Chereads / Me, After Losing You / Chapter 10 - The Past

Chapter 10 - The Past

Mungkin hal itu terdengar tidak masuk akal , tetapi Adrian tak bisa menemukan cara yang lebih baik. Ia telah berbohong tentang ingatannya yang hilang hanya agar Diandra menyerah dan pergi dari hidupnya untuk selamanya.

Walaupun ia harus berbohong, ia tak bisa berbohong dengan mengatakan bahwa ia tidak mencintai Diandra lagi dan telah mencintai wanita lain. Itu akan membuat Diandra sangat terluka dan itu akan melukainya juga.

Sebenarnya ia cukup takut Diandra akan menyadari kebohongannya. Jika ia memang lupa tentang hubungannya dengan Diandra, harusnya ia tidak perlu repot-repot menemuinya dan memintanya menyerah. Namun, dengan dalih telah melihat fotonya dan terganggu dengan surel yang telah ia terima selama tujuh tahun, ia melakukan kebohongan itu.

Dindra terlalu bersedih untuk melihat semua kejanggalan itu, maka ia masuk ke kamarnya dan mengusir Adrian dengan cara halus.

Adrian duduk termenung untuk beberapa saat sebelum ia bangkit dan keluar dari sana. Setelah menutup pintu, Adrian tau bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Kebohongan ini akan terus berlanjut sampai Diandra pergi dari Sydney.

Ia terlalu sibuk memikirkan masa lalu sampai tak sadar sudah berada di dalam mobil. Mencengkeram setir kemudi dan menginjak pedal gas, pikirannya berputar kembali ke masa lalu.

Saat itu Adrian sudah sangat dekat dengan kedua orang tua Diandra dan semua pelayan yang ada di rumah mereka sehingga ketika seorang pelayan mempersilahkannya naik ke lantai dua untuk menemui Diandra, ia tidak ragu-ragu untuk pergi sendiri ke atas sana.

Ia sangat jarang naik ke lantai atas sehingga tak mengetahui ruangan apa saja yang ada disini. Ia sendiri tidak pernah masuk ke kamar Diandra dan bahkan tidak tau ruangannya dimana.

Biasanya, mereka hanya bertemu di sekitaran lantai satu. Hari ini, Diandra sedang sakit dan dia mengizinkan Adrian untuk menjenguknya di kamarnya.

Adrian sedang mengikuti instruksi Diandra melalui pesan WhatsApp ketika mendengar suara orang dewasa yang sedang berbicara di balik ruangan. Pintu itu tidak tertutup sempurna sehingga Adrian dapat mendengarnya dengan cukup jelas.

Awalnya ia tidak berniat untuk mendengar lebih lanjut, namun ketika ia mendengar nama Diandra disebut-sebut, ia mengehentikan langkahnya.

"Sudah kukatakan aku hanya ingin kau menyetujui perjodohan ini." Suara seorang pria yang tidak Adrian kenal terdengar cukup jelas.

"Aku tidak menolaknya, aku hanya bilang bahwa kita harus menunggu sampai mereka lulus kuliah dan siap untuk menikah." Itu suara Harry Mendrofa, Ayah Diandra.

"Tapi putrimu menjalin hubungan dengan pemuda lain." Suara pria sing tadi terdengar kembali.

"Mereka masih muda, tidak lama lagi mereka akan bosan satu sama lain." Suara Harry Mendrofa terdengar santai dan meyakinkan.

Adrian membeku di tempat dan sibuk dengan pikirannya sampai tak mendengar pembicaraan selanjutnya.

Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Harry Mendrofa yang selama ini baik dan terkesan menerimanya di keluarga mereka malah menjodohkan putrinya dengan pemuda lain.

Namun kemudian, ia sadar bahwa ia adalah seorang yatim piatu yang tak jelas asal-usulnya. Harusnya ia juga tau bahwa ia tak pantas untuk Diandra.

