Chereads / Me, After Losing You / Chapter 16 - (Not) My Love Story

Chapter 16 - (Not) My Love Story

"Ceritakan padaku. Kisah cintamu dengan Aldrich atau yang kau panggil… Adrian?"

"Mengapa kau terlihat begitu bersemangat?" tanya Diandra setengah tertawa melihat keantusiasan di wajah Claire.

"Mengapa tidak? Cepatlah mulai ceritanya, aku sudah tidak sabar mendengar kisah seperti telenovela yang sering kubaca. Ini sangat menarik karena ternyata benar-benar bisa terjadi di dunia nyata."

"Kau terlalu berlebihan Claire, tidak ada kisah telenovela disini." Ucap Diandra yang tidak bisa menahan tawanya.

"Ayolah Diandra, ceritakan dari awal pertemuan kalian sampai ia tiba-tiba meninggalkanmu dan bagaimana perjuanganmu mancarinya selama ini." Ucap Claire sambil mengguncang lengan Diandra dengan tidak sabaran.

Diandra tampak berpikir sebelum memulai dengan kalimat yang terdengar santai. "Aku sudah cukup terkejut mendengar kabar bahwa ada seorang siswa laki-laki yang masuk dengan cara tak biasa, lalu lebih terkejut lagi ketika melihat wajahnya yang lebih tak biasa."

"Lalu?" tanya Claire yang memandangi Diandra dengan intens.

Mengingat kembali kenangan berharga yang ia miliki bersama Adrian membuat Diandra tersenyum bahagia. Pikirannya menerawang menembus waktu lampau dimana mereka masih berseragam abu-abu.

Jejak-jejak memori masa lalu seakan tertumpah ruah di pikiran Diandra sebelum dia mulai bercerita sambil tersenyum. Untuk sejenak, dia bahkan melupakan masalah yang ada saat ini.

"Saat itu, dia menyapaku dengan senyum menawan di wajahnya yang seperti pahatan dewa yunani."

Flash back on

"Hai, aku Adrian.." ucap seorang pria muda tampan yang telah memasuki awal usia enam belas tahun. Sambil mengulurkan tangannya, ia tersenyum secerah matahari yang bisa melelehkan hati perempuan manapun.

Gadis muda yang berada di depannya hanya memandang takjub tanpa berkedip. Gadis itu mulai berpikir bagaimana bisa ada lelaki berwajah malaikat yang menyapanya sambil tersenyum seperti itu. Oh, bahkan ia sudah merasa besar kepala sendiri sekarang.

Gadis itu hampir tidak percaya bahwa pria yang ada di depannya adalah nyata. Sosoknya yang menjulang tinggi, tidak gemuk dan tidak kurus dengan rambut coklat gelap yang lebat. Walaupun wajahnya sangat kontras dengan wajah Indonesia, kulitnya tidaklah sepucat pria luar negeri kebanyakan. Namun untuk ukuran seorang pria, kulit Adrian terbilang cukup terang. Bagaimana bisa dia sesempurna ini?

Pria tampan yang mengaku sebagai Adrian itu melambaikan tangannya ke depan wajah gadis yang ia ajak berkenalan sampai gadis itu tersadar dari lamunannya. Setelah sadar bahwa tatapannya tak lepas dari pria di depannya, wajah gadis itu memerah menahan malu. Dia langsung mengulurkan tangannya dan hanya menjawab "Diandra."

Setelah jabatan tangan mereka terlepas, pria tersebut berlalu pergi menghampiri siswa lain yang ada di kelas ini. Pandangan Diandra tak pernah lepas sepanjang Adrian mengenalkan diri kepada setiap orang.

Hampir semua siswa berkenalan dengan siswa lainnya kecuali sebagian kecil yang pemalu seperti Diandra. Dia hanya duduk manis sambil sesekali menerima uluran tangan siswa yang mengajaknya berkenalan.

Hanya seperti itu sampai tiba-tiba seorang guru masuk dan memperkenalkan dirinya. Tak lama kemudian, guru tersebut mulai mengatur para siswa agar duduk sesuai dengan yang dia intruksikan.

Hanya ada dua puluh lima siswa sekaligus dua puluh lima kursi yang disusun lima baris dan lima kolom. Adrian duduk di kursi terdepan kolom pertama lalu kemudian secara kebetulan Diandra diperintahkan duduk di kursi terdepan kolom kedua, tepat di samping Adrian.

