Diandra POV
Mungkin aku sudah terlalu lama tidak bahagia dan serileks ini sehingga lupa kapan terakhir kali aku tidur nyenyak tanpa memimpikan hal-hal buruk. Bertemu dengan wanita sehangat Claire membuatku merasa nyaman di sampingnya. Walaupun Darren juga orang yang baik, aku tak bisa seterbuka saat bersama Claire.
Untuk pertama kalinya selama di Sydney, aku tertidur dengan lelap tanpa terbangun di tengah malam dan terkena serangan panik. Saking lelapnya, aku hampir lupa bahwa ini adalah hari pertama bekerja di perusahaan Andrian.
Hasilnya dapat ditebak, aku terlambat sepuluh menit dengan penampilan yang tidak maksimal. Beruntung aku bertemu dengan Claire dan segalanya menjadi mudah. Bertemu kepala hrd dan berkenalan dengan karyawan di sekitar meja kerjaku.
Aku sudah berdebar membayangkan bertemu Adrian, kekasih yang tidak pernah kulupakan. Namun nyatanya sampai tujuh hari aku bekerja, aku belum pernah melihat ia secara langsung dan tidak tau kapan itu akan terjadi.
Aku telah menunggu selama tujuh tahun dan masih bisa menunggu tujuh tahun lagi atau lebih. Kata orang, penantian membuat kesabaran seseorang menipis. Namun, hingga detik ini aku belum kehilangan kesabaran sedikitpun.
Hari-hari berlalu tanpa pernah aku melihat Adrian walau dari jauh sekalipun. Cuaca hari ini cukup cerah namun seperti biasa aku tidak terlalu bersemangat. Tidak ada berita baik apapun dan aku tak pernah menyangka kalau hari ini aku harus menerima kenyataan yang sangat pahit.
"Di?" panggil rekan kerja di sebelah mejaku, namanya Marina.
"Eh.. ya?" aku akhirnya sadar dari lamunanku.
"Tadi pagi Nona Clarisse datang pagi-pagi sekali dan menitipkan ini padaku," ucapnya sambil menyerahkan dua buah tas belanja berukuran sedang. "dia berpesan agar kau memberikan ini kepada Tuan Aldrich, katakan padanya bahwa ini titipan dari orang tua Nona Clarisse yang baru pulang dari Italy."
Kata-kata yang Marina lontarkan membuat aku menahan nafas. Tanganku bahkan tanpa sadar berhenti di udara.
"Hey.. Di, apa kau akan baik-baik saja?" tanyanya khawatir walaupun aku tidak terlalu memahami maksud ia yang sebenarnya.
"Kenapa?" tanyaku sambil mengambil tas belanja yang ia pegang.
"Aku tau semua orang takut berjumpa dengan Tuan Aldrich, tapi tenang saja. Asalkan kau tidak menyinggung apapun maka kau bisa keluar dengan selamat." Ucapnya prihatin.
What!!!
"Apa maksudmu?" tanyaku heran. Jujur aku merasa takut sekaligus senang akan berjumpa dengan Adrian.
"Ehmm.. tidak ada, Di. Kau harus berpikir positif dulu karna belum pernah bertemu dengannya. Saranku hanya agar kau tidak terlalu banyak tersenyum padanya, dia tidak suka wanita genit." Marina semakin berbicara hal yang tak kupahami.
"Aku semakin tidak mengerti, apa ada yang tidak aku ketahui?" tanyaku penasaran.
"Tidak ada kok, hanya saja dia kan sudah bertunangan dengan nona Clarisse." Jawabnya santai.
Aku tau ini sudah melenceng dari bahasan kami tentang titipan hadiah dari orang tua Claire, tapi aku tidak peduli. Fakta yang baru saja kuketahui hari ini, harus kupastikan dengan jelas.
"Apa katamu? Bertunangan apa?" tanyaku syok.
"Oh kau belum tau ya? Mereka sudah bertunangan lebih dari sebulan." Ucapnya santai, "kau tau? Mereka sangat cocok berdampingan di pesta pertunangan waktu itu." Sekarang matanya sudah berbinar.
Sebelum aku mendengar lebih banyak lagi dan menumpahkan air mata di depan wanita ini, aku lebih memilih untuk menghindarinya.
"Marina, aku rasa aku harus mengantarkan barang ini." Kataku cepat sambil menaikkan tas belanja tadi ke udara.
"Baiklah, semoga beruntung." Ucapnya sambil tersenyum.
Sejak hari pertama bekerja aku sudah tau ruangan Adrian, tentu saja. Tanpa perlu bertanya aku menuju lantai 57 dengan lift karyawan. Setelah sampai di lantai 51, hanya ada aku di dalam lift tersebut.
