Chereads / May dan Aji (Completed Story - TAMAT) / Chapter 20 - 20. Bukan Salah Cinta

Chapter 20 - 20. Bukan Salah Cinta

- Kita saling mencintai, tapi tetap saling melukai.

Salahkah itu? -

- May -

*****

Maira menunggu di depan pintu lobi hotel dengan menebar senyuman. Tak sabar rasanya menunggu kedatangan sang kekasih hati untuk menjemputnya. Wajah datar Kondo-san yang sekedar melipir lewat dihadapannya pun terabaikan. Padahal biasanya Maira jadi ketakutan jika melihat bosnya berwajah seperti itu, khawatir ada kesalahan fatal yang telah diperbuatnya. Tapi untuk kali ini, Maira tidak peduli. Ia lebih memperdulikan jika suaminya itu datang tepat waktu, karena sepertinya sudah lewat 15 menit dari waktu yang dijanjikan. Namun hingga saat ini belum terlihat batang hidung Razi. Sesekali Maira melayangkan pandangan ke luar hotel bintang lima itu.

"May?" sebuah suara menegurnya dari arah belakang. Maira pun berbalik menoleh ke arah sumber suara itu.

"Dida? Hei, apa kabar?" sapa Maira dengan sebuah senyuman.

"Alhamdulillah, baik. Kamu gimana?"

"Alhamdulillah, baik juga. Kamu...ada perlu apa di sini?" tanya Maira penasaran karena bisa kebetulan bertemu dengan Dida di hotel berkelas itu.

"Menunggu kedatangan orangtuaku. Sepertinya aku akan bernasib sama dengan kamu." jelas Dida dengan wajah pasrah. Pernyataannya itu sontak membuat Maira mengernyitkan dahinya bingung.

"Maksud kamu?"

"Aku akan dijodohkan oleh Papa dan Mama. Rencana pertemuannya di restoran hotel ini."

"Oooh..." Maira mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis.

Maira merasa sedikit lega. Pasalnya, sejak menolak lamaran yang diajukan oleh Dida setengah tahun yang lalu, Maira merasa bersalah karena telah menyakiti perasaan pria yang saat itu hanya dianggapnya sebagai seorang sahabat. Maira sendiri tidak pernah menyangka Dida akan salah mengartikan sikapnya. Dan sejak penolakan itu pula, Maira memberi jarak dengan Dida. Dalam hati Maira berharap semoga dalam perjodohan ini Dida akan benar-benar menemukan cinta sejatinya. Seperti Maira yang dipertemukan oleh takdir dengan Razi, cinta pertamanya.

"Oh iya, aku dengar dari Ruri kalo kamu...sudah...menikah." lanjut Dida dengan ragu-ragu.

"Eh..i-iya. Sudah hampir sebulan." Maira berkata perlahan sambil memperhatikan raut wajah Dida yang tanpa ekspresi.

"Selamat ya. Aku berharap kamu bahagia." ucap Dida berusaha terlihat tulus.

"Terima kasih, Did. Aku juga mengharapkan hal yang sama untuk kamu."

"Tapi kamu...baha-gia..." kalimat Dida terputus saat melihat sosok yang berdiri di belakang Maira.

"Ya, kami bahagia!" jawab Razi yang tiba-tiba datang merangkul Maira, menunjukkan rasa kepemilikannya terhadap istrinya. Maira tersentak oleh kehadirannya.

"Eh, Mas...kok kamu telat sih?"

"Maaf, Sayang. Jalanan macet. Aku coba hubungi kamu tapi nggak diangkat."

Maira mengerutkan dahinya. Ia merasa ponselnya sedang aktif tapi kenapa ia tidak mendengar nada panggil dari ponselnya? Maira mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ia melihat notifikasi '7 panggilan tidak terjawab' di layar. Seketika ia menyadari sesuatu lalu menepuk dahinya. Ia lupa sudah merubah ponselnya ke silent-mode selama FGD berlangsung tadi.

"Maaf, aku lupa HP tadi di-silent."

"Ehem...ya sudah, kalo gitu aku ke restoran dulu ya." pamit Dida ingin segera beranjak dari hadapan pasangan suami-istri itu. Melihat kebersamaan Maira dan Razi terasa menyakitkan baginya.