Ketika Diandra menoleh, Adrian kembali tersenyum seindah mentari yang membuat wajah Diandra merona. Dia buru-buru memalingkan wajahnya kepada guru yang sudah memulai pelajaran.

Keesokan harinya, pelajaran dimulai seperti biasa dan tidak ada hal yang berarti bagi Diandra, sampai tibalah waktu pulang pada pukul setengah empat sore.

Ketika semua siswa-siswi beranjak meninggalkan kelas untuk kembali ke rumah masing-masing, hanya tersisa Diandra di dalam kelas. Setelah beberapa saat akhirnya dia beranjak dari sana. Bukannya menuju gerbang utama sekolah, dia malah pergi menuju perpustakaan sekolah.

Setelah berkeliling mencari buku yang dia cari, akhirnya Diandra menemukannya, tepat di rak paling atas. Tanpa perlu mencobanya, dia sudah tau bahwa dia tidak akan mungkin bisa meraihnya.

Ketika dia menoleh ke seluruh penjuru ruangan, hanya ada beberapa siswa dan siswi. Namun, hanya ada satu orang siswa yang cukup tinggi yang mungkin bisa meraih rak teratas di perpustakaan ini. Tanpa ragu Diandra mendekatinya untuk meminta bantuan. Dia memang cukup pemalu dan tidak banyak bicara namun untuk sekadar meminta bantuan tak ada salahnya berbicara lebih dulu.

"Permisi kak." Sapanya tepat di belakang seorang siswa jangkung yang menghadap ke rak buku.

Ketika siswa tersebut berbalik untuk melihatnya, Diandra cukup terkejut ketika menyadari siapa orang yang ada di depannya.

"Adrian?"

"Iya. Diandra?" tanya Adrian balik.

"Ehh.. itu.. bisakah kau membantuku?"

"Kalau aku bisa tentu saja akan kubantu."

"Ikut sebentar denganku." Ucap Diandra kemudian berbalik dan berjalan di depan Adrian yang telah mengikutinya.

"Aku tidak bisa me.." Diandra tidak melanjutkan kata-katanya, tidak jauh dari tempat mereka berdiri ia melihat seorang siswi yang berdiri di atas kursi, jelas bahwa dia berusaha mengambil buku di rak teratas.

Diandra mendadak malu luar biasa, dia merasa sangat bodoh untuk hal biasa seperti ini. 'Matilah aku, mengapa aku bisa sebodoh ini? Bagaimana kalau dia berpikir bahwa aku hanya mencari alasan untuk berbicara dengannya?' pikir Diandra dalam hati.

"Ehh.. tidak jadi, aku akan mengambilnya sendiri. Terimakasih, Adrian." Ucap Diandra kemudian buru-buru pergi dari hadapan Adrian.

Bukannya pergi, pria itu malah mengikuti Diandra dan berbicara dengan santai.

"Dimana bukunya?" tanyanya yang tidak dihiraukan oleh Diandra. Gadis itu kini telah menuju kursi kosong, sebelum tangannya menyentuh kursi, Adrian lebih dulu menahan pergelangan tangannya.

"Hey.. kau kan sudah memanggilku jadi kursi ini tidak dibutuhkan. Lagipula apa kau tidak bisa membaca itu?" tanya Adrian sambil menunjuk tata tertib perpustakaan.

"Nomor tujuh." Sambungnya ketika Diandra menoleh ke arah yang ditunjuk olehnya.

Diandra semakin merasa malu sekarang. Dia bahkan tidak bisa menjawab apapun. Adrian menariknya menuju tempat mereka berdiri tadi kemudian bertanya sekali lagi.

"Dimana bukunya?" tanyanya dengan lembut.

"Di atas sana," ucap Diandra sambil menunjuk ke atas rak buku, "yang bersambul warna biru." Lanjutnya.

Adrian meraih buku tersebut dengan mudah lalu menyerahkannya kepada Diandra yang menundukkan wajahnya. Dia merasa gemas melihat gadis di depannya ini. Entah hanya perasaannya atau tidak, sejak awal mereka berkenalan, gadis ini selalu tersipu malu kepadanya. Tinggi gadis ini yang bahkan tidak mencapai bahunya membuat Adrian semakin gemas melihatnya.

"Umm.. terimakasih banyak, Adrian." Ucapnya masih sambil menunduk.

