- Ternyata cinta itu masih ada,
tumbuh subur di antara lara.
Dan kini semakin indah merekah, bagai mawar di antara durinya -
- May -
*****
Maira mengutak - atik gelombang radio di mobil. Daripada menghabiskan waktunya hanya untuk memandang jalanan dalam sepi, ia lebih memilih mendengarkan lagu - lagu yang diputar di radio. Beruntung jika yang diputar ternyata lagu - lagu kesukaannya.
Sejak kejadian di rumah tadi, sudah jelas Razi kembali melanjutkan aksi bungkam mulutnya. Salah Maira juga karena kelewat batas dengan ucapannya. Tapi ia harus segera menjalankan gencatan senjata dengan suaminya ini sebelum tiba di rumah orangtuanya. Demi kelangsungan masa depannya, ia harus rela mengalahkan egonya.
Maira akhirnya menemukan stasiun radio yang sedang memutar lagu dari penyanyi favoritnya, Ed Sheeran. Maira pun ikut menyenandungkan liriknya,
"How would you feel, if I told you I loved you?
It's just something that I want to do
I'll be taking my time, spending my life
Falling deeper in love with you
So tell me that you love me too..."
Tanpa disadarinya, Razi yang sedang menyetir di sebelahnya turut menyungging senyuman. Melihat suaminya itu, Maira langsung menghentikan nyanyiannya.
"Kenapa senyam - senyum?"
"Suara kamu bagus."
"Udah tau, kok."
Ucapan percaya diri yang keluar dari mulut Maira malah membuat Razi tertawa kecil.
"Malah ketawa!" cibir Maira.
"Apa ketawa dilarang juga?" Kali ini kepalanya ditolehkan ke arah Maira
"Dih, siapa juga yang melarang? Emangnya aku ratu tega?!"
"Kalo aku bilang iya?"
"Iih, jangan mulai lagi deh! Aku nggak mau ribut - ribut lagi."
"Kamu 'kan yang ribut. Aku sih maunya damai." Razi mengacungkan dua jarinya.
"Aku juga maunya damai. Lagian, sekarang waktunya gencatan senjata. Jangan sampai orangtuaku tau..."
"Iya, aku mengerti."
"Emmm...jadi...aku harus panggil kamu apa?" Maira bertanya dengan wajah tertunduk malu.
"Sudah dibahas 'kan waktu itu." sebentar - sebentar Razi mengalihkan wajahnya untuk menatap istrinya ini.
"Iya, tapi 'kan...belum jelas."
"Terserah kamu aja. Yang penting, panggilan yang baik dan sopan."
"Aku nggak ngerti! Aku ngikut maunya kamu aja, deh." Maira terlihat pasrah. Ia tidak mau dipusingkan dengan masalah beginian.
"Yakin?" Razi mengangkat sebelah alisnya.
"Iya. Emang kamu maunya dipanggil apa?"
"Hmmm...panggilan istri untuk suami pada umumnya."
"Emangnya umumnya para istri pada manggil apa sih ke suami? Bunda manggil Ayah juga tetap Ayah."
"Itu kalo sudah punya anak. Nah teman kamu Ruri, manggil suaminya apa?"
"Mas Galang."
"Kalo manggil Mas Galang secara langsung?" Razi mulai memancingnya.
"Sayang...eh, hah? Kamu mau aku panggil..." Maira menghentikan kalimatnya. Wajahnya kini terlihat memerah.
Razi langsung menganggukkan kepalanya untuk memberi jawaban, "Terserah aku 'kan? Lagipula, terdengar lebih meyakinkan di depan Ayah Bunda." Razi mengangkat sebelah alisnya sembari mengulum senyum.
"I - iya sih...ta - tapi 'kan..." Maira menyesali kesanggupannya. Tampaknya ia harus berpikir ulang, harus serendah inikah ia menurunkan egonya?
"Kalau berat buat kamu, panggil Mas juga nggak masalah." ucap Razi dengan santai. Ia menyadari raut wajah Maira yang terlihat gelisah.