"Eh, iya Did. Sukses ya acaranya! Salam untuk orangtua kamu." balas Maira yang disambut dengan senyuman aneh oleh Dida.

Bersamaan dengan langkah Dida yang terayun menuju restoran, Maira dan Razi pun melangkah keluar dari pintu lobi hotel.

Mereka berjalan menuju area parkir di basement. Anehnya selama perjalanan menuju area parkir bawah tanah tersebut, Razi mendiamkan Maira. Bahkan ia berjalan mendahului Maira, seperti sedang menghindarinya.

"Kamu kenapa?" tanya Maira pada Razi sesampainya di dalam mobil.

Tapi Razi tidak menjawab. Pandangannya lurus fokus ke jalan keluar parkiran.

"Mas, kamu kenapa sih?" tanya Maira sekali lagi karena dilihatnya suaminya itu sama sekali tidak merespon pertanyaannya.

"Kalo kamu nggak mau jawab..."

"Ngapain kamu ketemu sama dia?" Razi menghentikan kalimat Maira dengan pertanyaan ketusnya.

"Dia? Maksud kamu?"

"Pacar lama kamu itu!" jawab Razi dengan dingin.

"Maksud kamu Dida? FYI, dia bukan pacar lama aku. Kami tidak pernah menjalin hubungan." balas Maira dengan mengangkat kedua alisnya.

"Yang jelas dia pernah melamar kamu!"

"Tapi aku tolak! Karena aku tidak pernah menganggap dia lebih dari seorang sahabat."

"Itu 'kan kamu. Bagaimana dengan dia?!" balas Razi masih dengan ketus.

"Aku nggak bisa menjawab yang itu! Kamu harus tanya sama Dida." jawab Maira sebal. Ia membalikkan omongan Razi padanya beberapa hari yang lalu saat Maira menanyakan bagaimana perasaan Alma kepada suaminya itu.

"Mana mungkin aku tanya dia." ucap Razi dengan menaikkan kedua alis matanya.

"Ya sama, mana mungkin aku tanya ke Al!" balas Maira sambil memalingkan wajahnya ke arah jalanan. Suaminya ini sudah berhasil merubah mood-nya.

Razi tersentak, ia menyadari kesalahannya. Ternyata yang dirasakannya saat ini sama seperti yang dirasakan oleh istrinya selama pernikahan mereka berjalan. Untuk beberapa menit keduanya saling bungkam. Razi sesekali menoleh ke arah istrinya yang sedang jengkel. Tangan kiri Razi yang tadi berada di

tongkat persneling, kini menggamit telapak tangan Maira untuk digenggam.

"Aku minta maaf."

Permintaan maaf dari Razi itu tidak disambut baik oleh Maira. Bahkan ia menarik tangannya keluar dari genggaman Razi untuk selanjutnya merangkul lengan kirinya yang terasa dingin oleh hembusan angin penyejuk udara di mobil.

"Sayang, maaf. Aku...Sekarang aku mengerti gimana perasaan kamu ke Al."

Lagi-lagi permintaan maafnya itu disambut dengan respon dingin oleh Maira. Pandangannya tetap tertuju pada jendela di sebelah kirinya. Razi menghembuskan napasnya perlahan. Dan perjalanan mereka pun berlanjut dengan aksi saling diam.

Setibanya di rumah sakit, Maira berjalan cepat mendahului Razi. Tingkat kekesalannya masih berada di ubun-ubun. Razi pun berlari mengejar istrinya itu lalu menghadang jalan Maira.

"May!" seru Razi dengan intonasi keras.

Hari ini ia sudah sangat dilelahkan oleh pekerjaannya. Dan menghadapi istrinya yang sedang ngambek adalah hal yang paling tidak diinginkan oleh Razi saat ini. Salahnya juga tadi terlalu cemburu melihat kedekatan Maira dan Dida.

Tumben isi kepalanya bersumbu pendek. Biasanya tidak semudah ini ia merasa cemburu. Bahkan kepada Alma ataupun Dinda, gadis yang dekat dengannya saat kuliah, ia tidak pernah merasakan seperti halnya yang tadi ia rasakan terhadap Maira. Cemburu!

