Dua hari kemudian…
"Ya! Vero benar! Aku yang terlalu serius," sekali lagi Amira melihat Vero bersama perempuan berambut cokelat bergelombang. Renata, nama yang tiba-tiba terlintas meski ia tak ingin mengingatnya. Vero bilang perempuan itu anak dari seniornya di rumah sakit, senior yang begitu ia hormati dan secara tak langsung menjadi gurunya. "Bukan siapa-siapa", siapa yang percaya. Kenyataan bahwa Vero makhluk "Setia" mulai membuat Amira tersenyum sinis. Vero dikelilingi lebih banyak perempuan yang membuatnya sumringah dibanding satu nama yang membuatnya menangis semalam.
Vero membukakan pintu mobil untuk Renata.
"Siapa cewek itu?" pertanyaan yang santer terdengar dari sekeliling Amira. Mereka yang juga menaruh perhatian pada Vero dan merasa iri terhadap kebersamaan laki-laki itu dengan perempuan lain. Ironis memang, karena hal itu juga terjadi pada Amira.
"Sudah lama?"
Amira tersentak. Ia tak segera berbalik saat itu. Ia hampir saja membenturkan kepalanya sendiri karena kesal. Terlalu lama melamun hingga tak menyadari Vero yang sampai di lantai dua, di kantornya.
"Cuman mau nganterin ini," Amira menyodorkan hasil terjemahan yang kesekian kalinya.
Vero melepaskan kaca mata hitamnya dan sedikit mengangguk ketika menyambut itu. Dosen itu membuka halaman pertama hasil terjemahan Amira dan membuat beberapa catatan merah di sana.
Hampir sepuluh halaman kemudian, Amira mulai gelisah. Ia heran bagaimana mungkin Vero begitu sabar memeriksa setiap kata hasil terjemahannya.
"Hari ini kamu ada kelas?"tanya Vero tiba-tiba.
"Emm…sekitar jam sebelas".
"Ok. Masih ada dua jam. Kita bahas ini! Kamu bawa buku aslinya,'kan?" ujarnya yang kemudian memutari meja dan duduk di kursinya. "Duduklah!"
"Renata bagaimana?" sasar Amira.
"Ada apa sama Renata?" tanya Vero dengan kening mengerut.
"Tadi, 'kan dia sama Anda?" ragu Amira.
"Oh, jadi kamu merhatiin?"
"Cuman nggak sengaja liat."
Vero tersenyum. Ia menyandarkan punggungnya dan memperhatikan perempuan mungil yang seperti takut untuk menatapnya.
"Kukatakan padanya kalau aku udah punya janji sama mahasiswaku dan akhirnya kutinggal dia di perpustakaan," jawab Vero mengingat pesan singkat dari Amira yang masuk tadi malam. "Yah… walaupun cuman dengan alasan tugas ini, aku senang kamu datang,"ucap Vero yang tidak sekadar basa-basi. "Sekarang, duduklah!"
Amira menarik kursi dengan perasaan ragu.
"Apa begitu menyenangkan membuat tanda merah di kertas-kertas itu? Apa Anda tahu berapa jam saya tidur untuk mengerjakan tugas dari Anda ini?" tanya Amira dengan lebih formal dan tanpa tekanan. Ada hal yang membuatnya tidak merasa kesal untuk menyelesaikan tugas dari dosennya yang satu itu yang tidak masuk akal untuk diselesaikan oleh seorang mahasiswi semester satu dalam tiga hari.
Vero tersenyum lagi,"Ini!" tunjuknya dalam sebuah paragraf. "Bukan seperti ini cara menerjemahkannya! Jika begini, kamu bisa mengubah pengertian yang sebenarnya dari istilah ini," jelas Vero.
Amira memperhatikan penjelasan Vero, "Saya akan segera memperbaikinya,Pak!" ujarnya.
Vero terhenyak, sekarang ia merasa Amira hanya menganggap dirinya hanyalah seorang dosen. Sikap sopan yang ditunjukkan Amira saat itu justru membuat Vero merasa kecewa. Vero menghela napas, ia kira ia akan berhasil membawa Amira ke dalam rumahnya lagi meski itu berisiko. Faktanya, dua hari lalu, setelah Vero masuk kamar, Vero tidak melihat Amira saat matahari terbit.
"Pak, hasil terjemahan itu ada dua ratus lembar lebih, Anda nggak berniat buat meriksa semuanya,'kan?"pelan Amira mengingat sudah dua jam ia di ruangan Vero dan hanya duduk sambil memperhatikan Vero yang lebih banyak diam sambil membolak balik kertas.
"Kenapa? Mau pergi sekarang?" Vero masih memperhatikan barisan kalimat sambil menggoyangkan pulpen bertinta merah di tangannya.
Amira meraih tas tangannya dan berdiri.
"Jangan pergi!"
"Kenapa?"
"Apa kamu tahu ada makhluk yang sangat mengerikan di rumah kita. Aku tidak bisa tidur setiap malam. Mereka selalu menggangguku!."
Kening Amira mengernyit. Ia mulai meraba-raba apakah Vero sedang membuat lelucon.