"Emmm...a - aku...duh, kenapa sih rasanya berat?" protes Maira. Sebenarnya protes itu ia tujukan pada dirinya sendiri, karena merasakan kesulitan untuk menurunkan egonya.
Razi menghela napasnya. Ia cukup mengetahui jika istrinya ini adalah wanita dengan rasa gengsi yang amat besar. "Kalau itu masih berat, panggil namaku aja juga nggak papa. Aku tidak suka melihat kamu pusing cuma gara - gara masalah sepele seperti ini."
"Ma - maaf. Bukannya berat, tapi..."
"Tapi apa?"
"A - aku..."
"Kenapa?"
Maira hampir saja meluruhkan benteng pertahanannya. Mudah sekali baginya untuk terbawa oleh permainan kata - kata Razi. Untung saja ia kembali disadarkan oleh benaknya. Ia kembali ke sikap tak acuhnya, "nevermind! Aku panggil kamu Mas Aji."
"Oke, Sayang." balasan Razi ini membuat Maira sontak terperangah.
"Ko - ko - kok...kenapa harus pake sayang - sayangan sih? Cuma biar keliatan meyakinkan?"
"Suka - suka aku! Nggak boleh juga?" Razi menatapnya tajam, mencari jawaban di mata Maira.
"Eh, yaaa...terserah kamu sih." Maira terlihat salah tingkah. Pipinya terlanjur memerah.
"Makasih, Sayang." Razi mengulas senyum lega. Setidaknya satu kemajuan berhasil ia buat hari ini, meski ditengah prahara yang terjadi di antara mereka seminggu ini.
Sedangkan Maira, ia menolehkan wajahnya ke arah jendela, terlalu malu untuk menampakkan wajahnya yang saat ini sedang semerah kepiting rebus. Bahkan hembusan angin dari kisi - kisi AC tidak dapat menormalkan warna pipinya.
"Emmm, Sayang...sepertinya kamu harus menganulir peraturan kamu itu selama kita menginap di rumah Ayah Bunda."
Maira yang belum terbiasa dengan panggilan 'Sayang' itu, semakin terlihat salah tingkah, "eh, emmm...apa? Peraturan? Eh, yang mana?"
"Itu...yang soal, tidak boleh sentuh - sentuh." Razi kembali memancingnya.
"Yaaa emang nggak boleh! Mau modus?" Maira terlihat sedikit berang.
"Bukan, Sayang. Takut orangtua kamu jadi curiga karena ngeliat kita jauh - jauhan." Lagi - lagi kata 'sayang' yang keluar dari mulut Razi membuat Maira bergidik.
"Eh, bisa nggak sayang - sayangannya mulainya nanti aja? Aku risih!" protes Maira.
"Risih kenapa?" Razi mulai memutar kemudi untuk membelokkan mobil masuk ke halaman rumah.
"Yaa, ini 'kan cuma...sandiwara. Aku nggak mau jadi baper."
Razi yang telah selesai memarkir, segera melepas seatbelt-nya. Badannya dihadapkan pada Maira sambil menatapnya lekat, "May, ini bukan sandiwara. Aku serius. Pernikahan kita serius. Perasaan aku ke kamu juga serius."
Kalimat terakhir Razi membuat Maira bingung. Ia bingung mendefinisikan maksud kalimat itu. Perasaan Razi padanya serius? Daripada semakin penasaran, Maira balik bertanya pada Razi, "perasaan kamu ke aku serius? Perasaan apa maksud kamu?"
Pandangan Razi beralih ke kaca depan mobil. Di depan pintu rumah sudah berdiri sang Bunda yang menyambut kehadiran mereka. Razi pun melambaikan tangannya kepada mertuanya itu.
"Kita bahas lagi nanti. Ayo, turun!"
Melihat suaminya itu membuka pintu mobil, Maira pun langsung melakukan hal yang sama. Ia segera keluar dari mobil lalu berlari untuk menghambur ke pelukan Bundanya itu.
