Pagi ini, Maira telah mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Jika sebelumnya ia terbiasa mandiri, kemana-mana sendiri, bahkan belum pernah dalam sejarah hidupnya ia minta dijemput di manapun, tapi tidak kali ini. Hari ini ia meminta bantuan Malik untuk menjemputnya di bandara. Ada alasan dibalik permintaannya ini.
"Mbak, bawa oleh-oleh buatku nggak?" tanya Malik sambil fokus mengendalikan kemudi mobil.
"Oleh-oleh apaan? Kamu juga udah ngerasain semua yang di sana," jawab Maira sembari menutup mulutnya yang tengah menguap. Padahal sebagian besar waktunya di udara dihabiskannya untuk tidur, tapi tetap saja kantuk itu masih terasa.
"Belum semua kali, Mbak. Aku belum nyoba gyokuro, natto, osechi, hanabiramochi, ta—"
"Udah, udah! Kamu malah bikin Mbak jadi tambah ngantuk. Berasa dengerin ceramah kalkulus."
"Emangnya aku dosen!"
"Bukannya kamu emang kepingin jadi dosen?" cibir Maira dengan santainya.
"Mungkin udah nggak," jawab Malik cepat.
"Hah?"
"Ehm ... Jadi ... kita langsung kesana, nih?" Malik memberi kode dengan matanya. Mengabaikan pembicaraan yang berlangsung beberapa detik yang lalu.
"Iya, aku mampir kesana dulu aja, deh! Kamu pulang duluan ke rumah. Nanti aku nyusul. Bilang sama ayah, bunda, aku kesana nanti malam sama Mas Aji."
"Meluncuuurrr!"
Malik langsung menjalankan mobil mini-van itu ke tempat yang dimaksud oleh kakaknya.
Seketika Maira teringat jika ponselnya masih dalam status pesawat. Gawai itu ia keluarkan dari saku cardigan-nya, lalu me-nonaktif-kan mode pesawat itu. Paket datanya langsung bekerja. Sudah hampir satu setengah tahun nomor itu tidak digunakannya. Maira hanya terus-menerus mengisi pulsa untuk mengaktifkan masa berlakunya. Nomor yang sebelumnya ia gunakan di Kyoto merupakan nomor dari provider di sana. Dan ia tidak akan menggunakan kembali nomor itu, selamanya.
Sudah hampir satu hari ia tidak berkomunikasi dengan suaminya. Mungkin saat ini suaminya sedang berpikiran yang aneh-aneh karena nomornya tidak dapat dihubungi. Maira memang sengaja tidak memberitahukan perihal kepulangannya ke Indonesia. Biarlah kepulangannya ini menjadi hadiah istimewa di hari ulang tahun Razi yang jatuh pada hari ini. Maira tersenyum sendiri membayangkan bagaimana kagetnya Razi saat melihat kehadirannya nanti.
Maira berkali-kali menguap. Kantuk itu benar-benar menguasai alam sadarnya, Maira tak sanggup melawan. Perlahan kedua matanya pun terpejam, menuruti keinginan matanya yang lelah.
"Mbak, mbak ... bangun! Udah sampe, nih!"
Maira yang merasa nyawanya masih berada di awang-awang, merasakan tubuhnya diguncang-guncang. Entah kenapa, rasanya berat untuk mengangkat kelopak mata yang masih enggan membuka itu.
"Mbaaak! Mbak Siomay, bangun!"
"Hmmm ..." Maira hanya mampu bergumam dengan mata masih terpejam.
"Ya ampuuun, jangan jadi kebo gini dong, Mbak! Biasanya juga gampang dibangunin."
Melihat kakaknya yang tak kunjung membuka mata, Malik memikirkan satu cara ampuh untuk segera menyadarkan kakaknya itu.
Malik menarik napas dalam, lalu berteriak, "Mbak, mbak, mbaaak bangun! Ituuu ... itu Mas Razi lagi jalan gandengan sama cewek lain!"
