Chereads / May dan Aji (Completed Story - TAMAT) / Chapter 32 - 32. Someone Else

Chapter 32 - 32. Someone Else

You And Me

by. James TW

I didn't mean to hurt you

So why'd I let you walk out the door?

You say that you don't know me

You don't know who I am anymore

But if you knew the truth, then

Then you wouldn't feel insecure

'Cause if I didn't have you

I wouldn't have nothing at all

I wish you could see yourself through my eyes

I always forget that you can't read my mind

As long as I got you and me

Moving through this world as a two-man team

I'll always have everything I need

You don't even realise what you mean

No one could fall for you quite like me

No one could get me so perfectly

You don't even realize (Oh-oh-oh)

You're all that I need

'Cause I want you and me, you and me

I know one day we'll look back

Stories on the tip of our tongues

A library full of pages

Remembering when we fell in love

All of the broken hearts and the stupid mistakes

Have got us to where we are, it was worth all the pain

Yeah, we'll look back

We'll look back and laugh

*****

Razi terus-menerus menatap lekat layar laptop di hadapannya. Sejak kepergian Maira, ia beralih profesi menjadi seorang stalker. Hampir setiap hari diam-diam ia memantau akun sosmed mantan istrinya itu. Sekedar mencari tahu kabarnya, atau berlama-lama memandangi kumpulan foto yang diunggahnya.

Razi menghempaskan badannya bersandar di kursi. Merutuki dirinya sendiri yang kesulitan untuk melepaskan wanita itu dari pikirannya. Bahkan beberapa kali Razi memimpikan bertemu dengannya. Dan beberapa kali pula ia membayangkan wajah Maira menempati wajah wanita lain. Razi mulai bertanya-tanya. Ada apa dengan dirinya? Apa pikirannya sudah gila? Apakah ini saatnya ia berkonsultasi dengan seorang ahli kejiwaan?

"Bro, galau lagi?" Sebuah tepukan di bahunya terasa mengejutkan. Razi kembali ke alam sadarnya.

"Bikin kaget aja, Lang!" Razi menghela napas saat mengetahui Galang yang menepuknya.

"Ngeliatin foto-foto May lagi?" Tatapan Galang tertuju pada layar laptopnya.

Dengan sigap, Razi segera menutup laptopnya. Sorot matanya mengisyaratkan tidak suka.

"Sori, sori! Kamu harus move-on, Bro! May aja udah bisa move-on. Kenapa kamu belum?"

"Aku juga nggak ngerti, Lang." Tatapannya datar.

"Ji, gimana kalo aku kenalin sama temanku?"

"Teman?"

"Iya, ada nih temanku di SMA. Orangnya cantik. Sebenarnya dia paling cantik dulu di SMA, tapi sayangnya dia pendiam. Dan terlalu pintar. Jadi nggak terlalu banyak didekati cowok-cowok. Aku ketemu lagi waktu reuni bulan lalu. Ternyata sampai sekarang dia masih single. Mungkin karena gelarnya berat, cowok-cowok makin tambah jiper."

"Gelarnya berat?"

"Doktor, Ph.d!"

"Wow, mantap!" Razi bertepuk tangan dengan wajah salut.

"Makanya, menurutku pantaslah kalo dikenalin sama kamu," lanjut Galang terkekeh pelan.

"Atas dasar apa kamu mau ngenalin aku sama dia?" tanya Razi penasaran.

"Kalian berdua sama-sama temanku. Kesepian. Membutuhkan seorang pendamping. Siapa tau kalian berjodoh? Yang penting, kalian sama-sama mau membuka hati."

Razi tak langsung menjawab. Sebersit rasa ragu muncul di hatinya. Bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apa benar selama ini ia tidak mau membuka hati? Sehingga sulit baginya melupakan sosok Maira yang serta-merta menghantui pikirannya? Apakah memang ini saatnya?

Razi mengetuk-ngetuk pulpen di tangannya ke permukaan meja. Menimbang-nimbang dengan berbagai macam alasan.

"Jadi, gimana? Mau?" tanya Galang lagi.

"Siapa namanya?"

"Amara."

"Hmmm, namanya cantik."

"Orangnya lebih cantik." Galang tertawa pelan.

"Hmmm, boleh deh!"

-----------

Maira kembali ke apartemennya membawa tidak hanya setumpuk kelelahan, tapi juga setumpuk pekerjaan. Beberapa laporan lapangan harus ia serahkan besok.ย  Artinya, malam ini ia harus rela terjaga semalaman, berteman dengan udara dingin.

Untung saja tadi ia sudah ikut makan malam bersama teman-teman kantornya. Sementara mereka masih melanjutkan dengan acara 'mabuk bersama', Maira mohon ijin untuk pulang duluan. Sehingga kini ia bisa fokus untuk menyelesaikan tumpukan PR di hadapannya.