Maira merasa aneh, sebelum - sebelumnya ia tak pernah merindukan kehadiran Bundanya sehebat ini. Bahkan pernah ia meninggalkan rumah hingga sebulan lamanya saat berkunjung ke Papua, sekembalinya ke rumah ini ia tidak merasakan kerinduan yang membuncah seperti saat ini. Mungkin pengaruh dari permasalahannya dengan Razi, sehingga ia menjadi lebih sensitif dan mudah terbawa perasaan. Begitulah pikirnya.
"Bundaaa! Aku kangeeen!"
"Iya, Bunda juga kangen banget sama kamu." tiba - tiba Fita melayangkan banyak kecupan di wajah putri tercintanya itu. Hal yang belum pernah dilakukannya sebelum - sebelumnya.
Selesai bersalaman dan berpelukan dengan Ayah - Bundanya, Razi langsung menggenggam tangan kanan Maira. Bahkan ia menjalin jari - jemarinya dengan Maira sembari berjalan masuk ke dalam rumah. Maira mengulum senyumnya dalam diam. Setidaknya ia ingin menikmati perannya sebagai istri Razi untuk hari ini.
Setelah selesai melaksanakan sholat Dzuhur berjama'ah, keluarga beranggotakan lima orang itu segera berkumpul mengelilingi meja makan. Percakapan antar anggota keluarga ini berlangsung penuh kehangatan dan canda tawa. Dengan mudahnya, Razi dapat membaur dengan keluarga inti Maira.
Tentu saja pasangan pengantin baru itu yang menjadi bintang serta topik utama percakapan. Terutama Malik, anggota keluarga paling muda di rumah ini, ia senang sekali meledek kakak perempuan satu - satunya itu. Bahkan kini ia memiliki partner-in-crime, yakni Razi, kakak iparnya.
"Mas Razi, udah dimulai belum program bikin anaknya? Jangan kelamaan. Ayah Bunda udah kebelet momong cucu 'tuh." Malik melirik nakal pada kakaknya.
"Hush! Anak kecil ngomongin bikin anak." seru Maira. Ia balas melebarkan bola matanya pada adiknya yang super iseng itu.
"Yeee...gue udah dua puluh plus plus kali, Mbak Siomay!" Malik membela diri. Mbak Siomay, berawal dari hanya sekedar ledekan Malik untuk kakaknya, akhirnya keterusan menjadi panggilan sayangnya.
"Umur dua puluh tapi kelakuan anak PAUD!" cibir Maira balik.
"Maaf ya, Zi. Udah kebiasaan mereka suka ledek - ledekkan. Tapi, bener sih omongannya Malik. Ayah sama Bunda emang udah pingin banget gendong cucu." Fita terlihat sumringah sendiri membayangkan akan segera memiliki cucu dari putri sulungnya itu.
"Tapi, Bun...May masih ingin..."
"Mohon do'anya Ayah dan Bunda, semoga kami segera diberi Allah amanah." Razi langsung memotong kalimat Maira. Ia menggenggam erat tangan istrinya itu untuk memberi isyarat. Sementara Maira, melirik tajam ke pria di sampingnya itu.
"Aamiin. Ayah dan Bunda selalu mendo'akan yang terbaik untuk kalian. Yang penting kalian juga harus ikhtiar ya." Kini Farhan, sang Ayah yang menimpali.
Razi merespon dengan anggukan kepala. Maira hanya diam saja, ia tidak terlihat berkomentar. Punya anak? Sama sekali tidak pernah terbersit dalam pikiran Maira. Kehadiran seorang anak hanya akan menjadi penghalang bagi Maira untuk mencapai tujuan hidupnya, begitulah pemikirannya.
"Mas Aji, kata Bunda dulu S2-nya di Jepang ya? Di universitas mana, Mas? Hidup di sana itu kayak gimana, Mas?" selesai makan, Malik langsung memberondongnya dengan pertanyaan.