"Hm? Biarin aja, ntar juga pergi sendiri ceweknya." Maira menjawab acuh dengan suara parau. Namun matanya masih betah memejam.
Malik melongo melihat reaksi kakaknya yang sama sekali tidak terpancing. "Waaah, kebo beneran!"
"Apa kamu bilang?! Aku kebo?" Maira membelalakkan matanya, tangannya mengambil ancang-ancang untuk meluncurkan serangan adiknya itu.
"Ya'elah, giliran dibilang kebo malah bangun! Giliran suaminya digondol cewek ganjen, cuek aja!" sergah Malik yang tidak habis pikir dengan kakaknya itu.
"Ya iyalah. Cewek ganjen ditendang juga kelar. Lha kalo aku berubah jadi kebo, emangnya bisa disulap biar balik jadi manusia? Lagian kenapa mesti kebo? Emangnya aku sodaranya sapi? Kalo ngomong sama Mbak tuh yang sopan!" Maira hendak menoyor dahi adiknya. Untungnya Malik sempat mengelak, memundurkan wajahnya. Namun sayangnya ia lupa kalau kakaknya itu punya senjata lain. Cubitan mautnya melayang di pinggang Malik.
"Aaawwww! Ampuuuun! Ampuuun!" teriaknya seraya meringis kesakitan.
"Dasar bocah tengil! Awas ya, usil lagi!" peringat Maira dengan telunjuk menunjuk ke atas.
"Iya, iya! Kursus nyubit di mana, sih? Tingkatannya udah sabuk item gitu." Malik mengusap-usap kulit perutnya yang masih terasa nyeri, bahkan memerah.
"Kalo cubitanku level sabuk hitam, kamu udah mati sekarang," jawab Maira sekenanya.
Maira melepas seatbelt yang mengalungi tubuhnya, lalu memutar badan untuk mengambil sebuah tas di jok tengah, berisi oleh-oleh untuk suami tersayangnya.
"Mbak, Malik titip salam ya," ujar Malik sembari menaik-turunkan alisnya.
"Iya, nanti aku sampein ke Mas Aji."
"Idih, siapa juga yang kirim salam buat Mas Razi!"
"Ya terus?" tanya Maira heran.
"Sama itu ... itu lhooo ..."
"Apaan, sih? Ngomong yang jelas, bocah!"
"Bocah, bocah! Udah akil baligh, nih! Mau bukti?" Malik memegang sabuk celananya.
"Hei, jangan jadi bocah kurang ajar! Aku nggak incest!" Kali ini toyorannya tepat mengenai dahi Malik.
"Makanya, jangan ngomong bocah mulu!"
"Iih, buruan deh! Ngomong ga usah belok kanan-kiri! Kirim salam buat siapa?"
"Buat Vira!"
"Hah? Vira?" Maira menggaruk-garuk jilbabnya untuk berpikir.
"Sekretarisnya Mas Razi."
"Yeee, ngaco!" Sekali lagi toyorannya mampir di dahi Malik.
"Astaghfirullah! Mbak, ini kepalaku difitrah lho! Main toyor aja!" protes Malik sengit.
"Tau, ah! Udah ah, mau turun. Thanks ya, adekku yang paling ganteng, narsis, nyebelin, rese', auto-nyenengin!" Rambut Malik diacak-acaknya dengan gemas. Malik tidak memprotes. Ia malah merindukan usapan kakaknya itu di rambutnya.
"Sama-sama, Mbakku yang paling jelek, tomboy, jutek, galak, tukang ngamuk, calon gendut!"
Maira pun sama, ia tidak memprotes ledekan adiknya itu. Memang seperti itulah cara mereka bercengkerama sejak kecil. Aneh memang, cara menunjukkan kasih sayang dengan sebuah ejekan. Dan keduanya sama-sama saling merindukan momen aneh seperti ini.
