Teruntuk Sang Pemilik Jiwa,
Bantulah Hamba menjadi mustakim
Atas nama cinta, aku memulainya
Atas nama cinta, aku akan mengakhirinya
Menutup bab kehidupan bersamanya
- Alma -
*****
"Zi, nggak pulang?" tegur Arga pada Razi yang masih sibuk mengedit gambar di depan laptopnya.
"Nanti, gambarnya belum selesai," jawab Razi dengan sedikit acuh. Ia sibuk mengetuk tetikusnya.
"Deadline-nya masih minggu depan, Zi. Pulang, gih! Kasian Al, sendiri di rumah nungguin kamu."
"Nggak sendiri, Ga! Ada asisten rumah tangga dan juga babysitter-nya Sarah." Mata Razi masih fokus memandang layar.
"Tapi Zi, Al kan butuh kehadiran kamu. Kamu sekarang suaminya." Arga menambahkan.
Dengan sedikit kesal Razi menutup laptopnya lalu menatap Arga dengan tajam. "Ga, tolong jangan ikut campur urusan rumah-tanggaku! Aku mengurus Alma dengan baik."
Kalimat yang terlontar dari mulut Razi memancing kekesalan Arga. Ia hanya berusaha mengingatkan rekan kerjanya itu. Namun Razi justru malah membalas dengan hardikan. Arga tidak mau membalas komentar tajam Razi. Dengan penuh kekesalan, Arga segera berlalu dari hadapannya.
Razi melemparkan badannya ke sandaran kursi lalu memejamkan matanya, merasa menyesal atas perkataannya tadi. Ia tahu rekan kerjanya itu hanya berniat baik mengingatkannya.
Sudah beberapa minggu ini Razi memang sengaja pulang larut malam. Ia sengaja menunggu hingga Alma tertidur. Beberapa waktu yang lalu Alma sempat menggodanya dengan sebuah ciuman panas. Namun entah kenapa Razi seperti tidak tergerak untuk membalas. Bahkan Razi langsung menghindar dengan alasan sakit perut. Lalu ia berlama-lama di dalam kamar mandi.
Jika Alma mendekatinya, justru Maira yang muncul di pikirannya. Pengalaman malam pertama mereka, selalu terngiang di pikiran Razi. Entah kenapa Razi tidak dapat merasakan gairah yang sama terhadap Alma.
Razi mengedar pandangan ke sekelilingnya, hanya ia seorang diri penghuni ruangan itu. Razi kembali membuka laptopnya. Ia mengetik nama salah satu situs jaringan sosial di mesin pencari. Lalu jarinya bergerak mengetikkan nama itu, Maira Faizhura. Tak berapa lama, muncul foto-foto itu. Kini ia dapat melihat wajah Maira sepuas hati, seperti yang ia lakukan di malam-malam sebelumnya. Berkali-kali Razi mengucap istighfar dalam hati, namun perasaan rindu itu tidak dapat diingkarinya. Kini Razi menyungging senyum melihat foto-foto itu. Maira terlihat bahagia.
Razi tiba di rumahnya lewat tengah malam. Biasanya Alma sudah tertidur lelap di jam itu. Seperti biasa, ketika memasuki rumah, semua sumber penerangan telah padam. Tapi tidak kali ini, Razi terkejut mendapati Alma sedang duduk di atas kursi rodanya menatapnya dengan sinis.
"Dari mana kamu baru pulang jam segini?" tanyanya ketus.
"Kerjaanku banyak, Al. Ada rancangan yang harus aku selesaikan. Kamu ... kenapa belum tidur?" jawabnya dengan lembut.
"Mau sampai kapan kamu bodohi aku?" tanyanya lagi dengan nada mulai meradang.
"Al, aku benar-benar capek. Kita bicara besok saja. Kamu juga harus istirahat," Razi menjawab masih dengan lembut.
"Mau sampai kapan kamu menghindari aku, Zi? Sampai kapan?" teriaknya sambil meneteskan air mata. Tangisnya merebak.
"Al ... aku minta maaf, tapi sekarang aku benar-benar sedang lelah. Please, kita omongin besok saja?" bujuk Razi lagi. Ia menggenggam tangan Alma, mencoba memberikan ketenangan pada istri keduanya itu.
Dengan penuh kekesalan, Alma menarik tangannya lalu memutar kursi rodanya untuk berjalan masuk ke dalam kamarnya. Wajahnya dipenuhi linangan air mata.
Razi terduduk di sofa dengan lemas. Ia memijat-mijat dahinya, berusaha mengusir sakit di kepalanya, hingga tertidur.
