Saraf pendengaran Vero menegang. Jika tidak salah, ada yang memencet bel rumahnya beberapa kali.
"Amira!" panggil Vero.
Tidak ada yang menyahut.
Ia mendesis sendiri kemudian, ia lupa sudah hampir satu minggu ini ia sendiri dirumah itu tapi belum bisa move on dari seorang Amira yang seperti Nany buatnya.
Dengan pandangan yang masih buram, Vero memperhatikan jarum jam di tangannya. Ada banyak sekali garis hitam yang tak konsisten di sana, yang membuatnya harus mengucek-ngucek matanya dan memfokuskan padangannya sekali lagi. "Baru pukul 07.30," sebutnya. Vero tidak segera berdiri, ia memperhatikan meja di depannya yang penuh dengan kertas. Ia lupa kapan mulai tertidur. Laptop dan televisi masih menyala. Vero merasa jengkel sendiri karena ini hari minggu, hari di mana ia harusnya bisa tidur lebih lama.
Sekali lagi bel berbunyi.
"Iya, sebentar!" Vero setengah berteriak. Kakinya meraba-raba lantai untuk menemukan sendal yang entah terselip di mana. Ia segera berdiri setelah dua alas kaki terpasang sempurna.
Penagih iuran sampah dan keamanan komplek, agen properti yang mengantarkan brosur, tukang koran yang tak sengaja membuat masalah, pak pos yang mengantar surat atau seorang sales, Vero tak punya bayangan yang datang adalah orang yang dikenalnya. Faktanya, jarang sekali ia menerima tamu. Alasannya, karena dia jarang di rumah jika siang hari.
"Ada apa?" tanya Vero sambil mengacak-acak rambutnya sendiri ketika pintu terbuka. Ia tidak melihat jelas siapa yang datang, kesadarannya masih belum pulih sempurna saat itu.
"Apa aku mengganggumu? Ayah menyuruhku menemuimu!" ujarnya.
Vero berpikir sejenak. Masih samar perempuan berambut cokelat di hadapannya. Perempuan itu menenteng rantang makanan.
"Menemuiku? Ada urusan apa? Lagi pula… apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
"Aku Renata," ujarnya.
Vero mengingat-ingat apakah nama itu ada di daftar nama mahasiswa di kampus. Sampai akhirnya ia terbelalak sendiri, "Renata? Anaknya dr. Rei?"
Renata tersenyum.
"Oh…maafkan aku! Masuklah!" ujar Vero yang akhirnya menyingkir dari mulut pintu. Namun,"Tidak!" ujar Vero yang tiba-tiba teringat sesuatu. "Aku tinggal sendiri di sini, apa… tidak apa-apa?" ucap Vero sedikit khawatir soal etika. Tidak seharusnya mereka berduaan saja di dalam rumah.
"Aku tanya sama ayah soal tugas penelitian akhirku, dan dia mengusulkan agar aku bertanya padamu!"
"Oh, jadi kamu ke sini cuman mau diskusi soal itu?"
Vero mengamini alasan itu, Renata yang seorang mahasiswi kedokteran semester akhir di salah satu universitas negeri di Jakarta. Ia perlu menyelesaikan sebuah penelitian untuk mendapatkan gelar sarajana kedokterannya.
"Ya. Memang kenapa? Apa ada hal lain?"
"Nggak kok! Nggak ada hal lain lagi,"ujar Vero sedikit canggung. Ingatannya soal lamaran tempo hari, membuat pikirannya berlarian ke sana kemari. Perempuan bagaimana pun bentuknya, tetap menggairahkan. Ia sendiri ragu tidak akan tergoda dengan puteri satu-satunya seniornya itu. Vero merapikan sedikit rambutnya. "Kalau alasannya itu, kupikir tidak apa-apa kalau kita diskusi di sini saja," lanjutnya yang kemudian mempersilakan Renata ke ruang tengah.
"Maaf kalau ini mengejutkanmu! Kukira ayah sudah bilang soal kedatanganku hari ini."
"Tidak apa. Jika itu memang keinginannya, kapan pun kamu boleh datang. Bagaimana kabar ayahmu?" tanya Vero.
"Kemarin sudah keluar dari rumah sakit."
"Syukurlah."
"O, ya. Aku juga bawa sarapan buat kamu."
"Terima kasih. Mestinya nggak perlu repot-repot kayak gini,"Vero meraba tengkuknya, merinding sendiri melihat Renata yang terus tersenyum manis padanya. Ia juga tak mengerti jalan pikiran Dokter Rei yang masih mengizinkan Renata bertemu dengannya. Ada sedikit ketakutan jika saja Dokter Rei belum menyerah untuk menjodohkan mereka.
