Inget goalsnya, baru update kalau dapet lebih dari 200 likes. Oke honey~
===== Sebuah renungan, tentang jodoh yang sudah di takdirkan dan di gariskan. Tak perlu gelisah, apa lagi resah~
Karena jika saatnya tiba, ia akan datang menghampirimu. Tak perlu mencari hati yang lain, karena hatimu sendiri yang akan menuntunmu padanya.
Dan jika saat itu tiba, rengkuh ia dengan sepenuh jiwamu. Jangan lepaskan, atau sakiti. Karena ia yang akan melengkapimu ======
" Kamu kemana saja .... " Rachel tak bisa menahan air matanya begitu melihat Dion. Seperti menetes begitu derasnya, seperti ada kelegaan di dasar hatinya. Dion pun tak berbeda dari Rachel. Ia begitu lega bisa bertemu dengan Rachel. Berhari hari ia pergi hanya untuk memperjuangkan kebahagiaan Rachel. Kini ia bisa menemui wanita itu tengah menangis karena menghawatirkan dirinya. Dion langsung masuk ke dalam lift dan memencet kembali tombol lift agar pintu lift tertutup.
" Kenapa kamu menangis..? apa yang membuatmu menangis seperti ini? Hey, Rachel ...? " Dion mendekap Rachel ke dalam pelukannya, menerima tangisan Rachel di dadanya. Tapi Rachel masih menangis.
" Aku mencarimu, kamu tidak ada. Aku pikir kamu pergi jauh ... " Rachel semakin terisak, kemarin adalah hari yang berat unutknya. Ketidak hadiran Dion, Kondisi Ibunya, dan jalan pintasnya dengan memilih Lucas.
" Aku pulang sebentar Rachel, aku hanya pergi beberapa hari dan langsung pulang kemarin malam .. " Dion mengusap rambut Rachel dengan lembut dan penuh perhatian, ia bisa merasakan nafas Rachel yang pendek pendek karena menangis terlalu lama.
" Berhenti menangis, kamu bukan anak kecil lagi .. " Dion mendongakan wajah Rachel dan mendapati mata Rachel yang masih berlinang air mata. Ia mengusapnya dengan lembut dan tersenyum dengan sangat tulus ke arah Rachel, senyuman itu di balas dengan senyuman yang tak kalah tulus dari Rachel.
" Semalam, aku mencarimu ke rumah. dan kamu tau? " Dion mencubit hidung Rachel seolah tengah menahan amarahnya " Kamu tak ada di rumah, kemana saja kau semalam hah? "
Tenggorokan Rachel tercegat, seolah tak mampu menjawab pertanyaan sederhana yang di lontarkan Dion barusan. Ia menelan ludahnya beberapa kali, ini adalah pertama kali baginya, pertama kali bagi Rachel berbohong.
" Aku menginap di rumah temanku, teman kuliahku... " Rachel menjawab dengan kegugupan yang masih di tutupi, tapi melihat reaksi Dion yang biasa biasa saja. Sepertinya ia bisa meyakinkan Dion. " jadi, kamu kemana beberapa hari ini...? " Rachel balas bertanya, niat sebenarnya adalah mengalihkan topik pembicaraan Dion agar tak menanyakan lagi tentangnya. Tapi Dion tertawa dan terkekeh yang membuat Rachel sedikit kesal.
" Aku mengambil cuti dan pulang ke rumah, aku belum sempat mengabarimu. Aku minta maaf " Dion menatap Rachel yang masih terlihat marah, kini ia beralih ke topik utama yang ingin ia bicarakan ke pada Rachel semalam. " Aku meminta uang pada ayahku, ah tidak. Tepatnya, meminjam uang untuk operasi Ibumu ... " Dion berbicara dengan nada kebahagiaan di dalam setiap katanya. Prinsipnya hanya satu, membuat Rachel bahagia dan tersenyum.
Tapi jawaban Dion justru semakin mencekik tenggorokan Rachel, air matanya sudah sampai lagi di tenggorokannya. Ini seperti menahan tangis yang sangat dalam dan terpendam. Kamu terlambat, kenapa kamu datang begitu lama Dion? Kenapa kamu tak memintaku untuk menunggumu? Kenapa kamu pergi begitu saja dan membuatku kegabah dalam mengambil keputusan? Aku, sudah menjual diri. Aku menggadaikan diriku.
