Chapter 36 - 36. Finale

Razi hanya terdiam di posisinya. Memandang keluar jendela kamar hotelnya dengan tatapan kosong. Hatinya tengah terombang-ambing. Bukan hanya hatinya, namun nasibnya pun terombang-ambing. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Mungkin itu pribahasa yang paling tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini.

Maira benar-benar menolaknya tadi malam. Saat Razi berusaha meyakinkan mantan istrinya itu bahwa rumah tangga mereka akan baik-baik saja kedepannya, bahwa ia berjanji akan selalu ada baginya, bahwa mereka akan melewati segala kesulitan bersama, bahwa Maira akan menjadi satu-satunya wanita kedua dalam hidupnya setelah umminya, bahwa ia akan selalu membahagiakannya, Maira justru menamparnya. Itu adalah tamparan kelima yang Razi terima dalam hidupnya.

Maira tidak memberi alasan kenapa ia melayangkan tamparan itu. Namun wajah itu terlihat sedih saat menorehkan pukulan fisik di pipinya. Dan Razi tidak mengelak ataupun marah pada Maira. Mengingat segala kisah sedih yang telah dilalui Maira, ia lebih dari pantas untuk mendapatkan hukuman itu.  Setelah itu Maira berjalan cepat dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Saat Razi hendak mengejarnya, Maira melarangnya untuk mendekat. Wanita itu berkata ia butuh waktu untuk menyendiri. Bahkan Maira mengucapkan, "Sayonara".

Memori menyesakkan dan memusingkan tadi malam itu terus berputar ulang di kepala Razi. Wanita itu telah mengucapkan salam perpisahan. Razi benar-benar tidak mengerti arti perubahan sikap Maira. Apa mungkin ia yang salah menangkap sinyal? Saat awal bertemu tadi malam, Maira terlihat biasa saja, tidak ada kemarahan sama sekali terlukis di wajahnya. Justru wanita itu terkesan tenang, santai dan sesekali menertawakan sikap Razi yang berkali-kali salah tingkah.

Lalu kenapa setelahnya Maira bersikap sebaliknya setelah Razi memberanikan diri melamarnya?

Berkali-kali Razi mengacak-acak rambutnya frustasi. Sungguh, benar-benar tidak ada yang mengerti wanita itu bagaimana kecuali Sang Pencipta-nya.

Razi melirik jam tangannya, pukul 12.59. Seharusnya tepat jam 2 siang nanti, ia mengucap ijab kabul untuk yang ketiga kalinya. Seharusnya, hari ini juga ia menikahi Maira untuk yang kedua kalinya. Ia juga sudah sengaja mengundang penghulu yang menikahkan Ryu dan Ria beberapa tahun silam.

Namun kalau begini caranya, bagaimana mungkin ia akan melangsungkan pernikahan? Menikah tanpa mempelai wanita? Mana mungkin. Sedangkan salah satu syaratnya harus ada kesediaan calon mempelai wanita untuk dinikahi kembali.

Sejak pagi tadi Razi terus-menerus mengurung diri di kamar hotel. Belum sekalipun ia melangkahkan kaki keluar dari kamarnya. Waktu sarapan pun ia lewatkan. Dan sekarang, jam makan siang. Masa harus ia lewatkan juga? Kini Razi turut dipusingkan dengan masalah bagaimana caranya ia menghadapi kedua keluarga mereka? Razi sudah berjanji pada kedua orangtua Maira bahwa pagi ini juga ia akan membawa Maira datang ke hotel bersamanya.

Sudah beberapa kali Asha dan Winda menekan bel pintu kamarnya. Namun Razi enggan membukakan. Otaknya sedang kram, pikirannya buntu. Ia hanya beralasan jika sedang pusing dan butuh istirahat sebentar. Dan Asha tak henti-hentinya mengirimkan pesan lewat WA.

.

.

Asha : Kak keluar kmr dong!

Asha : Kak udah siang nih!

Asha : Kaaaak!!!!

Asha : Kak May mana?

Asha : Kaaak jgn diread doang dong 🙄🙄🙄

Asha : Kaaaak, ayah bundanya kak may nanyain terus nih! Katanya tlp kak may jg ga diangkat

Asha : Kaaak! Jgn blg kak may nolak diajak nikah lg ya trus kk nekat mo bnh diri

Asha : Kaaak jgn gila dong! Inget Kak, bnh diri itu dosa besar!!! 😣

.

.

Dan pesan-pesan dari adik perempuannya itu justru meningkatkan kadar stresnya. Bunuh diri? Yang benar saja. Razi memang stres berat akibat patah hati, tapi bukan berarti ia rela menghilangkan nyawanya sendiri. Rasanya tidak kuat membayangkan bagaimana siksa kubur yang akan diterimanya nanti. Tentunya sakitnya berkali-kali lipat siksaan di dunia.

Razi beranjak dari posisinya menuju kamar mandi untuk segera mengambil wudhu. Dalam keadaan gundah hati seperti ini, berwudhu menjadi pertolongan pertama untuk memperoleh ketenangan jiwa. Amarah, kegelisahan, kecemasan, keresahan, semua datangnya dari setan yang tercipta dari api. Maka kalahkanlah api dengan siraman air.

Setelah merasa tenang, Razi menunaikan sholat Zhuhur dengan khidmat. Lalu berusaha memasrahkan diri atas segala ketentuan yang telah ditetapkan untuknya. Razi sadar, sebagai seorang manusia tidak dapat memaksakan segala kehendaknya. Karena ada yang lebih berhak atas dirinya, yaitu Yang Maha Berkehendak.

Kali ini ia mencoba menguatkan diri untuk menghadapi rombongan yang sudah dibawanya jauh-jauh dari tanah air. Meskipun ia belum tahu apa yang akan disampaikannya pada kedua keluarga mereka. Mungkin kali ini, tidak hanya Razi, namun mereka semua harus rela menelan pil pahit itu.

Jika kalian bertanya, kenapa Razi tidak berusaha membujuk Maira kembali? Seperti mendatangi kantornya, atau apartemennya, atau mengiriminya bunga, atau bahkan melamarnya langsung di depan orang banyak seperti adegan di film-film. Jawabannya tidak. Razi bukan laki-laki seperti di film-film romantis kebanyakan. Untuk hal-hal prinsipal, Razi menghormati keinginan seorang wanita. Seperti contoh kasus tadi malam. Jika Maira memang tidak ingin untuk didekati, maka ia tidak akan mendekati.

