Chereads / Secret Mission / Chapter 3 - Lucky Day

Chapter 3 - Lucky Day

Pagi itu William sudah terlihat sibuk dengan Jack dan Catherine di markas CIA, Langley, Virginia. Bersama Chief Rika mereka menyusun strategi selama William menyamar disana. William dipasang alat pelacak di bawah ketiak dalam kulitnya agar Jack tetap bisa memantaunya dari satelit tentang pergerakannya selama berada di mansion milik Rio.

Jack juga sudah menyiapkan stelan sesuai pesanan William serta pistol keluaran terbaru karya Jack. William menyukainya. Dia sudah sangat siap dengan misinya kali ini. Mereka berbicara bahasa Inggris.

"William. Kau harus berhati-hati. Selalu berikan informasi kepada kami. Jika ada apa-apa segera pergi dari tempat itu jangan memaksakan diri atau kau akan berakhir seperti Thomas. Aku masih membutuhkanmu untuk misi yang lain." Ucap Rika tegas.

William hanya tersenyum miring.

"Santai saja. Aku juga tak akan membiarkan diriku terbunuh begitu saja." Ucap William menarik ujung lengan jas sebelah kirinya dan pergi.

Catherine, Jack dan Rika hanya memandangi kepergian William dengan wajah datar.

Malam itu William sengaja pergi ke Club untuk menghibur diri. Besok dirinya akan menjalani misi dengan menyamar sebagai bodyguard dan pasti akan membuatnya tak bisa pergi ke club dalam waktu yang lama. Hal itu bisa membuatnya frustasi.

Dia pergi ke sebuah Club Elite di Virginia. Dia memesan beer Vieille Bon Secours Ale untuknya. Dia duduk sendirian di meja bartender. Dia melihat sekeliling mencari mangsa wanita muda yang sexy dan tentu saja untuk menemaninya bercinta.

Tapi malam itu dia tertarik pada seorang gadis muda yang duduk sendirian dan mabuk seperti habis putus cinta. William mengamatinya dengan seksama.

Gadis muda itu terlihat begitu empuk untuk diterkam. William pun mendekatinya. Mereka berbicara bahasa Inggris.

"Hallo. Boleh saya bergabung denganmu?" Tanya William sopan membawa beer dan gelasnya.

Gadis itu hanya menatap William dengan melongo. Pandangannya kabur dan kepalanya pusing. Dia pun memberikan kode pada William agar duduk di sampingnya. William pun menurutinya. Dia meletakkan botol beer dan gelasnya. Dia menuangkan ke gelasnya dan gelas gadis itu. Gadis itu hanya memandang gelasnya yang diisi beer oleh William. Mereka pun bersulang.

Gadis itu seperti kuat minum. Dia langsung menghabiskannya. William kaget. Gadis itu minta dituangkan lagi dan William pun melakukannya dengan geleng-geleng kepala. Gadis itu hanya memegang dan memandangi gelasnya. William menatapnya dengan seksama.

"Aku siap mendengarkan ceritamu jika kau tak keberatan." Ucap William mulai meneguk beer nya.

Gadis itu menoleh ke arah William dan memanyunkan bibirnya.

"Sialan. Dia imut sekali. Berapa umurnya?" Kaget William dalam hati.

"Semua lelaki sama saja. Brengsek. Kau pasti juga." Ucapnya dengan berkerut kening.

William tersenyum tipis.

"Baiklah. Aku brengsek. Lalu? Mau kau apakan si brengsek ini?" Tanya William memancing dan makin menatapnya penuh dengan maksud.

"Apa.. bercinta itu sungguh mengasikkan?" Tanya gadis itu polos.

William bingung.

"Apa maksudmu?" Tanya William menatap heran gadis itu.

"Dia bilang. Dia tak mau jadi pacarku lagi karena aku tak mau diajak berhubungan dengannya. Katanya aku payah. Dia bosan denganku yang sok suci." Ucap gadis itu dengan wajah sedih.

Dia kembali meneguk minumannya dan kembali murung.

"Perawan? Gila. Jaman sekarang masih ada perawan? Di club ini lagi?!" Pekik William terkejut.