Dion terperangah melihat Rachel yang terisak lagi. Apa yang salah dari kata kataku barusan?
" Ada apa...? " Dion masih heran, tapi Rachel sudah bisa mengontrol kembali emosinya.
" Mamaku, dia sudah di operasi ... " Rachel mencoba mengucapkan kata katanya barusan setegar mungkin, meminimalisir kecurigaan Dion. Tapi ini tak menghilangkan keterkejutan Dion, bagaimana Rachel bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? dari mana ia mendapatkan uang
sebanyak itu dalam wakti singkat?. Melihat sorot mata Dion yang nampak terkejut membuat Rachel kembali berpikir. Kebohongan apa lagi yang akan di utarakan.
" Kamu tau kalau aku di kontrak untuk bermain Biola mendampingi Lucas Nortwest? Aku mengikuti audisinya dan lolos, itu adalah uang bayaranku untuk kontrak sampai penampilan Lucas di Yunani selesai .. " Entah sejak kapan Rachel belajar untuk mengucapkan kebohongan dengan nada yang sangat santai dan meyakinkan. Tapi ini juga bukan masalah yang harus Dion ketahui. Rachel takut, Dion akan merubah pandangan terhadapnya jika tau bagaimana ia mendapatkan uang sebanyak itu. Tapi Dion justru, lagi lagi. Hanya tersenyum.
Dion begitu lega ketika mendengar kata kata Rachel, ia tak percaya mimpi gadis kecilnya akan segera terwujud untuk bermain dalam orkestra yang besar. Dion hendak mencium kening Rachel sebelum pintu lift terbuka dan Damian tengah menatap ke arah mereka. Ini menimbulkan kecanggukan di antara ketiganya. Tapi begitulah Damian, ia akan berbicara ceplas ceplos tanpa tau tempat. Ia bahkan tak takut dengan aura gelap Lucas. Apa lagi menghadapi kecanggungan biasa seperti ini.
" Well, Dion. Kau sudah pulang ...? " Damian menyapa Dion dengan santainya, seolah ia lupa dan buta dengan pemandangan yang ia liat beberapa detik lalu.
" Damian, ehm iya. Aku baru pulang semalam ... " Dion menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal, ini memang reaksi tubuh jika sedang canggung ataupun berbohong. Rachel terdiam, ia bahkan tak tau kalau Dion dan Damian saling kenal. Tapi betapa bodohnya! Mereka sama sama dokter, sama sama bekerja di rumah sakit yang sama. Bagaimana mereka tak saling kenal?
" Kalau begitu, aku permisi. Ada pasien yang harus kuperiksa pagi ini .... " Dion tersenyum canggung ke arah Rachel maupun Damian, ia keluar dari lift dan di ikuti Rachel yang ikut keluar juga.
Sekarang Rachel tengah berhadapan dengan Damian di depan lift, ini benar benar berita besar. Begitu Damian memanggil satu nomor di telephonnya dan menceritakan kejadian ini kepada Lucas. Pastilah Lucas akan mengamuk. Kejahilan Damian ini benar benar mengganggu, karena ia tak tau seberapa besar rasa posesif Lucas kepada Rachel.
" Akhirnya kamu datang, Ibumu belum siuman. Aku melakukan operasi besar dan obat bius di dalam tubuhnya belum juga hilang. Kalau kau mau menemuinya, aku akan mengantarkanmu ke ruangannya. Ikuti aku ... " Damian berjalan duluan, menuntun Rachel ke ruangan Ibunya.
Ia tak punya hak untuk menanyakan masalah pribadi Rachel, tapi mulutnya benar benar ingin menceritakan kejadian hari ini kepada Lucas.
" Bagaimana hasil operasi Ibuku? Kemarin aku tak bisa mendampingi operasinya ... " Rachel berjalan lebih cepat agar dia bisa sejajar dengan langkah Damian. Sosok Damian tak kalah tampan, ia punya mata biru laut. Saat pertama kali menatap mata itu, Rachel tau. Damian bukan pribumi seutuhnya. Wajah Damian benar benar memiliki guratan wajah yang tegas, bibir yang sensual dan pesona yang memabukan.