Aku menimbang-nimbang kalimat apa yang seharusnya kukatakan saat pertemuan kami yang pertama setelah perpisahan yang cukup lama. Pun aku bertanya-tanya mengapa Claire harus menyuruhku untuk mengantar titipan orang tuanya. Sebelum aku selesai dengan pikiranku sendiri, suara dentuman yang cukup keras terdengar.
Aku pasti terlalu banyak berfikir sampai tak tau di lantai berapa aku sekarang. Satu-satunya hal yang kusadari adalah bahwa lampu lift padam dan aku tidak membawa ponsel. Thanks God.
Tentu saja aku tidak bisa menemukan jalan keluar apapun selain menunggu lift ini normal dan berjalan kembali. Tapi sampai kapan? Oh tuhan, sekarang aku mulai panik. Bukan itu hal yang penting sekarang melainkan bagaimana caranya agar aku tetap bernafas di dalam sini.
Tubuhku mulai bergetar, entah sejak kapan aku duduk di lantai lift yang dingin sampai aku mulai kehabisan nafas.
Aku telah mencintai Adrian selama satu dekade, terpisah selama tujuh tahun tak membuat aku lupa bagaimana cara ia menyentuhku, bagaimana cara ia memeluk tubuhku maupun menggenggam tanganku. Aku bahkan masih ingat kelembutan bibirnya yang menyapu bibirku.
Mungkin karena aku terlalu merindukan sentuhannya sehingga aku merasa bahwa ia berada sangat dekat denganku. Aku yakin aku sedang bermimpi dan berharap mimpi ini akan terus berlanjut sedikit lebih lama lagi.
Setelah sekian lama, akhirnya aku dapat merasakan kembali pelukannya yang hangat, aroma khas tubuhnya yang memabukkan, serta lengan kokohnya yang berada di sekitar tubuhku. Walau hanya sebatas mimpi aku sudah sangat bersyukur.
"Di, Di, Diandra..." sebuah tangan mencoba membangunkanku dengan menepuk pipiku berkali-kali.
"Diandra. Bangun, Di." Suaranya sangat tidak asing di telingaku, suara yang baru kukenal belum lama ini di Sydney.
"Diandra!" kali ini ia bahkan mengoleskan sesuatu ke ujung hidungku dan menaikkan suaranya.
"Diandra, please.. wake up!" aku tersentak bangun dan membuka mata lebar-lebar.
Jadi aku hanya bermimpi? Kenapa terasa nyata sekali dan kenapa juga aku harus kecewa?
"Hey.. Di, are you okey?" tanya orang yang telah membangunkanku dari mimpi indah tadi.
"I'm okey. Don't worry." Jawabku sambil menampilkan senyum lebar. Barulah aku sadar bahwa di hidungku terdapat selang oksigen. Tanganku secara refleks ingin membuka selang tersebut namun Claire segera menahannya.
"Jangan, Di. Kau masih membutuhkan ini." Ucap Claire sembari membenarkan letak selang tersebut.
"Aku baik-baik saja sekarang dan tidak membutuhkan ini." Bantahku sambil melepas kembali selang tersebut dan mencoba untuk duduk.
"Apa kau sudah lama berada di dalam sana, Di?" tanya Claire seraya membantuku duduk.
"Entahlah." Jawabku sambil menggeleng kecil.
"Untung saja kau baik-baik saja sekarang, kalau tidak aku akan merasa sangat bersalah. Maafkan aku, Di." Ucapnya lagi dengan raut wajah sedih.
"Kau tidak bersalah sama sekali, Claire. Lihatlah tidak terjadi apa-apa padaku." Ucapku sambil memegang erat tangannya.
Tunggu dulu, aku baru sadar dari pingsan dan butuh beberapa waktu untuk mengingat apa yang terjadi maupun yang aku ketahui.
Kulepas tangan Claire ketika mengingat kembali perkataan Marina tentang pertunangan mereka. Sungguh aku berharap bahwa Claire bisa menjadi sahabat yang akan mendukungku nantinya, siapa sangka bahwa kami akan merebutkan orang yang sama.
"Kau marah padaku, aku tau itu." Ucapnya sambil memanyunkan bibirnya.
"Tidak, hanya saja.. bisakah aku pulang lebih awal hari ini?" tanyaku ragu-ragu.
"Tentu saja boleh. Aku antarkan, ya?" tanyanya menawarkan.
"Tidak usah, aku bisa pulang sendiri." Tentu saja saat ini aku harus menenangkan diri dengan tidak berada di dekat Claire.
