Chereads / Me, After Losing You / Chapter 17 - Dandelion

Chapter 17 - Dandelion

"Huh.. dasar Aldrich tidak romantis, dia hanya bisa meminjam kalimat orang lain. Kau bilang dia begitu pintar tetapi dia bahkan tidak bisa merangkai kalimat yang lebih romantis." Claire memotong cerita Diandra dengan menggebu-gebu.

Diandra hanya memutar bola matanya malas lalu beranjak ke dapur dan kembali dengan dua gelas milkshake strawberi dan dua gelas air putih di atas nampan.

"Wahh.. kau tau sekali kesukaanku. Ohh.. satu lagi Di, aku juga sangat menyukai jus apel hijau, that's my favorite, aku benci pepaya dan kau juga harus tau bahwa aku tidak bisa memakan alpukat karena aku alergi dengan lemak di dalamnya." Ucap Claire menjelaskan.

"Lemak di dalam alpukat tidak akan membuatmu gemuk dan lagipula aku tidak bertanya apapun mengenai kesukaanmu Claire." Ucap Diandra malas.

"Aku alergi Diandraa.. bukan takut gemuk karena lemaknya."

"Lalu pepaya?" tanya Diandra.

"Buahnya terlihat.. euhh.. menjijikkan. Oke, lupakan masalah buah-buahan itu, sekarang lanjutkan ceritamu." Ucap Claire sembari menyambar milkshake yang baru saja diletakkan Diandra di atas meja.

Diandra kembali duduk dan mencari posisi paling nyaman kemudian meminum air putih untuk meredakan tenggorokannya yang mulai kering. Dia melirik Claire dan bertanya-tanya dalam hati, bagaimana jika Claire tau dirinya yang sesungguhnya? Dia tidak begitu yakin kalau Claire masih akan mau berada di dekatnya.

Who knows?

"Ayo Diandra.. lanjutkan." Desak Claire tidak sabaran.

"Dasar tidak sabaran. Ya.. setelah itu kami berpacaran sampai lulus sekolah menengah dan dia menghilang begitu saja." Ucap Diandra sengaja menggoda Claire, entah mengapa melihat wajah Claire yang penasaran cukup menyenangkan baginya.

"Apa-apaan kau ini, mengapa singkat begitu? Aku mau yang mendetil seperti tadi." Claire semakin mengguncang lengan Diandra dengan wajah memelas.

"Kau mau dengar yang bagian mana lagi?" tanya Diandra masih menggoda Claire.

"Semuanya tanpa terkecuali dan kau harus melanjutkan bagian ketika dia menyatakan cintanya."

"Tapi itu agak sedikit.. privasi."

Claire mengerucutkan bibirnya dan memasang ekspresi cemberut. Dia meraih dan menghabiskan milkshake miliknya dalam sekali tenggak sampai dia tersedak minumannya sendiri.

"Claire! Hey.. kau tidak apa-apa?" tanya Diandra sambil mengusap punggung Claire dengan lembut. "Aku hanya bercanda, mengapa kau mudah sekali dibohongi? Dasar wanita bodoh." Ucap Diandra sambil menyodorkan air putih pada Claire, dia bahkan tidak ingat bahwa Claire adalah atasannya di kantor. Lagipula, siapa yang peduli?

Claire hanya tersenyum penuh kemenangan kemudian meminum air putih dengan normal kembali setelah sebelumnya terbatuk-batuk dengan dramatis. Jelas bahwa dia mengerjai Diandra balik.

"Ayo lanjutkan bagian yang tadi." Ucap Claire dengan penuh kegembiraan.

"Huft.. dasar gadis nakal, ternyata Darren benar ya." Ucap Diandra yang ditujukan kepada dirinya sendiri.

Claire mendekatkan bibirnya ke telinga Diandra dan mulai berbisik menggoda Diandra, "Aku tidak gadis lagi, nona."

Diandra yang mendengar itu lantas merona malu, bagaimana bisa wanita ini mengatakannya dengan mudah?

"Ehm.." Diandra berdeham untuk meredakan tenggorokannya yang tercekat sebelum melanjutkan, "baiklah, jangan katakan apapun lagi, kau hanya perlu mendengarku."

"Selama kau bercerita aku hanya akan mendengarkanmu." Claire mencoba meyakinkan Diandra namun jelas terlihat di wajahnya bahwa dia masih berniat menggoda Diandra.

"Mm.. sampai mana tadi?" tanya Diandra yang mendadak lupa akibat ulah Claire.

"Sampai Aldrich bertanya apa kau mau menjadi kekasihnya." Jawab Claire santai.

"Mm.. well, karena kami di taman belakang, hanya ada bunga teratai dan dandelion disana, jadi dia memetik setangkai benih dandelion yang cukup besar."

"Benih dandelion?"

