- If jealousy is a crime, then love should be convicted as a crime too -
- May -
*****
Maira menatap lurus ke arah jalan di hadapannya. Tangannya fokus mengendalikan kemudi mobil mini-van yang sedang dikendarainya. Saat ini ia sedang dalam perjalanan guna memenuhi janjinya pada seseorang yang spesial di masa kecilnya.
"Waaah, gue nggak sabar mau nyobain sup kimlo-nya Tante Win! Pastiiii enak! Sayang laki gue nggak bisa ikutan. Padahal, Mas Galang tuh doyan banget sama sup kimlo. Jarang - jarang banget pula bisa makan ini sup, paling ketemunya pas lagi jadi menu prasmanan di kondangan." Cetus Ruri yang saat ini sedang duduk di kursi penumpang, samping Maira.
Dua hari yang lalu, Asha mengabarinya lewat Whatsapp jika Umminya itu mengundang mereka untuk makan siang bersama di rumah mereka. Dan tentu saja, yang menjadi menu utama adalah sup kimlo favorit Maira. Setelah menerima pesan via aplikasi percakapan itu, Maira pun segera mengabari Ruri. Satu jam yang lalu ia mampir ke rumah Ruri untuk menjemputnya.
Saat Maira menyatakan pada Ayah - Bundanya akan bertandang ke rumah ibu dari Razi itu, mereka justru menyuruh Maira untuk menggunakan mobil kesayangan mereka.
Tentu saja perintah orangtuanya itu langsung dituruti oleh Maira. Jarang - jarang orangtuanya itu memperbolehkannya membawa mobil itu.
"Gue juga nih, udah berasa laper aja ngebayangin sup kimlo-nya Tante Win. Ngiler deh gue!" Maira memasang ekspresi seolah-olah sangat mendamba makanan itu.
"Eh, tapi tapi...bakalan ketemu dong lo sama si Kak Aji. Ini 'kan hari Minggu. Dia pasti di rumah juga. Awas lo ya, entar jangan ribut sama dia! Kasihan Tante Win!" Ruri memperingatinya.
"Iiih, siapa juga yang mau ribut! Lagian gue udah terbiasa ketemu sama dia."
"Hah?? Berarti lo udah sering ketemu sama dia sejak di rumah sakit itu? Kok lo nggak pernah cerita? Jangan - jangan...," telunjuk Ruri mengarah ke sahabatnya itu.
"Jangan - jangan apa?" Maira menaikkan sebelah alisnya.
"Oh, My God! Kalian udah pacaran ya?" Ruri setengah memekik dengan menempelkan kedua telapak tangannya di kedua belah pipinya.
Tangan kiri Maira segera menyentil dahi sahabatnya itu.
"Awww! Sakit tauuu!"
"Makanyaaa, jangan sotoy! Siapa juga yang pacaran! Kayaknya nggak bakal tercatat dalam buku sejarah mana pun kalo gue dan dia bakal pacaran."
"Ya kaliii lo main rahasia-rahasiaan dari gue! Kalo nggak pacaran, ngapain lo berdua ketemuan terus?"
"Ralat, ketemuan beberapa kali! Bukan terus - terusan. Isi pertemuan, nggak penting! Makanya gue nggak cerita ke lo."
"Bener nggak penting? Kalo nggak penting, kok udah beberapa kali aja?" Ruri tetap berusaha mengorek info dari Maira.
"Iih, ngeyel! Beneran, nggak penting. Intinya gue sampein ke dia, kalo gue belum mau menikah. Lagian..." Maira memutus kalimatnya.
"Lagian kenapa?" Ruri langsung memburunya. Badannya ditegakkan dari sandaran jok.
"Dia...lagi suka sama cewek lain."
Mendengar lanjutan kalimat Maira, Ruri terdiam. Ia memperhatikan perubahan mimik wajah sahabatnya itu. Ia tahu benar ada sedikit raut kecewa terbersit di sana.
"Apaan sih lo? Kok jadi diem? Nggak penasaran lagi?" Maira menggoda sahabatnya itu.
Ruri menghempas napasnya sebelum akhirnya berkata, "May...masih banyak cowok di luaran sana. Cowok bukan cuma dia doang! Masih ada si Dida 'tuh. Gue yakin, dia pasti masih mau nerima, kalo lo bilang berubah pikiran."
