To finally meet you,
Is becoming my latest dream
Until i fully realized,
That now you are hers
- May -
*****
Maira menggigiti bibir bawahnya akibat dirundung perasaan cemas. Kedua kakinya tak lelah berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi. Dalam hati ia merapalkan do'a berkali-kali untuk keselamatan sahabatnya itu.
Jika Maira tidak bisa duduk tenang, beda halnya dengan Galang yang sedang terduduk lemas di ruang tunggu. Wajahnya diliputi kecemasan berkali-kali lipat. Beberapa jam yang lalu, Ruri mengalami kejang-kejang. Dokter mengatakan jika istrinya itu mengalami eklamsia, ancaman yang paling mengerikan bagi setiap ibu hamil.
Di sebelah Galang pun duduk dua pasang suami istri paruh baya, kedua orangtua Ruri dan Galang. Mereka tak kalah khawatirnya. Bahkan para ibu sedang sibuk menyeka air mata mereka yang terus mengalir tanpa henti. Para suami pun sibuk menenangkan para istri di tengah-tengah ketakutan mereka.
Tak lama kemudian, beberapa orang dokter keluar dari ruang operasi, diikuti oleh beberapa perawat.
Maira mencegat jalan salah satu dokter yang terkesan paling senior. Maira menanyakan kondisi Ruri. Sang dokter memintanya dan pihak keluarga untuk bersabar menunggu hingga kondisi Ruri stabil. Setelah ini Ruri akan dirawat di ruang ICU. Sementara sang bayi yang juga masih dalam observasi harus masuk ke ruang NICU.
Galang mendengar informasi yang disampaikan oleh sang dokter. Ia pun mulai menangis. Jiwanya dirundung kesedihan mendalam. Dalam hati terucap ketidak-relaan jika harus kehilangan sang istri ataupun buah hati mereka.
Maira mengerti betul apa yang dirasakan oleh Galang saat ini. Ia beringsut mendekati suami sahabatnya itu. "Mas Galang, yang sabar ya. Kita sama-sama berdo'a memohon yang terbaik sama Allah. Sebaiknya sholat dulu, Mas. Sudah masuk waktu Ashar," ajak Maira dengan lembut.
Galang menggelengkan kepalanya. Tatapannya mencelang. Dengan intonasi tinggi ia menyergah, "Kamu tau kan, Ruri sedang kritis? Kamu nyuruh aku ninggalin dia? Memangnya kalo aku sholat, terus ada jaminan dia selamat? Hah?!"
Maira terperanjat mendengar bentakan Galang. Setiap pasang mata di sana mengucap istighfar. Sang ibu yang juga tersedu-sedan, mendekati Galang, memeluknya erat.
"Astaghfirullah! Istighfar, Lang! Istighfar! Jangan sombong! Justru istrimu sekarang sedang butuh do'amu. Dekatkan diri ke Allah, Nak. Cuma Allah yang bisa menolongmu saat ini. Ibu mohon, jangan begini, Lang! Kasihan istri dan anakmu."
Galang menyungkurkan wajahnya di pundak sang ibu. "Gimana kalo Allah ambil Ruri dan bayi kami, Bu? Galang nggak bisa, Bu! Galang nggak bisa hidup tanpa Ruri!"
"Istighfar, Lang! Kamu juga tahu kan, jiwa kita itu milik siapa? Kalau memang itu kehendak Allah, berarti itu yang terbaik. Jangan memaksakan kehendak pada Yang Maha Berkehendak. Ikhlaskan semuanya. Panjatkan do'a yang kuat untuk istri dan anakmu. Kita sholat sama-sama, ya?"
"Iya, Lang. Benar kata ibumu. Kalian sholat dulu saja, gantian. Mama dan Papa jaga di sini dulu," tukas mamanya Ruri.
Dengan limbung, Galang mengikuti langkah sang ibu yang menggandeng tangannya menuju masjid rumah sakit. Maira mengikutinya dari belakang.
