Chereads / May dan Aji (Completed Story - TAMAT) / Chapter 3 - 3. Masa Kecil

Chapter 3 - 3. Masa Kecil

- Di masa lalu, aku selalu melihatmu bagai sakura yang bermekaran indah. Namun sakura itu gugur sebelum musim semi. Begitulah dirimu, gugur dihatiku sebelum waktunya -

- Aji -

*****

Terdengar suara lantunan ayat suci Al-Qur'an terbaca dengan syahdu di telinga Winda. Wanita paruh baya itu sedang terbaring lemah di atas brankar. Ia baru saja tersadar sepenuhnya, matanya perlahan membuka. Wajahnya ditolehkan ke samping kanan.

Razi, anak sulungnya tengah menilawahkan ayat-ayat surat Ar-Rahman disampingnya. Winda menghayati ayat demi ayat yang mengalun lembut dari lisan putranya itu. Maka, nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan? Memiliki putra yang bertanggung-jawab, soleh nan rupawan, dan taat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, sudah menjadi kenikmatan yang luar biasa bagi Winda.

Diusapnya dengan lembut kepala anaknya itu. Seulas senyum terbentang dari bibir Winda. Tangan kirinya segera menghapus titik-titik air mata yang baru saja menggenang di pelupuk matanya.

"Alhamdulillah, Ummi sudah sadar. Ada yang dirasa sakit, Ummi? Biar Razi panggilkan perawat ya." Razi hendak bangkit berdiri, namun ditahan oleh tangan Umminya itu.

"Ummi enggak apa-apa kok, Zi. Tolong ambilkan air putih saja. Tenggorokan rasanya kering." Razi pun segera mengambil sebotol air mineral yang tadi telah dibelinya di kantin rumah sakit. Ia pun menolong Umminya untuk dapat menenggak minuman itu.

"Kok Ummi bisa ada disini sih?" Winda kembali meletakkan kepalanya yang tadi sedikit terangkat di atas bantal. Ia mengedar pandangan ke sekeliling ruangan itu. Ia sudah hafal betul penampakan kamar rumah sakit.

"Ummi enggak ingat? Tadi Ummi pingsan di restoran. Sebelumnya Ummi bilang kepala Ummi terasa berputar-putar." Razi mengelus tangan Umminya dengan lembut.

Selepas mendengar penjelasan Razi, Winda pun coba mengingat kembali rangkaian peristiwa tadi siang. Ia ingat sakit di kepalanya terpicu oleh pertengkaran Razi dan Maira tadi. Tak lama setelah kepergian Maira, ia merasakan mual yang amat sangat hingga kepalanya berputar-putar. Dan akhirnya Winda hilang kesadaran.

"Vertigo-nya Ummi kumat lagi ya?" Razi bertanya dengan lembut.

"Iya, sepertinya. Ini juga Ummi masih merasa pusing dan mual." Winda memijat-mijat dahinya.

Tiba-tiba datang seorang perawat masuk ke ruangan, membuka tirai penyekat. Ia membawa alat pengukur tensi. Razi menanyakan perihal kondisi Umminya kepada sang perawat. Sang perawat pun memberikan beberapa obat untuk segera diminum oleh Winda sebelum undur diri.

Razi membantu Umminya untuk menelan satu-persatu obat yang diberikan oleh sang perawat tadi.

Tak lama kemudian, muncul seorang perempuan berusia 25 tahun dengan hijab dan pakaian gamis yang syar'i. Dia adalah Asha, salah seorang adik Razi, yang terlahir kembar dengan Arsi.

"Assalamu'alaikum, Ummi, Kak Razi. Ya Allah, Ummi gimana kondisinya sekarang? Asha baru dikabari Kak Razi tadi sore." Asha segera menghambur memeluk Umminya itu. Wajahnya pucat diliputi kecemasan. Sepanjang perjalanannya dari kantor hingga ke rumah sakit, pikiran Asha tak sedetik pun terlepas dari orangtua satu-satunya ini.

"Wa'alaikumussalam, anak sholehah. Alhamdulillah, Ummi sudah mendingan. Cuma masih sedikit mual dan pusing." Winda mengusap-usap punggung putrinya itu, untuk menyamankannya.

"Ya Ummi sih, kok bisa kambuh vertigonya? Ummi habis stres mikirin apa sih?" Asha menuntut jawab penyebab sakit Winda. Sementara Razi membuang mukanya, menghindari tatapan tajam yang mendadak dilayangkan oleh adiknya itu.

"Jangan-jangan...gara-gara Kak Razi nolak dijodohin ya?" Asha melebarkan matanya ke arah kakaknya itu.

"Kok jadi nuduh Kakak?" Razi memprotes tidak terima.

"Ya 'kan Ummi pingsannya di restoran. Pas lagi pertemuan sama calon istri Kak Razi 'kan?" Asha memicingkan matanya.

"Ummi terlalu shock karena ternyata calon mantunya preman terminal." Razi menjawab sekenanya.

"Razi!" Winda menegurnya.

"Siapa yang preman terminal? Kak May? Enggak mungkin! Kak May orangnya baik banget. Asha inget kok, waktu kecil pas lagi dikejar-kejar sama anjing piaraannya Pak Sastro, ditolongin sama Kak May. Terus, waktu Asha kehilangan si Ulil boneka ulet kesayangan, Kak Maira bantu nyariin sampai ngubek-ngubek tong sampah. Asha masih inget banget."

Razi mengernyitkan dahinya. May? Bukannya namanya Maira? Panggilannya May? Batin Razi dilanda kebingungan.

"Kamu kenal dia?"