Dia mengamati gadis itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Cukup mempesona. Dia tak habis pikir dengan lelaki yang mencampakkannya.

"Pacarmu yang bodoh. Seharusnya dia bersyukur karena kekasihnya menjaga mahkotanya." Ucap William jujur dan meneguk beernya.

Gadis itu menatap William dengan seksama. Dia tak pernah bertemu lelaki seperti William sebelumnya.

"Siapa namamu?" Tanya gadis itu yang mulai mendekatkan wajahnya ke muka William.

"William. Kamu?" Tanya William balas menatapnya.

"Sia." Ucapnya dengan tersenyum.

Gadis itu menatap mata William tajam.

"Apakah.. masih ada lelaki baik dan pengertian sepertimu, William?" Tanya Sia dengan tatapan syahdu.

William hanya diam. Dia merasa bukan tipe lelaki seperti yang dikatakan Sia. Dia tersenyum padanya dan menyentuh dagunya.

"Pasti ada tapi sepertinya bukan aku. Aku bukan lelaki seperti itu." Ucapnya jujur.

"Tapi sepertinya aku sudah menemukannya." Ucap Sia menggigit bibir bawahnya. William menelan ludah.

"Aku akan mengantarmu pulang. Ayo." Ucap William merasa iba pada gadis itu.

Dia memapah gadis itu berjalan ke mobilnya. Gadis itu menurut saja. Dia memberitahu jalan ke rumahnya tapi tiba-tiba "HUEKKK" Gadis itu muntah dan mengenai stelan William. William shock saat itu juga.

"Menjijikkan! Cih, ini stelan baru dan akan ku pakai besok. Benar-benar!" Umpat William kesal dengan gadis yang baru ditemuinya.

Gadis itu sempoyongan. William kesal tapi kasian. Dia membawa gadis itu masuk ke mobilnya dan mendudukkannya di kursi belakang. Dengan segera William melapas jas dan kemejanya. Membiarkan dirinya bertelanjang dada mengendarai mobilnya pulang ke rumahnya.

"Aku bawa pulang saja dulu. Dia tak memberitahu dengan jelas dimana rumahnya. Merepotkan." Ucap William kesal.

Mereka pun sampai di rumah William. Dia membopongnya masuk ke rumahnya dan merebahkannya di sofa ruang tamu. Segera William membilas setelan atasannya yang terkena muntahan. Dia baru ingat jika dress gadis itu juga terkena muntah.

William yang hanya memakai boxer pun mendatangi gadis itu dan memintanya buka baju. Gadis itu mabuk berat dia menurut saja. William mengambil bajunya dan segera mencucinya. Gadis itu hanya memakai pakaian dalam saja. William masih belum tertarik karena kesal. Dia memberikan air putih hangat padanya.

"Minumlah. Mulutmu bau muntah." Ucap William kesal.

Gadis itu pun segera meminumnya. Dia kembali terbaring.

"Tidurlah di kamarku." Ucapnya meminta. Gadis itu melirik ke arah William.

"Lalu kau akan bercinta denganku?" Tanya gadis itu polos. William tersenyum kecil.

"Apa diotakmu hanya ada bercinta saja. Maaf tapi aku sedang tak ingin. Kau juga masih perawan. Kau tak berpengalaman memuaskan seorang pria." Ucapnya menyindir.

Gadis itu marah. Dia segera berdiri dengan sempoyongan seperti mau roboh. William menangkapnya. William langsung membopongnya dan merebahkannya ke ranjangnya. Dia juga langsung menyelimutinya dan membiarkannya tidur. William meninggalkannya.

Dia kembali menyelesaikan cuciannya dan segera mengeringkannya. Dia tidur di sofa kesayangannya meneguk wine memandang langit malam. William tertidur pulas.

Pagi-pagi sekali William terbangun karena mencium aroma sedap yang membuatnya lapar. Ternyata Sia membuat roti panggang dan susu coklat yang sudah dihidangkan di meja makan. Dia mengenakan jubah mandi. Dia menatap William dengan malu.

"Tak bisakah kau memakai baju dulu?" Tanya Sia tersipu malu memalingkan wajahnya.