Dalam do'anya yang penuh dengan linangan air mata, Maira memohonkan keselamatan bagi sang sahabat dan juga bayinya. Ia tak sanggup membayangkan jika hal terburuk menimpa keduanya. Meski tadi ia berusaha menguatkan Galang, dalam hatinya pun turut terselip rasa tak rela kehilangan sahabat terbaiknya itu.
Dari balik bilik akhwat, Maira mengintip Galang yang sedang khusyuk berdo'a dalam khidmat. Jemarinya sibuk menghitung lantunan dzikir. Maira tersenyum melihat pemandangan itu.
Sebuah sentuhan terasa di bahunya. Maira menoleh ke belakang. "May, tante minta maaf ya atas sikap Galang tadi."
"Eh, i—iya nggak apa-apa, Tante." Maira menganggukkan kepalanya sekali. "Saya mengerti perasaannya Mas Galang."
Ibunya Galang menghela napas berkali-kali sebelum menambahkan, "Mungkin ini juga jadi teguran untuk Galang. Dia sering melewatkan waktu sholat. Semoga dengan kondisi ini, menjadi pembuka jalan bagi Galang untuk memperbaiki ibadahnya."
"Aamiin." Maira menyampirkan tas satchel-nya di pundak. "Tante, saya ke kantin dulu sebentar. Sejak mendarat tadi pagi, belum ada makanan masuk ke perut."
"Ya Allah, jaga kesehatan, May. Makan dulu saja, nanti Tante kasitau kalau ada apa-apa. Galang punya nomormu, kan?"
"Iya, Tante. Kalo gitu, saya pamit dulu, assalamu'alaikum." Maira mencium takzim tangan wanita tua itu.
"Wa'alaikumussalam."
Maira berjalan perlahan menuju kantin rumah sakit. Pandangannya tertunduk memperhatikan langkah kakinya yang gontai. Pikirannya berkelana entah kemana. Berkali-kali ia menghembuskan napas dengan berat. Menyesali ketidak-berdayaannya saat ini.
"May?" Sebuah suara terdengar memanggil tak jauh dari hadapannya. Maira terkejut, ia mengenali suara itu. Dengan was-was ia menengadahkan wajahnya guna memastikan sosok yang memanggil.
Dan terlihatlah laki-laki itu, berdiri dalam jarak tiga meter di depannya.
"Mas Aji?"
Keduanya beradu-pandang, rindu yang menyesak di dada kian membuncah. Desiran halus itu kembali muncul. Jantung keduanya memompa dengan cepat. Degupan masing-masing saling bertalu. Keduanya memiliki hasrat yang sama.
Razi bergerak maju mendekat, namun Maira melangkah mundur. Razi menghentikan langkahnya. Maira terpaku di posisinya. Razi kembali mencoba mendekati, Maira kembali melangkah mundur. Razi mempercepat langkahnya. Dengan panik, Maira berbalik lalu melarikan diri dari tempat itu.
Razi berusaha mengejar, tidak mau melewatkan kesempatan langka ini. Memastikan bahwa pertemuan mereka ini bukanlah sekedar bunga tidur.
"May! May, tungguuu!"
"Maaay!"
Panggilan itu tidak digubrisnya. Maira berlari sekuat tenaga dengan sendal flip-flop ber-sol tipis yang dikenakannya. Jemarinya terasa sakit. Ia merutuki kesalahannya dalam mengambil keputusan. Harusnya tadi ia mengenakan sneaker yang tersimpan dalam kopernya.
Duuug! Dan Maira pun tersungkur setelah menyandung sebuah batu yang menghalangi jalannya di area parkiran.
"Aaawww!" rintihnya karena merasakan nyeri di bagian tulang keringnya saat berusaha bangkit.
Spontan Razi mempercepat langkahnya. Instingnya bekerja untuk segera menolong wanita yang pernah menjadi istri pertamanya itu.
"May, kamu nggak papa? Mana yang sakit?" Razi terlihat panik.
Maira segera menepis tangan Razi yang terulur untuk membantunya. "Jangan pegang-pegang!"