Selang tak lama kemudian, kembali terdengar suara bel pintu yang ditekan dari luar kamarnya. Razi menebak, paling-paling adik perempuannya lagi, yang sejak tadi pikirannya sudah berkelana terlalu jauh sampai-sampai menjatuhkan tuduhan yang ekstrim kepadanya. Kali ini Razi tidak akan menghindar. Ia siap jikapun harus kembali pulang ke tanah air tanpa cincin yang kembali melingkar di jari manisnya.

"Iya, Sha. Maaf, ta ... di ..." Kalimatnya terhenti. Sesaat napasnya sesak setelah menengadahkan kepalanya dan melihat sosok yang berada di luar pintunya.

"Kok lama sih? Kenapa belum siap-siap? Akadnya jam 2 kan?"

"Ka—kamu ..."

"Aku udah nungguin lama lho dari tadi di kamar Ummi."

Razi diam saja mematung. Tak menanggapi celoteh wanita di depannya.

"Hm? Kenapa? Aku aneh ya begini? Jilbabnya miring?"

"Kamu ... cantik."

"Bener? Nggak aneh, kan?"

"May?"

"Kamu kenapa sih? Ngeliatin aku kayak lagi liat kuntilanak gitu?"

"Aku lagi liat bidadari," jawabnya dengan mata melebar tak percaya.

"Gombal! Jadi gimana nih? Jadi nggak ijab-kabulnya? Kalo nggak jadi, aku balik lagi ke kantor nih!" Maira langsung membalikkan badannya dengan tampang kesal.

Tangan Razi menahannya. Wajahnya masih terkesima dengan penampilan baru Maira. Sebelah tangannya terangkat mengusap pipi kanan Maira.

Maira yang terkesiap dengan prilakunya, sontak menarik diri mundur. "Eh, eh, eh! Enak aja main sentuh-sentuh. Halalin dulu!"

"May ... ini ... bener kamu, kan? Aku nggak lagi halusinasi kan?" tanya Razi masih setengah tidak percaya.

"Hmmm ... nggak tau juga, sih. Ini mimpi kamu doang apa beneran. Aku nyata apa nggak. Coba bangun! Kali aja kamu lagi ketiduran sekarang," ujar May dengan santainya.

"May! Aku serius."

"Aku juga serius. Gih, pastiin dulu ini mimpi apa bukan! Aku tungguin di sini. Tapi jangan lama-lama. Soalnya aku harus balik lagi ke kantor." Maira menatap jam tangannya lalu menyandarkan punggungnya di dinding dengan tangan tersilang di depan dada.

Razi menampar pipinya sendiri bolak-balik. Lalu mencubiti tangannya sendiri hingga memerah. Setelah itu meringis menahan sensasi pedas di pipi maupun tangannya. Siapa yang menyangka jika Razi menganggap serius omongan Maira? Pasalnya wanita itu tadi malam sudah menolaknya, lalu kenapa sekarang tiba-tiba muncul bagaikan makhluk ghaib di depannya? Mengenakan hijab pula? Jadi sebaiknya Razi benar-benar memastikan ini nyata Maira atau hanya sosok hasil pencitraan delusionalnya saja.

"Jadi, ini beneran kamu?"

"Bukan! Jelmaan mbak kunti!" cibir Maira dengan tatapan malas.

"May!" Razi berang sendiri mendengar celotehan Maira yang absurd sejak tadi.

"Jadi gimana? Udah dipastikan ini mimpi apa bukan?" tanya Maira bosan.

"Kamu serius mau nikah lagi sama aku?" Razi balik bertanya. Malas menimpali celoteh Maira yang tidak ada faedahnya itu

"Tau ah! Aku mau turun! Kasian yang lain udah nunggu." Maira berjalan cepat menyusuri koridor lantai itu. Razi cepat-cepat mengunci kamarnya lalu berlari cepat menghadang Maira.

Dengan napas tersengal-sengal, Razi menyorot tajam pada Maira yang kini berdiri di hadapannya.

Maira mendesah napas malas, memalingkan wajah sekejap, lalu kembali menatap acuh. "Mau apa lagi?"

"Aku mau jawaban kamu. Kamu serius mau nikah lagi sama aku?" Kali ini tatapannya menuntut.

Maira menjejakkan langkahnya maju mendekat. Hingga jarak diantara mereka sangat dekat. Matanya balas menyorot tajam. Kali ini ia tak gentar.

"Iya, Mas Arsan Fahrurazi. Aku mau nikah sama kamu. Lagi ... lagi ... dan lagi." Maira mendekatkan wajahnya hingga keduanya dapat saling merasakan deru napas masing-masing yang semakin cepat. Sorot matanya turun ke arah bibir Razi.

Razi berusaha menelan ludahnya yang kini terasa bagai gumpalan tanah. Sorot matanya pun tertuju pada bibir Maira.

"Ehm ... ehm ... ingeeeet, pihak ketiga itu setan, lho!"

Suara itu membubarkan wajah Razi dan Maira yang sesaat tadi hanya berjarak tak lebih dari 5 cm. Keduanya saling menjauh. Razi terlihat salah tingkah dengan wajahnya yang tengah merona merah. Sedangkan Maira tertawa kecil. Ia memang sengaja ingin menggoda pria itu tadi. Sama sekali tidak ada niat untuk benar-benar melakukan aksi yang belum legal untuknya.

"Iya, kamu tuh setannya!" seru Maira pada Malik yang baru saja keluar dari lift.

"Kalo aku setannya, udah aku biarin tuh kalian beginian." Malik menyatukan jari-jari tangannya yang sudah dikerucutkan, seperti sedang berciuman.

"Eh, rese' nih bocah!" Maira melepaskan sebelah sepatunya untuk siap-siap dilempar arah ke adiknya itu.

"Eh, eh, eh ... udah jilbaban, kelakuan masih barbar aja. Malu Mbak sama jilbabnya."

Maira yang sudah pasang kuda-kuda, langsung mengurungkan niatnya. Menjatuhkan kembali sepatunya dengan bibir dimajukan.

Sementara Razi yang sudah terlihat normal, berusaha menahan tawanya melihat tingkah polah kakak-beradik ini.

"Apa? Emangnya lucu? Berani ngetawain, batal nikah!" ancam Maira dengan mimik serius.

Razi segera mengatupkan mulutnya rapat. Ancaman calon istrinya itu terlalu berbahaya.

"Ya sudah, ayo ke bawah! Kita temui semuanya," ajak Razi dengan nada lembut. Ia berjalan berdampingan dengan Maira. Sedangkan Malik kembali menekan tombol turun pada panel lift.