Selama ini ia selalu mendengar orang-orang yang mengatakan bahwa ia adalah anak dari hasil hubungan gelap seorang wanita panggilan dengan seorang turis asing kemudian dibuang ke panti asuhan. Mengingat wajahnya yang cukup kontras dengan wajah asia, tak heran jika orang lain berpikir demikian.

Sebelum Adrian selesai dengan pemikiran rumitnya, ia mendengar suara batuk yang cukup keras, suara Diandra.

Adrian segera mencari asal suara dan segera memasuki ruangan tersebut. Mata hazel Adrian menemukan sosok yang ia kenali tengah meringkuk di atas kasur sambil terbatuk cukup keras, masih memegang ponsel di tangannya.

Dengan langkah lebar Adrian mencapai ranjang dan meraih ponsel di tangan Diandra kemudian meletakkannya di atas nakas. Diandra yang cukup kaget memekik kecil dan memegang dadanya. Hal yang baru saja Adrian dengar membuat ia lupa bahwa Diandra adalah orang yang mudah terkejut.

Barulah kemudian ia sadar apa yang sudah ia lakukan.

"Maaf Di, aku tidak sengaja membuatmu terkejut." Ucapnya seraya menarik lengan Diandra dan membantunya duduk.

"Kamu kapan masuk? Kalau aku terkena serangan jantung bagaimana? Kamu pasti mau cari pacar baru, iya kan?" tanya Diandra dengan nada merajuk namun manja yang jelas dibuat-buat.

Mendengar kalimat terakhir Diandra, Adrian mengingat kembali percakapan yang sempat ia curi dengar dan ia hampir tidak bisa menahan emosi yang bergejolak.

"Memangnya kamu lagi kirim chat sama siapa? Selingkuhan kamu ya? Baiklah, aku keluar dulu kalau begitu." Ucapnya dengan datar.

Diandra semakin kaget mendengar respon Adrian yang diluar dugaan, pertanyaan yang ia ajukan tadi jelas tidak serius menilai dari nada yang ia gunakan.

Adrian sudah berdiri ketika Diandra menarik tangannya, sungguh ia semakin tak menyangka melihat Adrian berusaha melepaskan genggamannya.

"Rian, tunggu." Ucap Diandra sambil menahan tangan Adrian. "Mau kemana? Kamu kenapa, sihh?"

Adrian hanya diam di tempat dan tidak berusaha melepaskan diri dari genggaman Diandra. Ia

mencoba berpikir tentang apa yang seharusnya ia lakukan sekarang. Bohong bahwa ia tidak sedih

dan sakit hati mendengar Diandra yang akan dijodohkan.

Adrian tidak bodoh, ia tahu bahwa teman-teman sekelas mereka juga banyak yang dijodohkan sesama anak pengusaha maupun pejabat pemerintah. Jelas bahwa itu untuk kepentingan bisnis maupun politik, jadi tidak mungkin dibatalkan begitu saja hanya karna mereka menolak.

Walau ia yakin Diandra mencintainya dengan tulus, tapi apa yang bisa mereka lakukan? Adrian tidak punya orangtua, ia tidak ingin melihat Diandra menjadi anak yang tidak berbakti kepada orang yang sudah membesarkannya.

Adrian menekan perasaannya dan melepas tangannya secara paksa kemudian berjalan menuju pintu. Diandra melompat turun dan mengabaikan dinginnya lantai yang menyentuh telapak kakinya. Ia berlari dan memeluk Adrian dari belakang dengan erat. Tubuhnya yang mungil hanya setingga bahu Adrian.

"Rian jangan pergi! Aku tidak selingkuh dengan siapapun, aku hanya bercanda tadi, aku sama sekali tidak serius. Please…" Diandra berkata sambil menahan isak tangis yang siap pecah kapan saja.

