Mereka berbicara bahasa Inggris.
"You. Who is your name?" Tanya Rio menunjuk William tajam.
"William, Sir." Ucapnya sopan.
"Follow me." Ucap Rio sembari berjalan meninggalkan ruang tes menuju dalam mansion. William mengikutinya.
"Dimana kau bertemu adikku, Sia?" Tanya nya sambil berjalan santai di lorong mansion.
"Elite Club, Sir." jawab William sopan.
"Kau sering pergi kesana?" Tanyanya lagi tanpa menatap William.
"Tidak. Aku suka berpindah-pindah Club." ucapnya santai.
"Apa kau menyukai adikku?" Tanyanya langsung menatap William tajam.
William kaget. Mereka berhenti berjalan dan saling berpandangan.
"Hem.. no, Sir. Saya suka gadis pirang." Ucapnya mengeles. Rio menaikkan kedua alisnya dan mengerutkan bibirnya.
"Jika adikku berambut pirang apa kau akan menyukainya?" Tanyanya lagi.
William bingung. Dia spontan tertawa kecil.
"No, Sir. She will be my boss. I must protect her not fall in love with her." Ucapnya meyakinkan.
"Good." Jawabnya cepat dan kembali berjalan.
William mengikutinya. Dia masih tak tak paham dengan jalan pikiran Rio.
Rio memanggil salah satu bodyguardnya. Dia memintanya untuk mengantarkan William ke kamarnya. Bodyguard itu mengangguk paham.
"Jam 7 nanti datanglah ke ruang makan. Jangan terlambat." Ucap Rio yang akhirnya meninggalkan William bersama bodyguardnya.
William diberikan sebuah kamar khusus yang sebenarnya lebih sempit dan lebih sederhana ketimbang kamar di rumahnya. William hanya menghembuskan nafas panjang dan mengamati isi kamarnya itu. Bagaimanapun inilah rumah barunya.
Dia langsung mengecek setiap sudut ruangan apakah ada CCTV tersembunyi atau tidak. William orang yang teliti. Dia mengecek setiap sudut dan detail furniture di kamarnya. Adakah alat perekam dan sejenisnya. Ternyata ruangan itu bersih. William lega.
Dia pun segera membongkar isi tasnya dan meletakkan di lemari kayu di kamarnya. Kamar mandinya pun hanya sebuah closet duduk dengan shower air dingin dan panas. Tak ada bathup, mandi busa dan parfum mewah. William hanya memijat dahinya tapi inilah salah satu tugas agen. Tak selamanya harus hidup glamour, dia juga harus bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya selama berkamuflase.
Malam itu sesuai perintah Rio dia datang ke meja makan. Dan benar tak ada Julius disana. Padahal William sangat ingin mengetahui seperti apa rupa Julius. Dia mendatangi Rio dan Sia yang sedang makan malam. Disana ada seorang lelaki yang ikut duduk bersama mereka berdua. William hanya diam menatap mereka bertiga. Mereka berbicara bahasa Inggris.
"William. Sit." Ucap Rio yang masih sibuk menyendok kacang polong dalam piringnya dan segera mengunyahnya.
Sia hanya meliriknya dan memberinya kode untuk segera duduk di kursi kosong yang hanya memiliki 4 kursi makan dalam meja itu. William duduk dan bersikap sopan. Makanan pun segera datang. Sia mempersilakan William ikut makan. William mengangguk.
"Will, do you know? Mungkin kau merasa aneh kenapa kau bisa duduk dan makan bersama dengan kami." Ucap Rio sambil mengunyah makanannya.
"Yes, Sir." Jawab William sopan.
"Itulah keuntungan menjadi bodyguard kami. Sebelahku ini Igor. Dia bodyguardku, sudah 7 tahun bekerja bersamaku. Dia hampir kuanggap sebagai saudara. Tapi jika Igor menghianatiku, aku masih tega untuk membunuhnya. Benar kan, Igor." Ucap Rio sambil menunjuk wajahnya dengan garpu di tangan kirinya.
Igor tersenyum miring dan mengangguk.
"Igor. Are you Russian?" Tanya William padanya. Igor mengangguk.
"Nice to meet you." Ucap William sopan.
Igor hanya mengangguk lagi. William heran Igor tak bicara.
"Igor tak bisa bicara. Kakakku.. memotong lidahnya." Ucap Sia meringis. William kaget.
"Why?" Tanya William spontan.
"Karena Igor pernah mencium adikku." Ucap Rio menatap William tajam.
William kaget. Dia mengangguk dan hanya menghela nafas pelan. Sia menahan tawa.
"Jadi. Jika kau berfikir untuk mencium adikku apalagi menyetubuhi adikku. Aku sendiri yang akan menjadi algojo kematianmu. Paham?" Ucap Rio tajam. William mengangguk.