"Yang di bawah udah pada nungguin sampai karatan. Yang disini malah mesra-mesraan."

"Maliiiiiik!!!"

----------------

"Yaa akhina Arsan Fahrurazi bin Ardi Gunawan, ankahtuka wanzawwajtuka li ibnati Maira Faizhura binti Farhan Adhikara bilmahril 'asyrata ghoroomi minadzahab haallan."

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha  bilmahril madzkur haallan."

"Alhamdulillah."

Dan kini Maira dan Razi kembali sah menjadi pasangan suami istri untuk kedua kalinya. Kali ini tidak ada penandatanganan buku nikah. Karena menurut hukum negara, keduanya masih tercatat sah sebagai suami istri.

Setelah itu Syekh Yusuf yang tadi berperan serta menjadi penghulu, memberikan beberapa nasehat pernikahan pada keduanya dengan menggunakan bahasa arab Mesir. Untung saja Ryu yang saat ini lebih fasih berbahasa arab dibandingkan bahasa Indonesia, bersedia merangkap tugas menjadi penerjemah.

"May, Zi, ini harus jadi ijab kabul terakhir ya. Jangan sampai nikah-cerai-nikah-cerai lagi. Ummi pusing liat kalian begitu." Winda menasehati putra sulung dan menantunya. "Pokoknya kalau ada masalah, kalian harus bisa menyelesaikan dengan kepala dingin. Ingat, dijaga lisan kalian baik-baik. Cerai bukan sekedar kata-kata yang besoknya bisa diperbaiki atau dibatalkan, kayak orang pacaran. Dan May, tadi sebelum Razi ijab kabul, kamu niatnya apa?"

"Maksud Ummi?" Maira mengernyitkan dahinya bingung.

"Ya kan waktu di pernikahan pertama, kamu nikah dengan niat yang salah. Nah, sekarang niat kamu apa?" tanya Winda penuh selidik. Baru kali ini Winda menatap menantunya itu dengan tatapan kontemplatif.

"Maaf, Ummi. May minta maaf sudah mempermainkan pernikahan yang dulu. Insyaa Allah, kali ini May bersungguh-sungguh ingin membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrohmah dengan Mas Razi. Kali ini May memang menginginkan Mas Razi untuk menjadi pembimbing dalam hidup. May sudah lelah bermain-main dengan takdir. Maafin May ya, Ummi." Maira langsung mendekap erat ibu mertuanya itu. Disertai mengalirnya bulir-bulir penyesalan di sudut matanya.

"Ummi sudah maafin kamu, Sayang. Ummi cuma nggak ingin anak-anak yang Ummi cintai kembali terjerembab di lubang yang sama. Makanya Ummi berpesan sama kalian. Jaga baik-baik pernikahan ini sampai maut memisahkan kalian."

"Iya, Ummi. Insyaa Allah, Razi dan May sudah mendapat banyak pelajaran dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama kedepannya. Insyaa Allah kami berdua berjodoh hingga akhirat nanti." Razi turut menjawab sambil mengusap punggung Maira yang sedang tersedu-sedan.

"Aamiin. Do'a Ummi selalu terucap untuk kalian berdua. Sudah ah, May. Pengantin jangan nangis melulu." Winda terkekeh pelan sambil melepas pelukannya lalu mengusap pipi Maira yang tengah basah.

"Kak May nangis juga nggak apa-apa kali, Ummi sayang. Kan nggak pake riasan. Namanya juga pengantin, wajar kalo baper." Asha yang berdiri di belakang umminya menimpali.

Kali ini wajah Maira tidak penuh dengan riasan ala pengantin seperti di akad pertamanya. Maira tampil sangat sederhana, hanya menggunakan sebuah tunik, wide-pants dan hijab instan. Disertai pulasan bedak seadanya dan sapuan tipis lip-tint milik Asha.

Maira tidak merasa perlu menghias diri secara berlebihan. Karena tujuan utama acara ini hanya untuk mengesahkan kembali hubungan mereka yang terputus karena talak 1 yang jatuh padanya dan sudah melewati masa iddah.

"Ya Allah, May. Maafin bunda ya, Nak. Bunda benar-benar minta maaf sama kamu. Bunda terlalu memaksakan kehendak sama kamu dulu. Gara-gara keegoisan bunda, hidup kamu jadi begini. Maafin bunda, ya." Kini giliran Fita yang mendekap erat putri kesayangannya itu. Derai air matanya tumpah begitu saja. Dan lagi-lagi Maira turut berlinang air mata. Dilepasnya dekapan sang bunda, lalu Maira berjongkok  memeluk kedua kaki sang ibu yang telah melahirkannya ke dunia. Fita terkejut dengan tindakannya. Ini kali pertama dalam hidupnya putrinya itu mendekap erat kakinya.

"Nggak, Bunda nggak salah. May yang salah, Bun. May yang salah. May minta maaf, Bun. May sudah sering nyakitin Bunda dan Ayah. May bikin Bunda dan Ayah kecewa."

Fita menariknya untuk berdiri. May merasa kakinya melemah, seperti tak mampu menopang tubuhnya. Kali ini ia setuju dengan ucapan adik iparnya tadi. Sepertinya ia sedang menjadi pengantin baper. Rasa haru sekaligus rasa rindu yang menggebu-gebu karena telah berpisah selama setahun dengan keluarganya, bersatu-padu di dada. Ia kembali menghambur masuk dalam pelukan sang bunda.

"Sayang, Ayah dan Bunda bangga banget sama kamu. Kamu berbakti pada Ayah dan Bunda. Kamu sudah berhasil menoreh prestasi di keluarga kita. Jadi, jangan bilang begitu. Terus, kalau ada yang dirasa sedih, berat, jangan segan-segan cerita sama Ayah dan Bunda, atau Malik. Kami ini orangtua kamu. Malik juga, adik kamu itu sudah dewasa lho. Kamu bisa jadikan dia teman curhat. Kami ini keluargamu, yang selalu menyayangimu tanpa syarat. Apapun yang terjadi sama kamu dan Malik, apapun kesalahan yang kalian perbuat, tidak akan menyurutkan kasih sayang Ayah dan Bunda."

"Bunda ... jadi bikin tambah baper, nih!" rengek Maira. Tangisnya mulai mereda, pelan-pelan berganti senyuman. "Iya, bocah nakalnya Bunda itu lebih dewasa dibanding putri Bunda yang sok dewasa tapi kekanak-kanakan ini." Maira menertawakan dirinya sendiri.

