"Tentu saja, kau harus menceritakan semuanya agar aku bisa mencoba mengerti." Ucap Diandra tersenyum tulus.
Claire menarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya perlahan. Ia tidak ragu sedikitpun menceritakan semuanya pada Diandra, entah aura apa yang dimiliki Diandra hingga ia bisa mempercayainya bahkan saat pertama kali mereka bertemu.
"Orang tuaku dan ayah Aldrich bersahabat sejak mereka di sekolah menengah. Kedua orang tuaku menikah dan ayah Aldrich sangat ingin menjadi bagian dari keluarga kedua sahabatnya, jadi mereka sepakat untuk menjodohkan anak-anak mereka.
"Sebenarnya yang dijodohkan dengan Aldrich adalah saudara kembarku, tapi dia sudah meninggal."
Diandra langsung menoleh kearah Claire, ia tak menyangka akan mendengar hal seperti ini.
"Bukan masalah, itu sudah lama sekali. Dia meninggal sejak berumur enam tahun dan saat itu jugalah Aldrich menghilang."
Kali ini, Diandra semakin kaget mendengar ucapan Claire. Adrian menghilang? Apakah itu sebabnya ia bisa sampai sampai ke Indonesia? Tapi bagaimana caranya? Diculik dan dibuang?
"Kalian seumuran?" tanya Diandra memastikan.
Bukannya menjawab, Claire malah bertanya balik. "Darimana kau tau?"
"Adrian pernah bercerita kalau ia tinggal di panti asuhan sejak berumur enam tahun."
"Jadi namanya di Indonesia adalah Adrian?" tanya Claire lagi yang dijawab anggukan oleh Diandra.
"Mengapa itu bisa terjadi bersamaan? Apakah orang-orang tau bahwa mereka dijodohkan?" tanya Diandra bingung.
"Semua orang tidak ada yang tau mengapa hal itu bisa terjadi bersamaan. Mengenai perjodohan hanya sedikit orang yang tau. Memang kedua orang tua kami sempat berfikir mungkin saja ada orang yang merencanakannya.
"Tapi itu juga tidak mungkin mengingat bahwa perjodohan ini tidak menyangkut perusahaan atau politik dan semacamnya. Lagipula pada saat itu kedua orang tua kami tidaklah terkenal. Perusahaan tuan Harris tidaklah sebesar sekarang dan restoran kedua orang tuaku tidaklah banyak."
"Tuan Harris?" tanya Diandra.
"Mm, ayah Aldrich." Jawabnya sebelum melanjutkan. "Lalu mereka semua melupakan perihal perjodohan itu sampai saat dimana Aldrich muncul kembali."
"Kapan ia kembali?"
"Tepat delapan tahun yang lalu, dua tahun setelah aku dan Darren menjalin hubungan sejak kelulusan sekolah menengah. Satu hal yang membuat aku bingung adalah saat itu ia baru saja lulus sekolah menengah, padahal umur kami sama. Saat itu bahkan aku bisa duduk di bangku kuliah pada tahun kedua."
"Ia tinggal di panti asuhan, jadi tidak mungkin Adrian bisa sekolah. Tapi karena ia begitu cerdas, akhirnya ia bisa masuk sekolah menengah melalui beasiswa. Kau tau Claire? Adrian langsung masuk sekolah menengah hanya dengan sekali ujian tanpa menempuh pendidikan dasar selama sembilan tahun, tapi ia tertinggal setahun dan aku senang karena kami bisa sekelas saat itu." Ucap Diandra sambil tersenyum.
"Tapi tunggu Claire, bukankan umur kalian sama? Mengapa kau sudah kuliah selama dua tahun?" tanya Diandra bingung.
"Seharusnya begitu, tapi aku berhenti kuliah selama setahun. Aku hanya menghabiskan satu tahun masa kuliah bersama Darren karena setelah itu dia harus menjalani latihan sebagai pemimpin perusahaannya. Dia juga belajar, hanya di tempat yang berbeda dan secara khusus." Jelasnya panjang lebar.
"Tapi tetap saja kau seharusnya tidak bisa.. maksudku, bukankah seharusnya kau baru lulus satu tahun?" Diandra tidak tau lagi bagaimana harus menjelaskan hal yang ia pikirkan.
"Kalau Aldrich turun satu tingkat maka aku naik satu tingkat." Lanjut Claire sambil tersenyum melihat wajah bingung Diandra.
"Kau tau kan kalau sekolah menengah disini selama enam tahun?" Diandra mengangguk, tentu saja ia tau hal itu. Tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, bedanya hanya pada pembagiannya saja.
Jika di Indonesia pendidikan dasar ditempuh selama sembilan tahun dan sekolah menengah selama tiga tahun, maka pendidikan dasar di Australia ditempuh selama enam atau tujuh tahun dan sekolah menengah selama enam atau lima tahun, tergantung daerah masing-masing. Pada dasarnya keduanya membutuhkan waktu dua belas tahun sebelum masuk ke jenjang kuliah, sama seperti di Indonesia.