"Gue udah bilang 'kan, Rur. Gue cuma anggap dia temen aja. Kita cuma kebetulan kenal karena kantor kita satu gedung. Gue juga nggak pernah nganggap dia lebih dari itu. Dia baik sih, terlalu baik malah. Tapi memperlakukan gue kayak sepatu kaca-nya Cinderella yang gampang pecah. Gue nggak suka diperlakukan seperti cewek yang lemah."
"Lho, gunanya cowok 'kan itu, sebagai pelindung cewek. Lo aja yang terlalu mandiri. Kalo gue siiih, lebih suka dimanja." Ruri menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Ckckck...lo aja yang anak bontot. Kebiasaan dimanja sih sama Mami lo. Untuuung aja Mas Galang juga orangnya bisa manjain lo."
Ruri segera memanyunkan bibirnya, berlagak pura - pura mengambek. Ekspresi Ruri yang seperti itu justru membuat Maira tertawa lepas.
"Eh, Rur...gue...mau nanya dong."
"Naon?" Ruri menjawab masih dengan sedikit kesal.
"Menurut lo...istri sholehah itu yang gimana sih?"
"Tumben nanyain begituan. Mulai tertarik buat ganti status?"
"Cuma nanya, Rur! Nanya!" Godaan Ruri itu disahut kesal oleh Maira. Ruri pun tertawa melihat sikapnya.
"Hmmm...istri sholehah ya? Istri yang bisa nyenengin suami, berbakti sama suami, ngurus anak - anak dengan baik, hmmm...apalagi ya?" Ruri mengetuk-ngetuk dagunya untuk berpikir.
Maira pun langsung tersadar, salah alamat jika ia menanyakan hal itu pada sahabatnya ini. Menyadari kesalahannya, ia pun menepuk dahinya sendiri.
Tidak lama kemudian, Ruri memarkir mobilnya di depan rumah berpagar hitam, dengan halaman yang agak luas. Bangunannya masih terlihat sama seperti dalam ingatan masa kecilnya dulu. Tidak terlihat menonjol di antara rumah - rumah disekitarnya yang sudah bergaya modern minimalis. Namun terlihat jelas, rumah itu terawat dengan baik. Bahkan mungkin baru saja dicat ulang.
Maira dan Ruri pun segera memasuki pagar yang memang telah terbuka itu. Ia berjalan perlahan melewati taman kecil di sebelah halaman itu. Di tengah - tengah taman itu masih terdapat ayunan yang sering ia naiki di masa kecilnya dulu. Maira tersenyum saat menyentuh ayunan itu. Di sebelahnya terdapat pohon cemara kecil. Dulu, Maira senang menyirami pohon itu dengan harapan pohon itu akan segera tumbuh besar. Namun pohon itu tidak pernah membesar. Sekarang ia baru menyadari tanaman itu termasuk jenis yang sengaja dibuat kerdil.
Lalu pandangannya tertuju pada rumah sebelah. Rumah berpagar merah yang dulu pernah ia tempati. Rumah yang pernah disewa oleh orangtuanya saat itu. Bangunannya terlihat sudah berubah. Desain minimalis menjadi konsep bangunannya. Bahkan halamannya yang dulu masih berumput, sekarang benar - benar sudah dipenuhi cor beton. Pohon mangga yang dulu gemar ia panjati pun sudah ditebang habis hingga tak bersisa.
"May, ayo masuk!" Teguran Ruri menyadarkannya. Ia langsung menghampiri Ruri yang sudah berdiri di ambang pintu ruang tamu yang memang telah terbuka. Melihat akses masuk rumah itu sudah terbuka dari awal, membuat Maira bertanya - tanya. Keduanya segera mengucap salam sebelum memasuki rumah itu.
"Wa'alaikumussalaaam. Eeh, Kak May dan Kak Ruri sudah datang, ayo masuk!" Keluarlah Asha dari dalam ruangan yang dulu ia ingat sebagai ruang keluarga, menuju ruang tamu. Tangannya sedang menggendong seorang balita perempuan berumur sekitar dua tahun.
Ruri dengan cepat mendekati Asha, perhatiannya langsung tertuju pada balita berpipi bakpao itu, "halo, Sha! Duuuh, lucunya! Jadi pingin cepetan punya, deh. Anak kamu ya, Sha?"