Fita mengurai pelukannya. "Anak-anak Bunda sudah dewasa semua, kok. Ya kamu, ya Malik." Fita mencubit hidung Maira yang sudah memerah itu. "Belajar jadi istri yang baik ya, May. Ingat, kamu sudah jadi tanggung jawab suami kamu sekarang. Selalu hormati suami kamu, se-menyebalkan apapun dia. Turuti perkataan suami kamu, selama itu baik, meskipun bertentangan dengan keinginanmu. Dan ingat, menikah itu adalah kompromi. Kompromikan semuanya. Jangan memaksakan maunya kamu apa. Jangan me —"

"Iyaaa, Bunda. May tau, kok!" potong Maira karena merasa gemas dengan wejangan panjang bundanya yang terasa tak berujung.

Fita tersenyum sambil manggut-manggut. Ia percaya kali ini putrinya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

-----------

"Hah? Kamu beneran harus balik ke kantor? Aku kira tadi kamu bercanda."

"Ya ampun, Mas. Aku serius kalo soal yang satu itu. Ada laporan yang harus aku submit ke pusat malam ini juga."

"Jadi, kamu bakal ngabisin malam pengantin kita di kantor? Ninggalin aku sendiri di sini?" Razi menatap dengan pandangan memelas.

Maira yang sudah bersiap-siap keluar kamar langsung berbalik mendekati suaminya yang duduk di atas ranjang. Wajah sayunya tengah menunduk menatap karpet yang mengalasi ranjang dalam kamar hotel.

Maira mengangkat kedua tangannya guna menyentuh pipi Razi, lalu mengarahkan wajahnya hingga sejajar. "Sayang, aku nggak lama kok. Lagian masa kamu jauh-jauh kesini aku anggurin."

Sikap tak terduga istrinya itu sontak mengejutkannya. Membuat detak jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Padahal sebelumnya ia sempat berpikir Maira mungkin akan membalasnya dengan kalimat pedas, seperti misalnya, "Gantian, dong! Dulu kamu juga ninggalin aku  di malam pertama kita. Buat berduaan sama mantan istri." Tapi ternyata sebaliknya, Maira justru berkata dengan lembutnya. Terselip rasa sesal karena sudah berburuk sangka terhadap istri sendiri.

Razi menatap lurus tepat di manik mata istrinya. Kedua tangannya balas menyentuh pipi Maira. Lalu menyatukan dahi mereka hingga saling bersentuhan.

"Ya sudah, aku ngalah. Tapi, aku  antar balik ke kantor, ya. Dan aku nggak mau ditolak. Aku harus menjamin keselamatan istriku."

Maira tertawa kecil lalu bibirnya naik mengecup dahi sang suami.

"Iya, deh! Suamiku yang ganteng ini boleh nganterin aku sampai kantor."

Senyum sumringah bahagia terulas di wajah Razi. Tangan kanan Maira menarik tangan kirinya, menuntunnya untuk berdiri. Sambil saling melempar senyum, keduanya berjalan bergandengan tangan keluar kamar.

"Tumben kamu nggak ngatain aku lebay, gombal, rese'."

"Ooo ... jadi kamu maunya dibegitukan?" Matanya tengah memicing pada sang suami.

"Aku sih nggak masalah kamu begitukan juga. Tapi, aku lebih senang kamu yang bersikap lembut seperti ini. Nggak marah-maraaah terus."

"Iya, iya. Maaf, aku selama ini udah sering bersikap kasar sama kamu. Mungkin sikapku itu semacam ... mekanisme pertahanan diri aku ke kamu?" ucapnya tampak ragu-ragu.

Razi mengangguk-anggukkan kepalanya, menyetujui pernyataan istrinya itu.

"Salahnya aku. Aku duluan yang mulai menabuh genderang perang dingin terhadap kamu. Jadi wajar kalau kamu bersikap antipati. Aku yang harus minta maaf, karena sudah bikin kamu nggak nyaman dan tersakiti selama ini." Razi merasa gusar mendengar kalimatnya sendiri.

"Ya sudah, kita sama-sama salah. Aku salah, kamu salah. Tapi, kata temanku ... kesalahan itu memang harus ada, supaya kita bisa lebih baik lagi di masa depan. Coba kalau manusia nggak pernah bikin kesalahan, nggak mungkin jadi manusia yang maju di masa depan. Pasti hidupnya monoton, gitu-gitu aja. Nggak ada perkembangan."

Lagi-lagi Razi mengangguk-anggukkan kepalanya. Menyetujui pemikiran istrinya. Atau lebih tepatnya, pemikiran dari istri temannya.

"Tapi Sayang, manusia itu memang biangnya salah. Karena nggak ada manusia yang sempurna. Kan sempurna cuma milik Allah."

"Oh iya, ya. Bener juga. Emang nggak ada manusia yang nggak pernah bikin salah, ya. Nabi aja pernah salah. Apalagi manusia biasa seperti kita yang dosanya seluas lautan."

"Pinterrr! Istri siapa, sih?" Razi mencubit pipinya dengan gemas.

"Iiih, sakit Mas!"

Setelah mendengar protes Maira, Razi mengusap pipi yang dicubitnya tadi dengan lembut.

"Maaf, soalnya kamu gemesin. Aku jadi nggak bisa nahan diri."

Maira melepaskan gandengannya, lalu melangkah mundur menjauh sembari menghadap Razi.

"Ya udah kalo gemes gitu ... daripada dicubit, mendingan ..." Maira menggantung kalimatnya. Membuat Razi penasaran.

"Mendingan apa?"

"Mendingan ... dicium aja!" Lalu Maira melesat berlari cepat.

Seringai nakal muncul di wajahnya lalu ia berusaha mengejar langkah istrinya itu. You ask for it!

Usai bermain kejar-kejaran layaknya sepasang anak kecil, akhirnya keduanya sampai di kantor Maira yang memang lokasinya tidak terlalu jauh dari hotel tempat Razi dan keluarga mereka menginap.

"May, finally you're here! Where are the population records?" ujar Pi Nun tanpa basa-basi pada Maira yang baru saja mendudukkan diri di belakang meja.

"Oh, right! I've collected all the numbers. And keep those all in one folder." Maira menyerahkan sebuah mini-drive pada Pi Nun yang langsung menerimanya.

"I need those numbers immediately. Where have you been?" tanya Pi Nun cepat sambil menusukkan mini-drive itu pada lubang USB di laptopnya yang memang dalam status stand by di meja sebelah.

"Getting married," jawab Maira dengan lugas.