"Minggir!" seru Maira marah.

Razi masih tetap menghadang jalannya, tak bergeming.

Maira mendengus kesal. Rasanya ingin kembali melayangkan tamparan kepada suaminya itu untuk yang keempat kalinya.

"May, aku minta maaf. Aku...aku tidak suka melihat kamu dekat dengan laki-laki lain. Lagipula, bisa jadi fitnah di mata orang lain."

"Kamu egois! Kamu pikir bagaimana perasaanku melihat kamu dekat dengan wanita lain? Apa kedekatan kamu dengan Al tidak akan menjadi fitnah di mata orang lain?"

"Razi? May?"

Mendengar nama mereka berdua dipanggil, serempak keduanya menoleh ke arah seorang wanita yang duduk di atas kursi roda yang sedang didorong oleh seorang perawat.

"Al?" seru mereka bersamaan.

"Assalamu'alaikum." sapa Alma penuh senyum kepada mereka berdua.

"Wa'alaikumussalam. Kamu dari mana, Al?" tanya Razi dengan heran.

"A-aku baru selesai rontgen. Kalian ada perlu apa di sini?"

Maira memperhatikan penampilan Alma yang masih lemah. Wajahnya masih terlihat sangat pucat. Kantong matanya hitam. Bibirnya kering. Badannya terlihat sangat kurus dan ringkih. Terlihat perban yang melilit kepalanya menyembul keluar dari balik jilbab lebarnya. Tangan kanannya terhubung dengan selang transfusi darah. Entah sudah berapa kantong darah yang sudah masuk ke tubuhnya semenjak Alma dirawat di rumah sakit itu.

"Mau jenguk kamu, Al. Gimana kondisi kamu sekarang?" tanya Maira dengan sikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ia berjalan di samping Alma, menyamai gerakan kursi roda yang didorong oleh sang perawat untuk kembali menuju kamar rawat inapnya. Razi mengikuti dari belakang.

"Jazakumullah khair, May, Zi. Alhamdulillah aku sudah baikan."

"Alhamdulillah. Oh ya, nggak usah khawatir soal Sarah ya. Sarah anak hebat, dia nggak rewel kok. Malahan, sepertinya dia betah tinggal di rumah ka-eh...di rumah Mas Aji. Ada Asha dan Ummi yang bantu mengurus Sarah juga. Pokoknya kamu harus fokus untuk sembuh ya, Al!" tutur Maira dengan tersenyum setelah memperbaiki kalimatnya tadi. Razi terkejut melihat sikap Maira yang berubah 180⁰.

"Terima kasih buat bantuan kamu, Razi, Tante Winda, dan Asha. Maaf, aku sudah merepotkan kalian semua." kedua mata Alma mulai berkaca-kaca. Perlahan air matanya pun menetes.

Tiba di kamar rawat inap, sang perawat dibantu oleh Maira, memindahkan Alma dari kursi roda ke atas brankar, lalu ia mengatur kembali aliran transfusi yang tadi sempat terhenti.

Setelah sang perawat undur diri dari kamar kelas 1 itu, percakapan mereka dimulai kembali.

"Sudah Al, nggak usah mikir macam-macam. Insyaa Allah, kita siap membantu kamu. Yang penting, kamu harus semangat untuk sembuh." hibur Maira kembali sembari mengusap air mata di wajah Alma dengan tisu.

"Zi, bisa kamu tinggalkan kami berdua? Aku mau bicara dengan May." pinta Alma tiba-tiba kepada Razi dengan suara paraunya. Sontak isi pikiran Razi berkecamuk. Khawatir dengan pembicaraan yang akan berlangsung antara istrinya dengan Alma.

"Tapi, Al..."

"Please, boleh ya?" pinta Alma sekali lagi. Razi menghela napasnya lalu keluar dari kamar itu.

"Kamu mau bicara apa, Al?" tanya Maira bingung.

"May, aku mendengar pembicaraan kalian di lorong tadi."