"Coba kulihat! Apa yang bisa kubantu dari penelitian kamu?" Vero menadahkan tangannya. Ia ingin Renata menyerahkan bundelan yang terselip di tas jinjingnya. Sesuatu yang Vero yakini itu adalah konsep yang Renata buat untuk penelitiannya.
Dengan santainya Amira menekan kode pengunci dan masuk ke dalam rumah Vero. Langkahnya terhenti ketika ia menemukan Vero tidak sendiri diruang tengah. Amira segera berbalik dan dengan bodohnya ia berharap Vero tidak menyadari keadatangannya. Tapi, rasa penasaran juga memaksa Amira bertahan, tentang perempuan yang sekarang bersama Vero. Perempuan putih dengan mata agak sipit,"Apa itu Angel?" pikirnya ragu. Amira pernah bertemu mantan pacar Vero itu beberapa kali, tapi tetap tidak bisa mendeskripsikan perempuan itu secara spesifik. Angel yang cantik, "Ya, itu bukan Angel," Amira berbalik lagi. Perempuan berkulit tak terlalu putih dengan mata yang besar dan pipi yang tirus, ingatan Amira mengarah pada perempuan-perempuan spanyol dengan bentuk tubuh mereka yang sintal.
"Jelas itu bukan Angel," sudut mata Amira memicing. "Lalu, siapa lagi itu?" tanyanya tanpa suara.
Vero membalas tatapan Amira saat itu. Perempuan itu memang sudah menarik perhatiannya sejak muncul dari balik pintu. Tanpa perasaan bersalah dan tanpa permisi masuk begitu saja ke dalam rumahnya. Seperti kelinci yang melompat ke sana kemari, lalu tersesat ke tanah yang asing, ekspresinya berubah seketika ketika sadar ada serigala di sana. Serigala sebentar lagi akan memangsa kelinci kecil dan kelinci kecil wajib waspada.
Dan lihatlah, "Apa yang sebenarnya dia pikirkan?" Vero tersenyum sendiri ketika otaknya mencoba menebak-nebak.
"Siapa?" tanya Renata.
Vero menatap Renata intens,"Bukan siapa-siapa. Ayo,kita lanjutkan!" ujarnya pada Renata yang akhirnya membuat Amira menggeram. Amira meninggalkan ruang tengah dan masuk ke kamarnya dulu.
Dua jam kemudian,
Vero sedikit meregangkan ototnya ketika Amira akhirnya keluar kamar dan berdiri di hadapannya dengan melipat tangan di depan dada. Dari sorot mata Amira, Vero tahu Amira butuh penjelasan. Namun, Vero merasa tidak ada yang perlu dijelaskan dengan perempuan yang statusnya juga tidak jelas sekarang.
Vero melewati Amira. Ia menuju kulkas dan mengambil sebotol air mineral di sana.
"Aku nggak akan protes kalau itu Angel," ujar Amira yang membuat Vero harus melepaskan mulut botol dari mulutnya. "Aku salah kalau ngira Anda orang baik, Anda tidak lebih dari laki-laki hidung belang yang lari ke perempuan jalang kalau ada masalah! Losers tahu nggak sich!" sinis Amira.
Vero tersenyum dengan hinaan yang barusan didengarnya. Fakta yang menyakitkan. Bahwa benar dirinya adalah seorang pecundang. Tapi, semua itu bukan tanpa alasan dan Amira tidak mengerti apa-apa soal ini.
Pelan-pelan Vero mulai tertawa sendiri, "Dan kamu apa?" ujarnya yang merasa Amira tidak lebih alim darinya. "Kamu nggak rela 'kan buat ngelepasin aku? Angel…heuh…omong kosong banget!" umpat Vero soal Amira yang akhirnya kembali padanya tanpa membawa surat cerai yang dulu diajukan Vero. "Sudahlah! Kalau kamu nggak pengen kita cerai. Aku nggak keberatan kok buat nampung kamu! Nggak usah nyari cara buat kelihatan lebih terhormat. Selama status kamu masih Nyonya Alvero Yudistira, kamu masih menjadi tanggung jawab aku," ucap Vero dengan sedikit keraguan terselip di batinnya karena ia mungkin saja lost control dan akhirnya kembali menyakiti Amira. Tapi, sudah seminggu ini Amira tidak di rumahnya dan rumah itu terasa sangat sepi. Sekarang Amira datang tanpa pemberitahuan, itu sedikit mengejutkan. Walau tidak ingin mengakuinya, Vero merasa senang.
...
Amira memalingkan wajahnya, ia mencoba menahan amarah dan air mata agar tak tumpah. Sepanjang hari, Vero menganggu batinnya tanpa menyediakan sedikit pun waktu untuk menghela napas. Setiap kali membayangkan bahwa Vero mencintai Angel, maka rasa sakit menyergapnya. Di sisi lain, Amira merasa kasihan pada Vero yang tak bisa bersama orang yang ia cintai. Di sudut hati Amira, ada terselip doa agar Vero dan Angel bersama.