Sontak Pi Nun menoleh pada rekan kerjanya itu dengan tatapan tak percaya. "You're joking, right?"

Maira tidak menjawabnya. Cukup mengangkat jari manisnya untuk memamerkan cincin yang tengah melingkar di jarinya. Cincin itu bukan cincin dari pernikahan pertamanya. Razi memberinya satu set perhiasan baru, termasuk cincin yang dihiasi beberapa batu kecil putih itu.

"Oh ... My ... God! You really are married? With who?"

"With me."

Pi Nun menoleh ke arah pintu. Memperhatikan Razi yang sedang melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Dilihat dari ekspresi wajah Pi Nun yang membuka mulutnya, bisa dipastikan ia cukup terpana dengan penampilan fisik Razi.

"You? Who are you?"

"You can call me Razi. I am May's husband." Razi membungkukkan badannya, berkenalan dengan cara orang Jepang.

"Mas, dia orang Thailand, bukan Jepang," sahut Maira berusaha memberitahukan namun dengan mata dan tangan yang sibuk di laptop.

"Oh, i'm sorry. I don't know if —"

"It's okay! I already got used to it. People usually think i'm Japanese due to my little eyes. By the way, you can call me Nun. I have a long and hard-to-spell's name. So, just call me Nun," tukas Pi Nun dengan tegas setelah memotong kalimat pria itu.

"Pi, he is ROBOCOP!" sambung Maira dengan santainya sambil mengemil edamame favoritnya.

Dan lagi-lagi mulut Pi Nun menganga lebar. Tidak menyangka Maira nekat menikahi pria asing yang baru saja dikenalnya lewat dunia maya. Mungkin sesekali ia harus mencoba mengikuti langkah May dalam mencari pendamping hidup di umurnya yang sudah tidak lagi muda. Lewat dunia maya.

Razi hanya tersenyum kecut mendengar nama ROBOCOP disebut-sebut.

"Sudah berapa orang yang kamu ceritain soal ROBOCOP?" tanya Razi  tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Emangnya aku mulut ember! Kamu harusnya berterima kasih sama Pi Nun. Dia punya andil besar sama hubungan kita." Maira tersenyum miring.

"Hm?" Razi bingung. Kedua alisnya bertaut.

"Gosh, i can't believe you really are married to a stranger." Pi Nun yang beberapa detik yang lalu hanya bisa menebak-nebak arti percakapan keduanya, kini ikut angkat bicara.

"He's not a stranger, Pi. Long story short, he was my ex-husband, disguising as my friend's long-mate."

Dan mulut Pi Nun menganga untuk kesekian kalinya. Tidak menyangka kalau rekan kerjanya ini ajaib. Bagaimana tidak ajaib? Menikah di sela-sela waktu kerja dengan seorang pria asing dari dunia maya yang ternyata adalah mantan suaminya.

"Ehm ... May, sebaiknya aku nunggu di luar lobi saja. Takut ganggu kerjaan kamu, nanti jadi tambah lama." Razi menyadari suasana menjadi semakin tidak nyaman akibat tatapan aneh Pi Nun terhadapnya.

Setelah melihat anggukan kepala Maira yang menyetujui, Razi keluar dari ruangan tersebut diikuti oleh tatapan mata Pi Nun yang tetap tertuju padanya hingga punggungnya benar-benar tak terjangkau oleh penglihatannya.

Gasp! Khun Razi loo maak!¹

--‐--------------

"Selama ini kamu tinggal di sini?" tanya Razi sembari mengedar pandangan ke sekeliling isi apartemen Maira.

"Iya. Kenapa? Kecil ya? Setidaknya ada dua kamar di sini. Jadi kalo ada yang mau nginep-nginep gampang."

Mata Razi membelalak tajam, menyorot ke wajah istrinya yang tengah sibuk mengeluarkan belanjaan di dapur. Dari kantor Maira tadi, keduanya mampir ke supermarket karena Maira bersikeras ingin memasakkan makan malam di apartemennya. Tawaran Razi untuk makan malam di luar, ditampiknya.

"Memangnya siapa saja yang sudah pernah menginap di sini?"

"Yaaa ... adalah," jawab Maira tersenyum nakal.

"Siapa? Laki-laki atau perempuan?" Sorot matanya semakin tajam menuntut jawaban jujur.

"Laki-laki ada, perempuan ada."

"Ramean?"

"Enggaklah. Mana cukup apartemen ini kalo dihuni banyak orang."

Mau tidak mau prasangka buruk kembali menghantui pikiran Razi. "Ehm, Ruri cerita kalau Dida pernah nyamperin kamu di sini."

"Heh? Eh, i—iya dia pernah datang ke Kyoto. Waktu itu dia lagi ada urusan di Osaka. Jadi sekalian mampir."

"Apa laki-laki itu Dida?" Razi memalingkan wajahnya yang terlihat kesal.

"Maksudnya?" tanya Maira dengan polosnya. Seakan tidak mengerti arah pertanyaan suaminya.

"Dida laki-laki yang pernah menginap di sini?" tanyanya dengan nada menuduh.

Maira terkekeh pelan setelah mengamati reaksi suaminya yang terlihat ... cemburu?

"Kamu pikir aku nggak ngerti batasan antara pria dan wanita?"

"Jadi bukan Dida?"

Maira menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Razi.

"Jadi ... siapa?"

Maira yang tidak dapat menahan tawanya langsung berjalan mendekatinya yang sedang duduk menghangatkan diri dalam kotatsu.

"Kamu cemburu?"

"Wajar nggak kalau aku cemburu?" Razi menengadahkan kepalanya menghadap istrinya yang sedang membungkuk.

Maira mengacak-acak rambut suaminya itu dengan gemas. "Kalau sekarang kamu cemburu, wajar. Kalau sebelumnya kamu cemburu, nggak wajar. Kan sebelum ini, kamu bukan siapa-siapa aku."

Ucapan istrinya itu benar adanya. Ia tidak memiliki hak untuk menginterogasi istrinya atas segala sesuatu yang terjadi sebelum mereka menikah.

Maira yang sedang berjalan balik ke dapur menghentikan langkahnya sejenak lalu menoleh ke belakang. "Satu-satunya laki-laki yang pernah nginep di sini cuma Malik, kok."

Razi mendesah napas lega. Lalu menertawakan dirinya sendiri yang sudah berpikiran konyol.

Malam ini Maira menghidangkan salah satu makanan favoritnya. Takoyaki dan tumis daging ala Jepang atau disebut beef teriyaki.