---------------
Maira mengisak tangis di atas brankar. Semuanya terasa menyakitkan. Tidak hanya rasa sakit di raga setelah efek bius itu hilang. Jiwanya pun merasakan sakit yang teramat dalam. Ia baru saja kehilangan janinnya yang baru berusia sepuluh minggu. Proses kuret itu telah selesai, kini tidak ada lagi calon anak yang bersemayam di dalam rahimnya.
Dua jam yang lalu saat akan berangkat kerja, Maira mengalami kram perut yang hebat. Untung saja saat itu ada Ai Nakamura, rekan kerjanya yang tinggal tak jauh dari apartemen-sewanya, datang untuk menjemputnya. Melihat ada darah yang merembes keluar di celana panjang Maira, ia pun bergegas membawa Maira ke rumah sakit dengan mobilnya.
"Mai-chan, be strong! I know you are a tough woman," seru Nakamura dengan logat Kansai-nya yang kental, berusaha menguatkan Maira yang sedang menangis.
"Arigatou¹, Ai-chan! It's just too painful," jawab Maira sedih.
Nakamura berpikir sejenak, lalu dengan ragu-ragu mengajukan pertanyaan, "Ano² ... don't you want to tell the father about this?"
Maira langsung menggelengkan kepalanya. "Not now! Someday ... maybe ... i don't know. I'm just ..."
Nakamura menghela napasnya. Maira pernah bercerita dengan singkat jika ia pernah menikah sebentar, lalu bercerai. Saat Nakamura bertanya lebih lanjut, Maira enggan menjelaskan. "Daijoubu³, Mai-chan. Yukkuri yasunde kudasai⁴. Muri na koto shinai de⁵."
"Domo arigatou⁶, Ai-chan!"
--------------
"Bu Alma, ada tamu di depan. Katanya mau ketemu sama Bu Alma." Bu Inah, asisten rumah tangga di rumah Razi, bergegas menghampiri majikannya yang sedang bermain dengan Sarah di dalam kamar.
"Siapa, Bu?" tanya Alma dengan dahi mengernyit. Biasanya hanya Asha atau Winda yang mengunjunginya di rumah. Namun saat ini keduanya sedang berada di Makassar, mengurus Arsi yang sedang terjangkit penyakit typhus.
"Bilangnya Bu Ruri, temannya Ibu."
Alma terdiam sejenak. Sedang menduga-duga apa maksud kedatangan teman baik Maira itu. "Bu Inah, tolong kasih Sarah ke Mbak Tun, ya. Terus, tolong buatin minuman buat Bu Ruri."
Alma mengangkat Sarah yang sedang duduk di pangkuannya, lali menyerahkannya pada Bu Inah. Ia melajukan kursi rodanya keluar kamar menuju ruang tamu.
Disana terlihat seorang wanita imut berhijab dengan perutnya yang sudah membuncit duduk menunggu di sofa. Wajahnya terlihat diliputi kecemasan.
"Ruri?" sapa Alma ragu-ragu. Ia terkejut melihat penampilan baru Ruri.
"Halo, Al. Maaf ya, aku tiba-tiba berkunjung kesini. Ganggu ya?" balas Ruri tersenyum tipis.
Alma membalas senyumnya. Ia senang Ruri masih bersikap ramah terhadapnya. "Nggak apa-apa, Rur. Aku malah senang, kok. Kegiatanku sehari-hari cuma di rumah, bosen! Kamu sendiri gimana kabarnya?"
"Alhamdulillah baik. Aku sudah resign dari kerjaan, permintaan suami. Makanya sekarang bisa mampir kesini."
"Ooh, sudah berapa bulan memangnya?"
"Enam bulan," jawab Ruri singkat lalu menundukkan kepalanya.
"Alhamdulillah, semoga sehat terus ya sampai persalinan nanti. Banyak-banyak dibacakan surat-surat dari Al-Qur'an, rajin diajak ngobrol, pasti dedeknya senang."
"Iya, Al. Makasih," Ruri menjawab dengan senyum dipaksakan. Ada kata-kata yang sejak tadi tertahan di kerongkongannya.
Alma memperhatikan gelagat aneh Ruri itu. Dengan penasaran akhirnya ia bertanya, "Ada apa, Rur?"
Ruri tidak langsung menjawab, justru terlihat seperti sedang kebingungan.
"Rur? Ada apa?" tanya Alma sekali lagi.
Dengan penuh keraguan, akhirnya Ruri memutuskan untuk menyampaikan berita itu. "Al, emmm ... sebelumnya a—aku minta maaf. Tapi ... ada yang harus aku beritahukan."