"Kembali kasih, Dira." Diandra mendongak mendengar nama panggilan yang digunakan pria di depannya.

"Anggap saja nama panggilan dariku." Ucap pria tersebut dengan santai.

Udara di sekitar Diandra semakin memanas sehingga dia memutuskan untuk segera pergi dari hadapan Adrian.

Setelah dia duduk dengan nyaman di sudut ruangan, terjadi hal yang tidak diperkirakan sebelumnya. Adrian juga ikut duduk dengan nyaman di sampingnya.

Diandra membulatkan mata melihat kehadiran pria di sampingnya. 'Mengapa sedari tadi dia mencoba menggodaku?' pikirnya.

Merasa dirinya ditatap denga intens, Adrian menoleh dan bertanya dengan santai, "Ada apa?"

"Mengapa kau duduk disini?" tanya Diandra balik.

"Apa kau melarangnya?" bagus, kini mereka hanya saling melempar pertanyaan.

"Haa.. tidak, tidak juga.. hanya saja.." Diandra tidak tau harus bagaimana melanjutkan kalimatnya sehingga dia mengalihkan pembicaraan. "Mengapa kau belum pulang?"

"Aku harus belajar lebih giat, kau tentu tau siapa dan bagaimana aku bisa masuk kesini kan?" Diandra hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Kau sendiri mengapa belum pulang?" lanjut Adrian.

"Aku juga harus belajar lebih giat, aku adalah anak tunggal jadi aku tidak bisa mengecewakan orang tuaku." Hal yang tidak dia katakan adalah bahwa dia merupakan pewaris tunggal perusahaan ayahnya sehingga mau tidak mau dia harus siap menjadi pemimpin disana suatu hari nanti.

Diandra tidak merasa bahwa dia adalah anak yang terlahir dengan kecerdasan luar biasa sehingga dia harus belajar keras mulai dari sekarang.

"Tapi tadi aku yakin tidak melihatmu disini." Ucap pria itu lagi.

"Tadi aku mengulang pelajaran sebentar di kelas." Jawab gadis itu singkat.

"Apa besok kau akan kesini lagi?" sekarang Diandra merasa bahwa pria disampingnya adalah orang yang paling banyak bertanya kepadanya hari ini.

"Aku akan datang kesini setiap hari."

"Kemarin kau tidak ada disini." Jika bukan karna pria ini adalah teman sekelasnya, Diandra mungkin akan pergi tanpa mempedulikannya.

"Kemarin adalah hari pertama jadi aku dijemput pulang."

'Sekarang dia akan bertanya bagaimana aku akan pulang hari ini.' Lanjutnya dalam hati.

"Lalu hari ini apa kau tidak akan dijemput?" sebenarnya Diandra mulai terganggu karena sedari tadi dia bahkan belum membaca satu paragraf dari buku yang dia pegang.

Dia tau bahwa Adrian tinggal di panti asuhan yang itu artinya dia tidak mempunyai orang tua maupun keluarga. Jika sekarang dia menjauhi Adrian, dia takut pria tersebut akan salah paham padanya. Dia takut Adrian akan berfikir bahwa dia adalah gadis kaya sombong yang tidak mau bergaul dengan seorang yatim piatu. Maka dari itu Diandra mencoba bersabar menghadapi segala pertanyaannya.

"Aku akan pulang naik sepeda."

"Really?" tanya Adrian tak percaya.

"Tentu saja."

"Aku juga naik sepeda."

"Wahh.. benarkah?? Kalau begitu maukah kau menjadi pengawalku ketika di jalan pulang, Rian?" tanya Diandra sambil tersenyum.

Kini giliran Adrian yang dibuat heran dengan panggilan yang digunakan Diandra padanya.

"Anggap saja nama panggilan dariku." Lalu mereka berdua tertawa seolah tidak ada siapapun di ruangan ini.

Begitulah hari-hari berlalu dengan canda tawa dan kebersamaan mereka. Setiap sore setelah jam pelajaran usai, mereka akan tetap belajar bersama di kelas atau pergi ke perpustakaan kemudian menghabiskan waktu sebentar di taman belakang perpustakaan.

Sebelum gerbang utama sekolah ditutup pada pukul enam sore, mereka akan keluar beriringan dengan bersepeda. Namun satu hal yang Diandra rahasiakan, rumahnya.