William bingung. Dia baru menyadari bahwa dirinya hanya memakai boxer saja. Dia segera masuk ke kamarnya dan memakai celana pendek dan kaos ketat. Dia kembali dan ikut duduk di meja makan. Sia sudah menunggunya.

"Aku berterima kasih dan minta maaf padamu. Aku cukup sadar dengan kejadian semalam. Aku alkoholik. Jadi minuman semalam tak membuatku mabuk parah." Ucapnya jujur.

"Berapa umurmu?" Tanya William heran karena Sia masih terlihat sangat muda.

"20 tahun." Ucapnya merapatkan bibirnya.

"Wow. Sejak kapan kau minum?" Tanya nya lagi keheranan.

"Sejak meninggalnya ibuku 5 tahun lalu. Ayahku tak melarangku. Kadang malah dia menemaniku minum." Ucapnya kembali memonyongkan bibirnya.

"Aishh.. gadis ini. Bisa tidak dia berhenti bersikap imut. Sudah lama aku tak bertemu gadis lugu. Menyebalkan." Ucap William dalam hati kembali kesal dengan sikap imut Sia.

Mereka berdua pun sarapan bersama. William melihat jam tangannya.

"Oh shit! Aku terlambat! Arghh.." ucapnya gusar.

William segera berlari ke tempat laundry dan segera memakai stelan barunya dan merapikan diri. Sia sampai terpesona dengan ketampanannya.

"Ternyata dia sangat tampan. Aku tak menyadarinya." Ucap Sia berguman pelan melongo melihat William mulai memakai sepatunya.

"Kau jangan diam saja. Bergegas. Jika kau tak cepat aku akan meninggalkanmu disini. Aku baru akan kembali saat malam." Ucap William sembari memakai sepatunya.

Lamunan Sia buyar. Dia tersadar. Dia segera mengambil dress yang sudah dicuci William dan memakainya. Saat William bertanya dimana rumahnya dia cukup terkejut karena lokasinya hampir sama dengan tujuannya di Virginia Beach. Sia mengatakan bahwa dia memiliki sebuah kamar hotel disana. William pun mengantarkannya.

William mengebut dengan mobil Mustang hitamnya dan terlihat Sia sangat menyukai kecepatan. William cukup tertegun dengan sikap Sia yang menurutnya banyak misteri. Sampailah mereka di Virginia Beach pada siang hari. Mereka berpisah karena William akan menuju ke mansion milik Rio.

William sudah mempersiapkan diri. Para bodyguard Rio sudah menginspeksi William begitu memasuki lobi mansion. Mereka langsung mengetesnya dari senjata, postur tubuh, kemampuan bertarung dan keahlian lainnya. William cukup kaget karena dia langsung di tes bahkan dia tak perlu pengenalan.

William lolos tes pertama. Dia lanjut ke tes ke 2. Tes yang cukup membuatnya kaget. Ternyata disana sudah ada 4 orang yang melamar menjadi bodyguard anak Julius tapi hanya 1 yang terpilih. Ketiga orang itu menatap William tajam sebagai saingan tapi William cuek saja. Dan betapa terkejutnya ternyata gadis itu adalah Sia. Sia juga terkejut dengan adanya William disana.

"Kau.. apa yang kau lakukan disini?" Tanya Sia menunjuk William bingung. Semua orang menatap William heran.

"Kau mengenalnya?" Tanya Rio yang muncul tiba-tiba.

"Ya. Dia.. menjagaku semalaman saat mabuk. Dia melakukannya dengan baik." Ucap Sia lugu. Rio menatap William tajam.

"Baiklah kalau begitu. Langsung saja. William, kau yang akan menjadi bodyguard adikku, Sia." Ucapnya cepat.

Semua orang tertegun termasuk William karena dia diterima dengan mudahnya.

"Wah ini keberuntungan. Coba saja jika semalam aku bercinta dengannya mungkin aku sudah dikirim ke kantor dengan bagian terpisah." Ucap William lega.

Keempat calon kesal padanya tapi mereka tak bisa menentang keputusan Rio. Mereka pun segera pergi. Terlihat Sia senang karena dia cukup mengenal William dan menganggap William lelaki yang baik.