"Maksud Anda rumah Anda ada hantunya?" Amira tertawa. "Nggak, aku nggak pernah ngeliat hal-hal yang aneh di sana," Amira berpikir lagi."Apa Anda merasa takut? Takut hantu? Apa ini serius?" Amira mulai tertawa lagi.
Vero tersenyum. Bahkan sekarang pun, ia melihat makhluk mengerikan yang biasa ia lihat berada di belakang Amira. Seorang laki-laki dengan pakaian lusuh, ada sebuah belati menembus matanya hingga ke belakang kepala. Darah menetes dari sana dan mengotori lantai yang abu-abu. Beberapa hari ini makhluk itu semakin jelas dalam pandangannya dan selalu mengikuti Vero dengan langkahnya yang terpincang-pincang.
"Apa sebenarnya maumu? Tidak menandatangani surat cerai, tapi juga tidak berada bersamaku. Jangan membuat ini menjadi abu-abu, aku sudah melihat banyak hal yang membuatku ragu-ragu untuk menganggapnya sebagai realitas," Vero memutari mejanya dan berdiri di hadapan Amira.
"Tolong! Tolong aku!" batin Vero ketika menatap Amira lebih dalam. Vero tidak lagi bisa memutuskan apa yang terbaik untuknya. Dia tahu dia mungkin akan menyakiti orang lain jika penyakitnya kambuh, tapi Vero tak juga sanggup menanggung rasa takut jika ia sendirian. Ia berharap Amira tetap menemaninya di masa-masa sulit ini hingga Vero tetap berada dalam realitasnya.
Tapi, tidak ada yang bisa dipahami oleh Amira dari perkataan Vero. Amira juga tidak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan Vero.
"Kenapa?"ulang Amira terbayang kertas yang ia letakkan di satu-satunya meja dalam gubuknya. Amira memandangi itu setiap malam dan tak tahu apa yang mesti ia lakukan dengan kertas itu. "Kenapa Anda tidak menandatanganinya lebih dulu?"
"Aku sudah berjanji padamu tidak akan menceraikanmu lebih dulu."
"Apa Anda ingin saya menandatanganinya segera?"
Vero menggeser bola matanya.
"Jika saya menandatanganinya, maka Anda akan memberikan hal yang tidak pernah saya impikan sebelumnya. Tapi, itu justru membuat saya merasa bersalah dan merasa tidak pantas untuk melakukan ini. Ibu saya masih di rumah sakit, mendapatkan pelayanan terbaik di sana tanpa harus saya menjual ginjal saya, saya benar-benar tidak menginginkan kehidupan yang lebih dari ini. Dalam perjanjian ini, akan lebih mudah jika Anda menjadikan saya budak yang sudah seharusnya setia terhadap Anda. Menjadi seorang istri, rasanya terlalu berlebihan."
Angin tiba-tiba berhembus pelan, aroma tak asing, yang hangat dan menenangkan, dengan lembut menyentuh penghidu Vero. Vero tak tahu sejak kapan ia mulai kenal aroma tubuh Amira, apa sejak pertama kali ia menggenggam tangan perempuan itu, tepat ketika Tuhan menggantungkan takdir hidup Amira ditangannya. Atau sejak mereka tidur bersama, sesuatu yang membuat Vero merasa terlalu jahat jika melepaskan ingatannya pada Amira begitu saja.
"Benar kamu akan setia padaku dan sebagai budak mau melakukan semua hal yang kuminta?"tanya Vero dengan suara berat.
Amira mengangguk.
Vero melingkarkan kedua tangannya ke leher Amira dan merapatkan tubuhnya ke Amira. "Perempuan bodoh! Suatu saat, entah aku yang memintamu atau tidak, kamu akan menjauh dariku!"
Amira merasakan napas Vero menyentuh tengkuknya. Sama seperti sebelumnya, Amira tidak terlalu mengerti yang diucapkan Vero. Tapi, pelukan laki-laki itu begitu familiar. Vero seperti sangat menginginkan Amira. Jika saja bukan di kantor, Vero mengkin saja melempar Amira ke atas tempat tidur.
"Berapa lama kita seperti ini, Pak?" tanya Amira setelah hampir lima belas menit Vero tidak melepaskannya.
"Rasanya begitu tenang, seperti menenggelamkan diri ke dalam lautan, bedanya… ini tidak akan membunuhku!" ucap Vero diiringi dengan senyuman.
"Anda membuatku terlambat tiga puluh menit masuk ke kelas bu Amber!"
"Ok…ok!" ujar Vero sedikit kesal karena harus melepaskan Amira. Satu-satunya mahasiswi yang menganggu pikirannya akhir-akhir ini. Meski sekarang mereka terlihat baik-baik saja, hubungan di atas perjanjian tidak bisa dianggap sebagai hubungan yang sah. Setidaknya Vero juga merasakan ketidaknyamanan itu. Ia juga yakin bahwa Amira tidak akan kembali ke rumahnya jika Vero tidak meminta dan sayangnya Vero tidak bisa secara gamblang meminta Amira tinggal bersama dengan seorang yang kadang-kadang bisa saja berubah menjadi psycopath. "Jangan lupa makan dan terus nyalakan ponselmu, aku akan menghubungimu," ucap Vero mengakhiri pertemuan mereka.