- Jika rasa ini begitu menyakitkan, kenapa dirimu bagai candu bagi jiwaku?-
- May -
*****
Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam untuk sholat dan tilawah di Masjid, Razi pun segera kembali ke kamar rawat inap Winda. Dari luar kamar terdengar sayup-sayup suara beberapa wanita saling tertawa. Sepertinya penghuni kamar itu bukan lagi sekedar Umminya dan Asha. Dalam hati, Razi menebak-nebak, mungkinkah wanita itu? Razi pun segera membuka pintu kamar tersebut untuk menghapus rasa penasarannya.
Dan sesaat ia terpaku karena menemukan keberadaan Maira dan seorang wanita lainnya di dalam sana yang sedang asyik bercengkerama dengan Asha dan Umminya. Maira pun melempar pandang ke arahnya, tatapan mereka bertemu. Tawa yang tadi tersungging di wajah Maira pun segera menghilang. Ekspresinya kembali datar, ia melengos.
Razi menyadari perubahan ekspresi itu. Ia pun segera mengalihkan pandangan ke arah Asha yang menegurnya "Kak, lihat nih siapa yang datang? Panjang umur ya, baru juga tadi diomongin."
"Aamiin. Semoga benar diberi umur panjang ya." Razi meng-aamin-kan ucapan adiknya itu dengan dingin.
Sementara Maira malas menanggapi. Ia hanya bergeming di sisi kanan brankar. Maira terus-menerus meyakinkan dirinya jika kedatangannya ke Rumah Sakit itu hanya untuk menjenguk Winda, tidak lebih. Berlawanan dengan Maira, Razi bersikap tenang.
"Hai, Kak Aji apa kabar? Masih inget nggak sama aku?" Ruri yang berdiri di samping Maira pun membuka percakapan. Ia menyadari perubahan suasana yang seketika menjadi tegang.
"Hmmm...Ruri 'kan? Yang waktu itu..."
Ruri segera memotong perkataan Razi, "eh i-iya, aku Ruri. Yang dari dulu suka ke kantin bareng May. Hehe...ternyata masih inget ya, kirain sudah lupa."
Maira memicingkan matanya ke arah Ruri, memberi isyarat tidak suka sahabatnya itu menyapa Razi.
"Jadi kalian semua satu SMA 'tho dulu." Winda mengangguk-anggukkan kepalanya, sedikit memahami alasan dibalik keributan di restoran tadi siang.
"Iya, Tante. Dulu, Kak Aji ini kakak kelas kita. Waktu kita kelas 1, Kak Aji kelas 3." Ruri yang menjawab dengan gamblang. Lagi-lagi Maira melebarkan matanya kepada sahabatnya itu. Khawatir sahabatnya itu akan melanggar kesepakatan yang telah mereka buat di perjalanan tadi.
Razi berjalan ke sisi kiri, mengambil duduk di sofa. Ia mengambil salah satu majalah yang berada di paling atas tumpukan bacaan di atas meja.
"Dulu, waktu Razi lulus SMP, Tante sekeluarga pindah ke Semarang. Mengikuti Om Irwin yang pindah tugas disana. Tapi Razi enggak mau ikut pindah, pingin nerusin SMA di Jakarta katanya. Akhirnya, Tante titipin Razi buat tinggal sama Om Gagas dan keluarganya di Jakarta."
"Iya, waktu itu kita sempat terpisah tiga tahun sama Kak Razi. Untungnya setiap liburan, Kak Razi pulang ke Semarang. Jadi, kangennya Ummi terobati deh. Kalo enggak ada Kak Razi, Ummi suka senewen." Asha menyambung cerita Umminya itu.
Winda menepuk pelan putrinya itu, "yang kayak begitu nggak usah diceritain tho, Nduk. Ummi 'kan malu."
Asha pun hanya tertawa kecil melihat ekspresi malu sang Ummi.
"Oh iya, kalau Tante boleh tahu, memangnya dulu antara Maira dengan Razi pernah ada kejadian apa? Kok tadi pas ketemu kayak Tom ketemu Jerry?" Winda bertanya dengan penasaran. Ia bisa membaca raut wajah putra sulungnya itu. Ada sesuatu yang sepertinya ia sembunyikan dari Umminya itu.
Ruri dan Maira pun saling melempar pandang, sebelumnya di perjalanan May sudah meminta Ruri untuk tutup mulut, tidak mengungkit apapun terkait kisah pahitnya bersama Razi.
Sementara Razi berdiam diri sambil menatap Maira dengan tajam. Ia menunggu respon yang akan diberikan oleh Maira.