Maira melilit rambutnya yang mulai panjang lalu memasang jepitan untuk menahan cepol kecil itu. Saatnya mengaktifkan kinerja otak dan tangannya.

Klik! Muncul notifikasi pesan di ponselnya. Maira melirik ke samping laptopnya. Terlihat pesan baru muncul dari seseorang yang kontaknya ia beri nama ROBOCOP.

ROBOCOP : Assalamu'alaikum, May

Me : Wa'alaikumussalam

ROBOCOP : Sudah smp rumah?

Me : Sudah

ROBOCOP : Sudah mkn?

Me : Sudah

ROBOCOP : Mkn apa?

Me : Perlu bgt tau?

ROBOCOP : Boleh tau?

Me : Kalo aku blg ga blh?

ROBOCOP : Hmmm

Me : Hmmm jg

Maira mendesah kesal. Apaan sih nih cowok makin nggak jelas?

ROBOCOP : Sptnya aku mengganggu

Me : Banget!

ROBOCOP : Ok

Me : Ok apa?

Maira menunggu. Semenit, dua menit, tiga menit, lima menit. Tidak ada balasan lagi dari ROBOCOP. Bukannya merasa lega, Maira justru dirundung kesal.

Me : Kok diam?

Lagi-lagi Maira menunggu hingga lewat lima menit, tetap tidak ada balasan. Padahal statusnya masih online.

Me : Haloooo??

Me : dkirnrjr#*$&dkfrjek

Tetap tidak ada balasan dari seberang sana. Entah kenapa Maira merasa jengkel.

Me : Haloooo halooo banduuuung!

ROBOCOP : Kamu knp?

Yesss! Akhirnya dibalas! Maira bersorak girang dalam hati. Lalu senyum di wajahnya kembali disembunyikan, seakan takut terlihat oleh sang ROBOCOP.

Me : Kamu tuh yg knp! Pake ngilang ๐Ÿ™„

ROBOCOP : Lho, katanya ganggu?

Me : Emang!

ROBOCOP : Jd aku diam saja

Me : Kok ngmgnya formal bgt sih? Situ manusia apa robot?

ROBOCOP : Kalo robot tdk punya perasaan

Me : Persis kamu!

ROBOCOP : Yeah, right!

Me : Ooo jd ngaku kalo kamu robot?

ROBOCOP : As long as it makes you happy ๐Ÿ˜Š

Maira berusaha menahan senyum yang refleks muncul di wajahnya.

Me : Kamu udh mkn?

ROBOCOP : Sudah

Me : Mkn apa?

ROBOCIP : Perlu bgt tau?

Me : Bls dendam nih? ๐Ÿ˜’

ROBOCOP : Kata ibuku bls dendam itu tdk baik

Me : Ooo...anak emak

ROBOCOP : Masa anak kucing?

ROBOCOP berhasil memancing Maira untuk tertawa. Tawa pertama yang ia keluarkan hari ini, di antara rentetan kesibukannya. Dan Maira pun menikmati percakapan aneh dengan sang ROBOCOP itu. Hingga Maira benar-benar melupakan tumpukan PR-nya.

-----------

Razi melirik jam tangannya, lalu mendecak kesal. Sudah hampir satu jam ia menunggu di restoran yang disebutkan oleh Galang untuk pertemuannya dengan Amara. Namun wanita yang akan dikenalkan padanya itu masih belum menunjukkan batang hidungnya juga. Minus sepuluh poin bagi wanita itu. Razi tidak menyukai seseorang yang tidak dapat menghargai waktu. Karena menurutnya, yang namanya terlambat, bisa memunculkan efek domino. Pasti ada saja yang dirugikan dari keterlambatan waktu.

Razi kembali menyesap jus ketiga yang ia pesan. Gara-gara terlalu banyak minum, bahkan ia sudah dua kali bolak-balik ke toilet. Dan selama itu pula, wanita yang ditunggunya belum juga muncul.

Razi berdiri dari kursinya. Sudah terlalu lama ia menunggu. Memang tidak ada rencana lain setelah ini. Namun tetap saja, minat Razi sudah hilang. Saat sedang mengeluarkan dompetnya, saat itulah terlihat penampakan seorang wanita berkacamata berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya.

Razi mengenali wajah itu, wajah yang sangat ia kenal tujuh tahun yang lalu.

"Nia?"

Wanita itu sama terkejutnya saat melihat Razi. "Arsan?"

"Kamu ... Amara?"

"Kamu ... Razi?"

Keduanya saling menunjuk ke lawan masing-masing. Lalu tiba-tiba saling menertawakan diri sendiri.