"Mungkin kau masih marah padaku. Kalau begitu aku akan meminta Aldrich untuk mengantarmu." Ucapnya seraya mengusap-usap layar ponselnya.
"Hey, apa yang kau katakan? Tidak mungkin seorang direktur utama mengantarkan seorang karyawan biasa sepertiku." Ucapku dan menarik ponselnya. Kami memang sudah cukup dekat hingga aku berani berbuat demikian.
"Apa yang tidak mungkin, tadi dia yang menggendongmu kesini."
What?!! Demi apa?!!
"Hahh?? Apa maksudmu, kenapa juga dia mau membawaku kesini?" tanyaku penasaran.
"Saat aku sampai di lobi, aku dengar kalau lift karyawan mati dan berhenti di lantai 54. Tidak ada yang berani mencoba menaiki lift lainnya untuk naik kesana. Petugas bilang lift lainnya juga akan mati di tengah jalan, lalu Marina mengatakan kalau kau pergi ke ruangan Aldrich dan belum kembali cukup lama. Aku langsung menghubungi Aldrich dan memintanya turun ke lantai 54 sementara petugas lainnya menghubungi petugas yang berada di lantai terdekat ke lantai 54 untuk menaiki tangga darurat." Claire menjelaskan panjang lebar tapi aku tau kalau ia belum selesai.
"Kenapa kau harus menghubunginya? Pasti ada orang di lantai 54." Ini sedikit tidak masuk akal bukan?
"Tidak ada yang melakukan apapun disana, mereka hanya diam seperti patung." Kali ini ia terlihat kesal.
"Lalu apa yang terjadi? Ceritakan semuanya padaku." Ucapku setengah memaksa.
"Aku tidak melihat secara langsung, tapi aku mendengar dari orang yang berada disana. Mereka bilang Aldrich masuk dari tangga darurat lalu berteriak ke semua orang agar melakukan sesuatu. Mereka pun berusaha membuka pintu lift dengan pengungkit atau apapun namanya, tak lama kemudian petugas datang dan melakukan hal yang sama namun dengan alat yang lebih masuk akal." Claire terdiam cukup lama.
"Lalu??" tanyaku penasaran.
"Tentu saja lift sialan itu berhasil terbuka dan untungnya badan lift sudah muncul setengah. Setelah petugas yang turun ke dalam lift menaikkanmu ke atas lantai, mereka bilang Aldrich membawamu ke ruangannya. Setelah hampir setengah jam, semua lift kembali normal dan ia sendiri yang membawamu kesini." Claire tidak terlihat cemburu, ini sangat aneh.
"Dia membawaku? Pasti dia menyuruh orang untuk menggendongku, kan?" tanyaku memastikan.
"Tidak, dia sendiri yang menggendongmu." Jawabnya santai.
"Claire, maafkan aku. Aku tidak bermaksud.."
"Apa yang salah dengan itu? Kau dalam bahaya." Ucapnya memotong kalimatku.
"Dia tunanganmu." Balasku mengingatkannya.
"Lalu kenapa?" tanyanya lagi.
"Sudahlah, aku ingin pulang sekarang." Aku benar-benar tidak sanggup lagi berhadapan dengan Claire.
Dia sama sekali tidak keberatan ketika tunangannya memberi perhatian kepada wanita lain, sedangkan aku sangat kesal melihat Claire yang kenyataannya adalah tunangan mantan kekasihku. Sangat jelas bahwa Claire lebih baik, karena sebenarnya ia tidak merebut apapun dariku.
Aku memilih Claire yang mengantarku pulang daripada ia meminta Adrian yang melakukannya, aku belum siap bertemu dengannya.
Hal yang aku sesalkan adalah mengapa Adrian harus menggendong dan memelukku, jelas bahwa aku tidak bermimpi ketika merasakan sentuhannya tadi. Harusnya ia tak melakukan semua itu agar aku tak semakin terluka, agar aku bisa rela jika ia benar-benar mencintai Claire.
Tujuanku kesini adalah memastikan alasannya pergi tujuh tahun lalu. Jika benar alasannya bahwa ia berhenti mencintaiku, maka aku akan berhenti mengejarnya. Namun jika tidak, aku akan bertanya apakah masih ada cinta yang tersisa di hatinya untukku. Jika memang ia telah berpaling, maka aku akan menerima dengan tak rela.
Aku bukanlah orang yang mudah salah paham, jadi, aku hanya ingin mendapat kepastian dan memberikan kesempatan padanya untuk menjelaskan.
Jika memang takdir tak berpihak pada cintaku, maka tak ada harapan lagi untuk nyawaku yang tersisa. Karena satu-satunya nyawaku yang tersisa di dunia ini adalah Adrian-ku, belahan jiwaku.