"Hey.. kau menangis? Are you okey?" tanya Darren lagi yang mulai khawatir.
"I miss you badly.." jawab Claire dengan suara serak menahan isakan tangis.
"Hey.. hey... ada apa ini? Kalian dimana sekarang?" Claire hanya terdiam mendengar pertanyaan dari seberang telepon, ia sangat senang dan terharu. Setelah lebih dari satu bulan, akhirnya ia bisa mendengar suara seseorang yang sangat ia rindukan.
"Sa.. sayang.." setelah meredakan tenggorokannya, hanya kalimat itu yang bisa Claire ucapkan.
"Claire, mengapa kau bisa bersama Eve?" Claire masih diam tak menjawab, pasalnya ia tak tau harus menjawab apa, lebih tepatnya otaknya mungkin telah berhenti bekerja untuk saat ini.
"Oke, begini saja, berikan ponselnya pada Eve sekarang." Ucap Darren lagi.
Sebelum Claire sempat menjawab apapun, terdengar sambungan telepon yang terputus. Sontak saja ia panik dan buru-buru menghubungi kembali nomor tadi, tersambung dan.. ditolak.
Tidak kehabisan akal, Claire mencoba memeriksa ponsel Eve atau siapapun nama wanita tadi. Ia sangat yakin ponsel ini pasti juga memiliki semacam pelacak seperti yang ada di ponsel Darren dan ia sedikit banyak mengerti cara menggunakannya.
Namun, belum sempat ia menemukan lokasi terkini nomor tadi, Eve sudah merebut ponselnya kembali.
"Aku pikir aku hanya mengizinkanmu menghubungi Darren."
"Tap.."
"Tidak masalah, aku memaafkanmu kali ini karna aku sedang bertugas dan tidak punya waktu untuk berdebat." Ucap wanita tersebut tak acuh. "Maaf Claire, aku harus segera pergi." Tambahnya sebelum beranjak pergi dari hadapan Claire yang masih mematung.
Setelah Claire mendapatkan kembali kesadarannya, ia tidak melihat Caroline dimanapun. Ia berusaha menenangkan diri dan menghapus sisa air mata dari wajahnya. Sekarang, ia bahkan merasa lebih buruk dari sebelumnya.
Berpikir bahwa ia mungkin akan pingsan disini, Claire segera melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu. Seperti sebelumnya, tanpa tujuan. 'Mungkin aku harus membeli ponsel baru.' Pikirnya.
Disisi lain, seorang pria yang telah mendapat panggilan telepon dari kekasihnya merasa senang bukan main. Pasalnya, sudah hampir seminggu ia mencari kekasihnya itu namun ia tidak bisa menemukannya dimanapun.
Ia segera mematikan panggilan telepon karena sudah tidak sabar ingin bertemu dengan kekasihnya.
Ia tau Evelyne berada dimana karena sekarang ia juga berada di gedung yang sama. Jangan tanya mengapa karena ia sendiri yang membawa Eve untuk memata-matai seseorang disini. Hanya saja mereka harus terpisah ketika kedua target mereka juga berpisah.
Tidak butuh lama bagi Darren untuk melacak keberaaan Eve melalui ponselnya, masih di dalam gedung. Namun, ia menjadi bingung ketika memikirkan alat perekam yang telah ia letakkan di dalam ruangan minum teh tempat targetnya berada. Kalau bukan karena target kali ini teramat pintar dan licik, ia tidak akan mau turun tangan langsung.
Ponsel Darren berdering sekali lagi dan ia buru-buru mengangkatnya ketika melihat nama Danny di layar.
"Hallo Claire." Sapa Darren tanpa pikir panjang.
"Aku pikir ini ponselku." Jawab suara di sebrang dengan datar.
"Oh, maaf Eve, kau ada dimana sekarang? Apa kau masih bersama Claire?" tanpa ia sadari, wajah Eve di seberang telepon berubah menjadi muram.
"Tidak, tapi aku sudah mendapatkan sidik jari wanita tadi, jadi sekarang aku akan.." ucapan Eve terpotong ketika Darren menyela dengan tidak sabar.
"Nanti saja Eve, sekarang tolong kemari dan gantikan aku. Kau hanya perlu mengambil perekam di.."
