Chereads / Me, After Losing You / Chapter 9 - About Reason

Chapter 9 - About Reason

"Mengapa... kau pergi begitu saja waktu itu? Apa alasannya?" suara Diandra bergetar dengan jelas.

Ada jeda sebentar sebelum Adrian balik bertanya "Mengapa kau menanyakan hal itu?"

"Aku ingin memastikan bahwa kau tidak salah paham padaku maupun kedua orang tuaku."

"Jika yang kau maksud bahwa kita punya suatu hubungan dan aku pergi begitu saja, maka aku sudah lupa hal itu. Sekedar info bahwa aku tidak ingat apapun tentang Indonesia sejak aku pindah kesini. Aku memang tau dirimu tapi itu tidak penting lagi, yang terpenting adalah masa sekarang."

"Apa maksudmu tidak ingat?" tanya Diandra heran.

"Yaa.. sayangnya aku kehilangan memoriku tentang Indonesia termasuk semua yang terjadi disana. Tapi sudah kukatakan bahwa itu tidak penting lagi." Jawabnya dengan tak acuh.

"Tapi kau mengingatku. Kau pasti ingat tentang hubungan kita." Ucapnya dengan yakin.

"Jangan bercanda, aku hanya bilang 'tau' bukan 'ingat'. Jadi jangan tanya apapun lagi tentang masa lalu." Ucap pria itu dengan sarkas.

"Apa maksudmu dengan 'tau' dan bukan 'ingat'?" lagi-lagi Diandra mengerutkan keningnya yang halus.

"Aku hanya melihat foto perpisahan kelas saat sekolah menengah dan mengenalimu sebagai salah satunya. Selain itu jangan lupa bahwa kau mengirimiku surel setiap bulan selama tujuh tahun terakhir. Kau tau, aku hampir gila membaca surelmu selama tujuh tahun." Ucap Adrian dengan datar, tak ada yang bisa membaca ekspresinya saat ini.

Adrian tidak berbohong tentang ia yang hampir gila membaca surel-surel itu setiap bulan, yang tidak ia katakan adalah bahwa foto itu bukanlah foto perpisahan melainkan potret Diandra dengan senyum terbaiknya, dengan tulisan 'Diandra Tersayang' di belakang lembar foto tersebut.

Tentu saja dia sendiri yang membawa foto itu bersamanya dan mengukir tulisan tersebut di belakangnya.

"Kau membaca surel dariku? Mengapa kau tidak pernah sekalipun membalasnya?" kenyataan bahwa Adrian membaca semua surelnya namun tidak pernah membalasnya membuat ia semakin terluka.

"Mengapa aku harus membalasnya? Kau bilang bahwa aku pergi waktu itu, kan? Lalu kau mulai mengirim surel sebelum aku kehilangan ingatanku dan faktanya aku tidak pernah membalasnya, itu berarti bahwa tidak ada kesalahpahaman apapun."

"Tapi kita tidak punya masalah apapun saat itu!" bantah Diandra.

"Maka satu-satunya penjelasan paling masuk akal adalah bahwa aku telah berhenti mencintaimu saat itu." Ucap pria itu dengan santai seolah apa yang ia katakan tak berpengaruh apapun pada perasaan seseorang.

Diandra hanya bisa mematung dan menahan nafas, untuk beberapa saat dadanya terasa dihimpit batu besar. Pikirannya menerawang ke masa lalu seolah ia bisa memasuki masa itu.

'Bagaimana mungkin?' tanyanya dalam hati.

'Tapi.. bukankah hal wajar bila seorang pria remaja jatuh cinta lalu merasa bosan dengan seorang gadis kemudian mencari gadis lain?' dewi batinya kembali berbisik.

Diandra masih berusaha menormalkan nafasnya ketika Adrian membuka suara lagi.

"Jika tujuanmu ke Sydney hanya ingin bertanya, maka kau sudah mendapat jawabannya. Namun jika kau ingin mengejarku, maka kau harus menyerah karena aku telah bertunangan dan tak lama lagi akan menikah."

'Apa dia mencoba mengusirku dari Sydney dan memintaku pulang ke Indonesia?'

Bagaimanapun, Diandra tak punya siapapun lagi disana. Orang tuanya menikah tanpa restu sehingga ia tak mengetahui satupun keluarganya. Satu-satunya orang yang ia punya adalah Adrian, seorang remaja yatim piatu dan mereka berdua saling menjadi cinta pertama.

Namun saat ini, pria dewasa di depannya ini bukanlah Adrian dan mau tak mau ia harus mengakuinya. Pria ini adalah Aldrich, pewaris perusahaan keluarganya setelah terpisah dengan mereka.