Melihat bayi di gendongan Asha itu, Maira berpikiran sama seperti Ruri. Ia mengira mungkin Asha sudah terlebih dahulu menikah.
Namun Asha segera menggelengkan kepalanya sembari tersenyum. Ia melangkah masuk menuju ruang keluarga, membimbing mereka berdua untuk mengikuti langkahnya, "ayo, masuk Kak. Supnya baru aja mateng."
"Terus, anak siapa nih? Lucu banget!" Maira mencubiti pipi balita itu dengan gemas.
Tiba - tiba dari dalam dapur keluar sosok wanita yang tak disangka - sangka hadir di rumah itu. Ia sedang membawakan panci berisi sup kimlo untuk ditaruh di meja makan yang posisinya berada di belakang ruang keluarga tersebut. Kehadirannya membuat Maira sontak terperangah.
"Itu Sarah, anakku." Wanita itu tersenyum dengan manis. Ya, dia adalah Alma.
"Eh...oh, ini anak kamu?...emmm - eh udah lama?" Maira segera menutupi keterkejutannya.
"Enggak kok, baru juga sampai lima belas menit yang lalu. Terus bantu - bantu sebentar di dapur. Menggantikan Tante, lagi sholat Dhuhur." tuturnya lembut.
Bibir Maira membentuk huruf O sembari menganggukkan kepalanya. Kini Maira menyimpulkan sesuatu di pikirannya. Tebaknya, Alma sudah menikah ternyata. Razi menyukai wanita yang sudah bersuami? Sudah punya anak pula? Pantas saja Tante Win tidak setuju.
Ruri yang penasaran dengan sosok Alma, segera menyikut Maira yang berdiri di sebelahnya. Matanya melirik tajam pada Maira, memberi isyarat pertanyaan siapa wanita itu?
Dengan berbisik pelan, Maira pun menjawab, "nanti!"
"Saya Alma. Panggil saja Al." Tanpa disadari oleh mereka berdua, ternyata Alma sudah berdiri di hadapan mereka. Ia menyodorkan tangan kanannya untuk berkenalan dengan Ruri.
"Eh i - iya, aku Ruri. Sahabatnya May dari SMA." Ruri segera menjabat tangan Alma. Alma pun tersenyum ramah padanya.
"Berarti adik kelasnya Razi juga ya?"
"Hah? Eh i - iya benar. Adek kelasnya Kak Aji." Ruri menjawab dengan terbata.
"Oh iya, dulu waktu SMA Razi dipanggilnya Aji ya, karena ada teman seangkatannya yang namanya Fahrurazi juga 'kan?" Alma terlihat berpikir sejenak.
"Eh, kok Kak Alma tau? Memangnya dulu SMA bareng kita juga?" Ruri bertanya penasaran. Sejenak ia terpaku dengan sifat supel wanita ini dan juga kecantikannya.
Lagi - lagi Alma kembali tersenyum, "enggak kok. Aku cuma rekan kerjanya Razi aja. Tapi dia banyak cerita tentang masa lalunya. By the way, panggil aku Al saja. Kita seumuran kok."
Setelah menjawab, pandangan Alma beralih pada Asha, "Sha, tolong titip Sarah dulu sebentar ya. Aku mau numpang sholat. Atau kamu mau sholat duluan?"
"Oh, iya Kak Al nggak papa. Sholat di kamar Asha aja. Hehe, Kak Al aja yang sholat. Aku lagi uzur." Asha pun membalas tersenyum ramah sembari mengajak Sarah bicara dengan bahasa bayi.
"Oh iya, Kak May sama Kak Ruri sholat sekalian aja. Setelah itu, kita makan sama - sama."
Maira dan Ruri saling melempar pandang. Ada rasa malu terselip di antara mereka berdua. Jarang sekali mereka berdua mengingat, bahkan melakukan ibadah fardhu itu. Lagi - lagi Ruri menyikut Maira.
"Eh, i - iya Sha. Kita juga mau sholat sekalian." Maira menjawab dengan cengengesan.
"Masih ingat letak kamar mandinya 'kan, Kak?" Asha bertanya pada Maira.
"Iya, masih inget kok." Maira pun segera menggandeng tangan Ruri, menyeret temannya itu untuk ikut dengannya menuju kamar mandi.