Kesal dengan sikap Darren, Eve menyela balik dengan tajam. "Darren, kita sedang bekerja, tidak bisakah kau profesional sedikit?!" ia bahkan menaikkan suaranya.
"Aku tau tapi.. aku harus menemukan Claire sekarang, aku yakin dia masih ada disini. Please."
Eve hanya menghela nafas kasar sebelum menjawab, "Kalau begitu selesaikan tugasmu biar aku yang akan menahan Claire bersamaku!"
Setelah itu Darren hanya mendengar nada sambungan terputus. Ia tau dari nada bicara Eve bahwa wanita itu sedang kesal dan ia tidak bisa menyalahkannya.
Sepuluh menit yang terasa satu jam akhirnya berlalu ketika Darren melihat target yang ia intai keluar dari ruangan minum teh. Setelah yakin mereka telah pergi jauh dan sebelum pelayan membersihkan ruangan itu, ia buru-buru masuk dan menemukan secarik kertas bertuliskan 'LOSER' di atas meja.
Darren sama sekali tidak tampak khawatir dan malah tersenyum miring. Ia meraba sesuatu di balik permukaan meja dan menemukan apa yang telah ia tebak, alat perekam yang telah dirusak. Bagus, itu artinya rencananya berhasil.
Ruangan ini didesain dengan gaya china yang mana para pengunjung duduk di atas bantalan yang langsung diletakkan di atas karpet tebal. Ia sengaja meletakkan dua buah alat perekam yang mana satu diantaranya harus mudah ditemukan mereka, sehingga mereka tidak akan berpikir bahwa masih ada perekam yang kedua.
Darren segera mengambil perekam lainnya yang ia letakkan tepat di bawah karpet di dekat meja. Corak karpet membuat orang tidak menyadari bahwa ada sayatan memanjang disana. Belum lagi bentuk perekam yang setipis kertas membuat ia tidak akan terdeteksi.
Seperti yang diharapkan, alat tersebut masih utuh dan Darren yakin dapat berfungsi dengan baik. Dalam hati ia mengumpati anak buahnya yang selalu gagal dalam melakukan hal semudah ini. Walau ia akui bahwa terget kali ini cukup cerdik.
Setelah itu, Darren buru-buru menghubungi Eve kembali. Ia benar-benar tidak sabar untuk berjumpa dengan pujaan hatinya.
"Hallo." suara di seberang telepon terdengar datar dan jelas tidak ramah.
"Eve, apa kau menemukan Claire?" tanya Darren to the point.
"Restoran cepat saji di lantai tiga." Setelah mengatakan itu, Eve langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
Darren hanya bisa mengumpat dalam hati melihat kelakuan Eve yang sesuka hati. Jika bukan karena mereka berteman sejak kecil, sudah pasti ia akan menceramahi dan mengatakan bahwa Eve adalah bawahan yang tidak punya sopan santun.
Ia setengah berlari menuju lift dan segera menekan tombol menuju lantai tiga. Tidak sampai sepuluh detik ia telah mencapai lantai tiga dan kembali dibuat bingung oleh perkataan Eve yang tadi.
Ada banyak restoran disini! Cepat saji? Menurutnya semua makanan yang ada disini adalah makanan cepat saji.
Sebelum ia bisa mengumpat lagi, suara seseorang memanggil dari jarak yang cukup dekat. "Darren." Oh bukan, suara itu tepat berada di belakang tubuhnya. Darren memutar tubuhnya dan mendapati wajah Eve yang tampak masih kesal.
"Berikan rekaman itu padaku." Ujarnya datar sambil menadahkan tangan ke depan wajah Darren. Tanpa pikir panjang Darren meletakkan rekaman setipis kertas tadi di atas tangan Eve.
"Aku akan kembali lebih dulu bersama Liam." Setelah itu Eve berbalik untuk meninggalkan Darren namun lengannya ditahan.
Tanpa menolehkan wajahnya, Eve kemudian berkata, "Claire duduk disana kalau kau belum melihatnya."
"Aku tau, hanya.. hati-hati."
"Aku tau." Setelah itu Eve menarik lepas lengannya dari cengkraman atasan sekaligus teman masa kecilnya.
