- Cintai dulu sang Maha Cinta, maka kau mafhum makna cinta -
- Razi -
"Tumben ngajak ketemu. Ada apa? Berubah pikiran?" Razi menyeruput dari segelas orange juice di genggamannya. Matanya menatap Maira yang sedang duduk di hadapannya.
Dua hari yang lalu, Maira mengirimkan pesan teks padanya untuk bertemu di sebuah cafe dekat rumahnya. Karena ini hari Minggu, dan seorang Razi tidak punya kesibukan apapun di hari libur ini, maka Razi pun mengiyakan ajakan dari Maira.
"Aku mau cerita sesuatu." Sebersit keraguan terlihat dari wajah Maira. Ia masih bimbang perlu menceritakan masalah yang sedang dihadapinya dengan pria ini atau tidak.
"Oke! I'm listening!" Dengan santainya Razi berkata.
Maira sedikit terperanjat karena pria itu tidak bersikap dingin seperti biasanya. Malah kali ini, Razi beberapa kali tersenyum.
"Karena dua hari yang lalu kamu sudah jujur sama aku tentang Alma, sekarang aku yang mau jujur."
"Fair enough!" Razi menyeringai halus.
"Jadi, sebenarnya atasanku merekomendasikan aku untuk posisi yang lebih tinggi di Kyoto, Jepang. Sekarang memang masih proses seleksi. Tapi...sebenarnya aku memang berharap, akulah yang akan mengisi posisi itu. Dan, itu alasan utamaku kenapa aku belum mau menikah."
"Hmmm...yakin hanya karena itu kamu tidak mau menikah? Bukan karena aku calonnya?"
"Kamu alasan kedua!" Dengan cepat Maira menanggapi pertanyaan sindiran dari Razi.
"Karena masa lalu?" Razi memandangnya serius.
"Itu dan juga sifat kamu!" Badannya dicondongkan ke depan. Ia balas menatap Razi tajam.
Razi menyengir tipis. Sebelah sudut bibirnya terangkat ke atas, "kamu belum kenal aku."
"Secara garis besar, aku cukup tau kamu orangnya seperti apa." Lagi - lagi pernyataan Maira ini hanya dibalas Razi dengan sebuah seringai kecil di wajahnya.
"Jadi sekarang, mau kamu apa?" Lagi - lagi Razi kembali bersikap santai.
Maira sedikit menurunkan wajahnya yang diselimuti kekecewaan, "dua hari yang lalu, aku baru menceritakan tentang promosi itu ke Bunda. Dan Bunda tidak setuju. Lalu saat makan malam, aku juga bilang ke Ayah tentang promosi itu. Respon Ayah malah sama seperti Bunda. Bunda berkali - kali minta aku mengundurkan diri dari promosi itu dan tetap nikah sama kamu."
"Sudah bisa ditebak." Kini Razi tersenyum lebar.
"Aku bingung! Kenapa orangtua kita tetap memaksakan kehendak mereka untuk menikahkan kita?" Wajah Maira tertunduk lemas.
Razi mengangkat kedua bahunya, "mereka punya pertimbangan sendiri. Jadi intinya, kamu masih mau mengejar karir?"
"Bukan karir! Tapi mengejar cita - cita!" Maira menaikkan wajahnya untuk kembali menatap Razi.
"Cita - cita untuk bisa keliling dunia?"
Maira terperangah, kenapa pria itu bisa tahu apa cita - citanya sejak kecil.
Melihat ekspresi Maira, Razi pun menyungging senyum tipis, "kamu kaget kenapa aku bisa tahu cita - cita kamu?"
Maira sendiri bertanya - tanya dalam hati. Tapi ia tidak mau mengiyakan, egonya terlalu tinggi untuk mengakui. Bisa besar kepala pria itu.
"Intinya, aku masih mengutamakan mengejar cita - citaku. Kalo aku menikah, belum tentu aku bisa bebas melakukan apa yang aku mau. Aku tidak mau hidup seperti Bunda!"
"Memangnya kenapa dengan hidup Bundamu?" Razi mengerutkan dahinya.
