Sebagai teman pertamanya di Sydney, Diandra mulai menaruh kepercayaan kepada Darren. Darren tidak pernah bertanya hal aneh padanya dan tidak menuntut balas apapun. Darren juga punya kekasih dan melihat caranya bercerita, ia sangat tulus mencintai kekasihnya.
Ketika Diandra bertanya tentang teman-temannya, Darren hanya bilang bahwa teman-temannya yang salah satunya sudah menjadi kekasihnya tak lebih dari hitungan sepuluh jari dan mereka semua sibuk.
Entah sudah berapa banyak hari yang ia habiskan bersama Darren, entah itu sekedar berkirim kabar maupun menemani Diandra berbelanja kebutuhan harian. Mereka semakin akrab sampai hari ini di minggu yang cerah, Darren mengajaknya berkeliling kota Sydney.
Mengetahui fakta bahwa Claire adalah tunangan Adrian membuat suasana hatinya memburuk. Diandra bukanlah orang yang suka berlarut dalam kesedihan, ia akan mencari cara untuk menghibur diri. Maka ia menerima ajakan Darren dan menolak Claire yang lebih dulu mengajaknya. Saat ini ia tidak mau bertemu dengan Claire.
"Hey! Apa yang kau pikirkan?" tanya Darren saat mereka berada di sebuah taman kota yang hari itu cukup ramai.
"Nothing." Jawab Diandra singkat.
"Wajahmu seperti orang yang ditinggalkan kekasih." Ucap Darren setengah menggodanya.
"Huft.. sejak delapan tahun lalu aku sudah ditinggalkan."
'Bagus, sedikit lagi aku akan tau kepastiannya.' Darren membatin.
"Benarkah? Apa itu saat di bangku kuliah?" tanya Darren.
"Hmm.. bisa jadi. Hanya beberapa hari sebelum aku pergi ke luar negeri untuk kuliah." Jawab Diandra tanpa curiga.
"Mengapa kau mau berpisah dengannya?" tanya Darren lagi.
"Bukan aku tapi dia yang mengakhirinya."
"Kau bisa menolaknya."
"Dia menghilang tanpa jejak."
"Dan kau kesini untuk mencarinya," ada jeda sebelum Darren melanjutkan, "atau mengejarnya."
Diandra menghentikan langkahnya, ia menoleh dan mendongak untuk menatap Darren.
"Kau memataiku." Jelas itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan tegas.
"Tidak sama sekali." Sanggahnya.
"Berhenti bersandiwara." Diandra mulai kesal. "Apa maumu sebenarnya?"
"Hey, Di. Aku hanya menebaknya dan aku tidak tau kalau itu benar." Darren membuat suaranya terdengar khawatir.
"Aku tidak mau membahasnya lagi." Diandra berbalik dan bersiap untuk pergi tetapi tiba-tiba Darren sudah ada di depannya dan mendekapnya dengan erat.
Diandra belum memahami situasi sampai ia mendengar suara teriakan orang-orang di sekelilingnya.
Darren merangkul Diandra dan membawanya ke arah tempat parkir. Entah sejka kapan, Darren sudah memegang pistol yang ia simpan di balik jaketnya.
Setelah mendekati area parkir, Darren melepas Diandra.
"Cepat masuk mobil! Ada pistol di dashboard jika ada orang yang berusaha mengganggumu."
Setelah itu Darren berlari ke tempat tadi untuk melihat kekacauan. Ternyata ada dua orang yang masing-masing menyandera orang lain secara asal. Di sekitar mereka terdapat lima orang polisi.
Penjahat tersebut akan mengancam akan mencelakai sandera mereka jika polisi tidak menurunkan senjata. Polisi tidaklah bodoh tetapi rupanya penjahat tersebut sangat berani dengan menekan pisau ke leher sandera yang bersamanya hingga mengeluarkan bercak darah.
'Bukan hal sulit.' Darren membatin.
