Diandra cukup terguncang dengan apa yang baru saja terjadi, semuanya terasa begitu cepat. Ketika ia memikirkan nasib wanita yang telah menolongnya, perasaan bersalah menyeruak ke dadanya. Ia bahkan tidak sempat melakukan apapun untuk wanita itu, mungkin saja keadaan wanita itu tidak baik-baik saja.
Melihat wanita di sampingnya melamun, Darren menegurnya dengan lembut.
"Diandra?" panggilnya.
Orang yang dipanggil hanya menoleh tanpa berkata apapun.
"Kau pasti kaget ya? Jangan khawatir, wanita itu pasti baik-baik saja sekarang." Darren mencoba menghibur Diandra walau ia sendiri khawatir memikirkan kemungkinan bahwa Claire bisa saja terluka.
"Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?" tanya Diandra mengeluarkan pemikirannya.
"Kau tidak lihat kedua pria tadi? Dia pasti wanita yang hebat sampai bisa mengalahkan mereka." Ucap Darren dengan santai.
"Benar juga, dia pasti baik-baik saja. Dia harus baik-baik saja, kalau dia terluka aku akan menyesal selamanya karna aku bahkan tidak tau dia siapa." Diandra benar-benar berharap demikian.
"Dia pasti mengira kau telah pergi, oleh sebab itu ia juga pergi." Ucap Darren lagi.
"Ya, seperti itu. Pasti seperti itu, harus." Balas Diandra mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Tak lama setelah itu, mereka sampai di apartemen yang sudah ia tinggali beberapa waktu lalu. Diandra tak segera turun dari mobil, intuisinya sebagai seorang wanita mengatakan bahwa masih ada sesuatu yang salah.
Suasana hening cukup lama sampai Diandra menggerakkan bibirnya namun tak mengatakan apapun. Ia bingung untuk sejenak.
"Aku minta maaf, Di." Ucap pria disampingnya dengan tiba-tiba, suaranya sangat lirih dan hampir tak terdengar.
"Apa katamu?" tanya Diandra heran.
"Aku minta maaf tentang hal yang tadi, tak seharusnya aku mengingatkan masa lalumu." Darren berkata dengan menatap Diandra dalam-dalam, tak ada sorot kebohongan sedikitpun di matanya.
"Lupakan saja hal itu, kau juga tidak tau yang sebenarnya." Ucap Diandra.
"Kau tau bahwa kau bisa bercerita apapun padaku kapanpun kau siap. Aku tidak akan memaksamu, jika kau butuh bantuan katakan saja. Jangan lupa aku adalah security expert terbaik di Australia." Darren mencoba menggoda Diandra dengan tersenyum jahil.
'Bahkan lebih dari itu.' Lanjutnya dalam hati.
"Oh.. ayolah kawan, kau terlalu percaya diri." Balas wanita di sampingnya.
"Aku serius, kau harus bangga bisa berteman dengan orang sepertiku."
"Sudahlah aku harus masuk, kau langsung pulang saja karena aku ingin istirahat." Ucap Diandra lalu membuka pintu mobil.
"Baiklah, tapi ingatlah kata-kataku yang tadi." Darren menahan lengan wanita itu.
"Aku akan membagi kisahku jika aku sudah siap, kau juga harus selalu siap membantuku." Diandra akhirnya mencoba mengalah.
Ia segera keluar dan mengucapkan sampai jumpa kemudian Darren melajukan mobilnya. Diandra melangkah ke lobi apartemen setelah mobil Darren tak terlihat di persimpangan jalan.
Kembali perasaan berdebar itu datang di hatinya. Bukan karna pria yang baru berbicara dengannya tadi melainkan pria yang sudah ada di hatinya sejak satu dekade terakhir.
Saat mobil Darren memasuki halaman apartemen, Diandra tak sengaja menangkap sosok yang dikenalnya. Walaupun tubuh pria itu lebih tinggi dari yang terakhir kali ia lihat, ia sangat mengenali wajahnya bahkan dari jauh sekalipun.
'Aku pasti salah lihat." Batinnya mencoba tetap tenang walau ia cukup yakin dengan penglihatannya.
Diandra segera mengalihkan pikirannya, menaiki lift yang kosong dan segera menuju lantai tiga. Pintu lift terbuka dan ia perlu berjalan menyusuri lorong sebelum mencapai unit apartemennya.
Saat ia berbelok menuju lorong tempat tinggalnya, ia menunduk untuk menatap langkah kakinya hingga tak menyadari ada seseorang yang tengah berdiri di depan pintu apartemen miliknya.