Bukannya menuruti perintah Maira, Razi justru langsung mengangkatnya. Menggendongnya ala bridal-style. Maira berusaha memberontak, namun perlawanannya itu justru membuat Razi tambah berang.
"Bisa nggak sih kamu diam? Aku cuma mau nolong! Atau kamu mau aku biarkan terkapar di sini dengan kondisi kaki seperti itu?" hardiknya sambil menyorot tajam.
Tatapan Maira tertuju pada kaki kirinya. Merah darah terjiplak jelas di celana denimnya yang robek. Ia bergidik ngeri sendiri membayangkan luka di baliknya. Perihnya saja terasa hingga ke bagian tulang. Maira pun tak lagi melawan, hanya menceloskan pandangan dalam diam.
Razi membopong Maira menuju IGD yang untungnya tidak jauh dari lahan parkir itu. Ia memilih untuk membungkam mulut selama itu. Sepatah kata saja keluar dari mulutnya, berpotensi menyulut perdebatan di antara mereka.
Perawat di depan ruang IGD yang melihat keduanya langsung membantu Razi untuk memapah Maira duduk di atas brankar.
"Abis jatuh, Mbak?" tanya sang perawat penasaran. Ia menunduk untuk melihat luka di kaki Maira.
"Iya, tersandung batu di parkiran," jawab Maira sambil mengaduh saat lukanya disentuh.
"Saya bersihkan dulu ya, Mbak. Sebentar," imbuh sang perawat sambil berlalu untuk mengambil obat-obatan.
Razi menyilangkan kedua tangan di depan dadanya, menampilkan seringai halus di wajahnya. "Ngapain tadi kamu lari ngibrit? Seperti habis liat makhluk ghaib aja!"
Mata Maira membeliak lalu ia menjawab dengan ketus, "Kamu tuh makhluk ghaibnya!"
"Yakin aku makhluk ghaibnya?" goda Razi sambil tersenyum simpul.
"Nggak usah sok ngerayu! Inget status kamu!" pungkas Maira tajam.
"Kok galak, sih?"
"Ngadepin manusia kayak kamu emang harus galak!"
"Sekarang bilang aku manusia, tadi bilang aku makhluk ghaib."
"Kamu ngajak ribut?"
"Kamu yang ribut. Aku cuma bertanya."
"Ehm, permisi Mbak, Mas. Saya mau bersihkan dulu lukanya." Sang perawat yang melihat adu mulut keduanya langsung berinisiatif menengahi. Khawatir keributan mereka menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien-pasien lainnya di dalam ruang IGD tersebut.
Ia merunduk lalu melipat ujung celana denim Maira ke arah dalam. Sebuah kapas ditekan-tekankan oleh sang perawat untuk menghentikan pendarahan.
"Ssshhh ... awww ...," ringis Maira kesakitan saat merasakan sensasi dingin dari sebuah cairan menyentuh lukanya.
Razi memalingkan wajahnya, tidak tega melihat Maira yang mendesis menahan sakit.
Setelah luka itu dibersihkan, seorang dokter laki-laki muda menghampiri Maira untuk memeriksa lukanya. Razi melirik dengan pandangan yang sulit didefinisikan. Kedua sudut mulutnya tertarik ke bawah. Maira yang melihat gelagatnya justru mengulum senyum.
"Gimana lukanya, Dok?" tanya Maira pada sang dokter muda tampan itu.
"Robek, tapi tidak terlalu lebar. Cukup di perban saja," terang sang dokter sambil tersenyum manis.
Sesaat Maira sempat tersihir dengan ketampanan sang dokter. Namun saat melihat sorot mata Razi yang seakan menghakiminya, sesuatu terpikirkan di kepalanya. "Yakin cukup diperban, Dok? Nggak perlu penanganan khusus? Sakitnya sampai ke tulang ini, Dok."
"Nanti cukup dikasih obat oles saja, ditambah minum obat anti nyeri. Saya tuliskan resepnya."
Maira mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum jahil, ia mengajukan tanya pada sang dokter, "Mmm, Dok baru ya di sini? Kok saya nggak pernah liat, ya?"