Maira masuk ke dalam gedung, bersamaan dengan menghilangnya Malik dari area parkiran. Ia mengingat pesan Malik tadi, kantor Razi berada di lantai 9. Terselip rasa bangga dalam hatinya karena suaminya itu mampu berdikari, bahkan untuk menyewa satu lantai di gedung perkantoran yang cukup besar ini.
Sepanjang perjalanannya menuju lantai 9, Maira tak henti-hentinya menyungging senyuman. Jantungnya berdebar tak karuan. Menahan rasa rindu yang membuncah di dada.
Ting! Pintu lift terbuka. Maira menjejakkan kakinya keluar. Terlihat beberapa orang yang tengah sibuk lalu-lalang di hadapannya. Beberapa orang menoleh ke arahnya dan memperhatikan dirinya yang memang terlihat asing. Beberapa orang berlalu dengan sikap acuh. Maira memilih untuk bertanya pada salah seorang wanita berkaca-mata yang berdiri paling dekat dengannya.
"Permisi. Maaf, Mbak mau nanya ruangannya Pak Ra — eh, Pak Arsa — maksudnya Pak Arsan Fahrurazi, di mana ya?" tanya Maira sedikit ragu. Entah nama yang mana yang dipakai para karyawan ini untuk memanggil bos mereka.
"Itu yang di depan situ." Tangannya terangkat menunjuk ke satu tempat lurus dari pandangannya.
"Ooh, yang itu. Terima kasih ya, Mbak," ucap Maira disertai sebuah senyuman yang mampu menyihir beberapa orang pria di sana. Lesung pipitnya tampak dengan jelas.
"Maaf, kalau boleh tahu anda siapa, ya? Ada perlu apa?" tatapan wanita berkaca-mata itu naik-turun mengamatinya.
"May? Kamu ...?
Maira menoleh ke arah suara yang memanggilnya. "Arga? Hai, apa kabar?"
"Alhamdulillah baik. Kapan datang?"
"Baru aja. Nih, mau langsung nemuin orangnya." Maira menunjuk ke arah ruangan Razi dengan dagunya.
"Ooh. Penampilan baru nih ceritanya?" Arga menunjuk ke arah jilbabnya.
"Kenapa? Jelek, ya?"
"Masyaa Allah. Di mana-mana, wanita yang tertutup auratnya itu akan terlihat berkali-kali lipat lebih cantik."
"Masa sih? Bisa aja kamu! Do'ain ya semoga aku bisa istiqomah. Oh ya, kamu ... kerja di sini juga?"
"Enggak. Saya masih di kantor yang lama. Di sini cuma bantu-bantu cleaning service." Arga menyeringai tawa.
Dan derai tawa keduanya disambut dengan pandangan memicing tak suka oleh wanita berkaca-mata tadi.
"Ehm, ehm! Maaf, saya buru-buru. Kalian, silahkan nikmati waktu nostalgia bersama. Saya permisi!" ujar wanita itu dengan dingin lalu mulai berjalan cepat, bermaksud meninggalkan keduanya. Entah kenapa wajahnya terlihat dirundung kesal.
"Eh, kalo gitu aku duluan ya, May! Assalamu'alaikum." Arga berjalan cepat, berusaha mengejar wanita berkaca-mata itu. Bahkan balasan salam dari Maira tak dihiraukan olehnya. Mungkin wanita itu calon istrinya. Begitu tebakan Maira.
Maira pun kembali melangkahkan kaki menuju ruangan Razi. Lalu berhenti tepat di depan pintu yang tengah tertutup itu. Diliriknya meja sang sekretaris di sebelah kirinya sedang tidak berpenghuni. Mungkin sedang ke toilet. Begitu tebakannya.
Maira sedikit merapikan penampilannya sebelum akhirnya mengetuk pintu itu sekali, lalu langsung membukanya dengan senyum lebar terbentang.
"Assalamu'alaikum. Surp —" Maira ternganga melihat pemandangan itu. Matanya membelalak lebar.
Di ujung ruangan itu, seorang wanita muda dengan rok midi yang ketat dalam posisi membungkuk, sedang berusaha membuka kancing kemeja Razi yang tengah duduk di kursinya.