Ia butuh lima langkah lagi menuju pintu ketika akhirnya menyadari kehadiran seseorang. Mengangkat kepalanya, Diandra sangat terkejut melihat orang yang berdiri di depannya.
Ia pergi ke Sydney untuk menemui mantan kekasih yang telah memutuskan hubungan mereka secara sepihak tanpa memberinya kesempatan untuk bicara. Namun, ketika berhadapan langsung seperti ini membuat ia membeku seperti patung.
Ia bahkan belum merangkai kata yang tepat untuk ia ucapkan saat mereka bertemu untuk yang pertama kalinya disini. Suaranya tiba-tiba menghilang entah kemana. Pasalnya, kondisi saat ini tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, Adrian sudah punya tunangan.
Tepat ketika Diandra berkata "Adrian", orang di hadapannya berkata "Diandra?".
Diandra menangkap nada bertanya dalam suara Adrian dan menjadi terkejut karenanya.
"Aku akan bertamu ke tempatmu dan telah menunggu cukup lama disini, jadi bisakah kau segera membuka pintu ini." Ucap pria tersebut dengan tanpa bersalah.
Kenyataannya adalah bahwa ia telah disini sejak Diandra keluar dari unitnya hingga naik ke mobil Darren. Tak berhenti sampai disitu ia bahkan mengikuti mereka sampai ia kehilangan jejak akibat keributan yang terjadi di taman lalu memutuskan untuk kembali kesini.
Untungnya ini adalah hari minggu sehingga mungkin baginya untuk kehilangan sedikit waktu demi bertemu dengan wanita ini. Ekspresinya masih datar ketika Diandra membuka pintu dan memberi isyarat agar ia masuk. Berada sedekat ini dengan Adrian membuat tenggorokan Diandra tercekat.
"Tidak perlu repot, bawakan saja air putih untukku karena aku haus." Pria ini benar-benar tidak seperti tamu namun Diandra tak keberatan.
Setelah menuju sofa dimana Adrian duduk, ia meletakkan segelas air putih di hadapan Adrian lalu kemudian mengambil tempat di seberang meja.
"Ad.." sebelum ia sempat mengucapkan satu kata, Adrian memotongnya.
"Aku Aldrich, kau pasti tau siapa aku." Tiba-tiba suaranya menjadi sedingin es.
'Tentu saja aku tau, aku bahkan datang dari jauh hanya untuk menemuimu.' Diandra berkata dalam hati.
Kalimat yang pria itu ucapkan memang terdengar sederhana, namun bagi Diandra itu adalah penolakan halus. Ia telah ditolak mentah-mentah pada pertemuan pertama mereka.
"Maaf.. Tuan Aldrich." Hanya kalimat itu yang mungkin ia ucapkan.
"Kita tidak sedang berada di kantor jadi jangan bersikap formal." Adrian masih terdengar dingin.
"Maaf." Diandra berkata dengan lirih kemudian bertanya dengan ragu, "Bisakah aku bertanya?"
"Aku yang menemuimu kesini, jadi biarkan aku yang lebih dulu bertanya." Jawabnya.
"Oh, baiklah." Ucap Diandra singkat.
"Mengapa kau harus mencari pekerjaan di Sydney?" tanya Adrian secara langsung.
Tidak tau harus menjawab apa, Diandra hanya mengerutkan keningnya dengan halus.
"Kau bisa bekerja di Indonesia atau di negara lain, jadi kenapa harus tempat ini?" jelas Adrian yang melihat Diandra bingung. "Atau mungkin kau mencoba mencariku, atau bahkan mengejarku kesini?" tanyanya lagi.
Saat mereka masih remaja, Diandra tak pernah mencoba mendekati Adrian walau ia sangat tertarik padanya. Ia adalah gadis pemalu saat itu. Sebaliknya, Adrian lebih sering mengajaknya berbicara dan Diandra senang akan hal itu.
Adrian telah berjuang mendekatinya pada saat itu, maka sekarang ia yang akan memperjuangkan Adrian. Namun faktanya, ia masih tidak tau bagaimana caranya.
Diandra terdiam cukup lama sebelum mendapatkan kembali kesadarannya. Tadinya ia sangat yakin bahwa telah terjadi kesalahpahaman di antara mereka, namun melihat sikap Adrian yang dingin dan terasa jauh, ia menjadi ragu-ragu untuk menanyakan alasan pria itu pergi.
Setelah memikirkan ini berkali-kali, akhirnya pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirnya.
"Mengapa... kau pergi begitu saja waktu itu? Apa alasannya?" suara Diandra bergetar dengan jelas.