Maira dan Ruri pun bergantian mengambil wudhu lalu segera menuju kamar Asha. Mereka segera mengenakan mukena yang sudah disiapkan di atas ranjang Asha, lalu mengambil tempat di samping Alma yang sedang khusyuk melaksanakan sholat.
Selesai sholat, mereka bertiga keluar kamar bersamaan. Entah bagaimana ceritanya, Ruri menjadi akrab dengan Alma. Mungkin karena Alma yang pintar memulai pembicaraan di dalam kamar Asha. Mereka pun mulai bercengkerama, sedangkan Maira hanya ikut menimpali sesekali saja. Itu pun kalau ditanya pendapatnya.
Di ruang makan terlihat telah dihuni oleh Winda, Asha, dan Razi yang sudah pulang dari melaksanakan sholatnya di masjid dekat rumah. Saat ini Sarah sudah berpindah ke pangkuannya. Ia terlihat sangat akrab dengan balita itu. Bahkan Sarah terlihat sangat nyaman dengannya.
Pemandangan ini tidak luput dari netra Maira. Perasaannya pun campur aduk. Ada rasa yang ingin disingkirkan dari hatinya, namun egonya terlalu gengsi untuk mengakui.
Berbeda dengan Ruri yang langsung mendatangi Winda untuk melayangkan salaman takzim dan memberi kecupan di pipi kiri dan kanan, dan Alma yang langsung mengambil posisi duduk di sebelah Razi, Maira terlihat terpaku di sudut ruangan.
Ada rasa enggan menghampiri meja makan itu. Tiba - tiba rasa minder meliputinya. Merasa sepertinya kehadirannya tidak terlalu berarti di sana.
"May, kok diem aja? Sini, Nduk! Kamu duduk dekat Tante sini." Winda melambaikan tangannya, memecah lamunan Maira. Dengan perlahan Maira menghampirinya, lalu meniru apa yang dilakukan Ruri tadi. Setelah mencium tangan Winda, ia segera duduk disebelahnya.
"Naaah, ini sup kesukaan kamu sudah Tante masakin. Ayo dimakan, mumpung masih anget." Winda mempersilahkannya.
Maira yang sudah tidak sabar untuk melahap sup favoritnya itu pun segera menyendok nasi dan hidangan yang sudah tersaji di atas meja itu ke piringnya, "waaah, enak pasti nih masakan Tante."
"Ih, Ummi ngaku - ngaku. Masaknya berdua bareng Kak Al dong, Ummi. Kasih kredit juga buat Kak Al 'tuh." Lirikan Asha pada Alma membuat Alma tersenyum malu - malu. Pipinya merona merah, kontras dengan warna kulitnya yang putih.
"Aduh, Sha...aku malah takut jadi nggak enak gara - gara aku ikut campur tangan."
Maira yang telah menyendok sup ke piringnya pun kembali mematung. Tadinya ia berniat langsung menyendok hidangan berkuah itu. Lalu sekarang matanya hanya menatap isi piringnya itu.
"Yang ada juga tambah enak, Kak. Kak Razi bilang, Kak Alma pinter masak. Terus, katanya suka dibawain bekal buatannya Kak Alma." Tambahan pujian dari Asha justru membuat Alma semakin malu.
"Ih, enggak kok, Sha. Abangmu ini berlebihan. Cuma beberapa kali aja bawain bekalnya. Waktu itu lagi kebanyakan masak, daripada mubazir 'kan mending aku kasih ke Razi. Hitung - hitung sedekah." Alma melirik malu - malu pada pria disebelahnya itu. Razi sedang sibuk menyuapi Sarah dengan kuah sup.
Penglihatan Maira menangkap potret mereka bagai pasangan keluarga bahagia. Percakapan seluruh penghuni meja makan ini terdengar samar - samar di telinganya. Ia berusaha tidak menyimak apa - apa yang mereka bicarakan, terutama yang berhubungan dengan Alma. Bahkan sup kimlo yang sudah dirindukannya sekian lama itu, serasa hambar di lidahnya. Entah memang kemampuan memasak Winda yang sudah berkurang, atau memang karena ada campur tangan Alma dalam pembuatannya. Otaknya sedang tidak mampu berpikir dengan normal.