"Apa menurut Anda aku memang jalang?" lirihnya setelah lama berpikir.
Vero tersentak, ia lupa apakah dia sudah mengatakan hal itu. Vero meletakkan botol minumnya, "Sudahlah! Jangan terlalu serius. Lagi pula, perempuan tadi tidak seperti yang kamu pikirkan. Dia…," Vero berusaha menjelaskan, namun suaranya terhenti ketika ia melihat butiran air jatuh dari sudut mata Amira. Sesuatu yang entah kenapa mampu menekan hatinya.
"Kenapa?" tanya Vero yang spontan mengangkat tangannya untuk mengusap pipi Amira. "Hey, kamu tersinggung ya sama ucapan aku tadi? Aku cuman bercanda, kok! Maaf!"
Amira mundur selangkah untuk menghindar dari Vero. "Ya. Harusnya aku tahu Anda hanya sedang bercanda. Salahku yang terlalu serius," kata Amira mengusap habis air matanya. "Aku ke sini untuk mengembalikan buku ini,"Amira meletakkan buku setebal delapan sentimeter ke atas meja. "Anda nggak perlu minta maaf… karena aku memang jalang. Aku tahu itu. Tapi, sama perempuan itu… nggak seharusnya…," isakan Amira semakin menjadi.
"Kenapa kamu peduli soal aku sama Angel?" potong Vero.
Amira diam. Ia menelan ludahnya sendiri.
Vero tidak melepaskan pandangannya dari Amira. "Apa yang terjadi? Seberapa dalam aku melukainya? Apa artinya dia bagiku? Apa artinya aku baginya? Dan apa artinya air mata itu? Apa sekali lagi berbuat sangat jahat?" pertanyaan itu tiba-tiba terlintas dibenak Vero.
"Apa kamu jatuh cinta padaku?" batin Vero. Ia kemudian memejamkan matanya, membuang jauh-jauh pikiran buruk tentang itu. Sebagai seorang yang mengerti respon dan emosi seseorang dalam pengertian profesional, Vero sangat mampu membedakan seseorang suka atau tidak suka pada orang lainnya. Tidak hanya pada respon dan perilaku yang muncul, Vero bahkan bisa menjelaskan reaksi kimia apa saja yang terjadi di otak dan tubuh mereka saat dua orang jatuh cinta. Hormon kebahagiaan yang akan menguasai keduanya. Sesuatu yang pernah menguasai dirinya saat ia bersama Angel. Dan apakah ada yang bisa mendeskripsikan bagaimana sakitnya dirinya ketika ia harus melepaskan cintanya. Vero merasa lemah, hidupnya tak lagi berarti dan ia siap mati. Dan perasaan yang ada pada dirinya sekarang, adalah hal yang paling mengerikan yang siap menghancurkan jasadnya sebelum ia sendiri di liang lahat.
"Katakan kalau kamu nggak punya perasaan apa pun sama aku!" Vero menggenggam lengan Amira dengan sangat erat.
Kening Amira mengerut, ia berhenti menangis dan terkejut dengan pertanyaan Vero. Entah apakah Vero menyadarinya, tapi Amira sangat ingin mengatakannya saat itu, bahwa dirinya memang mencintai Vero. Dan dia cemburu dengan apa yang ia lihat hari ini.
"Kenapa Anda pikir aku punya perasaan sama Anda?"
Vero menatap lebih dalam ke mata Amira. Tatapan yang sepertinya menyimpan banyak simpati terhadap dirinya dan tanpa Vero sadari ia sangat merindukan tatapan itu.
"Aku tidak tahu. Aku harap aku salah. Buatku, air mata bisa menunjukkan apa saja. Rasa kecewa, takut, khawatir,marah… dan aku merangkumnya menjadi satu kata…cinta!" Vero mulai gelisah sendiri. Ia merasakan sakit itu karena Angel, Angel pastinya juga merasakan hal yang sama, dan ia tak ingin siapa pun lagi merasakan hal yang sama karena dirinya.
Amira menggelengkan kepalanya. "Aku hanya punya perjanjian dengan Anda,"ucap Amira.
Vero pelan-pelan melemahkan genggamannya pada Amira. Ia tersenyum kemudian, "Syukurlah. Nggak ngerti dech apa yang bakal terjadi kalau aja…. "Vero menahan ucapannya,"aku bisa lebih nyaman dengan hubungan seperti ini,"ujarnya.
Amira bisa mendengar Vero menghembuskan napas lega setelah itu. Hal yang mungkin membuatnya tak akan pernah mengungkapkan perasaannya sebenarnya.