"Pada saat aku masuk di tahun pertama, Darren sudah berada di tahun kedua tapi aku sama sekali tidak mengenalnya. Kami berkenalan secara tidak sengaja. Aku selalu menunggu jemputan supir di gazebo depan sekolah, di bulan kedua tiba-tiba ia datang ke gazebo dan duduk berjauhan di sampingku. Aku tidak tau sebelumnya ia membawa mobil atau tidak karena aku memang tidak pernah melihatnya.
"Kau tau yang apa yang membuat aku kesal saat itu? Semua teman wanitaku selalu mengganggu dan bahkan menghinaku hanya karena mereka berfikir aku adalah siswi baru tercantik. Bukan hanya temanku di tingkat pertama, siswi di tingkat atas juga banyak yang membenciku dan secara langsung menatapku dengan penuh permusuhan.
"Tapi apa yang terjadi? Darren bahkan tidak melirikku sedikitpun, aku tidak kesal pada Darren melainkan pada perempuan-perempuan yang memusuhiku. Tapi akhirnya aku penasaran dan mulai memperhatikan Darren setelah empat hari kami hanya duduk diam di tempat.
"Aku baru sadar bahwa ia sangat tampan, pantas saja dia tidak melirikku. Sudah pasti banyak perempuan yang memuji dan mendekatinya, kemudian dengan tidak tau malunya aku mencoba berbicara dengannya. Aku ber-alibi bahwa ponselku mati dan meminjam ponselnya untuk menghubungi supir yang menjemputku, anehnya dia langsung percaya dan memberikan ponselnya." Claire tertawa puas setelahnya, baru sekarang ia merasa bahwa ia sangat tidak tau malu saat itu.
"Sejak hari itu aku mengajaknya berbincang sembari menunggu jemputan pulang dan dia menanggapi walau terkesan dingin. Lalu aku tidak tau kapan tepatnya aku jatuh cinta padanya, yang aku tau adalah aku harus belajar keras agar bisa mengajukan akselerasi dan berada satu tingkat dengannya."
"Dan kutebak kau berhasil." Diandra hampir tak percaya bahwa ada seorang wanita yang seberani itu.
"Tentu saja, di semester berikutnya aku langsung naik ke tingkat dua. Tapi perjuanganku belum selesai karena aku belum satu kelas dengannya. Pada saat ujian kenaikan tingkat tiga, aku belajar lebih keras agar bisa masuk kelas Exellent 1. Tapi guruku bilang tidak akan mudah dan aku hanya bisa dipastikan masuk ke kelas Exellent 2."
"Kutebak kau berhasil lagi." Diandra memutar bola matanya malas, ia tidak habis pikir Claire mau repot-repot berusaha hanya agar pindah ke kelas yang sama dengan Darren.
"Tentu saja." Jawab Claire mantap.
"Biar kutebak sekali lagi, kalian akan dekat dalam waktu singkat dan kau mengungkapkan cintamu di semester itu juga kemudian kalian berpacaran dan.. ehh.. bukankah kau bilang kalian.." Diandra menggantung kalimatnya, bingung sendiri dengan ucapannya.
"Pada saat acara kelulusan Diandraaa…" ucap Claire gemas.
"Lalu apa yang kalian lakukan selama tiga tahun? Teman tapi mesra? Sahabat rasa kekasih? Atau hanya melakukan pendekatan?" tanya Diandra bersemangat, ia lupa bahwa ini bukanlah inti pembicaraan mereka.
"Tidak ada." Jawab Claire singkat.
"What?? Apa maksudmu 'tidak ada'?"
"Disana aku malah bersahabat dengan Bian dan tidak berani melirik Darren, aku sadar bahwa dia bukanlah tandinganku. Lagipula para wanita di kelas itu sangatlah agresif, aku takut mereka akan menjambakku seperti yang teman-temanku lakukan ditingkat satu. Sekeras apapun aku belajar aku hanya bisa masuk sepuluh besar berkat bantuan Bian."
'dan juga David.' Lanjut Claire dalam hati. Sebenarnya, ia lebih dulu berteman dan dekat dengan David sehingga otomatis selalu dekat dengan Bian. Ia mendengar bahwa Bian adalah orang yang genit tapi setelah mengenalnya lebih jauh, Claire tidak merasa hal itu benar. Sekarang ia bahkan bersahabat baik dengan Bian dan malah hubungannya dengan David rusak begitu saja.
"Orang bilang Bian itu genit sehingga hampir tidak ada yang dekat dengannya, tapi setelah mengenalnya aku tidak merasa begitu. Ia bahkan mau mendengar semua curhatanku tentang Darren."
Lagi-lagi Diandra tepuk jidad melihat keajaiban Claire, ia sudah berusaha keras agar bisa masuk kesana tapi malah tidak berbuat apapun yang berarti untuk hubungannya dengan Darren setelah berhasil.