Saat sang dokter membuka mulut akan menjawab, cepat-cepat Razi berujar, "Jadi istri saya nggak kenapa-kenapa kan, Dok? Terima kasih atas bantuannya untuk istri saya, Dok!"
Sang dokter yang sempat ge-er dengan Maira, menganggukkan kepalanya sekilas lalu segera berlalu sambil memberikan kertas resep kepada sang perawat.
Maira menggeram tidak suka atas sikap Razi itu. "Kamu apa-apaan, sih? Aku sudah bukan istri kamu lagi! Nggak usah ngaku-ngaku!"
Razi bersikap tak acuh, seolah-olah tidak mendengar komentar pedas Maira. Ia justru menoleh pada sang perawat yang memandangi mereka berdua. "Sus, mau diperban, kan?"
"Eh, i—iya, Pak!" Sang perawat membawa peralatannya lalu segera membalut luka di kaki Maira.
Maira mendengus kesal. Ia tidak mengerti isi pikiran pria itu. Rasa jengkelnya naik hingga ke ubun-ubun. Maira kembali bersikap dingin. Setelah beberapa bulan berpisah, pertemuan kembali keduanya justru dimulai dengan bersitegang. Hal yang paling tidak diinginkan oleh Razi.
Selesai menerima perawatan, Maira berusaha berjalan dengan sedikit pincang. Razi berusaha memapahnya, namun tangannya kembali ditepis oleh Maira. "Aku bisa sendiri!"
Demi menghindari perdebatan lebih lanjut, Razi menuruti maunya. Ia hanya berjalan mengawasi dari belakang. Beberapa kali gerakan Maira limbung, Razi berusaha menahannya. Dan lagi-lagi Maira menolak, bahkan mendorongnya untuk menjauh. Razi menghembus napas kasar berkali-kali. Jengah dengan penolakan demi penolakan wanita keras kepala itu.
Maira duduk di kursi tunggu lobi. Sesekali menatap perban di kakinya. Syaraf di lukanya berdenyut-denyut, menimbulkan sensasi yang tidak nyaman.
"Ngapain kamu masih di sini?" tanya Maira ketus saat melihat Razi masih dengan setia berdiri di samping kursi panjang itu.
"Jagain kamu, biar nggak diganggu makhluk ghaib!"
"Iiihhh! Kamu tuh makhluk ghaibnya! Keberadaan kamu mengganggu, tau nggak?!" bentak Maira.
"Kamu mau aku pergi?"
Untuk beberapa detik Maira terdiam, lalu bergumam pelan, "Kalo mau pergi, pergi aja!"
"Ya udah, aku pergi. Semoga luka kamu cepat sembuh."
Saat Razi akan membalikkan badan, Maira cepat-cepat menukas, "Ada urusan apa kamu di rumah sakit?"
Razi menghela napas sejenak lalu berjalan dua langkah untuk duduk di sebelah Maira. Tidak berdekatan, Razi justru memberi jarak. Maira tidak berkeberatan. Wajahnya lurus ke depan, menatap meja pendaftaran yang tengah disibukkan oleh para pasien BPJS.
"Yakin mau tau kenapa aku di sini?"
Tidak! Maira tidak mau tahu! Karena dalam hatinya, ia yakin seratus persen mengetahui alasan keberadaan mantan suaminya itu di rumah sakit. Apalagi kalau bukan untuk urusan Alma.
"Gimana kabar kamu?" Alih-alih menjawab pertanyaan Razi, Maira memilih untuk kembali bertanya.
"Baik. Kamu sendiri gimana? Betah di sana?"
Dengan dingin Maira menjawab, "As you can see, i'm perfectly fine! Hidup di sana menyenangkan, nggak ada yang ngatur-ngatur!"
Jawaban Maira bertentangan dengan teriakan dalam batinnya. Tidak! Ia tidak baik-baik saja! Hidupnya tidak seindah yang ia impikan. Maira kesepian, merindukan setiap orang yang disayanginya, termasuk pria yang duduk di sebelahnya ini.