"Istriku makin pintar masak, nih! Alhamdulillah, kenyang." Razi mengusap-usap perutnya yang sudah terisi penuh.

"Kamu laper apa doyan, sih? Ngabisin takoyaki sebanyak itu ... ckckck." Maira berdecak kagum mengomentari suaminya yang sudah menghabiskan sebagian besar makanan di atas meja.

"Kalau kamu masakin aku begini tiap hari, bisa-bisa aku beli baju baru terus."

"Kamu tuh nggak gampang gemuk. Malahan kayaknya sekarang kamu kurusan. Nggak kayak dulu." Maira memperhatikan postur suaminya yang masih mengenakan sweater itu dengan seksama.

Razi tidak menampik pendapat Maira. Pasalnya, beratnya memang turun 5 kg sejak menikah dengan Alma. Bukan Alma tidak mengurus makanannya dengan baik. Razi yang memang jarang makan malam di rumah karena sibuk menghindari mantan istrinya itu.

"Hmmm ... gimana nggak kurus kalo kepikiran kamu terus."

Biasanya jika Razi sudah usil menggodanya seperti ini, Maira akan mencak-mencak menyebut dirinya lebay, gombal, rese'. Tapi tidak kali ini. Wanita ini hanya tersenyum saja mendengarnya.

"Ehm, aku kan udah janji ya nggak bakal marah-marah nggak jelas lagi kalo kamu mulai ngegombal. Walopun emang gombal kaaaan. Tapiii ... aku akan lebih menghargai kalo kamu jawab setiap pertanyaanku dengan jujur."

Senyum Razi semakin mengembang mengetahui perubahan sikap Maira yang semakin bijak dalam menyikapi. "Aku nggak gombal, Sayang. Memang benar, aku tuh mikirin kamu terus-terusan. That's the fact. Tapiii, ada kejujuran lain yang mungkin nggak bisa aku ceritain. Dan aku mohon kebijaksanaan kamu untuk mengerti akan hal itu. Karena menyangkut aib rumah tanggaku yang lalu."

Setelah Razi menyebut-nyebut perihal 'aib rumah tangga yang lalu', Maira segera manggut-manggut mengerti. Urusan rumah tangga suaminya dengan Alma, biarlah menjadi urusan mereka. Jika menurut Razi, masalah itu tidak perlu diketahui oleh Maira, ia tidak akan memaksa, atau bersikap kekanak-kanakan seperti dulu. Ngambek.

Sudah beberapa bulan ini, Maira rajin mengikuti kajian islami di Kyoto Islamic Cultural Center. Beberapa kali temanya membahas tentang rumah tangga dan pernikahan. Dan konten dari kajian itulah yang berpengaruh besar terhadap perubahan sikap dan prilaku Maira.

"Sayang, aku masih penasaran. Kenapa kemarin kamu tahu aku mau ke restoran itu?" Akhirnya Razi berhasil melontarkan pertanyaan yang mengusiknya sejak kemarin malam.

"Kan aku udah bi —"

"Jangan bilang karena kontak batin, kebetulan, atau kita berjodoh. Kita memang berjodoh. Tapi aku tahu pertemuan tadi malam itu disengaja," potong Razi sambil mendengus.

Maira tertawa geli. Terkadang rasanya mudah untuk membohongi pria ini, terkadang rasanya susah.

"Malah ketawa. Aku nanya serius lho, Sayang," tuntut Razi karena semakin penasaran.

"Oke, oke. Iya kok, bukan kebetulan. Aku memang sudah tau kamu mau ke kedai itu. Sebenarnya aku juga sesekali makan di tempat itu. Tapi yang tadi malam memang aku yang sengaja datang kesitu."

"Kamu tahu dari mana?"

"Sebenarnya ... tiga hari yang lalu, Al telpon aku."

"Hah? Al?" Wajah Razi mendadak pucat.

"Iiih, kamu tuh udah takutan aja! Dia nggak ngomong yang macam-macam, kok. Malahan, Al minta maaf sampai nangis-nangis."

"Kenapa Al minta maaf?" Pandangan Razi menyelidik. Semakin penasaran menunggu cerita Maira.

"Ya karena ... dia ngerasa bersalah udah ngerebut kamu dari aku. Katanya dia nyesel banget. Eh, aku tuh bingung deh! Sebenarnyaaa ... yang bener yang mana sih? Aku, yang ngerebut kamu dari dia? Atau dia, yang ngerebut kamu dari aku?" Maira menggigit bibir bawahnya.

"Memangnya sekarang penting untuk membahas itu lagi? Toh, pilihanku tetap jatuhnya ke kamu juga. Aku lebih penasaran gimana ceritanya kamu tahu aku mau datang ke kedai di Gion itu?"

"Oh iya. Jadi belok kan omongannya." Maira tertawa kecil. "Nah, terus Al bilang tuh. Katanya dia tau kamu ada rencana mau kesini nemuin aku. Katanya mau nemuin aku sebagai A'an. Ya aku bilang aja, aku udah tau kalo A'an itu kamu. Ya ampun, ngapain juga sih kamu nyamar jadi A'an segala." Maira tertawa geli mengingat perbincangannya dengan sang ROBOCOP.

Razi menghembuskan napas sambil memutar bola matanya. "Tuh kan, belok lagi."

Tawanya seketika terhenti lalu kembali melanjutkan ceritanya. "Iih, intermezzo doang sebentar. Ya terus, Al cerita kalo kamu tuh punya warung makan favorit di sini. Katanya jaman kamu kuliah dulu, suka mampir ke kedai di Gion itu. Jadi Al yakin banget, kalo tempat yang pertama kali bakal kamu tuju, pasti kedai yakiniku kemarin. Terus Ruri juga sudah menginfokan jadwal keberangkatan kamu. Jadi yaaa ... aku coba kalkulasi waktu. Kemungkinan besar kamu akan makan malam di tempat itu. Sebenarnya aku sudah stand by di sana dari sore. Nungguin kamu nggak dateng-dateng, mulai bosen juga. Tadinya aku udah bosen nunggu sampe jamuran di situ. Pas aku niat mau cabut, eeeh liat ada kamu di barisan antrian. Jadi aku balik lagi ke mejaku. Surprise juga, sih!"

Razi tak henti-hentinya tersenyum senang. Tidak menyangka jika Maira sudah rela menunggu kedatangannya berjam-jam seperti itu.

"Kok senyum-senyum gitu, sih? Udah ah, nakutin tau!" Maira berusaha menutupi rona-rona kemerahan di pipinya.