" Ibumu baik baik saja, ginjalnya benar benar cocok. Tak perlu di ragukan lagi, Dion memang dokter yang jenius. Dia pasti mencari cari pendonor ginjal dengan teliti, aku hanya melakukan tugas akhir. Selebihnya, itu di kerjakan langsung ileh Dion " Damian berbicara sambil berjalan menyusuri lorong, sudah banyak ruangan yang di lewati tapi mereka tak kunjung sampai ke ruangan Lina.
" Terima kasih banyak .." Rachel menunduk sambil menggenggam erat jari jarinya sendiri. Ia baru menyadari sesuatu tentang cerita Damian dan hubungannya dengan kepergian Dion. " Bagaimanapun kalian telah ikut andil dalam menolong Ibuku, terimakasih dokter Damian ... "
Damian sedikit terperangah saat mendengar ucapan terima kasih yang sangat tulus, keluar dari mulut Rachel. Selama ia menjadi dokter, ia melakukan tugasnya tanpa pikir panjang. Karena ini adalah kewajiban yang sudah seharusnya ia lakukan, ia terbiasa merawat orang orang elit. Merawat mereka yang berterima kasih di bibir dan rasa terima kasih yang di tunjukan dengan uang. Hingga Damian kehilangan bagaimana rasanya, kebahagiaan setelah menolong nyawa seorang. Bagaimana rasanya diberi ucapan terima kasih yang tulus dari mereka yang di selamatkan.
" Aku dokter, dan itu sudah tugasku. Aku senang Ibumu baik baik saja, butuh beberapa bulan sampai metabolismenya menerima donor ginjal itu seutuhnya. Selama itu, aku akan merawat Ibumu sebaik mungkin " Damian mengucapkan janjinya dengan sangat tulus, janji dari sumpahnya sebagai dokter bertahun tahun yang lalu.
" Nah, kita sudah sampai ... " Damian berhenti di depan ruangan yang berada di pojokan, ruangan yang sangat luas. Berbeda dengan ruangan Ibunya sebelumnya, mungkin ini lebih luas berkali kali lipat. Lebih bagus dengan semua peralatan medis yang lebih mumpuni.
" Kau bisa masuk dan menunggu sampai Ibumu sadar, sedangkan aku akan pamit undur diri sekarang. Ada anak pejabat yang harus di operasi .. " Damian mengedipkan sebelah matanya ke pada Rachel, kedipan humoris yang membuat Rachel terkekeh.
" Baiklah, terimakasih dokter Damian. Semoga anak pejabat itu juga melewati operasinya dengan baik ... "
" Ah, aku begitu tak suka dengan orang tuanya yang sangat meninggikan jabatannya itu. sebenarnya ingin sekali aku memotong beberapa senti ususnya agar ia tak perlu lagi mencerna makanan selama dua puluh empat jam. Tapi, terima kasih telah mengingatkanku Rachel. Aku jadi mengulurkan niatku burukku itu. Akan ku pastikan ia selamat .. "
Damian berjalan meninggalkan Rachel yang masih tertawa di belakangnya, ia berjalan menuju ruang operasi. Sebenarnya ia tak sepenuhnya bekerja di rumah sakit ini, ia sudah menyandang tittle dokter ekslusif. Dokter dengan bayaran mahal, apa lagi ia bekerja dengan Lucas. Tak ada yang di obati dari Lucas, toh ia tetap mendapatkan gaji sebagai mana mestinya.
Rachel mendekati ranjang rumah sakit, mendekati tubuh ibunya yang sudah tak pucat seperti sebelum sebelumnya. Tubuh itu kini terlihat lebih segar di bandingakan sebelum operasi, ginjalnya sudah bekerja dengan baik mungkin. Hingga tubuh Lina tak lagi bekerja keras dengan ginjal rusaknya.
" Mama, aku disini. Mama sudah baikan? Bagaimana rasanya, sudah tidak terlalu sakit bukan...? " Rachel menggandeng tangan Ibunya, mencoba mencium tangan wanita yang sudah membesarkannya itu. Menelisik setiap urat di tangan ibunya, urat yang terbilang kasar untuk tangan seorang wanita. Menandakan betapa kerasnya usaha Lina untuk membesarkan Rachel. Rachel menyadari itu, ia tak pernah memungkiri kerja keras Ibunya. Bangun pagi pulang sore dan masih lembur di malam hari.