Darren hanya menghela nafas kemudian beranjak menuju seseorang yang tengah memandangnya dengan mata berembun. Tadi saat ia berbalik, sebenarnya orang pertama yang ia lihat adalah Claire yang sedang duduk memandangnya.
Hanya tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai di meja yang ditempati Claire ketika wanita itu dengan tidak sabar berdiri dan berlari kemudian menghambur ke pelukan kekasihnya, orang yang teramat ia rindukan.
Isakan kecil yang ditahan Claire mati-matian akhirnya terdengar juga dan untuk sesaat Darren hanya membiarkannya menangis dipelukannya.
"Sayang.. udahan dong nangisnya." Bujuk Darren sambil membawa Claire kembali ke mejanya, Claire hanya mengangguk dan semakin mempererat pelukannya sebagai balasan.
Darren mendorong bahu Claire dengan lembut kemudian menatap matanya dalam-dalam. Iapun menghapus air mata yang masih berderai di wajah kekasihnya itu.
"Kamu.. jauhin.. aku." Ucap Claire sesenggukan.
"Maafin aku sayang, maaf." Darren membawa Claire kembali ke pelukannya.
"Kamu.. kamu jalan sama.. sama wanita lain di taman, minggu lalu." Darren melepas pelukannya dan kembali menatap Claire.
"Aku bisa jelasin, oke? Tapi kamu jangan nangis lagi." Claire hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Kamu sangat merindukanku ya?" tanya Darren yang membuat Claire melotot sebal dan menghadiahi kekasihnya dengan pukulan di lengan.
"Jadi kamu tidak merindukanku? Padahal aku sangat sangat sangat merindukan kekasihku yang cantik ini." Ucap Darren dengan dramatis.
"Cepat katakan siapa wanita itu!" ucap Claire galak.
"Hanya teman."
"Bukan itu jawaban yang kumau."
"Jadi kamu maunya aku jawab apa? Selingkuhan?" tanya Darren tersenyum jahil.
Claire hanya mencebikkan bibirnya yang membuat Darren semakin gemas melihatnya.
"Kamu kok lucu banget sih sayang?" tanyanya lagi sambil mencubit pipi kekasihnya pelan.
"Sayang.." ucap Claire dengan nada merajuk.
"Oke oke, aku akan jelaskan." Darren menatap kekasihnya dengan serius. "Kamu yakin tidak mengingat dia siapa?"
"Aku tidak melihat wajahnya."
Darren menghela nafas sebelum menanggapi. "Pantas saja kamu kabur dan bersembunyi entah dimana." Claire mengernyitkan kening, tidak mengerti maksud dari perkataan kekasihnya itu.
"Dia mantan kekasih Aldrich."
Diandra yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka hampir menjatuhkan gelas yang ia pegang. Ya, ia telah disana sejak Claire datang bersama seorang wanita. Ia duduk tepat di belakang meja mereka, bentuk sofa dengan sandaran yang cukup tinggi membuat siapapun tidak akan mudah dikenali dari belakang. Walaupun Diandra membelakangi Claire, ia masih bisa mengenali suaranya dengan mudah.
Diandra yang tidak mau bertemu dengan Claire hendak pergi namun ia khawatir Claire akan melihatnya. Maka, ia memutuskan untuk tetap diam di tempatnya.
Hal yang membuat ia kaget adalah ketika ia mendengar suara Darren, orang yang telah banyak membantunya selama ini. Awalnya ia sedikit tidak yakin, namun saat pria itu menyebut 'mantan kekasih Aldrich', ia yakin bahwa pria itu adalah Darren.
Muncul pertanyaan baru di benak Diandra, 'Darimana dia tau?'
"Darimana kamu tau?" tanpa sadar Diandra bersyukur saat Claire mewakili pertanyaannya.
"Kamu kan pernah nunjukin fotonya waktu itu."
"Kapan? Aku tidak ingat." Lagi-lagi Claire mengerutkan kenignya yang halus.
Darren mulai gemas melihat wajah kekasihnya yang tampak kebingungan. Ia tidak bisa menahan tangannya untuk tidak menarik hidung Claire. "Kamu kok jadi pelupa begini sih..?"
"Aduhh.. sakit, babe."