"Wa'alaik — May?!" Sontak Razi menyingkirkan tangan yang tengah menjamah dirinya lalu berdiri terkejut.
Maira terdiam di posisinya. Tak mampu berkata-kata. Pemandangan itu sungguh mengerikan efeknya bagi hatinya. Maira meremas gagang pintu kuat-kuat untuk menguatkan kakinya yang terasa gontai, seperti sedang tak menginjak bumi.
"Anda siapa berani-beraninya masuk tanpa ijin? Tunggu diluar!" hardik wanita muda itu dengan lancangnya.
Whaaat?! Maira berusaha bersikap elegan. Perlahan kakinya melangkah mendekat sambil menyilangkan kedua tangannya di depan. "Kamu siapa berani-beraninya nyentuh suami orang? Kamu yang harus keluar!"
"Vira! Keluar!" Razi pun ikut-ikutan menyuruhnya keluar.
"Pak, beneran dia istri Bapak?" Bukannya menuruti titah bosnya, Vira justru bergeming di tempatnya, bersikap superior.
"Memang dia istri saya." Razi menggeram melihat tingkah sekretarisnya yang tidak sopan itu.
"Saya nggak percaya! Bapak pasti bohongin saya." Vira menolak untuk percaya. Matanya menyiratkan kemarahan.
Oh My God, nih bocah semprul! Maira memaki dalam hati.
"Hah? Buat apa saya bohongi—"
"Ooh, jadi kamu mau bukti kalo saya benar istrinya? Iya?" Maira berjalan mendekati suaminya. Lalu ...
Cuuup! Ciuman singkat antar dua bibir itu terjadi tepat di depan mata sang sekretaris.
Mulutnya menganga lebar. Matanya mulai berkaca-kaca. "Bapak jahat!"
Vira berjalan cepat melewati keduanya lalu keluar membanting pintu.
Mendengar suara bantingan itu, Maira buru-buru menarik bibirnya lalu mendorong Razi agar menjauh.
"Kamu gila apa, Mas? Bisa-bisanya miara sekretaris yang model begitu? Udah ngapain aja kamu sama dia?" tuduh Maira penuh amarah.
"Astaghfirullah, Sayang! Aku — kita nggak ngapa-ngapain."
"Kita? Ooh, jadi sekarang kamu menyebut 'kita' dengan sekretarismu? Bukan dengan aku?"
"Ya ampun, maksudku —"
"Aku jauh-jauh datang kesini mau kasih surprise buat kamu, ternyata malah kamu yang kasih surprise buat aku."
"Sayang, denga —"
"Enggak! Aku nggak mau dengar!" Maira berjalan cepat hendak membuka pintu itu, namun dengan cepat Razi mencegahnya, mendorong pintu yang baru sedikit terbuka itu hingga benar-benar menutup. Lalu memutar kuncinya dari dalam. Razi memenjarakan Maira yang tengah tersandar dengan kedua tangannya.
"Mau ngapain kamu?!" tanya Maira masih penuh amarah.
Sementara Razi menatapnya dengan penuh ketenangan. "Aku kangen banget sama kamu, Sayang," ujarnya dengan suara lembut. Suara yang mampu meluluh-lantakkan pertahanan Maira.
"Gombal!" Maira memalingkan wajahnya. Berusaha menghindari tatapan yang mampu menyihirnya.
"Katanya nggak mau bilang aku gombal lagi." Sebelah tangan Razi terulur menuju pinggangnya lalu menariknya mendekat, hingga tubuh mereka saling menyentuh.
Maira berusaha memberontak, namun Razi mengeratnya lebih kuat. "Kamu apa-apaan, sih?"
"Kok kamu nggak ngabar-ngabarin mau dateng? Kan aku bisa jemput." Razi berbicara dengan santainya, seolah tidak ada kejadia apa-apa beberapa saat yang lalu.
"Mas, lepasin nggak?" ancam Maira diiringi tatapan tajam.