Rachel juga masih di perbolehkan bermain Biola, ia bermain di taman kota dan mendapatkan uang tambahan. Sampai suatu hari ia bermain Biola dan bertemu dengan Dion. Anak laki laki yang memandanginya dengan antusia.
***
" Apa yang kamu mainkan itu? " Pertanyaan yang terlontar dari mulut Dion saat pertama kali bertemu dengan Rachel. Rachel yang mendengar pertanyaan itu hanya terkejut, alat musik tersohor seperti ini. Masih ada orang yang belum mengenalinya ?
" Namanya Biola, dimainkan dengan di gesek menggunakan Busur ini ... " Rachel menunjukan busurnya ke pada Dion, dia hanya melihat dengan takjub. Bagaimana mungkin senar sederhana yang hanya terdiri dari empat baris senar, dapat menghasilkan suara yang bagus, nada yang indah untuk di dengar.
" Apa aku bisa memainkannya...? " Dion mengulurkan tangannya, mencoba meminta Biola Rachel untuk di mainkan. Anak laki laki itu masih berdiri di sana, ia masih menunggu Rachel mengulurkan Biolanya. Sesaat Rachel nampak ragu, tapi ia akhirnya mengulurkan Biolanya itu.
memberikannya kepada Dion untuk di mainkan. Dion menerima Biola itu dengan senang hati, senyum terpampang jelas di bibirnya. Baginya ini adalah mainan baru selain buku buku yang memenuhi kamarnya.
" Cobalah, mainkan ... "
Rachel memberikan isyarat kepada Dion agar dia memulai permainannya, Dion juga nampak antusias. Ia mengikuti gerakan yang di lakukan Rachel, mengangkat busur dan menggesekannya ke senar Biola. Tapi bukannya nada indah yang keluar, melainkan nada yang sumbang dan
mendecit keras dan memekakan telinga. Rachel sontak menutup telinganya dan Dion berhenti menggesekan busur Biola.
Dio berhenti bermain dengan gugup, ia dikenal sebagai anak yang cerdas. Tapi bertingkah bodoh begini baru pertama kali ia lakukan. Ia begitu malu untuk melihat ekspresi Rachel. Tapi nyatanya Rachel malah tertawa renyah.
" Jangan takut, aku juga seperti itu saat pertama kali memainkannya. Aku tak langsung bisa mengeluarkan nada yang bagus, butuh waktu lama..." Rachel mengambil Biola di tangan Dion, memposisikan Biolanya dan bersiap mengesek Biolanya. Nada yang keluar dari Biolanya adalah nada yang tak asing. Lagu anak anak yang berjudul bintang kecil. Dion tersenyum ketika ia tau lagu apa yang tengah di mainkan Rachel. Tapi tiba tiba Rachel menggesekan busurnya begitu keras dan membuat nada yang sangat tak enak di dengar. Dion tampak sedikit bingung, tapi kemudian Rachel tertawa.
" Dulu aku seperti itu, permainanku buruk sekali. Ayahku sampai frustasi sendiri mendengarnya, aku setiap hari datang kepadanya. Mengganggu saat dia melatih muridnya, tapi ia mendengarkan permainan buruku sampai selesai. Bayangkan betapa sakitnya gendang telinga Ayahku saat itu.. " Rachel menceritakan kisahnya dengan tawa yang terdengar jelas, Dion mengerti sekarang. Musik bukan hal yang hanya bisa di pelajari seperti layaknya buku buku bacaan di kamarnya. Ada perasaan yang harus ikut mengalir bersamaan saat bermain musik.
Tapi tiba tiba Rachel bergegas memasukan Biolanya ke dalam tas. Ia tergesa gesa memasukan semua barang barangya, membiarkan Dion kebingungan melihat tingkah Rachel.
" aku harus pulang, sudah sore .. " Rachel sudah berlari kecil meninggalkan Dion sendirian, ia hampir menyetop kendaraan umum sebelum Dion mengejarnya dan meraih tanganya.
" Apakah besok kamu akan kesini lagi...? " Dion mentap Rachel yang menatapnya balik dengan tatapan kebingungan.
" Aku bermain di sini setiap sore ... " Rachel menjawab tanpa pikir panjang, ia harus pulang sekarang. Ibunya sudah menunggu di rumah untuk menyiapkan makan malam bersama.
" siapa namamu ... ? "
" Rachel... "