Amira menggenggam punggung tangan Vero setelah yakin laki-laki itu benar-benar jatuh tertidur sementara cairan kuning mengalir lambat ke dalam venanya. Hangat yang coba dirasakan Amira, ini sudah dua puluh menit sejak obat injeksi masuk ke dalam venanya dan keringat muncul lebih banyak kemudian. Suhu tubuh Vero turun dan dia tampak lebih tenang.
Seperti kata Vero, Amira harus meletakkan surat cerainya di meja samping tempat tidur. Surat dengan beberapa item perjanjian yang dicoret sendiri oleh Amira. Soal setengah harta Vero, rumah dan Lamborghini hitamnya, jaminan pembayaran rumah sakit ibunya, Amira tidak perlu itu. Dia hanya menyisakan item Vero yang akan bertanggung jawab penuh atas pendidikan Amira hingga mendapat gelar dokter. Amira percaya, dia tidak akan terlihat serakah dengan item yang satu itu.
Masih, Amira berharap Vero menahannya untuk tidak pergi. Setelah melihat semua yang terjadi pada Angel dan Vero, juga Vero yang sendiri dan terlihat sangat kesepian, Amira merasa perlu bertahan di sisi laki-laki itu. Ada hal yang membuatnya yakin Vero tidak sanggup untuk mengurus dirinya sendiri, rumah Vero jauh lebih berantakan dari terakhir kali ia tinggal. Dan sampah di dapur didominasi oleh kemasan mie instan. Jelas saja Vero sakit dengan ketidakaturan hidupnya akhir-akhir ini.
"Amira!"
Satu bisikan yang terdengar berat mengusik Amira. Ia tak yakin darimana asal suara itu, dan kemudian sebuah sentuhan lembut singgah di kepalanya.
"Ayo, bangun! Punggung kamu nggak sakit apa tidur di posisi kayak gitu?"
Amira memperhatikan posisi kakinya yang tertekuk di lantai sementara wajahnya tertelungkup di atas tempat tidur Vero. Ia masih menggenggam lengan Vero saat itu dan ia ingat ia menempelkan hidungnya di tangan itu. Amira tak menyadari sejak kapan ia mulai tertidur. "Aku masih ngantuk!" ujarnya menempelkan pipi kanannya di atas lengan Vero. Aroma tubuh Vero seperti sedatif buatnya.
"Naik ke tempat tidur!"
Perintah itu tampaknya masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Amira melangkahi tubuh Vero dan berbaring di sisi kosong tempat tidur. Ia kira ia masih menikmati mimpinya untuk bisa tidur di samping Vero dengan memeluk penuh lengan kanan orang itu dan menempelkan wajahnya di dada bidang Vero. Amira cukup yakin itu tidak akan terjadi di dunia nyata.
Tiga puluh menit berlalu, Vero mendengus. Ia kira sudah seharusnya ia bangkit dari tempat tidur. Perutnya menuntut untuk diisi. Tapi, jika ia bangun begitu saja, maka Amira mungkin akan ikut terbangun. Entah, Vero merasa Amira tetidur sangat nyenyak dan Vero tidak tega membangunkannya. Ia hanya mencoba mendorong kepala Amira dari dadanya dan melepaskan satu per satu jari Amira dari lengannya. Namun, semakin keras usaha Vero untuk menjauhkan Amira dari dirinya, semakin erat Amira mencengkram lengannya. Ya. Amira tidur seperti seekor kukang. Bedanya kukang betina ini tidak sedang menyorotkan mata yang bulat dan besar pada Vero. Amira terpejam dengan garis mata yang … Vero berpaling segera. Perasaan itu datang lagi.
"Tidak! Dia bukan lagi istriku!" pikirnya untuk mengartikan getaran di dirinya adalah aktivitas hormon testosteron yang sedang meningkat. Vero menarik kertas yang ada di samping tempat tidurnya. Amira yang menepati janjinya, Vero tidak terkejut dengan itu. Tapi, beberapa coretan hitam panjang di kertas tersebut membuat kening Vero mengernyit. "Bodoh!" gumamnya perihal Amira yang menolak keberuntungannya sendiri. Namun, coretan itu pula yang membuat hatinya terenyuh. Jika itu untuk hidup yang wajar, rasanya Vero ingin berpikir lagi tentang perpisahannya dengan perempuan yang tidur di sampingnya sekarang.