"Ingat tidak waktu kamu pernah membuka dompet Aldrich seperti pencuri dan menemukan foto perempuan muda? Lalu kamu diam-diam mengambil gambarnya dengan ponselmu dan mengirimkannya padaku, berpikir bahwa kekasihmu ini adalah seorang detektif yang bisa menemukan perempuan itu yang bisa berada dimana saja." Jelas Darren panjang lebar.
"Ah.. ya, aku ingat bagian itu. Lalu?" tanya Claire dengan wajah yang sudah berseri-seri.
"Tentu saja kekasihmu yang hebat ini bisa menemukannya."
"Lalu?"
"Lalu kita harus membantu dia agar kembali kepada Aldrich."
"Lalu?" tanya Claire lagi seolah ia belum merasa puas dengan jawaban yang Darren berikan.
"Lalu apa?" Darren malah balik bertanya sehingga membuat Claire kesal dan mengerucutkan bibirnya.
"Hey.. apa lagi sekarang? I don't know what you want to hear from me." Darren bertanya lagi pada Claire yang sudah terlihat merajuk.
"Lalu pertunangan kami akan dibatalkan dan kita bisa menikah secepat.."
Prangg…!!!
Tiba-tiba terdengar suara pecahan gelas yang cukup nyaring. Dapat dipastikan bahwa gelas tersebut sengaja dibanting oleh seseorang yang berada tepat di belakang Darren dan Claire.
Diandra sungguh sangat kesal dan kecewa sekarang. Awalnya ia berniat hanya duduk dan mendengarkan percakapan mereka. Namun saat ia bisa menyimpulkan bahwa ia telah dimanfaatkan, ia merasa terkhianati dan tidak bisa menahan emosinya.
Diandra langsung berdiri dan berbalik menghadap orang yang ada dibelakangnya. Darren dan Claire jelas kaget melihatnya.
"Ohh, ternyata kalian adalah sepasang kekasih yang hanya memanfaatkanku untuk kepentingan kalian sendiri." Ucap Diandra kemudian tertawa sumbang. "Selamat! Kalian telah berhasil membodohiku."
"Dian.. Diandra ini tidak seperti yang kau fikirkan." Ucap Claire gugup mencoba memberi penjelasan.
"Jangan mencoba membodohiku lagi, aku mendengar semuanya. Ternyata kalian hanya berpura-pura baik selama ini."
"Diandra.. aku.. aku dan Aldrich tidak.." ucapan Claire terpotong saat Diandra menyela dengan tajam.
"Ini bukan tentang Adrian!!" bentak Diandra yang membuat beberapa pengunjung restoran menoleh ke arah mereka.
Diandra mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya di atas meja.
"It's only about us." Ucapnya dengan dingin kemudian beranjak pergi. Ia menghempaskan tangan Claire yang mencoba menahannya.
"Diandra dengarkan aku dulu, heyy.." Claire mencoba mengejarnya namun Darren segera menahannya.
"Biarkan saja."
"Apa maksudmu biarkan saja?!" tanpa sadar Claire meninggikan suaranya.
"Jangan membentakku sayang." Darren berbicara dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Aku harus mengejarny.. ahh.. " Claire hanya bisa berlari beberapa langkah sebelum ia berpegangan pada pinggiran meja.
Darren segera menghampiri Claire dengan khawatir. "Apa masih menyakitkan sayang? Kita ke rumah sakit ya?" tanyanya dengan panik.
Claire malah mengabaikan pertanyaan Darren dan balik bertanya. "Darimana kau tau?"
"Kita ke rumah sakit dulu." Darren bahkan sudah mencoba menggendong Claire namun ditahan oleh wanita itu.
"Aku baik-baik saja tidak perlu digendong. Sekarang cepat katakan kau tau darimana."
Darren hanya menghela nafas melihat kekeraskepalaan kekasihnya itu. "Bagaimana bisa aku tidak tau kalau kau meninggalkan sepatu dan ponselmu disana?"
"Ponselku!" ucap Claire kegirangan.
"Kalau mau ponsel kamu balik kamu harus ikut ke apartemenku."
"Nanti saja. Sekarang kita harus ke tempat Diandra."
"Claire dengar.."
"Please…" ucap Claire memelas. Kalau sudah seperti ini Darren pasti tidak bisa menolaknya.
"Baiklah." Ucapnya pasrah.