"Kuliah sampai S2, ujung - ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga. Beresin rumah, masak, nyuci, cuma seputar itu aja urusannya. Jarang keluar rumah, paling - paling cuma buat arisan RT, kumpul keluarga atau kumpul pengajian. Kehidupan yang membosankan buat aku. Sementara Ayah, bisa jalan - jalan kemana aja dengan dalih urusan kantornya, sampai keluar negeri segala. Yang aku lihat, lebih menyenangkan menjadi Ayah, yang punya karir. Daripada Bunda, yang cuma ngurus rumah dan anak - anak."
Lantunan cerita Maira justru membuat Razi terbahak - bahak. Kerap kali ia menggeleng - gelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan sudut pandang Maira.
"Ckckck...dangkal banget ya pikiran kamu. Bisa aja sih aku ngasih kamu kuliah tentang gimana jadi istri sholehah. Tapi, sepertinya percuma sebelum kamu mendalami ilmu agama." Razi memberi penekanan di kalimat terakhirnya. Matanya lurus memandang Maira yang terlihat tersentak dengan omongannya.
"Istri sholehah?"
"Iya."
Maira memutar bola matanya lalu menghempas sedikit napas sebelum melanjutkan kalimatnya, "kategori istri sholehah itu seperti apa sih? Seperti Bunda? Yang cuma jadi orang rumahan, ngurusin anak - anak?"
Mendengar kalimat yang bernada cemooh dari lisan Maira, Razi pun segera menggelengkan kepalanya.
Razi segera menjawab, "yang taat perintah Allah. Mengikuti ajaran dan sunah Rasul. Dan, berbakti pada suami. Garis besarnya begitu. Tapi untuk aplikasinya, tergantung bagaimana masing - masing pasangan menerapkan."
Maira segera terpekur. Kata - kata Razi sulit dicerna olehnya yang masih awam dengan ilmu agama. Ia akui, untuk sholat lima waktu saja sering bolong - bolong. Mengaji? Terakhir kalinya ia menyentuh kitab suci mungkin saat duduk di bangku akhir kuliah, itu pun karena dipaksa teman kosnya untuk mengikuti kajian.
Razi melihat ekspresi wajah Maira yang sedang termenung. Pikirannya jelas sedang berkelana. Mungkin ia sedang memproses kata - kata Razi di pikirannya. Razi sendiri sudah mengetahui bagaimana jauhnya Maira dari ilmu agama.
Sebenarnya kemarin, Fita baru saja bertandang ke rumahnya untuk bertemu dengan Razi dan Umminya. Fita kembali menyampaikan betapa besar keinginannya untuk memiliki Razi sebagai pendamping hidup Maira. Fita melihat Razi sebagai sosok yang mampu membimbing putrinya itu menjadi pribadi yang lebih baik, wanita yang sholehah.
Fita sempat menyampaikan kekhawatirannya melihat Maira yang terlalu terlarut dengan cita - citanya di dunia, sehingga melupakan urusan akhiratnya. Semenjak bekerja, Fita melihat perubahan yang terjadi pada Maira. Bagaimana ia sering meninggalkan sholat, bahkan tidak menuntaskan puasanya di bulan Ramadhan dengan alasan kesibukan pekerjaan. Melihat perubahan Maira ini, Bundanya itu cemas jika Maira akan semakin menjauh dari Sang Pencipta dan terpancing untuk melakukan hal - hal yang mudharat.
"Udah selesai ngelamunnya?" Razi menegur wanita di hadapannya itu yang terdiam sejak kalimat terakhir yang ia ucapkan beberapa menit yang lalu.
"Omongan kamu tadi malah menimbulkan banyak pertanyaan di pikiranku. Yang taat perintah Allah, yang mengikuti ajaran dan sunah Rasul, yang berbakti pada suami itu yang seperti apa? Siapa contohnya?"
"Siti Khadijah!"
"Istri pertama Rasul?"
"Nah, itu tahu!"
"Istri yang rela dimadu?"