"Bagus kalau begitu, kamu bisa menikmati kehidupanmu sekarang. Kamu bebas meraih cita-cita, tidak ada kekangan dari siapapun. Dengan begitu, tugasku selesai sampai di sini." Razi bangkit berdiri.
Maira mendongakkan kepalanya sambil mengerutkan dahinya. Bingung akan maksud ucapan pria itu. "Maksud kamu?"
"Aku hanya ingin memastikan kalau kamu berhasil mewujudkan impianmu. Seperti yang pernah kujanjikan dulu. Dengan begini, aku bisa memulai hidup tanpa beban."
"Maksud kamu, aku selama ini memberi kamu beban?" tanya Maira kesal.
Razi mengangkat kedua bahunya dengan tak acuh.
Maira terlihat gusar. Seakan tidak rela dengan setiap perkataan yang dilontarkan oleh Razi, meskipun benar adanya.
Saat Maira membuka mulut, terdengar suara nada dering dari ponsel Razi yang berada dalam genggamannya. Razi melihat nama di layar itu, lalu tersenyum.
"Assalamu'alaikum. Gimana, Al? Sudah selesai terapinya?"
Maira tersentak saat mendengar nama yang terucap dari lisan Razi. Seperti kembali diingatkan akan keberadaan wanita itu. Wanita yang saat ini menggantikan posisinya dalam kehidupan Razi, bahkan mungkin sudah menggeser posisinya di dalam hati Razi.
"Oooh ... oke, aku kesana sekarang, ya." Razi memutus teleponnya. Pandangannya beralih pada Maira yang tertunduk sedih. Razi tak tega melihat raut itu, namun seringai halus muncul di wajahnya.
"Ehm, aku harus menjemput Al. Kamu ... nggak apa-apa kan, kalau aku tinggal?" tanyanya terkesan cuek.
Maira diam saja, enggan menjawab pertanyaan itu. Dalam hatinya berteriak, ingin agar pria itu duduk di sampingnya lebih lama. Jika perlu, menemaninya seharian ini. Bahkan sejak tadi Maira berjuang menahan hasratnya untuk dapat mendekap erat seorang Razi. Seperti tersambar petir di siang bolong, kini Maira tersadarkan jika pria di hadapannya ini, hanyalah seorang mantan suami, bukan suaminya lagi.
"May? May? Kamu nggak papa, kan?" Lambaian tangan Razi melintas di depan matanya.
"Eh, eng—enggak ... aku nggak papa! Sana, pergi! Sudah ditunggu sama istri kamu, kan?" sindir Maira kesal.
Razi hanya tersenyum tipis. Ingin rasanya menanggapi pernyataan wanita keras kepala yang merasa paling tahu segalanya itu, namun Razi harus bersabar. Belum saatnya.
"Aku pergi dulu. Jaga diri baik-baik. Assalamu'alaikum."
Sebelum Maira sempat menjawab, Razi sudah berjalan lurus ke arah koridor di samping kanan meja pendaftaran. Meninggalkan Maira yang tepekur. Tanpa disadarinya, sebulir air bening menetes di pipi kanannya. Diikuti dengan tetesan di pipi kirinya. Maira merutuki hatinya yang tak mampu membenci pria itu. Justru rasa cinta itu muncul semakin kuat. Menyayat-nyayat hatinya.
------------------
"May, lo ... sudah ketemu dengan ...," tanya Ruri yang masih terbaring lemah pada Maira.
"Apaan sih, Rur? Nggak usah ngomongin si Osama bin Laden! Gue terbang jauh-jauh ke sini cuma buat elo. Masih pusing, nggak?" Maira berkilah. Ia enggan mengingat peristiwa kemarin. Saat ini ia lebih khawatir melihat kondisi sahabatnya itu.
Ruri sudah sadar kemarin malam. Dan dokter baru saja memperbolehkan pihak keluarga menemuinya hari ini. Dokter berpesan agar jangan membicarakan hal-hal yang berpotensi menimbulkan stres, karena tekanan darah Ruri masih tinggi.