"Ya, benihnya, warnanya putih bersih seperti salju. Jangan katakan bahwa selama ini kau berpikir itu adalah bunganya?" tebak Diandra yang tepat sasaran.

"Memangnya bunganya yang mana lagi kalau bukan yang berwarna putih itu? Lagipula, mengapa dia tidak memberimu bunga alih-alih bibit bunga? Dia tidak mungkin kan menyuruhmu menanam bibit dandelion di rumahmu?" tanya Claire panjang lebar.

Sesaat setelah Claire mengeluarkan semua pemikirannya yang diluar nalar orang biasa, Diandra tertawa terbahak-bahak hingga air matanya keluar. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa wanita sepintar Claire ternyata memiliki sisi bodoh yang diluar dugaan.

"Mengapa kau tertawa?" tanya Claire heran.

"Sebenarnya kau hanya mengalihkan ketidaktahuanmu akan bunga dandelion, lalu kau menyalahkan Aldrich yang memetik benih dan bukan bunga, jika aku bilang bahwa bunga dandelion belum mekar saat itu, kemudian kau akan menyalahkan taman itu karena tidak memiliki bunga lain." Ucap Diandra yang masih tertawa.

"Sudahlah, tidak perlu membahas bunga, yang terpenting adalah kalimat yang akan dia ucapkan." Claire kembali memasang wajah merajuk karena Diandra menertawai dirinya habis-habisan.

Dia baru saja mencari tau lewat internet bahwa bunga dandelion adalah yang berwarna kuning dan yang putih seperti salju adalah benihnya yang akan terbang terbawa angin.

"Baiklah.. baiklah.. bunga dandelion memang belum mekar pada saat itu, walaupun sudah ada yang mekar aku yakin Rian pasti akan mengambil benihnya karena dia menceritakan filosofi benih tersebut."

Claire hanya diam menanti kelanjutan kalimat Diandra, dia tidak mau memotong cerita Daindra dan berakhir dengan mempermalukan dirinya sendiri seperti tadi.

"Dia bilang aku mirip seperti dandelion dan harus lebih mirip lagi. Seperti benih dandelion yang sederhana namun indah, dia bilang aku juga begitu. Aku juga harus seperti bunga dandelion yang lemah tapi masih tegar dan berdiri di tengah terpaan angin, walau suatu saat benihnya akan terlepas dan terbang terbawa hembusan angin, dia tetap berani terbang sendiri. Setelah benih-benihnya ia lepaskan, barulah ia akan mekar dan menunjukkan keindahannya."

"Lalu bagaimana dengan benihnya yang terbang tadi?" tanya Claire dengan wajah polosnya yang tidak polos.

Diandra hanya mengulum senyum mendengar pertanyaan Claire.

"Kau tidak perlu memikirkannya satu persatu, kau hanya perlu memetik hikmah dari filosofi dandelion tersebut. Hal itulah yang membuatku bertahan sampai saat ini, hal itu jugalah yang membuatku berani datang kemari. Aku pikir aku hanya perlu bersabar untuk memetik buah dari kesabaranku."

Melihat wajah Diandra yang mulai serius, Claire hanya diam memandangnya.

"Aku doakan kau memang berjodoh dengan Darren, tapi ingatlah Claire, jika suatu hari nanti kalian berselisih, kau harus bertahan dan meminta penjelasan darinya, tapi jika memang dia menyerah pada hubungan kalian dan jelas-jelas memintamu pergi, kau harus berani seperti benih dandelion yang terbang bersama angin." Claire memasang ekspresi yang sulit diartikan Diandra, tampaknya dia berpikir keras atau mungkin merasa takut.

"Hey.. aku benar-benar berharap bisa hadir di pesta pernikahan kalian. Tadi aku hanya menasehatimu sebagai sesama wanita, setidaknya jika itu terjadi, kau harus percaya bahwa masih ada orang yang menyayangimu." Claire mengangguk dan tersenyum kecil mendengar perkataan Diandra tentang pernikahan.

"Lanjut ke cerita, setelah itu aku menerimanya dan sebulan kemudian akhirnya aku memutuskan untuk mengenalkan Rian pada kedua orang tuaku." Claire membulatkan matanya mendengar ucapan Diandra, dia tak menyangka mereka akan seberani itu. They still first grade!!

"Apa lagi yang kau pikirkan? Aku mengajaknya kerumah untuk belajar bersama, jika sebelumnya kami menghabiskan waktu sore di sekolah, kali ini aku mengajaknya langsung pulang dan belajar bersama di rumah pohon di belakang rumahku.