"Eng-enggak ada apa-apa kok, Tante. Dulu 'kan Kak Aji mantan wakil ketua OSIS, jadi orangnya tegas gitu. Kalo misal kita buang sampah sembarangan aja, langsung ditegur keras sama Kak Aji. Makanya...emmm...a-anu, Kak Aji suka nyebelin di mata adek kelas. Termasuk kita. Gitu ceritanya, Tante." Ruri berinisiatif untuk menjawab dengan skenario yang tiba-tiba terlintas di kepalanya.
Winda pun kembali mengangguk - anggukkan kepalanya. Ia bisa mengerti jika memang putranya itu dulu banyak tidak disukai karena sifatnya yang memang kaku dan dingin. Namun ia tahu pasti ada sesuatu lainnya yang tidak mengenakkan pernah terjadi di antara Maira dan putranya itu.
"Eh, emmm...Tante udah baikan? Masih pusing nggak?" Maira menanyakan kondisinya, sekaligus untuk mengubah arah pembicaraan.
"Alhamdulillah, sudah mendingan. Tinggal mualnya aja." Winda menjawab dengan mengulas senyum tipis.
"Ehm...Gimana nggak mendingan? 'Kan udah dibesuk calon mantu." Asha melirik ke arah kakaknya yang sedang membolak-balik majalah untuk mengalihkan pandangannya.
"Eh, bukan, Sha! Tadi siang..."
"Maira...", tiba-tiba kalimat Maira dipotong oleh Winda dengan lembut. Tangannya meraih tangan Maira untuk digenggamnya.
"Tolong maafkan sikap Razi tadi siang ya. Tante tahu, dia sebenarnya tidak bermaksud seperti itu." Winda menoleh ke arah putranya sekilas. Razi hanya melirik sebentar pada Umminya itu sebelum akhirnya kembali melanjutkan bacaannya. Sementara Maira menatapnya masih dengan perasaan kesal.
"Tante mengerti perjodohan ini terlalu mendadak buat kamu. Tapi, Tante mohon tolong dipikirkan dulu ya." Tatapan mata Winda yang teduh mencairkan kekesalan yang menyelimuti hati Maira sejak kehadiran Razi di kamar itu.
"Tante, nggak usah mikirin masalah itu dulu ya. Fokus aja sama kesehatan Tante untuk sekarang ini. May juga minta maaf sudah lupa sama Tante sebelumnya. Ternyata, Tante itu Tante Win yang dulu jago masak sop kimlo. Maaf ya, Tante. May baru nyadar setelah ketemu Asha sekarang." Maira tertawa pelan. Ia mencoba mengalihkan suasana hatinya sendiri.
"Iya ya, dulu kalo Kak May main ke rumah pasti yang dicariin sop kimlo-nya Ummi." Asha pun tergelak mengenang kisah masa kecil mereka.
Tanpa disadari, Razi sendiri pun turut menyungging senyum kecil. Ia sendiri ikut terbawa memori masa kecil mereka. Suasana hatinya kian menghangat.
"Nanti kalau Tante sudah sehat, Tante janji bakalan bikin sop kimlo kesukaan kamu. Makanya, kamu harus main ke rumah Tante ya. Tante tunggu, lho!" Winda mengelus punggung tangan Maira.
"Siap, Tan! Insyaa Allah."
"Ehm, Tante...yang diundang ke rumah cuma May nih? Saya boleh ikutan nggak?" Ruri menyeletuk.
" Ya boleh dong! Pokoknya kalian berdua ditunggu kedatangannya ya." Winda tersenyum sumringah.
Asha meminta kepada Maira agar mereka bertukar nomor ponsel. Yang tentu saja deretan angka-angka yang disebutkan oleh Maira, ikut terdengar oleh Razi.
Setelah itu, Maira dan Ruri pun segera berpamitan untuk pulang karena waktu sudah menunjuk pukul 9 malam, dan juga Galang suami Ruri telah tiba di lobi Rumah Sakit untuk menjemputnya.
"Razi, tolong antarkan Maira dan Ruri keluar, Nak." Winda menginstruksikan pada putranya itu. Razi pun tidak membantah, ia justru segera bangkit berdiri menuruti titah Umminya itu.
"Eh, enggak usah kok, Tante. Kami bisa keluar sendiri." Maira berusaha menolak. Ia memang tidak mau jika harus berjalan beriringan dengan pria itu menyusuri sepanjang koridor Rumah Sakit.
"Udah, nggak apa-apa. Biar Razi antar sampai ke lobi ya. Kalau perlu, sampai ke parkiran." Winda tetap bersikukuh sembari mengisyaratkan pada Razi untuk mengajak Maira berbicara baik-baik untuk meluruskan segala sesuatunya, bahkan meminta maaf jika perlu. Razi pun menangkap maksud Umminya itu.