"Aku nggak mau! Aku nggak akan pernah ngelepasin kamu lagi!" Razi membenamkan wajahnya dalam lekukan leher Maira. Dihirupnya kuat-kuat aroma tubuh istrinya.
"Mas, iiih apaan sih? Aku dua belas jam belum mandi, lho!"
"I like your smell, honey!"
"Apaan siiih? Mas, udah ih lepas! Nanti keliatan sama yang lain." Terdengar dari suaranya yang mulai melunak, Maira sudah tidak marah lagi.
Razi mengangkat wajahnya lalu menatap lekat wajah istri yang sangat dirindukannya itu.
"Nanggung! Kamu sudah terlanjur mempertontonkan di depan Vira tadi," balas Razi dengan tenangnya.
"Hah?"
Enggan meneruskan pembicaraan, bibirnya mulai memagut bibir Maira. Meneruskan aksi yang tadi diinisiasi oleh Maira. Bibir itu menuntut lebih dalam, mengungkapkan kerinduan yang terpendam berbulan-bulan.
"Mmh ... Mas ..." Desahannya terdengar saat tangan Razi menyelusup masuk ke dalam kaosnya, berusaha menggodanya.
"Hm?"
Dan tangan itu tidak mau berhenti, hingga akhirnya Maira menemukan kembali akal sehatnya. Ia berhasil menarik diri menjauh. Berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Napasnya masih tersengal-sengal. Begitupun dengan Razi. Matanya tertutupi oleh gairah yang tertahan.
"Ini kantor, Mas!" ucap Maira akhirnya setelah mampu bernapas dengan normal.
Razi kembali memeluk erat istrinya. "I miss you so bad."
Maira yang sudah baik-baik saja, balas memeluknya. "I miss you too."
Senyum terulas di bibir Razi setelah mendengar jawaban itu.
Maira yang terlebih dahulu mengurai pelukan. Balas menatap suaminya dengan tatapan yang sama. Tatapan penuh kerinduan.
"Kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa kamu nggak ngabarin aku kalau mau pulang kesini? Aku stres berat karena nggak bisa menghubungi kamu sejak tadi malam." Razi menarik tangan Maira menuju sofa.
"Ya emang sengaja mau ngasih kejutan di hari ulang tahun kamu. Eeeh, nggak taunya malah aku yang dap —"
"Kamu ngomong gitu lagi, nanti aku cium di depan semua karyawan."
"Yeee, mainnya ngancem! Lagian ngapain sih itu si cewek ganjen tadi pake buka-buka kancing kemeja kamu?" sungut Maira sebal.
"Dia Vira, sekretaris aku. Tadi dia nggak sengaja numpahin kopi ke baju aku. Tuh, lihat!" Razi menunjukkan noda kopi yang sudah mengering di dadanya.
"Kamu kok gampang banget dijebak pake cara old-school begitu, sih? Katanya cerdas!" Maira mencibir kesal.
"Hah?" Razi bingung menelaah kata-kata istrinya.
"Bukan nggak sengaja, emang dia sengaja numpahin minuman ke baju kamu. Modus!"
"Biar apa?" tanya Razi dengan wajah mengernyit.
"Ya amplooop! Kamu yakin kamu tuh cerdas dalam segala hal? Yang beginian aja, kamu nggak paham. Ya biar kamu buka bajulah. Biar dia bisa puas mandangin roti sobek di badan kamu itu."
"Hah? Roti sobek?"
Maira menepuk dahinya berkali-kali. Gemas dengan suaminya yang masih belum sampai nalarnya. Akhirnya sebelah tangan Maira terulur ke perutnya.
"Nih, ini nih yang dinamakan roti sobek!" jelas Maira gemas.
"Aduuuh! Aduduuuh! Ssshhh ..." Lalu diakhiri dengan serangan cubitan mautnya di tengah-tengah roti sobek itu.
"Ya ampun, kamu kira-kira dong kalo nyubit." Razi meringis merasakan sensasi nyeri di kulit perutnya.