"Yahh.. tentu saja aku mengenalkan dia sebagai teman dekatku terlebih dahulu, melihat kedua orang tuaku yang sangat hangat kepadanya, aku memberanikan diri mengakui hubungan kami kepada ibuku dan diluar dugaan, ibuku tidak marah sama sekali. Dia hanya menasehatiku perihal belajar dan nilai-nilaiku yang harus bagus. Ketika ibuku memberitau ayahku, ayahku juga tidak marah.

"Menurut mereka Rian adalah anak yang baik dan sopan, mereka bahkan mendukungku dan memberiku semangat agar aku belajar lebih giat lagi. Mereka bilang bahwa dimasa depan nanti aku harus pantas berada di samping Rian karena mereka tau bahwa Rian adalah orang yang jenius. Berhubung aku anak tunggal, tentu saja orang tuaku selalu mencari tau perkembangan sekolahku sehingga mereka bisa tau hal itu.

"Kau tau Claire? Semuanya baik-baik saja, tidak ada yang berubah, oh.. kalaupun ada yang berubah itu adalah perasaanku yang semakin dalam kepadanya. Aku merasa bahwa Adrian adalah takdirku, aku merasa aku tidak akan bisa hidup tanpanya.. aku.. aku mera.." bulir air mata yang sudah ditahan Diandra akhirnya terjatuh juga.

"Hey.. tapi kau masih hidup sampai sekarang dan kau bahkan bertemu denganku dan juga Darren." Claire merangkul Diandra mencoba menghiburnya, dia bisa merasakan kesedihan yang dirasakan Diandra selama ini, karena sepertinya perasaan mereka sama dalamnya terhadap orang yang mereka cintai.

'Aku memang masih hidup, tapi.. andai saja kau tau, Claire.' Ucap Diandra dalam hati.

Claire tersenyum memberi isyarat agar Diandra melanjutkan.

"Setelah hari kelulusan, Adrian terlihat berubah, aku tidak tau apa yang terjadi dan tidak berani bertanya. Kami lulus di universitas yang sama, awalnya aku pikir ini tentang biaya kuliah jadi aku tidak berani membahasnya karena itu adalah hal yang cukup sensitif. Tapi sampai pada hari terakhir pendaftaran ulang, Adrian tidak datang dan tidak melakukan pendaftaran ulang.

"Setelah aku bertanya kepada pihak sekolah, mereka mengatakan bahwa Rian mendapatkan beasiswa penuh, dengan nilai tes yang sempurna, tidak diragukan lagi. Aku berusaha tenang dan memikirkan hal-hal baik sebelum datang ke panti asuhan dan mendengar kabar bahwa Adrian telah pergi tiga hari yang lalu, hari terakhir dimana kami bertemu dan berkencan hingga malam hari.

"Aku mengingatkannya untuk datang besok hari dan melakukan pendaftaran ulang bersama di sekolah, dia hanya tersenyum dan menggandeng tanganku di bawah kerlap-kerlip lampu neon di taman bermain. Karena sejak hari kelulusan dia terlihat berubah, aku sangat senang karena pada malam itu dia kembali seperti biasa.

"Kami naik kincir angin raksasa dan berhenti di puncak teratas. Saat itu dia memelukku erat-erat yang anehnya baru kusadari setelah dia menghilang. Dia bahkan mengantarku pulang dan menciumku di depan pintu rumahku. Aku benar-benar tidak memikirkan kemungkinan orang tauku akan melihat kami." Ucap Diandra sambil tertawa kecil.

"Keesokan paginya aku tidak bisa menghubunginya, lalu malam harinya dia hanya mengirimkan pesan dan menyuruhku untuk melakukan daftar ulang besok lalu dia akan mendaftar di hari terakhir. Aku tidak melakukannya dan memutuskan akan datang ke sekolah dan mendaftar di hari terakhir nanti bersamanya."

Claire masih diam memandang dan mencoba menyelami perasaan Diandra, dia berandai-andai jika hal itu terjadi padanya, maka mungkin dia akan memilih mengakhiri hidupnya, oh.. tidak, itu terlalu buruk. Mungkin akan lebih baik jika dia mabuk saja, oh.. tidak bisa, satu gelas saja dan alih-alih mabuk dia akan langsung pingsan. Atau, bagaimana dengan obat-obatan terlarang?

Claire menggelengkan kepalanya, dia mulai kesal dengan otaknya yang terlalu kreatif, lagipula tidak mungkin Diandra akan terjerumus ke jalan itu kan?

"Lalu, bagaimana dengan orang tuamu? Tadi kau bilang kau anak tunggal kan? Apa orang tuamu tidak keberatan kau datang kemari? Bukankah kau harus belajar menjadi pemimpin di perusahaan ayahmu?" tanya Claire yang belum tau apa-apa tentang kejadian selanjutnya.

Diandra hanya tersenyum miris mendengar pertanyaan Claire. "Orang tuaku sudah meninggal dan perusahaan ayahku juga sudah direbut oleh orang lain."