"Memang terkadang aku berbicara dengan Darren, tapi hanya sesekali dan hanya sebentar mengingat banyaknya mata perempuan yang memandangku sinis. Hanya seperti itu sampai acara kelulusan. Saat itu untuk pertama kalinya aku meminum sampanye agar menghilangkan kegugupanku. Dengan lancang aku memberanikan diri mengungkapkan perasaanku di depan semua orang dan coba tebak, ia menerimaku sebagai kekasihnya. Kau tau kan betapa malunya aku kalau sampai Darren menolakku saat itu.
"Tapi setelah itu aku tidak tau apa yang terjadi karena kepalaku mendadak pusing, aku masih sadar tapi tidak bisa mengingat apa-apa. Keesokan paginya aku terbangun di kamarku, ibuku bilang Bian-lah yang mengantarku pulang. Aku sedikit kecewa, tapi mengingat bahwa ibuku tidak mengenal Darren pasti akan sangat bahaya jika ia yang mengantarku pulang.
"Setelah kami masuk di universitas yang sama, aku mengenalkan Darren pada kedua orang tuaku. Aku menyembunyikan statusnya sebagai penerus Stanley Security sehingga mereka tidak menentang hubungan kami. Tapi di tahun kedua kuliah, Darren harus berhenti untuk megikuti pelatihan khusus sebagai pemimpin perusahaan keamanan terbesar disini dan bisa ditebak orang tuaku mengetahuinya lalu memintaku putus dengannya tapi tidak kulakukan.
"Diam-diam aku masih berhubungan dengannya walau kami hanya bisa berkomunikasi beberapa kali dalam setahun. Ia selalu memintaku tetap tenang dan sabar untuk menunggunya agar bisa meyakinkan kedua orang tuaku, tapi masalah muncul saat Aldrich kembali.
"Aku bukannya tidak senang karena ia kembali bertemu keluarganya tapi aku kesal karena tiba-tiba orang tua kami menjodohkan kami. Saat itu, aku kembali menangisi kematian saudara kembarku karena seharusnya dialah yang dijodohkan dengan Aldrich bukan aku.
"Itu sebabnya, aku sangat berharap Aldrich mempunyai seorang yang sangat ia cintai sehingga ia mau menolak perjodohan ini." Ucap Claire sambil menggenggam tangan Diandra dengan erat.
"Tapi percayalah, Di. Tidak ada kebohongan saat pertama kali kita bertemu, aku tulus saat aku mendekatimu." Claire menatap mata Diandra dalam-dalam untuk menunjukkan kesungguhannya.
Diandra masih diam sambil memandang Claire, ia masih memikirkan beberapa hal yang perlu ia tanyakan.
"Mengenai Darren, ia memang sudah tau tentangmu saat pertama kali kalian bertemu. Tapi percayalah ia sangat tulus saat membantu seseorang dan sekarang ia juga bilang bahwa ia sudah menganggapmu temannya padahal ia termasuk sulit dalam hal berkomunikasi apalagi berteman dengan orang baru." Claire berusaha meyakinkan Diandra tapi ia tidak tau apa maksud dari tatapan yang Diandra berikan.
"Mengapa tidak kau saja yang menolak perjodohan itu?" tanya Diandra setelah sekian lama berpikir.
"Bertahun-tahun aku berhasil mengulur waktu sampai beberapa bulan lalu ayahku terkena serangan jantung. Aku tidak bisa menolak saat ia bilang aku harus segera bertunangan dengan Aldrich, ayahku juga bilang bahwa ia akan setuju membatalkan pertunangan jika Aldrich juga menolak pertunangan kami. Tapi setiap kali aku mencoba menjelaskan, Aldrich tidak pernah mau mendengarku." Ucap Claire terdengar sedih.
"Hanya kau satu-satunya harapanku, Di." Lanjutnya dengan suara bergetar, sesaat kemudian ia sudah meneteskan air mata dengan derasnya sehingga Diandra buru-buru memeluknya.
"Heyy.. tenanglah, pasti ada jalan keluarnya." Ucap Diandra setengah tak yakin.
'Masalahnya sekarang Adrian bahkan tidak mengingat kenangan kami dan malah secara tidak langsung juga mengusirku dari sini.' Lanjutnya dalam hati.
Setelah cukup tenang, Claire melepas pelukannya dan kembali menatap Diandra.
"Jadi sekarang kau memaafkan kami berdua?" tanyanya dengan mata memerah.
Diandra hanya mengangguk sambil tersenyum lebar, bagaimana bisa ia marah pada wanita semanis ini.
"Lalu bagaimana denganmu?" tanya Claire lagi. Diandra hanya mengerutkan kening tidak mengerti.
"Tell me your story. Kisah cintamu dengan Aldrich atau yang kau panggil… Adrian?"