"Ckckck...beneran cetek ilmu agama kamu." Razi kembali menggeleng - gelengkan kepalanya. Ia segera kembali meraih gelas orange juice-nya. Tidak hanya kepala dingin, ia membutuhkan hawa dingin untuk menghadapi wanita di hadapannya ini.
"Iya, ilmu agamaku memang cetek! Nggak seperti Alma yang cantik nan sholehah! Makanya, kamu nggak perlu nikahin aku. Nikah aja sama Alma!" Maira mulai merasa berang. Ia mengakui, dirinya memang dangkal dalam urusan agama. Tapi ia merasa tak perlu diperjelas berkali - kali. Ia sudah cukup merasa malu.
Razi tidak membalas dengan hardikan seperti biasanya. Ia justru menatap teduh Maira, dengan tenang ia menjawab, "Ummi tidak setuju dengan Alma. Ummi lebih memilih kamu."
Maira terkejut, ia bingung. Kenapa Winda lebih memilih dirinya dibanding Alma yang menurutnya sosok sempurna itu. Maira pun mendadak penasaran, "sori, kalo boleh tahu nih, emangnya...Tante Win udah pernah ketemu sama Alma?"
"Sudah!" Dengan cepat Razi menjawab.
"Kok...Tante Win...bisa..." suara Maira semakin melemah, ia semakin bertanya - tanya di dalam hati.
"Ada hal - hal yang tidak kamu ketahui. Intinya, Ummi hanya merestui aku menikah dengan kamu."
"Tapi...kamu 'kan..." Maira urung menyelesaikan kalimatnya.
"Apa?" Dahi Razi mengerut.
"Emmm...nikah itu butuh cinta! Kamu - 'kan..." Kembali Maira meragu.
"Aku nggak cinta sama kamu?"
"Jangan menohok gitu ngomongnya, kali!" Maira terlihat malu. Ia melengoskan wajah ke samping.
"Kalo ngomong jangan berbelit - belit! To the point!" Razi menyeringai.
"Iiihhh...aku nggak biasa ngomongin masalah beginian!" Maira terlihat salah tingkah, pipinya memerah. Razi membersit senyum melihat sisi lain Maira.
"Jadi sekarang, aku tanya lagi. Mau kamu apa?" Razi mencondongkan badannya ke depan.
"Aku mau kamu meyakinkan orangtua kita untuk membatalkan perjodohan ini! Dan...mungkin...kamu bisa menolongku. Tolong, yakinkan orangtuaku untuk menyetujui promosiku ke Jepang." Maira berkata dengan perlahan, ia benar - benar berharap pria ini bisa membantunya, meskipun ia harus mengalah pada egonya.
"Untuk yang pertama, aku jelas tidak bisa. Aku tidak pernah membantah titah Ummiku. Untuk yang kedua...mungkin aku punya cara untuk meyakinkan orangtua kamu."
Maira mengerjapkan matanya berkali - kali, serasa mendapat secercah harapan mendengar ucapan pria itu.
"Cara apa?" Maira bertanya penasaran.
"Ehem...dengan menikah denganku."
Maira menghempas napasnya kasar. Batinnya sudah merasa lelah beradu argumen dengan Razi. Ia sedang meminta solusi, bukan komplikasi.
"Kenapa sih dari kemarin - kemarin ngomongnya nikah melulu? Aku capek dengernya!" Maira memprotes dengan suara melengking.
"Kamu tadi minta tolong sama aku 'kan? Ya aku cuma bisa nolongin dengan cara itu."
"Coba jelasin! Kenapa menikah itu bisa jadi solusi buat aku?"
"Karena dengan menikah, otomatis aku yang akan memegang tanggung jawab dunia akhirat kamu. Kamu tidak akan menjadi tanggungan orangtuamu lagi."
"Ya terus?"
"Artinya, kalau kamu perlu apa - apa, minta ijinnya sama aku sebagai imam kamu. Bukan sama orangtuamu lagi."
Maira menghempas badannya untuk bersandar di kursi. Mendengar penjelasan Razi, justru menjadikannya semakin jengkel. Menurutnya, meminta ijin dari pria itu akan sepuluh kali lipat lebih sulit daripada kepada orangtuanya. Lalu Maira berpikir sejenak, kecuali kalau ia bisa meminta kepastian dari seorang Razi.
