"Pagi, Dok!"
Vero hanya mengangguk dan sedikit tersenyum untuk sapaan itu. Ada yang membuatnya tidak nyaman ketika berpapasan dengan orang lain. Untuk beberapa alasan, Vero merasa dikuliti oleh puluhan pasang mata. Perasaan itu muncul lebih intens beberapa minggu terakhir.
[Apa yang akan terjadi jika masa laluku terbongkar? Mungkin lebih banyak orang yang sudah tahu dari yang kukira? Dan mereka, terus dan terus saja menyebarkannya… mereka tidak akan mengasihaniku, mereka hanya akan menertawakanku. Aku harus berhati-hati dengan orang-orang itu. ]
Kalimat itu terus saja berputar di otaknya. Vero juga sudah mencatat nama-nama yang patut menjadi perhatiannya. Hendry, ayahnya, Dokter Suto, dan dosennya yang bedebah itu.
Lalu? Bagaimana dengan Angel? Undangan berwarna darah yang juga ada di ruangannya; yang ia terima beberapa hari lalu; ia meratapinya sekali lagi. Perasaannya berubah kelam seketika. "Tragis", kata itu yang Vero sematkan sendiri untuk menggambarkan kehidupan cintanya. "Hanya Angel!" lirihnya. Bagi Vero, hanya Angel yang membuatnya bisa melupakan perihnya kesendirian, dan untuk sejenak ia bisa melupakan masa lalunya yang kelam, juga ketakutan yang selama ini menghantuinya. Tanpa Vero sadari bahwa perasaannya sendirilah yang membuatnya tertekan, rasa senang, sedih, takut dan marah membaur menjadi satu. Perlahan Vero akan merasakan kelelahan yang sangat dengan perasaannya sendiri, kemudian ia akan berusaha lari dari perasaan itu. Itu seperti menuju pintu kekeluan yang akan memaksanya diam sangat lama. Vero bahkan akan kehilangan kemampuan untuk berekspresi. Ia akan tenggelam ke dunia yang sulit dimengerti, di mana hanya ada dirinya dan imajinasinya. Vero akan kehilangan respon terhadap dunia tempat ia sebenarnya.
Vero tidak baik-baik saja, setidaknya itu yang ia sadari. Vero merasa sangat marah ketika melihat nama Angel terpampang dalam kertas di dalam amplop berwarna merah. "Apa aku akan datang ke pernikahannya? Sebagai bukti bahwa aku baik-baik saja?" Vero meremas undangan itu. Yang muncul dalam benaknya kemudian adalah mencari siapa laki-laki yang bersanding dengan Angel, Vero ingin menghajarnya hingga tak ada lagi yang bisa mengenali orang itu. Untuk beberapa saat, Vero lupa bahwa dirinya sudah menyakiti Angel dengan pernikahannya sendiri dan Vero lupa ia samasekali tak punya hak untuk mempertahankan Angel.
Vero segera masuk ke ruangan istirahatnya di rumah sakit dan mengunci dirinya sendiri di dalam ruang berukuran 4x 6 meter yang tampak remang. Hampir tersungkur ketika Vero berjalan menuju tempat tidur. Dirinya seperti terbelah, dia tertawa dan menangis secara bergantian. Jiwanya seakan terangkat dan sepanjang waktu itu Vero mencengkram kepalanya. Vero juga tampak gusar sambil terus menutup telinganya, ia benci dengan suara berisik yang masuk ke dalam otaknya, suara yang tak jelas datang dari mana.
Segera, Vero mencari sesuatu di laci samping tempat tidurnya. Obat anti cemas, bukan satu atau dua, tapi lima. Hanya lima, sisanya tumpah ke lantai dan Vero tidak bisa lagi memunguti tablet putih itu. Pandangannya berbayang, perlahan menjadi buram dan akhirnya Vero ikut lunglai.