William akhirnya ikut makan bersama mereka. Dia merasa bahwa Rio tipe orang yang serius dan tak bisa diajak bercanda. Sorot matanya tajam dan selalu curiga. Membuat William lebih berhati-hati dalam bertindak. Kali ini dia diam saja mengikuti alurnya karena dia masih belum tahu skema kerja Rio dan Julius. Dia harus terlihat senormal mungkin agar tak dicurigai.
Makan malam pun selesai. Rio mengajak William ke ruang kerjanya. Sia juga ikut dengannya merangkul lengan Rio sambil bercanda dengannya. Terlihat kakak adik ini begitu akrab. Igor selalu disamping Rio.
Rio memberikan selembar kertas yang berisi jadwal kegiatan adiknya, Sia. Rio sangat dekat dan sayang pada Sia. Dia selalu membelainya. Tapi William melihatnya lain. Tatapan Rio ke Sia bukan seperti tatapan seorang kakak tapi lebih ke seorang kekasih yang cemburu buta jika pujaan hatinya disentuh atau direbut orang. William semakin berhati-hati.
"Kau bisa mulai kerja besok. Ini kunci mobil yang nanti akan kau gunakan untuk antar jemput adikku. Dia masih seorang mahasiswi. Dan ingat saat dia di kampus kau juga harus mengikutinya tapi tak perlu masuk ke kelasnya. Paham?" Ucap Rio lagi sembari melempar kunci mobil pada William.
William menangkap kunci itu dan mengangguk paham. Rio tersenyum pada Sia yang duduk di senderan tangan pada kursi Rio.
"Mereka berdua ini aneh. Apa benar kakak adik? Jangan-jangan informasi dari Thomas ada yang salah." batin William curiga.
"Baiklah aku akan beristirahat. Besok aku ada kuliah pagi. Bye, Rio." Ucap Sia manja dan turun dari dudukan di senderan tangan kursi Rio.
Tapi Rio memegang tangan Sia dan memberikan kode untuk mencium pipinya. Sia menepuk lengannya sebal.
"Kita sudah besar. Nanti orang salah paham." Ucap Sia kesal.
Rio hanya tersenyum miring dan tetap menunjuk pipinya minta dicium Sia. Sia pun terpaksa menciumnya dengan cepat "CUP" dan segera pergi. Rio tersenyum lebar. William mohon pamit pergi mengikuti Sia.
"Igor. Awasi William." Ucap Rio tajam. Igor mengangguk.
William mengikuti Sia hingga ke kamarnya. Dia membaca lagi list dalam kertas itu. Disana tertulis apa yang harus William lakukan sebelum Sia tidur. William merasa seperti seorang baby sitter. Ingin rasanya dia mengeluh karena pekerjaan ini baginya sangat tak masuk akal dan diluar kepribadiannya.
"Hah. Mengecek pintu dan jendela. Mematikan lampu. Mengecek seluruh ruangan. Bahkan menyelimuti. Konyol sekali." Batin William memekik.
Sia keluar kamar mandi dan sudah memakai dress tidur bertali diatas lutut. William yang kesal hanya mengacuhkannya. Dia melakukan pekerjaan seperti yang ditulis dalam kertas. Sia sudah berbaring di kasurnya. Dirasa sudah aman, William menyelimutinya.
"Sudah gosok gigi?" Tanya nya malas. Sia mengangguk.
"Oke. Good night." Ucap William berpaling pergi tapi Sia memanggilnya.
"William. Ada yang mau ku tanyakan." Ucap Sia yang langsung duduk. William berhenti dan kembali berpaling menatapnya.
"Rumahmu bagus. Hidupmu enak. Kau juga minum beer mahal di sebuah club elite. Kenapa kau mau jadi bodyguard?" Tanya Sia curiga. William tertegun.
"Oh. Dulu aku bekerja di club itu. Rumahku, itu warisan dari ayahku. Mungkin memang hidupku terlihat mewah dan berkecukupan tapi sebenarnya tidak. Itu hanya pemberian dari orang-orang yang kasihan padaku." Ucap William bohong.
Sia hanya manggut-manggut dan kembali memonyongkan bibirnya membuatnya terlihat imut. William leleh melihat sikap Sia yang lugu. Dia hanya bisa berpaling ketika dia melakukannya.
"Baiklah. Selamat malam William." Ucap Sia ramah. William hanya mengangguk dan mematikan lampu. Dia menutup pintu kamar Sia.
William menghembuskan nafas berat. Dia kembali ke kamarnya dan segera mandi. Dia menggosok rambut dikepalanya dengan shampoo mewah dan seluruh tubuhnya dengan busa aroma mint yang maskulin. William sudah merasa segar. Dia mengeringkan tubuh atletisnya dan menutup kejantanannya dengan melilitkan handuk kecil di pinggangnya.
William duduk di bingkai jendela dan menatap keluar. Ternyata pemandangan Virgina Beach sangat indah di malam hari. William meneguk sebotol kecil beer dingin dari mini bar di kulkas kecil yang berada di kamarnya. Dia menikmati suasana malam itu meskipun dia merasa kesepian.