"Jangan pergi, kumohon." Pinta Diandra dengan suara serak.
"Aku tidak kemana-mana, nanti kamu muntah lagi, Di."
Diandra menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Bukan karena kamu, lantainya dingin. Aku kedinginan jadi tolong peluk aku sebentar saja." Pintanya lagi dengan memelas.
Suhu tubuh Diandra sangat tinggi tetapi ia merasa kedinginan? Hal ini membuat Adrian khawatir dan tidak tega meninggalkannya begitu saja.
"Baiklah, aku akan peluk kamu tapi kamu harus makan dulu ya." Ucap Adrian sambil melepaskan pelukan Diandra, dengan lembut ia menghapus jejak air mata yang mengalir di pipinya.
"Udah jangan nangis lagi. Maafin aku ya." Ucapnya lagi yang dibalas Diandra dengan anggukan.
"Sekarang kamu harus makan biar cepat sembuh. Aku yang suapin jadi kamu tidak bisa menolak" Adrian mengambil mangkuk bubur yang masih terasa hangat itu.
Diandra langsung cemberut melihat mangkuk bubur tersebut dan bertanya, "Kalau aku muntahin lagi bagaimana?"
"Aku bakalan gendong kamu ke kamar mandi." Jawabnya dengan santai tanpa tau bahwa Diandra merasa malu. Tadi adalah pertama kalinya Adrian menggendongnya ala bridal, biasanya ia hanya meminta Adrian menggendongnya di punggung saat berjalan-jalan di taman sore.
"Aku bisa makan sendiri." Ucap Diandra sambil mencoba mengambil mangkuk dan sendok yang ada di tangan Adrian.
"Orang sakit dilarang protes. Kamu buka mulut dan telan saja apa yang aku suap. Sekarang buka
mulutmu." Adrian mengarahkan sendok berisi bubur ke depan mulut Diandra.
Akhirnya, dengan berbagai bujukan dan rayuan yang Adrian lakukan, dengan enggan Diandra membuka mulut dan langsung menelan bubur tersebut tanpa suara. Anehnya, ia tidak merasa mual sama sekali, padahal semenjak ia sakit, tidak ada satupun makanan yang terasa benar dimulutnya.
Namun Diandra memutuskan untuk berpura-pura cemberut sambil terus menelan bubur yang disuapi oleh Adrian tanpa mengunyah bubur itu terlebuh dahulu. Adrian yang melihatnya sama sekali tidak peduli, toh bubur tersebut pasti mudah dicerna. Perihal wajah cemberut Diandra, ia sudah biasa menghadapinya dan tau benar cara meluluhkan kekasihnya itu. Ia terus menyuapi Diandra sampai mangkuk yang ia pegang kosong.
Melihat mangkuk tersebut kosong, Diandra langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Adrian tau apa yang ia hindari, minum obat. Ia juga tau persis bahwa kekasihnya akan bertingkah menyebalkan jika menyangkut hal yang tidak ia sukai dalam bentuk apapun.
Adrian tersenyum sembari meraih kotak obat di atas nakas di sisi lain tempat tidur. Ia hanya menjangkau sisi lain ranjang dengan menjulurkan tangannya sehingga sosoknya menjulang di atas tubuh Diandra yang tertutup selimut. Secara tiba-tiba, Diandra menurunkan selimut sampai sebatas perut dan memeluk erat punggung Adrian sampai terjatuh di atas tubuhnya.
"Heyy.. Di, nanti ada yang melihat." ucap Adrian sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Diandra.
"Pintunya sudah aku kunci." Jawabnya singkat.
"Hahh.. bagaimana...?? Oke, pintunya sudah dikunci tapi sekarang kamu harus minum obat." ucap Adrian setelah berhasil mengambil kotak obat tersebut.
"Tidak mau!! Aku tidak membutuhkan itu, peluk saja aku maka aku akan sembuh." ucap Diandra dengan keras kepala.
Adrian benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa seorang gadis bisa terlihat manis dan menyebalkan disaat yang bersamaan. Ia menarik bibirnya keatas ketika menemukan ide untuk memaksa Diandra meminum obat.
"Baiklah, aku akan memelukmu tapi setelah kamu minum obat." Setelah berkata demikian, Adrian menarik tubuhnya dengan paksa sehingga pelukan mereka terlepas. Sebenarnya ia bisa saja melakukannya dari awal hanya saja ia tidak mau.
"Bagaimana?" tanyanya lagi.
Diandra memasang wajah cemberut dan memajukan bibir bawahnya ke depan. Ia membalikkan tubuh sehingga punggungnya mengahadap Adrian. "Yasudah, jika kau tidak mau memelukku sekarang maka kau tidak boleh memelukku lagi seterusnya." Diandra tau bahwa Adrian sangat suka memeluknya, tentu saja ia bisa merasakannya, jadi ia mencoba mengancam balik.
"Baiklah kalau begitu, berarti aku harus mencari gadis lain untuk dipeluk."
"Tidak boleh!!!" teriak Diandra sambil menahan Adrian yang sudah berdiri dengan manarik tangannya.
"Itu artinya...??" tanya Adrian sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Aku akan minum obat." jawab Diandra dengan setengah hati.
"Good girl." ucap Adrian sambil mengacak rambut kekasihnya kemudian duduk disisi ranjang dan mulai membuka kotak obat.
"Ihh.. jangan merusak rambutku, aku bukan anak kecil lagi!"