"Kenapa, Rur?"
Ruri berkali-kali menarik napas sebelum lanjut berbicara. Dalam hatinya berdo'a semoga langkah yang dilakukannya ini benar.
"Al, May baru saja keguguran. Sekarang dia masih dirawat di rumah sakit di Kyoto."
Sontak bulir air mata mengalir di wajah Alma yang tiba-tiba membeku. Bukannya merasa sedih, hatinya justru merasa sakit.
"Sebenarnya ... aku bingung, harus mengabari Kak Aji atau tidak. Karena ... May jelas melarang aku. Dia — sepertinya dia tidak mau mengganggu rumah tangga kalian. May juga nggak mau Kak Aji merasa sedih atau bersalah. Dia bahkan nggak mau mengabari orangtuanya. Bahkan Malik, adiknya yang juga lagi kuliah di Jepang tidak dikabari. May nggak mau semua orang ikut sedih, dan dia nggak mau dikasihani.Tapi ... a—aku nggak tega, Al. Dia seorang diri di sana."
"Astaghfirullah!"
"Al, menurutku sebaiknya Kak Aji tau soal ini," pinta Ruri dengan suara lirih.
Alma tidak langsung menanggapi. Ia tidak tahu bagaimana harus merespon berita kemalangan itu. Perasaannya terbagi dua, sedih tapi sekaligus ada rasa lega terselip. Bisikan setan itu menghampirinya. "Rur, dulu aku berada di posisi May. Hamil seorang diri. Aku harus berjuang sendiri melahirkan dan membesarkan Sarah. Dan aku baik-baik saja. Menurutku, Razi tidak perlu tahu soal kondisi May. May juga akan baik-baik saja," balas Alma sedikit ketus.
Ruri terkesiap mendengar perkataan Alma. Ia tak menyangka Alma yang saat ini berhadapan dengannya, berbeda dengan Alma yang ia kenal setengah tahun yang lalu.
"Al ... kok kamu jadi egois begini, sih?"
"Egois? Kamu bilang aku egois? Lebih egois mana sama sahabat kamu itu? Dia sudah mengambil Razi dari aku, menikah dengan Razi, hanya untuk mengejar karirnya? Gara-gara dia, hingga detik ini Razi nggak pernah menjamah aku! Gara-gara dia, aku nggak punya rumah tangga yang bahagia!"
Praaaang! Tatapan dua pasang mata manusia yang tengah bersitegang di ruang tamu segera mengarah kepada sumber suara pecahan itu. Bu Inah menjatuhkan nampan berisi dua gelas sirup yang tadi dibawanya. Dengan salah tingkah, Bu Inah segera membereskan serakan pecahan beling di lantai. Lalu bergegas kembali ke belakang untuk mengambil kain pel.
Alma menyadari kesalahannya. Ia mengisak tangis dengan lemah. Sejak kecelakaan yang menimpanya itu, emosinya kerap tidak stabil. Ia menjadi lebih mudah melampiaskan amarah dan terbawa perasaan.
"Maaf, Rur. Aku ... terbawa emosi."
Ruri tidak membalas permohonan maafnya. Ia sempat kesal mendengar perkataan Alma yang memojokkan Maira tadi. Namun ia merasa kasihan saat mendengar kalimat jika Razi tidak pernah menjamahnya selayaknya pasangan suami istri.
"Rur ... maaf. Aku ... aku marah. Tapi aku nggak tau mau marah sama siapa. Aku bahkan nggak bisa marah sama Razi. Aku ... aku harus gimana, Rur? Aku cinta sama Razi. Tapi ... cintaku ini bertepuk sebelah tangan. Aku tau tidak seharusnya menyalahkan May, tapi ... aku ... " Alma menangis hingga sesenggukan.
Ruri beringsut mendekati Alma di kursi roda. Ia memeluk Alma dengan hangat. Dengan pelan ia berkata, "Al ... aku ngerti banget perasaan kamu. Apa yang kamu rasakan sekarang, juga pernah dirasakan oleh May. Dia selalu merasa terancam sama kamu, Al." Ruri melepaskan pelukannya lalu melanjutkan, "Sebelum menikah, Kak Aji pernah bilang kalo dia mencintai kamu, Al. Dia bilang begitu kepada May. Kamu juga ingat kan, di malam pernikahan mereka, Razi justru mengantarkan kamu pulang? Waktu itu May menangis semalaman. Setelah itu mereka ribut dan saling tutup mulut selama seminggu. Setelah itu, kamu ... kecelakaan. Razi menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah sakit, untuk kamu. Sebagai seorang istri, May juga merasakan sakit saat melihat suaminya begitu perhatian terhadap wanita lain. Menurutku, Kak Aji juga mencintai kamu, Al. Tapi, sebaiknya kamu ajak Kak Aji bicara soal ini. Minta dia menjelaskan perasaannya."