Maira terkesiap mendengar pertanyaan adiknya. Ia langsung menoleh ke Razi dan bertanya dengan wajah tak percaya, "kamu S2 di Jepang?"
"Lho, 'kan Bunda waktu itu sudah cerita, May. Kalo calon suami kamu lulusan S2 dari Jepang." Fita segera menjawab pertanyaan anaknya.
"Iya, dulu di Kyoto University. Kalo di Kyoto, di sana kental sekali dengan budaya dan adat istiadat. Beda sekali dengan Tokyo. Jadi hidup di sana lebih tenang..." Razi menjelaskan panjang lebar tentang pengalamannya hidup di negeri Sakura itu selama menempuh pendidikan pasca-sarjana. Tanpa sadar, Maira menatapnya dengan takjub. Kenapa ia tidak pernah tahu kalau selama ini suaminya sudah menyandang gelar lebih tinggi darinya? Bahkan ia sudah pernah mengenyam hidup di Jepang. Ya, di Jepang, negara yang sebentar lagi akan menjadi persinggahannya.
Maira merasa malu sekali. Kelakuannya selama ini terasa seperti orang bodoh. Maira menyesal tidak menyimak saat Bundanya bercerita tentang bibit, bebet, bobot seorang Razi yang saat itu masih belum dikenalnya. Ternyata benar kata pepatah, penyesalan selalu datangnya belakangan. Lesson learned untuk Maira.
Selesai dengan acara makan siang bersama itu, Razi dan Maira masuk ke kamar lama Maira untuk beristirahat. Ini pertama kalinya Razi melihat kamar istrinya itu.
Dilihatnya ranjang yang ada di situ hanya satu, berukuran queen - bed. Tidak sebesar ranjang yang ada di kamar Razi. Sepintas Razi mengembangkan senyumnya.
Razi duduk di kursi belajar. Ia memandangi bingkai - bingkai foto Maira yang terpajang di atas meja belajar. Satu foto di sana menarik perhatiannya. Foto Maira dengan seragam sekolah mereka.
"Nggak usah gitu amat ngeliatinnya!" ketus Maira yang sedang membereskan baju dari lemarinya ke dalam sebuah koper kecil. Rencananya koper bermuatan baju ini akan ia bawa ke rumah mereka. Karena seminggu yang lalu Maira baru membawa sebagian kecil bajunya.
"Ini kamu kelas berapa? Dulu rambut kamu panjang." Razi menggenggam bingkai foto itu.
"Perhatian banget sama rambutku. Rambut panjang waktu kelas 1. Itu foto waktu kelas 3, selesai ujian. Ternyata aku lebih senang rambut pendek, nggak ribet. Akhirnya sampai sekarang rambutku ya segitu - gitu aja panjangnya."
"Tapi aku lebih suka rambut kamu yang panjang dulu."
"Tapi aku tidak!" jawab Maira dengan tegas. Muncul rasa nyeri di sudut hati Maira. Membicarakan soal masa SMA-nya, sama seperti membuka luka lama yang pernah ditorehkan oleh suaminya ini.
"Dulu aku suka kamu, May."
Mendengar kata - kata Razi, Maira menghentikan aktivitasnya melipat baju. Wajahnya terlihat tercengang. Nyeri itu semakin terasa di dadanya hingga membuatnya ngilu. Sekejap saja Maira bergeming dalam diamnya. Lalu, ia kembali melanjutkan kesibukannya dan berkata dengan dingin, "aku nggak mau bahas masa lalu!"
"May...aku minta maaf. Aku...dulu aku keterlaluan." wajah Razi terlihat penuh penyesalan. Kedua alisnya melengkung ke bawah. Namun Maira menekan perasaannya. Ia tidak mau kembali goyah.
"Aku sudah bilang ya, aku tidak mau membahas masa lalu." sekali lagi Maira menegaskan.
"Kamu nggak mau tau alasannya kenapa dulu aku marah dan menolak kamu?"