Diandra tidak tau bagaimana Adrian terpisah dan bertemu kembali dengan keluarganya, tapi saat ini bukan hal itu yang penting baginya. Saat ini ia hanya tau satu hal, Adrian-nya telah hilang.

"Aku mengerti, tapi maaf, kau tak bisa mengusirku dari sini." Balas Diandra dengan datar, mencoba menahan air mata yang siap mengalir.

Tak mau menangis di depan Adrian, Diandra bangkit dari tempatnya dan segera menuju kamarnya. Membuka pintu kamarnya, ia berkata tanpa berbalik "Tutup pintunya saat kau pergi." lalu menghilang di balik pintu.

Adrian menghela nafas karena debar jantungnya sejak tadi, menahan diri sekuat tenaga agar tak berlari dan memeluk wanita di depannya dengan erat.

Bagaimanapun, ia telah bertahan selama ini dengan hanya melihat Diandra dari kejauhan. Baginya hal itu sudah cukup untuk membayar kerinduan yang ia derita selama bertahun-tahun, ia tak bisa merusak segalanya hanya karena dorongan hati untuk memeluknya.

Ia tak perlu bertanya untuk tau bahwa Diandra masih sangat mencintainya. Mengirim surel setiap bulan selama tujuh tahun dan sekarang datang kesini untuk mencarinya, sudah cukup menjadi bukti betapa Diandra menjaga perasaannya selama ini.

Setelah sekian lama hanya bisa melihat dari kejauhan, Adrian hampir menyerah saat ia memeluk Diandra ketika wanita itu terjebak di lift. Tubuh mungil Diandra menimbulkan keinginan kuat dalam hatinya untuk melindungi wanita dalam dekapannya.

Namun sekali lagi, ia tak boleh egois. Tujuh tahun lalu ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tak menyulitkan kedua orang tua Diandra di masa depan.

Saat itu, Diandra telah dijodohkan dengan anak dari rekan kerja Ayah Diandra dan bagaimanapun juga, ia hanyalah remaja yatim piatu yang tinggal di panti asuhan.

Sekarang setelah ia memiliki segalanya, ia tetap tak bisa menganggap bahwa semua hal akan selesai dengan uang.

Dulu, ia tau bahwa Tuan Harry telah menjodohkan Diandra dengan putra rekan kerjanya –Tuan Tony- sejak mereka belum bertemu dan menjalin hubungan.

Ia telah mendengar bahwa orang tua Diandra akan segera menikahkan putrinya dengan syarat setelah Diandra telah lulus kuliah.

Namun, ia tidak tau bahwa Tuan Harry hanya terpaksa menyetujui hal itu dan ia mencoba mengulur waktu. Adrian tidak tau bahwa Tony Pratama telah mengancam akan membuka rahasia Harry Mendrofa yang ia simpan rapat-rapat.

Harry Mendrofa tau bahwa rahasianya akan terbongkar cepata atau lambat, tapi tidak sekarang, ia belum siap jika putri dan istri tercintanya tau yang sebenarnya. Setidaknya ia menunggu putrinya lebih dewasa.

Jelas bahwa ia tidak berniat sama sekali untuk menjodohkan putrinya. Ia dan istrinya menikah tanpa restu dan memulai semuanya dari bawah, ia tidak peduli jika ia harus kehilangan hartanya, namun, ia belum siap untuk kehilangan istrinya.

Hal terpenting lainnya adalah bahwa ia hanya akan menikahkan putrinya dengan pria yang Diandra cintai seperti dulu ia menikah dengan istrinya. Jadi, ia benar-benar tidak peduli jika Adrian adalah pemuda yatim-piatu yang tidak punya asal-usul yang jelas. Yang ia tau pasti, Adrian adalah anak yang baik.

Namun sekali lagi, semua rencana manusia tetaplah rencana jika Tuhan punya kehendak lain.

Adrian tidak tau bahwa kedua orang tua Diandra telah tewas dalam kecelakaan yang disengaja, dan bahwa mereka telah kehilangan seluruh harta mereka hanya agar Diandra menikah dengan pria yang ia cintai.

Ia juga tidak tau bahwa penderitaan yang Diandra tanggung membuat Diandra mengalami stress dan depresi berkepanjangan dan bahkan melampiaskan rasa sakitnya dengan alkohol.

Tapi tetap saja, sejauh mana raga terpisah, hati tau cara untuk kembali pada pemiliknya. Mereka hanya perlu menunggu waktu sambil menyembuhkan luka masing-masing.