Malam yang kelam. Amira mendekap dirinya sendiri dibawah langit yang pekat. Ia meregangkan ototnya berkali-kali. Selama hampir tiga jam sejak pulang dari kampus, Amira memaku dirinya dihadapan layar berdimensi 12 inchi. Ribuan lembar literatur berbahasa Inggris membuatnya stress. Ini akan lebih mudah jika saja Vero menyodorkan buku lama, mbah Google kali aja bisa bantu Amira. Tapi, Vero benar-benar pintar memilihkan buku yang di internet baru terpampang judulnya saja dan dijual di Amazon tanpa diskon. Lebih dari itu, Vero punya waktu yang cukup banyak untuk mengoreksi hasil translate Amira. Di draft pertama yang diselesaikan Amira, ada delapan puluh persen yang mendapat coretan merah dan itu berarti Amira harus mengulangnya. Kesimpulannya, tidak ada jalan lain kecuali mengerjakan tugas dari Vero dengan alur yang benar. Otak Vero melampaui kecanggihan Google untuk menyimpan kalimat dalam bahasa Inggris, dan itu menakutkan.
Amira menggeser pintu balkon, angin laut menyeruap masuk, seakan sudah lama terkurung dalam ruang yang terkunci. Air laut, tak ubahnya seperti tinta hitam yang sedikit dihujani butiran berlian. Pukul berapa sekarang? Amira tak yakin. Yang jelas itu sudah lewat pukul sembilan malam dan Vero belum juga datang.
Amira berbalik. Ia menyandarkan pinggangnya di pagar balkon dan meratapi ruang mewah yang tampak kosong saat itu. Televisi 32 inchi lengkap dengan sound sistemnya, sofa hitam yang benar-benar nyaman dan meja makan yang penuh dengan makanan. Amira mulai berpikir tentang kehidupan Vero sebenarnya, benarkah dia merasa nyaman tinggal sendiri di rumah seluas itu? Tidak ada suara lain, kecuali suara angin dan deruan ombak. Mungkin akan menenangkan, tapi suara-suara itu tidak akan membuatnya merasa hidup.
Amira meneliti setiap sudut rumah itu. Agak menakutkan buatnya. Ia kira, waktu ibunya masih hidup, mana sempat ia memikirkan hal lain kecuali kerja dan kerja. Sangat mungkin jika ia akhirnya mati kelelahan, dan saat itu pun mungkin Amira tidak akan menyadari, arwahnya akan getayangan menjadi hantu pekerja. Hantu, ya… hantu. Amira mencoba memikirkan kemungkinan itu.
Selama beberapa minggu mengurung diri di kamar, Vero memang terus mengawasi Amira. Ia pulang ke rumah jika ada kesempatan dan menelpon Amira setiap jam hanya untuk bertanya tentang kabarnya. Vero juga memasang CCTV. Amira sadar itu. Vero bahkan tidak tidur di kamarnya. Ia tidur di sofa santai di ruang tengah.
Vero mungkin tidak menyadari, Amira pernah mendapatinya bicara dengan sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh mata Amira. Kadang-kadang Vero terlihat tertawa sendiri. Tengah malam, ia sering terbangun sendiri dan ketika itu terjadi, jarang sekali Vero kembali ke alam mimpinya. Ia hanya duduk sambil menatap kosong pada sudut yang sama, sisi kanan balkon dengan tirainya yang terus bergoyang.
Dan bagaimana mungkin saat pagi tiba, Vero bersikap seolah-olah tidak ada yang salah yang terjadi pada dirinya. Buruknya, Amira tidak punya keberanian untuk bertanya "Ada apa".
Amira menghela napas. Tidak ada hantu. Setidaknya itu yang Amira sadari ketika ia benar-benar menantikan itu. Tidak ada benda-benda yang bergerak sendiri, atau suara-suara yang membuatnya merinding. Apalagi soal penampakan yang mengerikan. "Ada apa dengannya?" tanya Amira yang tiba-tiba saja diiringi satu panggilan.
Amira segera kembali ke ruang tengah. Ia kira Vero yang menelponnya, tapi…
"Halo! Amira?"
"Ya."
"Ini aku Reina!"
"Reina?" tanya Amira tak yakin. Seharusnya ia sudah tak ada urusan dengan dokter itu. Lagi pula, "Darimana dia dapat nomor telponku?" pikir Amira.
"Vero di IGD sekarang!"