"Lho, emangnya Kak Razi lupa sama Kak May?"

"Kata Ummi, namanya Maira. Bukan May!" Razi menyilangkan tangannya di depan dada. Pikirannya sedang berkelana, mencoba memastikan sosok yang dimaksud oleh adiknya itu.

"Tuh 'kan Kak Razi beneran lupa. Kak Maira itu ya Kak May tetangga kita dulu. Masa Kak Razi bisa lupa sama wajahnya sih? Padahal dulu ya, Kak Razi sempet ngasih bunga gitu ke Kak May, metik di halamannya Uwak Jamal. Terus kita ledekin, Kak Razi malah kabur gitu aja." Asha mencibir sekaligus meledek kakaknya itu.

Razi melebarkan matanya, hampir-hampir tidak mempercayai jika Maira adalah May yang dulu pernah...

"Iih, Kak Razi parah serius nih amnesianya!" Asha mencubit gemas Razi hingga ia mengaduh.

"Kak May itu orangnya baik banget, Kak. Jadi Asha setuju banget kalo Kak May jadi kakak iparnya Asha dan Arsi. Waktu Ummi bilang mau jodohin Kak Razi dengan Kak May, Asha seneng banget lho."

"Orangnya baik? Sha, Sha...ckckck! Itu 'kan dulu. Emangnya kamu tau dia yang sekarang? Tanya aja Ummi gimana sikapnya tadi." Razi melempar pandangan ke arah Umminya, seperti menanyakan pendapat.

"Bagi Ummi, Maira masih terlihat sebagai perempuan yang baik. Hanya saja, mungkin pengaruh dari lingkungan pekerjaannya yang menuntutnya berpenampilan dan bersikap seperti itu. Ummi dengar dari Bundanya, sekarang dia bekerja di bidang konservasi. Jadi sudah tuntutannya untuk bekerjasama dengan banyak orang, keluar masuk hutan, mendaki gunung, melewati lembah, kayak ninja Hattori gitu." Winda terkekeh pelan.

"Iiihh Ummi, lagi sakit begini masih guyonan aja!" Asha pun ikut tersenyum, lega melihat Umminya yang sudah bisa bercanda.

"Pantes sih kalo Kak May kerja di bidang itu. Emang dari kecil sudah keliatan jiwa penolongnya. Yang Asha inget banget, pernah 'tuh Kak May manjat pohon jambu di taman cuma gara-gara Mbak Adel nangis-nangis pingin jambu di tukang rujak, tapi nggak punya uang. Terus nolongin si Buncis, kucingnya Ketsi yang jatuh ke got. Udah gitu, pernah nih Asha iseng manjat pagar terus..." Dan Asha pun terus melanjutkan cerita masa kecilnya dengan Maira.

Razi hanya terdiam mendengarkan cerita-cerita Ummi dan Asha. Ia mencoba mengumpulkan kepingan ingatan di masa kecil. Ia dengan jelas mengingat sosok tetangganya yang merupakan seorang gadis kecil yang baik dan penolong seperti yang diceritakan oleh adiknya itu, umurnya terpaut dua tahun lebih muda dari Razi. Gadis kecil yang ia ingat dipanggil dengan nama May itu, memang selalu bermain dengan Asha. Sementara ia sendiri sibuk menjaga Arsi adik laki-lakinya.

Razi yang saat itu masih duduk di kelas 5 SD memang sempat kewalahan untuk menjaga Arsi dan Asha yang saat itu masih menjadi murid TK. Dulu Umminya itu selalu sibuk di dapur, membuat kue-kue pesanan untuk menambah pemasukan rumah tangga. Saat itu orangtua May baru saja pindah ke rumah sebelah. Dan setelah berkenalan, May jadi sering bertandang ke rumah mereka. May pun senang bermain dengan Asha, karena saat itu ia masih menjadi anak tunggal, adiknya belum lahir. Dan Razi pun tertolong atas kehadiran May dalam hidup mereka.

Namun benaknya masih bertanya-tanya, apa benar gadis kecil itu Maira? Kalau memang benar itu Maira adalah May maka...

Allahu Akbar...Allahu Akbar...

Terdengar suara adzan Isya berkumandang dari masjid milik Rumah Sakit. Razi pun memecah ingatannya. Ia segera berpamitan pada Umminya dan Asha untuk beranjak ke Masjid guna menunaikan sholat.

Sepanjang perjalanannya ke Masjid yang masih berada di dalam kompleks Rumah Sakit, Razi mengucap istighfar. Entah kenapa selepas mendengar cerita-cerita tentang Maira tadi, kepalanya dipenuhi dengan gambaran wanita itu.

Pikirannya sempat terpatri ke masa lalu, tepatnya 13 tahun yang lalu. Di saat ia menolak pernyataan suka yang dilontarkan oleh gadis itu dengan cara yang tidak pantas. Sungguh, ia menyesali kejadian saat itu. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Andai saja ia memiliki kesempatan untuk menjelaskan semuanya pada Maira, namun alih-alih memberikan penjelasan, lagi-lagi ia menyakiti perasaan wanita itu siang tadi.

Razi kembali mengucap istighfar. Harapnya semoga setelah sholat, batinnya menjadi lebih tenang. Karena saat ini, entah mengapa batinnya bergejolak. Razi belum menemukan jawabannya.

Selesai sholat berjama'ah, Razi memanjatkan do'anya. Dalam hati ia memasrahkan segala urusannya di dunia maupun di akhirat kepada Sang Pemilik Takdir. Termasuk untuk urusan pendamping hidup, meskipun saat ini hatinya sedang terpaut dengan seseorang yang menurutnya istimewa.

*****