…
Hampir pukul delapan malam ketika Amira terbangun. Ia langsung menegakkan punggungnya sembilan puluh derajad di atas tempat tidur, "Kenapa aku di sini?" tanyanya seraya menyingkap rambutnya.
"Vero!" Amira langsung meraba kening Vero. "Sudah tidak panas,"ujarnya lega. Namun, kening Amira mengerut kemudian. Sekali ia menggeser bola matanya ke jendela kaca yang menampilkan pemandangan hitam di luar dan jarum pendek jam yang menunjuk ke angka delapan. Jika itu benar, maka Vero sudah tidur hampir dua belas jam. Amira meletakkan dua jarinya di leher Vero dengan perasaan khawatir. Denyut yang cukup kuat dari leher Vero yang membuat Amira sekali lagi merasa lega. Perempuan itu juga mengurut-urut dadanya sendiri.
"Sejak kapan aku tidur di sini?" tanya Amira mulai tersenyum-senyum sendiri. "Untung dia belum bangun," ungkapnya percaya diri. Amira memperhatikan dada Vero yang bergerak naik turun secara teratur dan lekukan wajah Vero yang hampir membuatnya hilang kendali. Vero terlihat semakin seksi ketika sedang tertidur.
Amira mendesis. Tempat tidur yang sekarang Vero rebahi menjadi saksi bagaimana mereka bergulat dengan hebat dan Amira terus terbayang soal malam itu. Setiap ciuman yang singgah di bibirnya, keringat mereka yang menyatu dan desahan yang terdengar sangat jelas, hanya membayangkannya saja membuat Amira merinding berkali-kali. "Sekali lagi saja,"pikir Amira mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Vero. Bibir Vero yang menjadi targetnya, ciuman sederhana dengan hanya menyentuhkan bibirnya ke bibir Vero tanpa ada tekanan. Amira cukup yakin dia tidak akan membuat Vero terbangun dengan tingkahnya. Ya. Vero memang masih terpejam ketika Amira menarik wajahnya menjauh. Tapi,….
"Akhh!" Amira memekik ketika mencoba turun dari tempat tidur. Ia hampir saja jatuh, namun lengan Vero yang terpasang jarum infus bergerak reflex menahan Amira.
Perlahan Vero membuka matanya sementara Amira masih dalam genggamannya. Vero menggigit bibir bawahnya sendiri, merasakan sisa-sisa tekanan yang barusan singgah di bibirnya.
"Sejak kapan Anda bangun?" tanya Amira dengan mata membulat.
Vero hanya menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan kuat,"Aku nggak bisa tidur sejak kamu naik ke tempat tidur," jawab Vero apa adanya.
Amira terpana. "Jadi?"
"Apa?"
"Anda sadar waktu aku… mencium Anda?"
Vero mendesis. "Kamu sebut itu ciuman?" ungkap Vero sedikit kesal. "Ciuman itu…," hampir saja Vero menarik Amira ke dalam dekapannya dan mencontohkan bagaimana sebenarnya yang disebut ciuman itu. "Akhhh… sudahlah. Terus aja kamu bermimpi!" ujar Vero mengambil kapas beralkohol. Ia menggeser klem selang infus menjadi posisi terkunci, pelan-pelan membuka perekat di lengannya dan mencabut jarum pelastik yang menancap di pembuluh darahnya.
Vero menekan luka bekas area penusukan dengan kapas beralkohol dan segera bangkit dari tempat tidur.
"Mau ke mana?" tanya Amira.
Vero yang sudah hampir mencapai mulut pintu, harus berbalik karena pertanyaan bodoh Amira. "Aku sudah nggak makan sejak semalam. Energiku terkuras karena metabolisme tubuh meningkat tajam akibat suhu tubuh yang tinggi. Tentu saja, sekarang aku harus mengisi perutku."
Amira tersenyum. Vero terlihat jauh lebih baik sekarang.