"Pusing, tapi nggak sepusing tadi," jawab Ruri dengan suara lirih.
"Ya udah, istirahat dulu ya. Jangan mikir yang aneh-aneh. Banyak-banyak berdzikir." Maira menyelipkan sebuah tasbih di genggaman Ruri.
"Makasih, May. Maaf ya, gue jadi ... ngerepotin lo."
"Repot apaan, sih! Udah deh, nggak usah mikir yang berat-berat. Pokoknya lo harus fokus sembuh! Biar bisa segera ketemu sama dedek Garu."
"Garu?" Ruri mengernyitkan dahinya bingung.
"Iya, Garu. Kata Mas Galang, nama anak kalian Gaharu. Panggilannya Garu. Garu ganteng banget lho, Rur."
Ruri tersenyum haru. Air mata kebahagiaan menetes dari pelupuknya. Hasratnya menggebu ingin segera menggendong sang anak. Dalam hati, berkali-kali ia mengucap syukur atas nikmat Allah yang telah terlimpah untuknya. Akhirnya, ia menjadi seorang ibu.
Ruri keluar dari ruang ICU itu. Bergantian dengan orangtua Ruri yang juga ingin menengok sang putri. Galang yang tadi duduk di kursi tunggu, segera menghampiri Maira. Perasaan bersalah menghantuinya semalaman.
"May, aku minta maaf atas sikap kasarku kemarin. Aku khilaf. Maaf ya, May?" Galang berkali-kali menundukkan badan sambil menangkupkan kedua tangan di atas kepalanya, mengemis maaf dari Maira.
"Lho ... nggak apa-apa, Mas. Nggak usah berlebihan begini. Aku ngerti kok, kemarin Mas Galang lagi stres berat, kan?"
"Iya, May. Aku takut banget kehilangan Ruri."
"Aku juga sama, Mas. Kedua orangtua kalian juga merasakan hal yang sama. Kita semua sama-sama takut kehilangan Ruri. Pada saat itulah, harusnya kita berserah diri. Alhamdulillah Ruri sekarang sudah sadar, sudah bisa diajak ngobrol juga. Berarti do'a Mas Galang terkabul, dong? Nggak sia-sia kan sholatnya?"
Galang menunduk malu. Malu akan sikap dan perkataannya kemarin.
"Berarti, mulai sekarang harus dikencengin ibadahnya, Mas. Biar nikmatnya ditambah oleh Allah. Banyak-banyak bersyukur juga, alhamdulillah do'a kita banyak yang sudah dikabulkan oleh Allah," pungkas Maira menasehati.
"Iya May, insyaa Allah. Aku juga sadar, sekarang aku punya anak laki-laki yang menjadi amanahku."
Mendengar ucapan Galang, Maira tersenyum lega. Ternyata memang benar, banyak hikmah yang didapat dari setiap kejadian dalam hidup.
"Alhamdulillah, aku mendo'akan yang terbaik untuk kalian sekeluarga. Semoga kondisi dedek Garu juga segera stabil."
"Aamiin. Terima kasih banyak, May," ucap Galang mengaminkan. "Oh iya, kemarin ... kamu sudah ketemu dengan Aji?"
Maira mengerutkan dahinya bingung. Kenapa suami sahabatnya ini bisa mengetahui jika ia bertemu dengan mantan suaminya itu kemarin. Apakah Galang juga bertemu dengannya kemarin? "Hmmm, memangnya kenapa, Mas? Mas Galang ketemu sama dia?"
"Razi memang minta aku mengabarinya kalau Ruri melahirkan. Jadi, aku pikir ... kemarin kalian ketemu." Galang menggaruk-garuk belakang kepalanya.
"Lho, ... emangnya Mas Galang kenal dekat sama dia?" tanya Maira penasaran.
Galang justru balik memandangnya heran. "Jadi kamu belum tau?"
"Tau apa?"
"Ruri belum cerita?"
"Cerita apa?"
"Aji sudah nggak kerja di kantor lamanya lagi. Dia partner kerjaku sekarang."
*****