"Kalo kira-kira, namanya bukan nyubit! Lagian, gitu aja lemot!" Matanya mendelik kesal.
Tok! Tok! Tok! Maira menatap curiga ke arah pintu yang sedang diketuk dari luar. Razi yang baru saja ingat akan status pintu itu yang terkunci, segera beranjak untuk membukanya.
"Ooh, kalian," desah Razi lega setelah melihat sosok di balik pintu.
"Assalamu'alaikum."
"Ruriiii!" Maira segera menghambur pelukan pada sahabat yang sudah hampir 1,5 tahun tak ditemuinya itu.
"Wa'alaikumussalam. Halo, Garu." Razi segera mengambil Garu dari gendongan Galang. Setelah jarang bertemu Sarah, Razi sering menghabiskan waktunya bermain dengan bayi berusia sepuluh bulan itu.
"Kok lo tau gue di sini? Gue kan nggak bilang-bilang sama lo?" Maira mengerutkan wajahnya bingung.
Razi pun turut mengernyitkan dahinya. "Lho, kamu nggak bilang ke Ruri?"
Maira menggelengkan kepalanya bingung.
"Padahal aku baru mau komentar, teganya kamu bilang-bilang ke Ruri kalau mau pulang, tapi ke suami sendiri nggak," rungut Razi.
"Yeee, kamu tuh hobi su'udzhon deh sama istri sendiri." Maira mencelos.
Ruri tertawa geli melihat tingkah pasangan pengantin baru itu. "Kalian tuh yaaa ... baru juga ketemu, udah ribut-ribut aja. Malik yang ngasih tau gue tadi pagi. Dia bilang, pagi ini lo minta dijemput di bandara."
Razi dan Maira sama-sama saling bersitatap malu akan tingkah mereka yang kekanak-kanakkan.
Dan kelimanya, termasuk baby Garu, saling bercengkerama melepas rindu dan cerita.
Tok! Tok! Tok! "Permisi." Vira membuka pintu ruangan Razi yang memang sudah terbuka itu sambil membawakan sebuah nampan berisi beberapa botol air mineral dan gorengan yang tadi ia beli di kantin bawah. Matanya terus-menerus melirik ke arah Maira yang tengah sibuk bercanda dengan Ruri di sofa.
"Ehm, Bu ..." Ia memberanikan diri memanggil ke arah Maira.
Sontak pandangan setiap penghuni ruangan itu terarah padanya. Menjadikan Vira semakin gugup. Buru-buru diletakkannya nampan itu di atas meja yang berada di depan sofa. Khawatir nampan itu terjatuh begitu saja akibat rasa gugup yang mendera dirinya.
Maira menyorot tajam ke arahnya. Menunjukkan rasa tidak-sukanya.
"Bu ... saya ... saya mau mi—minta maaf atas sikap saya tadi." Kepalanya tertunduk, enggan menunjukkan wajahnya yang tengah ketakutan. Meskipun Vira sangat menyukai atasannya, tapi ia lebih menyukai pekerjaannya. Sungguh tak rela jika harus kehilangan pekerjaan hanya karena nekat bersaing dengan 'sang Nyonya Besar'. Begitulah sebutan yang ditujukannya pada istri sang atasan, dikarenakan belum mengetahui namanya.
Meskipun pamannya berkontribusi besar dalam mendirikan perusahaan ini, tetap saja tidak akan berpengaruh besar bagi keselamatan karirnya. Seorang Hardiyanto Soenyoto tidak kenal kata nepotisme. Jika memang keponakannya ini berbuat salah, apalagi melanggar norma, Pak Hardi tidak akan segan-segan merekomendasikannya untuk dipecat.
Maira beranjak menghampirinya yang berdiri dekat dengan sudut meja. Dagunya diangkat untuk menegaskan posisi superior.
"Kamu sudah tahu apa salahmu?" tanya Maira berusaha menelisik wajahnya. Tangannya terlihat gemetar.
"I ... iya, Bu. Maaf, saya sudah lancang."
