal dan laki-laki itu langsung memejamkan matanya.