"Kumohon jangan pergi. I'm sorry, please…"

Adrian benar-benar tidak tega melihat Diandra bersedih, maka ia mengangkat tangannya untuk memegang tangan Diandra. Namun, belum sempat ia menyentuhnya, Diandra melepas pelukannya dan berlari ke kamar mandi. Sambil menutup mulutnya, ia seperti hendak memuntahkan sesuatu.

Adrian mengikutinya dengan cepat, Diandra berlutut di depan toilet dan muntah. Adrian membantu menaikkan rambut Diandra yang tergerai. Ketika tangannya menyentuh leher Diandra, barulah ia sadar bahwa suhu tubuh Diandra cukup tinggi.

Setelah hampir memuntahkan seluruh isi perutnya, Diandra bangkit menuju wastafel dan berkumur. Mengingat bahwa ia belum makan apapun sejak pagi, tenaganya terkuras habis sekarang. Sambil menekan perutnya, ia berjalan menuju kamar tanpa menghiraukan Adrian, bukannya ia tidak peduli tetapi saat ini perutnya begitu perih, belum lagi kepalanya yang serasa berputar-putar dan ia butuh berbaring sekarang juga.

Adrian menangkap tubuh Diandra yang hampir terjatuh. Dengan sigap ia mengangkat tubuh mungil itu kedalam gendongannya. Diandra tidak menolak, kakinya terasa sangat dingin sekarang. Ia mengalungkan kedua tangannya dan membenamkan wajahnya ke ceruk leher Adrian.

Tak lama kemudian, Adrian membaringkan Diandra ke atas ranjang dengan hati-hati kemudian menutupinya dengan selimut. Ia menatap Diandra yang memejamkan mata seperti menahan rasa sakit.

"Di? Dira, hey.. buka matanya. Lihat aku, Di." Ucap Adrian dengan lembut sambil menyentuh pipi Diandra. Namun, yang dipanggil masih setia memejamkan mata seperti menahan rasa sakit.

Tiba-tiba, pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita paruh baya yang Adrian kenal sebagai salah satu pelayan di rumah ini, Bi Marni.

"Eh.. nak Andrian, baguslah kalau nak Andrian ada disini. Maaf ya bibi ganggu sebentar." Ucap wanita tersebut dengan ramah.

"Iya, bi. Tidak apa-apa." Jawab Andrian.

Bi Marni meletakkan nampan yang berisi bubur sayur dan segelas susu hangat di atas nakas.

"Bibi sekalian minta tolong boleh tidak, nak?" ucap bi Marni lagi namun pelan sambil melirik

Diandra.

Adrian yang paham maksud bi Marni hanya mengangguk. Sebelum pergi, bi Marni mendekat dan berbisik ke telinga Adrian.

"Diandra belum makan dari tadi pagi. Tadi malam hanya makan sedikit dan langsung muntah. Bibi takut magg-nya kambuh lagi, nak. Tolong dibujuk biar Diandra mau makan sampai habis ya

nak."

Bi Marni menjauhkan diri dan berkata sekali lagi. "Setelah makan jangan lupa bantu Diandra minum obat ya, nak Adrian." Sambil menunjuk nakas disisi lain.

"Baik bi, terimakasih." Jawab Adrian tersenyum.

"Bibi permisi dulu ya." Ucapnya sekali lagi yang dibalas anggukan oleh Adrian.

Setelah pintu tertutup, Adrian menangkup wajah Diandra dengan kedua tangannya. "Dira sayang, buka matanya dong." Ucapnya dengan nada yang teramat lembut.

Perlahan tapi pasti mata itu mulai terbuka dan terlihat jelas memerah, Diandra langsung menarik leher Adrian dan mendekapnya dengan erat.

"Rian, maafin aku. Please kamu jangan marah." Ucapnya yang mulai terisak.

"Hey, aku tidak marah. Aku yang seharusnya minta maaf." Adrian mencoba mendorong bahu Diandra dengan lembut namun Diandra malah mengeratkan tangannya yang melingkari leher Adrian.

"Jangan pergi, kumohon." Pintanya dengan suara serak.