Di sisi lain, Diandra yang melihat pistol terduduk lemas tak berdaya di samping sebuah mobil. Tanpa ia sadari, seseorang yang melihat mereka sejak di taman mengikuti mereka sampai ke tempat parkir. Siapa lagi kalau bukan Claire.
Ia sangat penasaran akan sosok wanita yang bisa merebut Darren darinya. Sejak di taman tadi ia tidak bisa melihat wajah Diandra karena tubuh Darren yang jangkung menutupinya. Ia juga tidak mengenali Diandra yang mengenakan pakaian kasual dengan rambut yang digerai indah dan sekarang wanita itu malah duduk sambil memeluk kedua lututnya.
Claire sangat ingin marah pada wanita tersebut tapi ia sadar betul bahwa ia hanya akan menangis di hadapan wanita itu jika ia menemuinya.
Claire adalah wanita mandiri dan tidak sombong. Sejak kecil ia diajarkan etika dan moral sehingga ia tidak tau bagaimana caranya mengeluarkan emosi terpendam dalam dadanya.
Ia sudah merasa tertampar tepat di wajahnya saat melihat kekasihnya berselingkuh. Bukankah ini disebut selingkuh karena mereka belum memutuskan hubungan? Maka ia memutuskan untuk
menjaga harga dirinya yang tersisa dengan tidak menemui wanita itu.
Namun, saat Claire memutuskan untuk pergi, matanya menangkap dua orang pria dengan gerak-gerik yang mencurigakan mendekat ke arah Diandra.
'Dia selingkuhan Darren tapi tidak berarti bahwa aku akan membiarkannya celaka!' batin Claire.
Claire cukup sering menghadapi keadaan mengerikan saat bersama Darren sejak mereka kecil, maka ia tidak terpengaruh pada keributan di taman tadi apalagi hanya menghadapi dua orang pria yang terlihat mabuk.
Claire maju dengan niat melindingi wanita itu, untuk saat ini ia tidak menganggap wanita itu sebagai perebut kekasihnya melainkan wanita lemah yang butuh pertolongannya. Sebenarnya ia juga wanita lemah tapi itu hanya berlaku bila ia bersama Darren.
"Berhenti kalian!" teriakan Claire terdengar nyaring sehingga ia hampir tidak mengenali suaranya sendiri.
"Hai cantik. Ada yang bisa kami lakukan?"
"Jauhi dia." ucap Claire dengan dingin.
"Oh.. wanita ini temanmu rupanya."
Diandra yang mendengar keributan di dekatnya mendongakkan kepala dan terkejut melihat dua orang pria berdiri membelakanginya. Ia juga dapat melihat kaki seorang wanita yang berdiri di hadapan kedua pria tersebut.
Diandra sangat memahami situasi saat ini. Dengan cepat matanya melirik sekitar untuk mengingat dimana mobil Darren sementara kedua pria tadi mendekat ke arah wanita yang tak dapat dilihat oleh Diandra.
'Oh tidak! Wanita itu mencoba menolongku tapi ia sendiri dalam bahaya! Aku harus melakukan sesuatu!' dewi batin Diandra berteriak.
Tak butuh waktu lama baginya menemukan mobil Darren. Sepertinya wanita tadi benar-benar menarik perhatian kedua pria tersebut sehingga mereka tak menyadari Diandra yang telah berlari
menuju mobil Darren.
Sesampainya di mobil, untuk sesaat ia bingung bagaimana caranya membuka mobil yang pasti terkunci sampai ia sadar telah menggenggam sesuatu. Pastilah ia terlalu terkejut hingga tak menyadari kapan Darren meletakkan kunci mobil di tangannya.
Dengan cepat ia menekan tombol alarm dan masuk ke dalam mobil. Ia mencoba mengingat kembali perkataan Darren tentang senjata lalu membuka laci dasbor dan mulai mencari bahkan mengaduk isi di dalamnya.