Senyum suaminya itu terlalu dahsyat efeknya bagi akal sehatnya. Apalagi status mereka sekarang sudah benar-benar suami istri. Pikiran-pikiran nakal tentunya mampir dalam kepala Maira. Maira beranjak dari kursinya menuju tempat cucian piring tepat di belakang kursinya. Ia berusaha mengalihkan pikirannya yang mulai menjurus kemana-mana.

"Hmmm ... jadi makin cinta sama kamu." Maira terperangah ketika mendapati kedua tangan Razi sudah melingkari perutnya. Razi menundukkan wajahnya lalu menyandarkan dagu di bahunya. Hembusan napasnya terasa menggoda di kulit leher Maira. Maira menyesal telah melepas jilbabnya. Kalau tahu suaminya akan menggodanya seperti ini, lebih baik jilbabnya itu tetap ia kenakan.

"Mas, bisa jauh-jauh dulu nggak? Aku lagi nyuci lho, nanti nggak konsen," ujar Maira dengan jujur. Jika imannya sudah tergoda, bisa-bisa piring-piring itu jatuh berhamburan.

"Aku baru tahu nyuci piring butuh konsentrasi," balas Razi dengan suara lembut. Sesekali ia mengecup leher Maira di beberapa bagian. Tangan kanannya terulur untuk melepas ikat rambut yang melilit rambut panjang itu. Razi lebih suka melihat rambut-rambut itu tergerai jatuh melewati punggung istrinya.

Maira menelan ludah berkali-kali. Tangannya yang sudah gemetar, berusaha untuk mengeratkan genggaman pada piring-piring yang sedang dibilasnya.

"Ehm ... Mas, kita belum sholat Isya, lho. Belum mandi juga. Terr—engh—M—Mas ..." tak sadar Maira mengerang akibat sentuhan suaminya di beberapa titik tubuhnya. Kecupan Razi naik ke atas wajahnya yang tengah menengadah menahan hasrat.

"M—M—Masss ..."

"Hm?" Razi tetap meneruskan aktivitasnya. Dekapannya semakin erat.

Akal sehat Maira mulai menurun. Sebagian terdesak oleh hasratnya yang mulai naik. Namun sebagian akal sehatnya masih mampu bekerja. Maira mengumpulkan segenap tenaga untuk berbalik lalu mendorong suaminya mundur. Dengan napas tersengal, ia menjauh. "Sabar, Mas. Sholat dulu. Lagian ... ehm ... emang kamu mau ngelakuin di sini? Katanya kita mau balik ke hotel."

Razi yang sedang diselimuti oleh panggilan libido itu mengangguk pelan. "Ehm ... iya. Kamar mandi mana?"

"Hah?"

"Kamar mandi!" Razi terdengar kesal.

"Eh ... i—itu, di sebelah kamarku." Tangan Maira terangkat menunjuk ke arah kanannya.

"Aku numpang mandi!" ucap Razi sambil berlalu menuju kamar mandi.

"Eh, tapi kan kamu nggak bawa baju ganti, Mas!"

--------------

"Assalamu'alaikum warrohmatullah." Razi mengucap salam seusai melaksanakan sholat Isya dan sholat sunnah pengantin 2 raka'at. Maira sebagai makmum, mengikuti gerakannya.

Razi mengulurkan tangannya untuk dicium takzim oleh Maira. Lalu wajahnya turun untuk mengecup dahi Maira dengan penuh cinta kasih. Tangan kanannya terangkat menyentuh ubun-ubun kepala Maira yang masih tertutupi mukena.

"Bismillah. Allahumma inni as-aluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha alaih, wa a'udzu bika min syarriha wa syarri ma jabaltaha alaih. Ya Allah, aku meminta kebaikannya dan kebaikan sifatnya yang dia bawa. Dan aku berlindung dari keburukannya dan keburukan sifat yang dia bawa." Razi melantunkan do'a itu dengan pelan dan khidmat. Sementara mata Maira terpejam, meresapi do'a itu dalam hatinya.

Setelah menghadiahkan kecupan di pipi kanan dan kiri Maira, Razi kembali beringsut menduduki sajadahnya yang masih tergelar. Ia melantunkan dzikir dan sholawat. Memohon do'a keselamatan untuk kedua keluarga mereka. Maira meng-aamiin-kan dalam hati. Tak sadar tetes-tetes bening mengalir dari sudut matanya. Perasaannya mengharu-biru.

"Jadi, sekarang kita balik ke hotel?" tanya Maira sembari melipat mukenanya.

"Kamu mau di hotel aja?" tanya Razi dengan mengulas senyum kecil.

"Ya kan sayang, kamu udah bayar mahal-mahal masa nggak ditempati."

"Dibilangin, duitku habis buat kamu juga aku rela."

"Mas, aku bukan cewek matre. Tapi aku juga nggak mau punya suami miskin. Hidup juga harus realistis," imbuh Maira sambil kembali mengenakan jaketnya.

"Lho, kamu mau kemana?" tanya Razi heran dengan dahi mengernyit.

"Balik ke hotel."

"Beneran ke hotel?" Sejenak tadi ia pikir istrinya hanya bercanda saja. Ternyata omongannya itu serius.

Maira yang sudah berada di depan pintu melongok ke belakang. "Ya iyalah. Lagian keluarga kita ada di sana semua. Masa kita di sini?"

"Yah, aku pikir ... untuk malam ini kita bisa di sini saja buat menghindari ... uhuk ... gangguan."

Razi sengaja menyamarkan perkataannya dengan batuk yang dibuat-buat.

Maira menghempas napas pelan. Raut wajahnya mendadak sedih. "Tapi kan ... besok kamu dan semuanya mau balik ke Jakarta."

Razi memperhatikan ekspresi Maira dengan seksama.

"Aku ... aku kan bakal kesepian lagi. Malam ini ... aku pingin ngumpul sama semuanya."

Razi berpikir keras. Berusaha menebak-nebak. Istrinya ini memang benar-benar menginginkan itu, atau hanya sekedar modus untuk menghindarinya? Tadi Maira beralasan tidak mau menyia-nyiakan hotel yang sudah disewa dengan harga mahal. Tapi sekarang, alasannya ingin berkumpul dengan seluruh keluarga. Intinya, istrinya ini bersikeras ingin kembali ke hotel.

Kalau dipikir-pikir, kedua alasannya itu masuk akal. Maira memang bukan jenis wanita yang suka menghambur-hamburkan uang, dan ia memang merindukan berkumpul dengan keluarga yang sudah setahun terpisah dengannya. Jadi, apa salahnya membahagiakan seorang istri dengan mengikuti kemauannya?