"Ayo, aku antar!" Razi berjalan keluar kamar mendahului Maira dan Ruri.
Dengan wajah setengah terperangah, Maira disertai Ruri pun mengikuti dari belakangnya.
Maira sibuk dengan pikirannya, tidak menyangka mantan kakak kelasnya itu tidak bersikap dingin ataupun menolak. Ah, mungkin hanya bersikap baik di depan Umminya saja. Begitulah isi benaknya.
Tiba di lobi, mereka pun bertemu dengan Galang, suami dari Ruri. Setelah selesai berkenalan dan berpamitan, keadaan menjadi canggung bagi Maira dan Razi. Ingin rasanya langsung berjalan menuju parkiran, namun gengsi untuk berpamitan dengan pria itu. Maira pun mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Ia sengaja mentibukkan diri dengan melihat-lihat layar yang sedang bebas dari notifikasi, hanya untuk mengalihkan perhatiannya. Razi menyadari tindakan Maira itu.
"Kamu nggak perlu sok sibuk lihat-lihat HP cuma buat menghindari aku." Razi berkata dengan tegas.
Mendengar teguran Razi, Maira pun mengalihkan penglihatannya ke arah pria itu.
"Nggak usah kepedean deh!" Ketus Maira.
"Ehm, bisa kita bicara sebentar? Di kantin mungkin?"
Lagi-lagi Maira dibuat kaget oleh pertanyaan yang dilontarkan oleh Razi.
"Kamu...nanya aku?" Maira berusaha memastikan dengan mengarahkan telunjuk ke dirinya sendiri.
"Kamu pikir aku lagi ngomong sama tembok?" Lagi-lagi kalimat ketus yang dilontarkan oleh Razi. Melihat wajah Maira yang kembali berubah kesal, cepat-cepat Razi meralatnya.
"Sori, maksudku - iya aku nanya kamu. So?"
"Sori juga, udah malem. Aku harus segera pulang!" Maira segera membalik badan untuk melangkah menuju pintu utama.
"Maira!" Razi memanggilnya namun tak digubrisnya.
"May! Tunggu!" Tanpa sadar Razi menggamit lengan Maira. Lalu dalam sekejap melepaskannya.
"Mau kamu apa siiih?! Mau cari ribut lagi?" Maira menghentakkan kakinya, yang justru menarik perhatian pengunjung lainnya yang segera melirik ke arah mereka berdua.
"Aku mau bicara!"
"Dan aku juga bilang...su-dah ma-lam!" Maira menegaskan perkataannya.
Razi terdiam sejenak. Ia menarik napas beberapa kali sebelum akhirnya mengajukan pertanyaan kembali, "besok bisa?"
"Maksudnya?"
"Bisa kita ketemu besok untuk bicara?"
Kini giliran Maira yang terdiam. Ia sungguh tidak mengerti pembicaraan apa lagi yang diperlukan antara mereka berdua.
"Kayaknya udah nggak ada yang perlu dibicarakan. Lagian besok aku harus ke Makassar."
"Jam berapa flight-nya?"
"Ih, ngapain kamu nanya-nanya? Mau nyusul ke bandara? Kayak adegan di film-film itu?"
Mendengar pertanyaan Maira justru membuat Razi refleks tertawa kecil, "Hmmm...kamu minta disusul?"
Maira terkesiap melihat seringai halus di wajah Razi, "minta disusul? Eh, Mas tadi situ yang nanya-nanya jadwal penerbangan saya."
"Mbak, jangan galak-galak sama calon suami." Razi kembali tersenyum menyeringai.
"Hah? Eh, bapak mantan waketu OSIS yang pelupa, harap diingat ya! Saya sudah menolak perjodohan ini! Jadi anda bukan calon suami saya. Dan tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan!"
"Not for me! Kita ketemu sepulang kamu dari Makassar. Hati-hati ya di jalan. Aku nggak mau jadi calon duda sebelum menikah." Razi segera memutar balik badan sambil melambaikan tangan kanannya dengan acuh. Ia melangkah menjauh meninggalkan Maira yang masih membeku dengan mulut ternganga.
Dan lagi-lagi Maira dibuat terperangah oleh seorang Razi. Ia mencoba menenangkan hatinya yang mendadak linglung. Maira berlari menuju lahan parkir motor. Di hadapan motornya ia menarik napas sekuat tenaga. Hatinya sedang melawan pikirannya, atau pikirannya sedang melawan hatinya. Entah yang mana yang benar. Yang jelas debaran itu masih tertinggal disana. Dan Maira pun hanya bisa kembali menetes tangis.
*****