Razi dan Galang memandangnya dengan penuh cemas. Khawatir Maira akan menghukum Vira,sang sekretaris. Galang sendiri tahu persis kalau Vira memang sedang berusaha mendekati Razi.
Maira mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Vira yang segera menengadahkan wajah melihat lawan bicaranya.
"I—ini apa, Bu?"
Maira tidak menjawab pertanyaan Vira, ia hanya memberi isyarat dengan mata agar Vira segera menjabat tangannya. Dengan takut-takut, Vira menyambut uluran tangan sang Nyonya Besar.
"Saya maafkan kamu. Tapi ingat, jalankan pekerjaanmu secara profesional. Jika sekali lagi saya melihat sikap kamu seperti tadi, atau kamu berbuat macam-macam dengan suami saya, maka saya tidak berani jamin kalau kamu masih dapat bekerja di perusahaan ini atau bahkan mendapat resume yang bagus. Mengerti kamu?"
"Iya, Bu. Terima kasih." Vira kembali menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap mata yang semakin mengintimidasi itu. Ia harus segera menyingkir dari hadapan sang Nyonya Besar untuk menyelamatkan harga diri yang tersisa. Vira pun berniat untuk hengkang dari ruangan itu. "Saya permisi, Bu."
Setelah Vira benar-benar keluar dan menutup pintu ruangan itu, sontak terdengar suara tepukan tangan menyoraki Maira.
"Apaan sih? Pada lebay-lebay amat!" Maira yang sedang jalan kembali ke sofa pun bersungut-sungut.
"Ckckck ... nggak salah kamu milih istri, Ji. Te—O—Pe!" Galang mengacungkan dua jempolnya.
Razi mengangkat Garu untuk didudukkan di belakang kepalanya lalu bersorak-sorak.
"Siapa dulu, sohib aku!" Ruri segera merangkul Maira yang tengah menatapnya horor.
"Kalian tuh bener-bener pasukan lebay! Aku cuma berusaha bersikap bijak. Aku emang sebel sama sikap dia yang keterlaluan tadi, tapi bukan berarti terus menghukumnya berdasarkan emosi semata."
"Sayang, rasanya pingin nyium kamu, deh!" Razi mengerjapkan mata beberapa kali untuk memberi kode.
"Sabar ya, Mas. Masih banyak pemirsah di sini." Maira melirik pada Ruri di sebelahnya.
"Hooo ... jadi kode keras buat ngusir kita, niiih? Udah ngebet pingin bikin anak?" sindir Ruri sambil menggigit bakwan yang baru saja dicomotnya.
"Huueeek!" Tiba-tiba Maira merasa mual. Aroma gorengan yang terasa menusuk di hidungnya sontak membuatnya pusing.
"Huuueeek!" Maira menggeser tubuhnya. Berusaha menjauhi Ruri yang masih menggenggam bakwan sembari mengamati wajah Maira.
"Sayang, kamu kenapa? Masuk angin?" Razi yang langsung merasa cemas, menyerahkan Garu pada Galang lalu segera duduk di sebelahnya.
"Tuh bakwan bikin mual banget. Jadi pusing." Maira menyentuh kepalanya. Tangan Razi terulur ke belakang lehernya, memberikan pijatan lembut.
"May?" Ruri menatapnya curiga.
"Sayang, emang bau bakwannya nggak enak? Bukannya kamu biasa doyan bakwan, ya?" Razi mengambil salah satu bakwan dari piring, membauinya, lalu mencicipi dalam satu gigitan.
"Huuueeek! Kamu jauh-jauh, aaah! Aku nggak tahan baunya!" Maira mendorong tubuh Razi menjauh. Lalu ia berdiri, berjalan menjauhi sofa.
"Sayang, ini bakwannya enak, kok. Kenapa kamu nggak suka?"
"May ... jangan-jangan ..."
"Ya aku nggak tau!!! Tanya aja sama anak kamu yang di dalam perut kenapa dia nggak doyan bakwan!"
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