"Ya sudah. Kita balik ke hotel. Aku pinjam baju kokonya Malik nggak apa-apa?" Razi menunduk memperhatikan baju yang tengah dikenakannya. Berhubung ia tidak membawa baju ganti tadi, Maira pun meminjamkan baju koko milik Malik yang tertinggal di kamarnya.

"Nggak papa. Malik juga bisa beli lagi, kok. Yuk!"

--------------

"Tuh kan, apa aku bilang. Jam segini, pasti sudah pada tidur. Apalagi ummi dan Asha. Mereka selalu tepat waktu kalau tidur. Karena dini hari pasti bangun untuk sholat lail," ujar Razi sambil menutup pintu kamarnya.

Akibat tertinggal bis, alhasil mereka harus berjalan menuju pool taksi terdekat. Karena setelah menunggu selama lebih dari setengah jam, tidak ada satu pun taksi kosong yang melintas di jalanan. Dan waktu menunjukkan pukul 21.20 saat mereka tiba di hotel. Rasanya sungkan jika mengganggu kedua orangtua mereka di jam-jam istirahat seperti saat ini.

"Kamu sih, tadi jalannya terlalu nyantai!" Maira merengut, menuding suaminya.

"Lho, kok aku? Tadi kan kamu yang narik-narik aku buat lihat-lihat display pajangan di toko."

"Iih, itu kan bentaran doang. Kali kamu mau bawa oleh-oleh merchandise."

Razi tertawa pelan sembari menggelengkan kepala. "Emangnya siapa yang mau aku kasih oleh-oleh? Ibuku di sini, adikku di sini, istriku di sini, mertu —"

"Iya, iya. Udah, ah! Ntar tambah bad-mood aku!" Maira merajuk, menghentakkan kakinya.

"Sayang, katanya nggak mau marah-marah lagi." Dan lagi-lagi Maira merasa kecolongan. Serangan itu datang dari belakang. Kedua tangan suaminya tengah melingkar diperutnya.

Dan kali ini jilbabnya masih terpasang dengan sempurna di kepalanya. Sehingga tak mungkin bagi suaminya itu untuk kembali meluncurkan serangan bertubi-tubi di lehernya.

"Ehm, Mas ..."

"Hm?"

"A—aku lupa bawa baju ganti, lho."

Razi melepaskan pelukannya lalu bergeser menghadap istrinya. "Kamu bercanda, kan?"

"Enggak."

"Terus, tas ransel kamu penuh begitu isinya apa?"

Maira menyengir kuda. "Kerjaan."

Razi melangkah mundur lalu menjatuhkan badannya di atas ranjang. Matanya terpejam lelah. "Kamu sengaja, ya?"

"Sengaja apaan?"

"Sengaja menunda — ya, sudahlah." ujar Razi lemas.

"Kok kamu udah lemes aja, sih?" Maira merangkak naik di atas tubuhnya yang terlentang. Sontak matanya terbuka, terkejut dengan ulah istrinya itu.

Maira menundukkan wajah mendekat. Menatap dalam tepat di bola mata Razi.

"May ..."

"Jadi ... ditunda aja, nih?" Maira menyentuhkan satu telunjuknya di dahi Razi. Lalu perlahan jarinya bergerak turun, menyentuh setiap bagian wajah Razi. Dan berhenti tepat di tengah bibirnya.

Jantung Razi bekerja lebih keras untuk memompa darah ke setiap pembuluhnya. Matanya hampir tak berkedip memandang wajah istrinya yang berjarak sangat dekat itu.

Tiba-tiba Maira menjauhkan wajahnya. Dibukanya jilbab instan yang menutupi kepalanya lalu dilempar ke sembarang arah. Ikat rambut yang menahan gelung rambutnya dibuka dengan cepat, mengakibatkan gerakan yang menurut Razi terlihat sensual. Ditambah lagi dengan efek dari kibasan rambut yang terurai di punggungnya.

Razi berkali-kali berusaha menelan air liurnya yang terasa padat.

Maira duduk di atas tubuh Razi. Ia membuka sweater berwarna broken-white yang membalut tubuhnya. Menyisakan atasan berupa kaos yang jelas-jelas menampakkan bentuk tubuhnya. Dan bawahan celana denim yang membentuk dengan sempurna di kakinya yang jenjang. Razi mengangkat kedua tangannya menuju pinggang Maira. Lekuk tubuh Maira terpampang dengan jelas di depan matanya. Maira sukses membangkitkan hasrat Razi menjadi semakin menggebu.

"Tapi ... kamu bilang ..." Razi menelan ludahnya. "Baju ganti? Gimana dengan baju ganti kamu?"

Maira tersenyum miring. "I'm just messing up with you, my dear husband! Kamu gampang banget nyerahnya."

Razi mendesah lemah sembari kembali memejamkan matanya. "Dari kemarin kamu ngerjain aku terus."

"Soalnya aku capek terus-terusan jadi budak kamu." Perlahan jemarinya bergerak membuka kancing koko itu satu persatu. Razi membiarkannya. Debaran jantungnya semakin kencang.

"Aku maunya kamu ngerasain juga, gimana rasanya jadi budak."

Razi menautkan kedua alisnya. "Budak? Budak apaan?"

Maira menundukkan wajahnya hingga bibirnya berjarak sangat dekat dengan bibir suaminya. Lalu perlahan bibirnya membuka, mengucap setengah berbisik.

"Bu–dak cin–ta."

Razi yang sudah tak dapat membendung desakan hasrat, menarik wajah istrinya mendekat, hingga bibir keduanya saling menyentuh, saling mencecap, saling menarik, saling membelai. Jemari keduanya saling bermain, menikmati sensasi yang ditimbulkan oleh rasa yang bernama cinta.

Malam penghujung musim dingin di Kyoto menjadi saksi penyatuan dua insan yang telah memendam, membenci, merelakan, mencari, dan menemukan kembali rasa yang bernama cinta.

Dan kisah cinta dua insan bernama May dan Aji ini adalah salah satu dari sekian banyak kisah cinta sejati. Kisah cinta yang menemukan cinta. Dan masih banyak kisah cinta sejati lainnya di dunia ini yang masih terpendam bak harta karun yang masih menunggu untuk ditemukan.

FINISH

END

TAMAT

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

EEEH, NGGAK DENG! I'm just messing up with readers 🤭. Rencananya mau bikin extra parts. Mirip2 epilog, gitu. Jd jgn diremove dulu dari reading list ya 🥰