Namun laci dasbor tersebut tidaklah besar dan ia sudah mengeluarkan semua isinya tapi hasilnya nihil. Karena ini senjata, pasti Darren berusaha menyembunyikannya kan?
Setelah memperhatikan seluruh bagian dalam laci ia melihat celah yang sangat kecil dan tidak sabar untuk memasukkan kukunya sampai terdengar suara klik dan terbukalah ruang kecil yang menyimpan hanya sebuah pistol entah jenis apa.
Diandra tidak punya waktu untuk memikirkan cara menggunakan pistol ini. Hal yang paling penting adalah menolong wanita tadi, mungkin mengancam kedua pria tersebut dengan sebuah pistol
sudah cukup tanpa harus benar-benar menembak mereka.
Tanpa berpikir dua kali, Diandra keluar dari mobil dan mendapati dua orang pria yang sudah tergeletak tak berdaya. Di kejauhan ia juga melihat Darren yang berlari ke arahnya.
"Di.. are you okey?" tanya Darren dengan nafas terengah setelah ia berdiri di depan Diandra.
Diandra cukup kaget lalu menjejalkan pistol yang ia pegang ke tangan Darren.
"Aku tidak melakukan apapun pada mereka!" ucap Diandra panik.
"Tenanglah, Di. Aku tidak menyalahkanmu, ceritakan apa yang terjadi. Aku disini sekarang." Ucap Darren berusaha menenangkan Diandra yang terlihat ketakutan.
"Ta.. tadi mereka mendekatiku, lalu.. lalu seorang wanita datang sehingga aku lari ke mobil untuk.. untuk.." Diandra tergagap sambil menunjuk tangan Darren. "setelah aku keluar mereka sudah seperti ini." Diandra melirik ke bawah dan melihat sepasang heels berwarna moka. "Ini pasti sepatu wanita tadi!" serunya tiba-tiba.
Darren langsung mengikuti arah pandang Diandra dan melihat sepasang heels yang dikenalnya lalu pandangannya jatuh pada sebuah ponsel yang juga dikenalnya.
Saat Diandra merunduk untuk mengambil heels tersebut, Darren juga meraih ponsel yang ia lihat tanpa sepengetahuan Diandra lalu menyimpannya di sakunya.
Darren meraih heels tersebut dan melihat ukurannya. Tidak salah lagi, ini sepatu yang ia berikan kepada Claire. Tentu saja ia yakin karna tidak banyak yang punya heels mahal seperti ini dan kecil kemungkinan ukuran dan warnanya sama.
Darren mengenal Claire dengan baik dan tau semua kemampuan Claire karna ia yang telah mengajarkannya. Ia tau persis bahwa Claire beradu kekuatan dengan kedua pria ini menggunakan kakinya dan mungkin tidak sempat memakainya kembali saat melarikan diri.
'Ia pasti telah salah paham menilai Diandra sebagai selingkuhanku.' Darren membatin.
Claire memang wanita yang berpikiran terbuka namun ia seringkali menilai sesuatu dari apa yang ia lihat tanpa mau mendengar penjelasan terlebih dahulu. Menyadari hal ini, Darren hanya bisa menghela nafas pasrah.
"Mari pergi dari sini." Ucap Darren tiba-tiba sambil menarik tangan Diandra.
Darren meletakkan heels moka setinggi sembilan centimeter itu di kursi penumpang belakang lalu memeriksa ponsel tadi diam-diam. Dengan melihat gambar kunci layar, ia sudah tau bahwa ini memang ponsel Claire.
Ia memejamkan mata saat tau bahwa sandi kunci layar masih sama. Claire bahkan tidak mengubah apapun saat ia mengubah keypass unit apartemennya. Untuk sesaat Darren menyesal telah menjauhi Claire dan menghalangi kekasihnya sendiri datang ke apartemen miliknya.
"Kita pulang saja ya." Ucapnya tiba-tiba kepada Diandra yang masih bingung akan hal yang baru saja terjadi.