"Hmmm...jadi, kalau aku nikah sama kamu, aku dijamin bakal dapat ijin kerja di Jepang?"
Razi hanya menaik - turunkan bahunya. "Itu semua tergantung."
"Tergantung apa?"
"Ya bagaimana nanti."
"Apanya yang bagaimana nanti?" Maira bertanya tidak sabaran.
"We never know the future. Hidup kita ini sudah ada qadha dan qadarnya. Takdir kita itu sudah tertulis di lauh mahfuzh. Kita cuma bisa ikhtiar, tawakkal, dan istiqomah. Jangan sampai melanggar batas - batas dalam syari'at."
"Ah, nggak jelas! Kamu part - time jadi pak ustadz ya?"
"Belum. Tapi, boleh juga."
"Hah? Serius kamu mau jadi ustadz?" Maira membelalakkan matanya saking tidak percayanya dengan kata - kata Razi.
"Lho, emang kenapa? Menyebarkan ilmu agama kepada sesama 'kan sebuah amalan kebaikan. Seperti sekarang nih, aku lagi beramal baik ke kamu."
"Iiihhh...kalau aku nikah sama kamu, yang ada diceramahin begini nih tiap hari, ogah!" Maira menyedekapkan kedua tangannya seperti orang yang sedang merajuk.
"Jadi, kamu nggak mau dinasehati? Diberi masukan, dikritik, dibimbing untuk menjadi manusia yang lebih baik?"
Maira menatapnya nanar. Ada terselip rasa marah yang sangat besar di sudut hatinya. Setiap kali ia bertanya, pria itu selalu pintar membalikkan omongannya, bahkan membuatnya tersudut. Seperti saat ini. Tapi egonya, sulit untuk mengakui kekalahannya.
"Memangnya kamu bisa bikin aku jadi manusia yang lebih baik?"
Lagi - lagi Razi hanya mengangkat bahunya untuk menanggapi pertanyaan Maira. "Seperti yang aku bilang tadi. We never know the future. Aku nggak bisa jawab, bisa atau tidak. Tidak ada jaminan untuk semua itu. Yang jelas, yang namanya pasangan suami istri harus saling mengoreksi untuk menjadi lebih baik bagi satu sama lain, dan bagi orang lain." Sejak awal Razi menguliahinya, tidak ada satupun kata - kata kasar seperti sebelumnya yang keluar dari lisannya. Ia berusaha menjelaskan dengan tenang dan santai.
Maira tiba - tiba menyeringai halus, ada serangkaian kalimat yang ingin segera ia luncurkan dari mulutnya. "Kalau gitu, bukan cuma aku dong yang boleh dikritik. Berarti aku juga bisa melakukan hal yang sama dong, ke kamu!" Telunjuknya mengarah ke Razi.
"'Kan aku sudah bilang, saling mengoreksi."
"Hah? Jadi bener, aku boleh komplain ke kamu?"
Razi mengangguk lalu melanjutkan dengan kalimat, "tapiii...setelah menikah."
Maira mendesah halus. Ia memutar bola matanya. Lagi - lagi kata 'menikah' kembali digaungkan oleh pria itu.
"Terus...Alma gimana?"
"Gimana apanya?"
"Ya hubungan kamu dengan dia gimana kalau...ehem, kalau kita nikah?" Maira memelankan suaranya di bagian akhir kalimat tanyanya.
"Nggak gimana - gimana." dengan santainya Razi menjawab.
"Kok hari ini kamu tenang banget sih? Nggak pake marah - marah, nggak pedes model sambel uleg kayak biasanya."
Razi mencondongkan badannya lebih maju lagi, ia menatap lekat kedua bola mata Maira. Tatapannya yang seperti ini membuat Maira sedikit takut, hingga timbul rasa menyesal karena sudah memancing mantan kakak kelasnya itu.
Sebelah sudut bibirnya terangkat, lalu ia berkata, "karena aku sudah mengerti perasaanku sekarang."
*****