Sesampainya di depan gerbang kompleks perumahan yang ditinggali Diandra, dia akan menyuruh Adrian pergi dengan alasan bahwa dia takut Adrian akan terlambat pulang. Keesokan paginya, mereka akan bertemu kembali di depan gerbang yang sama untuk berangkat bersama.

Begitulah kedekatan yang terjalin di antara mereka dalam waktu dua bulan, tanpa ada ungkapan cinta dan semacamnya. Namun sepertinya takdir memaksa keduanya untuk mengungkapkan perasaan mereka lebih cepat dari yang seharusnya.

Walaupun Diandra bukanlah satu-satunya perempuan cantik di kelas sepuluh, faktanya banyak pria yang melirik Diandra dengan kagum. Tidak banyak yang tau kedekatannya dengan Adrian karena mereka hanya berinteraksi sewajarnya pada jam pelajaran sekolah.

Hingga pada suatu jam istirahat di kantin sekolah, terjadilah hal yang mendasari mereka berdua untuk menyadari perasaan masing-masing.

"Diandra, aku benar-benar menyukaimu sejak awal kita berkenalan. Maukah kau menjadi kekasihku?" tanya seorang pria berkulit sawo matang khas Indonesia sambil berlutut dan memegang setangkai mawar.

Sebenarnya pria ini cukup tampan tetapi kelakuannya sekarang membuat Diandra mual, dia benar-benar jijik dengan adegan seperti ini yang disaksikan oleh hampir semua pengunjung kantin.

"Maaf tapi aku sudah punya kekasih." Jawab Diandra santai lalu mencoba berlalu pergi namun dihalangi oleh beberapa teman pria tadi.

"Siapa?! Semua orang berkata kalau kau tidak punya kekasih!" ucap pria tadi dengan kasar.

"Apa kami harus mengumumkan hubungan kami?" tanya Adrian yang tiba-tiba muncul entah darimana.

Semua orang menoleh ke arah Adrian dan hampir semua gadis histeris mendengar perkataannya.

Adrian dengan mudah menerobos para pria yang mengelilingi Diandra dan menariknya kesamping tubuhnya. Tubuhnya yang lebih tinggi dari semua pria tersebut cukup mengintimidasi mereka.

"Jangan ganggu kekasihku lagi." Ucapnya dingin kemudian menggenggam tangan Diandra dan membawanya menuju taman belakang perpustakaan.

Sepanjang perjalanan Diandra tak henti-hentinya berkata betapa menjijikkannya situasi tadi. Pria itu hanya meniru adegan di dalam drama-drama televisi yang tidak berbobot sama sekali.

Sesampainya di taman yang sering mereka kunjungi, Adrian tidak langsung membawa Diandra duduk di bangku yang biasa mereka duduki. Dia hanya mematung dan menatap lurus ke depan.

Walaupun tempat ini adalah taman, taman ini masih kalah menarik dibanding taman di halaman depan yang banyak ditumbuhi bunga-bunga. Disini hanya ada kolam air mancur yang ditumbuhi bunga teratai, beberapa bangku panjang di bawah pohon rindang dan rumput kebun yang ditumbuhi bunga dandelion.

Diandra hanya diam melihat kebisuan Adrian. Setelah berfikir ratusan kali akhirnya Adrian menarik bahu Diandra agar menghadap ke arahnya dan menatap matanya dalam-dalam.

"Bagaimana jika aku yang mengatakan kalimat tadi?" tanyanya tiba-tiba. Diandra hanya mengedipkan matanya tak mengerti.

"Kalimat yang mana?"

"Yang pria tadi ucapkan."

"Kalimat yang mana aku tidak ingat, Rian. Mengapa tidak kau coba ucapkan saja?" tanya Diandra lagi.

Sebenarnya Diandra mengerti apa yang Adrian maksudkan, hanya saja dia ingin mendengar langsung darinya.

"Aku tidak tau sejak kapan tapi.. aku menyukaimu, Dira. Maukah kau menjadi kekasihku?" tanya Adrian dengan suara yang lembut.

Flasback off

"Lalu apa yang terjadi? Kau jawab apa? Apa kau langsung menerimanya? Huh.. dasar Aldrich tidak romantis, dia hanya bisa meminjam kalimat orang lain. Kau bilang dia begitu pintar tetapi dia bahkan tidak bisa merangkai kalimat yang lebih romantis." Claire memotong cerita Diandra dengan menggebu-gebu.