Maira terkesiap, sekaligus merasa tidak enak hati. Ia menundukkan kepalanya lalu mengucap dengan pelan, "ma-maaf, Al...a-ku..."

"May, kamu nggak salah. Kamu istrinya Razi, wajar kalau kamu merasa begitu. Kalau aku ada di posisi kamu pun aku akan merasakan hal yang sama. Bahkan...a-ku juga merasa begitu."

"Maksud kamu, Al?"

Dengan matanya yang masih berkaca-kaca, Alma menatap Maira dalam-dalam.

"May, kamu pasti tahu 'kan bagaimana perasaan aku pada Razi? A-aku...minta ma-af...a-ku..." isak tangisnya mulai pecah.

"Al, awalnya...memang aku...aku cemburu melihat kedekatan kalian berdua. Tapi...aku juga tidak menyalahkan kamu, Al. Bukan salah cinta. Rasa itu datang begitu saja. Yang salah jika kita tidak bisa mengendalikan atau mengikhlaskan rasa itu."

"Tidak, May. Aku memang salah. Aku...tidak seharusnya memelihara rasa itu sejak awal. Padahal, saat itu aku sudah menyadari ada seseorang yang sudah lama bersemayam di hatinya."

"Maksud kamu? Mas Aji menyukai wanita lain?"

"Iya, wanita itu kamu. Dia selalu mencintai kamu, May."

Maira terperangah dan terdiam. Masih ingin mencari tahu lebih banyak cerita dibalik pernyataan Alma.

Alma pun melanjutkan, "saat awal kami dekat, Razi pernah bercerita. Katanya ada adik kelasnya yang dulu menarik perhatiannya. Awalnya, Razi hanya memperhatikan permainan adik kelasnya itu di lapangan basket. Lama-lama, mata Razi terbiasa mencari-cari sosoknya. Sayangnya Razi tidak punya keberanian untuk menyapa adik kelasnya itu. Tapi, katanya ia bersyukur karena tidak pernah memiliki keberanian itu. Karena kalau tidak, mungkin ia hanya akan menjadi mainan adik kelasnya itu. Razi bahkan menunjukkan foto adik kelasnya itu padaku. Hatiku mulai bertanya-tanya, kenapa Razi masih menyimpan foto itu hingga saat ini?"

Alma menghentikan ceritanya sebentar untuk menarik napas. Matanya terpejam. Ia butuh kekuatan untuk menceritakan bagian selanjutnya. Sementara Maira masih saja terdiam.

"Lalu...tiba di hari itu, Razi bilang akan menghadiri perjodohan yang sudah direncanakan oleh Tante Winda. Saat itu, aku tahu Razi akan berusaha menentang keinginan Umminya. Dia...berusaha menyatakan perasaannya padaku. Sudah berkali-kali Razi mencoba berbicara denganku soal itu, tapi aku selalu mengelak. Aku...aku terlalu takut. Aku takut akan statusku, aku takut hanya menjadi pelariannya saja, aku takut..." Alma menghentikan kalimatnya, isak tangisnya semakin menjadi.

Maira spontan menggenggam tangan Alma, mencoba memberinya kekuatan.

"Al...a-ku..." Maira mencoba berbicara, tapi ia bingung bagaimana menyuarakan apa yang ada di pikirannya.

Alma berusaha menahan tangisnya untuk melanjutkan, "aku minta Razi untuk tetap menghadiri pertemuan itu. Lalu...esoknya...Razi cerita kalau ternyata...wanita itu, kamu. Adik kelasnya dulu. Saat itu aku langsung menyadari, takdir itu selalu milik kalian berdua."

Alma meremas dadanya. Sesuatu terasa menyakitkan di sana.

"Al? Al, kamu nggak apa-apa? Aku panggilkan perawat ya?" Maira terlihat panik melihat Alma yang menyeringai menahan sakit. Maira langsung menekan tombol nurse-call. Lalu berlari memanggil Razi di luar.

"Sa...kit..." Alma memejamkan matanya untuk menahan nyeri itu. Tangan kirinya meremas sprei brankar. Dalam hitungan detik tangannya mulai terkulai lemas, dan ia tidak sadarkan diri.

*****