Mendadak dadanya terasa panas, jantungnya berdetak cepat. Apakah ia sedang mengalami palpitasi? Atau karena ia sedang berusaha menahan rasa yang tidak ingin dimengerti olehnya.
"May..." Winda menyentuh lengannya lembut, menyadarkannya dari diamnya. Maira pun segera menoleh ke arah wanita paruh baya yang sedang tersenyum itu.
"I - iya, Tante? Ada apa?"
"Gimana? Enak?"
"Eh...emmm enak kok, Tante. Seperti biasa." Maira membalas dengan senyum yang terlihat ia paksakan.
"Alhamdulillah. Terus, kalo enak kok kamu diem aja? Tumben." Winda bertanya penasaran karena melihat calon menantu pilihannya ini justru menyantap masakannya sambil termenung. Winda menerka - nerka dalam hati. Sepertinya ia tahu penyebabnya.
"Hehe...sedang menghayati enaknya sup buatan Tante dan Al." Maira kembali menampilkan senyum anehnya, sambil melirik tajam ke arah Alma yang sedang bergantian dengan Razi untuk menyuapi Sarah. Tiba - tiba terlintas sebuah tanya dikepalanya yang sudah sejak tadi ingin ia ajukan.
"Ehem...Al, bapaknya Sarah mana? Kok nggak diajak makan bareng disini?" Maira memperhatikan respon yang ditunjukkan Alma setelah mendengar pertanyaannya itu. Wajahnya sedikit menunduk, matanya melirik ke arah Razi, dan dengan santai Razi mengangguk kepadanya.
Melihat kode yang diberikan Razi, Alma pun menjawab dengan perlahan, "emmm...ayahnya Sarah sudah meninggal sejak...sejak aku hamil lima bulan, kecelakaan. Aku...aku janda."
Maira dan Ruri sontak terkesiap mendengarnya. Dia janda, bukan istri orang! Pantas Razi mendekatinya. Apa karena statusnya janda makanya Tante Win tidak setuju? Atau karena dia sudah punya anak? Berbagai pertanyaan berputar di otak Maira.
" Oh, maaf Al, aku...nggak bermaksud..." Maira meragu untuk meneruskan kalimatnya.
"Nggak apa - apa, May. Aku sudah terbiasa kok dengan status itu." Alma tersenyum sumringah. Tidak terlihat kesedihan sama sekali di matanya.
Lalu ia melanjutkan, "cuma kadang, orang menjustifikasi kata 'janda' dengan konotasi negatif. Aku harap...kamu tidak begitu. Dan semoga, kita bisa berteman baik ya, May."
Maira hanya mengangguk pelan dan membalas senyuman cantik milik Alma.
Setelah menyelesaikan sesi makan siang bersama, Maira pun sengaja berpamitan pulang paling duluan. Rasanya sudah tidak tahan untuk lebih lama bertamu di rumah itu. Tentu saja ada alasannya.
Sepanjang perjalanannya hingga ke rumah Ruri, Maira lebih banyak diam. Ia hanya sesekali berbicara, jika Ruri melontarkan pertanyaan. Bahkan selorohan Ruri pun tidak ditanggapinya seperti biasanya.
Kini mereka telah sampai di depan rumah Ruri. Ruri pun segera melepas seatbelt-nya.
"Lo jadi mampir 'kan, May? Mas Galang baru pulang nanti malem. Biasalah kalo udah kumpul - kumpul sama temen - temen kuliahnya, nggak kenal detik, menit, jam."
Beberapa detik Maira hanya terdiam, ia tidak langsung merespon ajakan Ruri. "Sori, Rur. Gue...langsung pulang aja."
Ruri yang menyadari keanehan sahabatnya itu selama perjalanan pulang pun akhirnya bertanya dengan segenap rasa penasaran, "lo kenapa sih, May? Abis dari rumah Kak Aji jadi aneh begini."
"Nggak papa. Agak nggak enak badan aja."
"Jangan bohong! Gue tau pasti ada apa - apanya nih. Hmmm...tebakan gue, pasti gara - gara si Al. Lo cembokur yaaa?" Telunjuk Ruri langsung mengarah tepat di depan batang hidungnya.
Maira menurunkan telunjuk sahabatnya itu. Ditatapnya sahabatnya itu dengan pandangan tajam, "iya, gue cemburu!"
*****