Adrian yang tercengang setelah membuka kotak obat akhirnya mendapatkan kembali kesadarannya. Ia menghela nafas dan menatap Diandra dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kalau kamu bukan anak kecil mengapa obatnya harus seperti ini?" tanya Adrian berusaha menahan tawa.
"Memangnya kenapa? Tidak ada hal yang salah, tidak ada larangan untuk mengonsumsi obat dalam bentuk apapun." jawab Diandra berusaha menghindari tatapan kekasihnya tersebut.
Adrian hanya mengulum senyum melihat tingkah Diandra yang menurutnya sangat menggemaskan.
Ia tau bahwa Diandra sangat kesulitan menelan pil obat, tapi ia tidak menyangka akan sesulit itu bagi Diandra sampai ia harus meminum obat yang dihaluskan. Bukankah ini akan terasa lebih pahit?
"Baiklah.. baiklah, tidak ada yang melarang okey?? Sekarang waktunya minum obat." Dengan hati-hati ia menuang serbuk obat yang telah halus ke atas sendok dan memberinya air. Astaga?? Ini benar-benar seperti meminta anak berumur sepuluh tahun meminum obat. Tentu saja Adrian tau karna anak-anak kecil di panti asuhan juga seperti ini.
Diandra merasa ngeri ketika dihadapkan dengan sesendok penuh obat, ia sangat tau bahwa rasanya pahit. "Itu sangat pahit, Rian." sekarang ia bertingkah seperti anak kecil yang merengek tidak mau minum obat.
"Tidak pahit kalau langsung kamu telan, lagipula kamu sendiri yang mau obat seperti ini. Ayo buka mulutmu." titah Adrian tidak mau dibantah.
Diandra tergoda untuk menumpahkan obat tersebut. Namun, melihat Adrian yang memasang tatapan memaksa membuat ia terpaksa membuka mulut. Tentu saja ia benar, rasanya sangat pahit.
Setelah dipaksa meminum lima jenis obat, ia bahkan hampir menangis menahan rasa pahit yang memenuhi rongga mulutnya. Tatapan yang ia tunjukkan seolah-olah menyalahkan Adrian. Menghabiskan segelas air hangat tidak menghilangkan rasa pahit yang ada, Adrian hampir tidak tega melihat kekasihnya mengernyitkan kening menahan rasa pahit.
"Rian.. ambilkan yang manis-manis di dapur, pleaseee..." pinta Diandra dengan suara memelas.
"Ckk.. dasar gadis kecil, aku buatkan coklat panas ya?" tanya Adrian.
"No! Aku mau eskrim." jawabnya dengan tanpa rasa bersalah yang membuat Adrian membelalakkan mata tak percaya.
"What?!!! Jangan mengada-ngada, kamu lagi sakit. Tidak boleh, minta yang lain saja."
"Aku tidak mau yang lain, aku cuma mau eskrim! Kamu tau kan eskrim kesukaan aku? Ada di dapur kok, ayo dong ambilin please... aku kan sudah minum obat seperti yang kamu suruh, sekarang aku cuma minta eskrim." sekarang ia bahkan merengek lebih parah dari sebelumnya sambil mendorong
tubuh Adrian agar segera beranjak.
"Sekali tidak tetap tidak. Tidak ada perjanjian seperti itu tadi, jadi sekarang aku hanya akan memelukmu dan kamu harus tidur siang." ucap Adrian sambil membenarkan letak selimut kekasihnya.
"Aku nggak akan bisa tidur ini masih terasa banget pahitnya."
Adrian tidak menggubris ucapan Diandra sama sekali, ia hanya memberi tatapan penuh arti.
"Sayang... please..."
"Kalau ada permintaan saja panggil sayang sayangan." ucap Adrian dengan ketus.
"Baby..." kali ini Diandra memasang wajah innocent terbaik yang ia miliki.
"Dira, tidur ya." ucap Adrian dengan nada selembut mungkin.
"Tidak mau, aku mau makan eskrim!!" dan sekarang teriakannya sukses membuat Adrian kesal.
Adrian menangkap tangan Diandra yang sedari tadi mendorongnya, dengan cepat ia mengunci bibir gadis itu dengan bibirnya. Setelah Diandra berhenti memberontak, ia melepaskan tangannya dan berpindah memegangi wajahnya. Ciuman Adrian sangat halus dan lembut serta tidak tergesa-gesa.
Diandra benar-benar terbenam dan perlahan memejamkan matanya, mengangkat tangannya untuk memeluk bahu Adrian dan membawanya lebih dekat.
Adrian membuka mata dan tersadar dari lamunannya. Ia menghidupkan mesin dan perlahan melajukan mobilnya meninggalkan halaman apartemen Diandra.
Bagaimanapun, kenangan akan Diandra tidak akan pernah bisa ia lupakan karena Diandra adalah hal terbaik yang pernah ia miliki. Diandra adalah cinta pertama dan satu-satunya wanita yang ada dalam hatinya sampai saat ini.
Biarlah untuk saat ini mereka menjalani hidup masing-masing sampai cinta menemukan jalan takdir terbaik. Jika memang mereka ditakdirkan bersama, Adrian yakin tidak akan ada yang bisa menghalangi mereka untuk bersatu.
Satu kesalahan Adrian adalah bahwa ia tidak mengerti bahwa cinta juga butuh perjuangan, atau mungkin ia terlalu takut untuk patah hati dan kecewa untuk yang kedua kalinya.