"Aku lelah berusaha mengajak Razi bicara, Rur. Selalu aku yang berusaha, Rur. Aku juga ingin Razi jujur sama aku!"
"Al, apa kamu benar-benar sudah siap menerima kejujuran suami kamu? Yang aku tahu, laki-laki itu sangat menjaga perasaan wanitanya. Mungkin, Kak Aji menunggu sampai kamu benar-benar siap diajak bicara. Mungkin ... Kak Aji takut ... kejujurannya menyakiti kamu."
Alma terpaku sejenak, memikirkan setiap perkataan Ruri tadi. Lalu ia tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya. "Kayaknya semenjak hamil, kamu jadi lebih bijak ya?"
"Iya nih, kayaknya. Mas Galang juga bilang begitu. Bawaan hormon kali," balas Ruri tersenyum aneh.
"Maaf, tadi aku — aku yang salah. Harusnya aku bisa mengikhlaskan perasaanku. Tapi, semua ini terlalu berat." Alma tertunduk malu seraya menghapus airmatanya.
"Al, semua orang bisa berbuat salah. Yang penting, gimana kita bersikap setelah menyadari kesalahan itu."
"Masyaa Allah, keren banget kamu, Rur! Aku malu sama kamu."
"Al, aku masih inget lhooo sama wejangan kamu di rumah Tante Winda waktu itu. Kuncinya hidup damai, sholat malam dan rajin mentaddaburi ayat-ayat Al-Qur'an. Alhamdulillah, sekarang aku jadi lebih tenang, nggak serba panikan, nggak gampang emosian kayak dulu. Sudah dua bulan ini aku juga rajin ikut kajian di masjid komplek rumah. Suamiku aja sampai takjub melihat perubahan aku. Apalagi setelah melihat aku pakai hijab begini. Katanya kayak kembang desa," cerita Ruri sambil tersenyum sumringah.
"Alhamdulillah," sahut Alma ikut bersyukur.
"Berkat nasehat dari kamu, Al. Aku sudah menjadi orang yang lebih baik. Kamu orang yang baik, Al. Aku yakin, Allah akan memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya yang baik."
Spontan Alma mendekap erat Ruri sambil berlinang airmata. Ia merasa tertohok atas setiap kalimat Ruri, bagaikan diingatkan kembali. Sejak menikah dengan Razi, kebiasaan sholat malam itu memang sudah ia tinggalkan. Rutinitas mengajinya pun mulai jarang. Pikirannya selalu disibukkan oleh segala amarah, kekesalan, dan kekecewaan. Ia lupa untuk berserah diri pada Sang Pemilik Jiwa.
"Terima kasih banyak, Rur. Kamu juga orang yang sangat baik," ucapnya dengan terisak.
"Sssttt ... udah, Al. Udah. Jangan nangis terus. Entar kalo kering kan repot cari refill-nya," balas Ruri berseloroh.
"Emangnya galon air mineral?!" Alma ikut tertawa di tengah tangisnya.
"Air terjun, Al!" timpal Ruri terbahak-bahak.
Alma melepaskan pelukannya, lalu segera menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya. "Rur, maaf ya aku sudah berburuk-sangka sama kamu."
Ruri mengerutkan dahinya lalu bertanya, "Berburuk-sangka?"
"Aku — aku pikir ... kamu sudah nggak mau berteman sama aku. Aku pikir ... kamu marah sama aku karena udah bikin ... May dan Razi ..." Alma tidak sanggup melanjutkan, tiba-tiba dadanya terasa sesak. Jantungnya berdetak cepat. Ia berpegangan pada Ruri.
"Al? Al? Kamu kenapa? Al?"
Alma mencoba menahan nyeri di dadanya. Namun sakit itu mengalahkannya. Suara Ruri yang kerap memanggilnya hanya terdengar samar. Kini Alma terkulai tak sadarkan diri di atas kursi roda.
*****
Terjemahan :
1. Arigatou : Terima kasih
2. Ano : Ini / itu
3. Daijoubu : Tidak apa-apa / baik
4. Yukkuri yasunde kudasai : istirahat yang cukup
5. Muri na koto shinai de : Jangan memaksakan diri
6. Domo arigatou : terima kasih banyak