Kata - kata Razi terasa seperti tusukan tombak di hati Maira. Ia benar - benar tidak ingin diingatkan kembali dengan pahitnya masa lalu itu. Namun tidak bisa dipungkiri, sebagian dari hatinya menuntut jawaban atas perlakuan buruk yang ia terima 13 tahun yang lalu. Maira terlihat gamang.
Tanpa menunggu jawaban dari Maira yang memang terlihat gelisah, Razi meneruskan ceritanya, "Hampir dua bulan yang lalu aku kebetulan ketemu dengan Sasti. Kita ketemu di kajian masjid."
Maira mengerutkan dahinya. Kenapa tiba - tiba bercerita tentang reuninya dengan Sasti? Apa dulu dia suka sama Sasti? Tapi 'kan Sasti pacaran dengan Kak Edo. Atau jangan - jangan cinta segitiga? Bermacam - macam spekulasi muncul di pikiran Maira.
"So what? Kamu pernah suka sama Sasti?" Maira pura - pura terlihat cuek.
"Dulu Sasti fitnah kamu." jawab Razi dengan lirih.
"Hah? Fitnah apa?" Maira benar - benar terkejut mendengar cerita ini.
"Sehari sebelum...ehem...kejadian di kantin hari itu, Sasti dan Edo menemui aku sepulang sekolah. Saat itulah Sasti bilang padaku kalo kamu akan nembak aku sebagai bahan taruhan untuk mendapat posisi Kapten Basket. Dia juga bilang, sudah banyak cowok yang jadi korban taruhan kamu."
"APA?? Sasti bilang begitu???" Maira terperanjat bukan main. Ia tidak menyangka Sasti akan menusuknya dari belakang.
"Salahku juga sih waktu itu, langsung percaya. Tidak tabayyun, mencari tau kebenarannya terlebih dahulu."
"Tapi yang sebenarnya tidak seperti itu!"
"Iya, aku tau. Aku sudah tau yang sebenarnya. Sasti sudah cerita semuanya. Dia menyesal sudah fitnah kamu dulu." Razi menarik tangan Maira untuk duduk bersama di atas ranjang.
"Tapi...tapi 'kan gara - gara dia..." tiba - tiba dada Maira terasa sesak. Tangisnya mulai berderai. Dengan refleks Razi langsung memeluknya. Kali ini Maira tidak melawan, ia membiarkan saja.
"Maaf, May...maaf!"
"Kamu jahat! Kamu manusia paling jahat di muka bumi!!" pukulan - pukulan kecil Maira layangkan ke dada Razi.
"Iya, May. Aku minta maaf." tangan Razi bergerak mengusap punggung belakang istrinya. Ia semakin mengeratkan pelukannya.
"Aku benci kamu!!" tangis Maira semakin menjadi.
"Iya, aku tau. Sssttt...udah, udah. Nanti terdengar Bunda."
Tanpa disangka oleh Razi, Maira langsung mendorong tubuh Razi untuk melepas pelukannya.
" Terus apa maksud kamu tadi bilang dulu suka sama aku?" Maira kembali menuntut jawaban.
"Ya...dulu aku memang suka sama kamu." kini Razi sudah tidak ingin menyembunyikan apapun dari Maira.
"Berarti benar dulu kamu memang suka nonton aku main basket?"
Razi tersenyum dan menjawab dengan anggukan kepala.
"Tapi...omongan kamu dulu itu sangat keterlaluan! Pake tali sepatu segala dibawa - bawa. Telingaku bermasalah. Aku cewek berandalan, tengil, sok kecakepan, sok sempurna..." Maira masih ingat setiap detail perkataan Razi 13 tahun yang lalu.
"Iya, aku minta maaf. Waktu itu aku terbawa emosi. Waktu dengar cerita Sasti, aku kecewa." rona - rona penyesalan terlihat di wajah Razi.
"Berarti, setelah kejadian itu...suka kamu ke aku hilang, dong?" tanya Maira dengan ragu - ragu.
Dengan cepat Razi mengembangkan senyumannya lalu mengucap, "i still love you."
*****