Razi mengembalikan dompetnya ke dalam saku. Membatalkan niatnya untuk hengkang dari tempat itu. Ia menarik kursi di hadapannya untuk diduduki oleh wanita itu. Dania Amarani. Teman kuliahnya saat menempuh jenjang Magister di Jepang.

"Kamu, apa kabar?" Dania terlebih dahulu memulai percakapan setelah canggung sesaat.

"Alhamdulillah baik. Kamu apa kbr?" tanya Razi yang masih tersenyum tak percaya.

"Baik juga. Maaf ya telat, tadi meetingnya ngaret." Selesai menjawab, Dania memanggil seorang pelayan untuk mencatat pesanannya.

"Nggak apa-apa. Aku juga tadi telat, belum lama nunggu." Razi berbohong.

"Beneran?" tanya Dania tak yakin.

"Iya."

Matanya memicing curiga. "Kamu kan orangnya punctual! Paling nggak suka telat."

"Masih ingat?" tanya Razi tersenyum sumringah.

"Ya ingatlah. Mana ada yang lupa sama seorang Arsan yang berani menegur dosen killer cuma gara-gara telat lima menit ngajar."

Razi tak pelak tertawa terbahak-bahak, malu sendiri mengingat masa itu.

"Dan gara-gara kejadian itu, aku dikasih nilai B," sungut Razi.

"Ya kamu, sih! Berani-beraninya ngomelin Professor Watanabe. Cari perkara itu namanya! Nggak jadi summa cumlaude kan?" cibir Dania sambil membersihkan kacamatanya yang sedikit buram.

"Nggak apa-apa. Ngalah sama kamu."

Dania hendak balik mencibir namun senyum terlanjur terkembang di wajahnya.

"Aku nggak nyangka, ternyata kamu orangnya yang mau dikenalin ke aku. Kata Galang, cewek yang mau dikenalin sama aku, pendiam," sindir Razi sambil mengamati Dania yang sibuk membersihkan kacamata yang menurut Razi sudah kinclong. Razi baru saja ingat, jika teman kuliahnya ini merupakan orang yang bersih, rapi dan terorganisir.

"Jaman SMA memang aku pendiam. Nggak terlalu banyak bergaul sama teman-teman. Waktu itu, masih penuh tekanan dari ayahku untuk selalu berprestasi. Pulang sekolah, harus les. Pulang les, harus belajar lagi. Bahkan selesai belajar, masih harus menghadapi tanya-jawab bersama ayah. Jadi, hidupku di masa SMA bisa dibilang ... horor!" Dania bercerita panjang lebar lalu diakhiri dengan tawa yang menyeramkan.

"Pantesan, waktu di Jepang malah kebablasan." Razi mengingat satu hari itu. Dimana Dania ikut-ikutan mabuk saat menghadiri pesta ulang tahun salah satu teman mereka yang berasal dari Norwegia. Saat itu, karena sebagian besar teman-teman mereka juga dalam kondisi mabuk, terpaksa Razi yang mengantar Dania pulang ke asrama.

Wajah Dania memerah, sungguh tak ingin mengingat peristiwa memalukan itu. Bukan memalukan karena ia tengah mabuk, justru saat mabuk itulah ia mengatakan sesuatu yang memalukan. Dalam kondisi antara sadar dan tidak sadar, Dania justru mengungkapkan jika ia menyukai Razi. Dan Dania tak mampu mengingat apakah Razi menjawab perasaannya itu atau tidak.

"Zi, lupain aja peristiwa itu. Bad memory!" pinta Dania sambil merengut.

"Kalau aku nggak bisa lupa, gimana dong?" Razi tengah menatap Dania lekat hingga wanita itu salah tingkah.

Dukkk! Tangannya tak sengaja menyenggol gelas berisi jus alpukat milik Razi. Bahkan kacamata di genggamannya turut terlempar, berbaur dengan tumpahan jus di atas meja.

Dania terperangah oleh perbuatannya sendiri. Ia sukses mempermalukan diri sendiri. Jika saat ini ada jurang terbentang di hadapannya, mungkin Dania akan nekat terjun bebas ke bawah.

"Zi ... maaf ya ...," sesalnya dengan suara lirih seperti hampir menangis.

Razi segera melambaikan tangan kepada seorang pelayan untuk membersihkan tumpahan minuman itu. Melihat wajah Dania yang muram, Razi justru tertawa pelan.

"Tega ih, ngetawain aku!"

"Sori, soalnya kamu masih sama saja seperti dulu. Gadis ceroboh!"

Bukannya kesal, Dania malah ikut tertawa. Ia tak menampik fakta yang satu itu, ia memang si gadis ceroboh. Bahkan ceroboh dengan perasaannya.

--โ€----------

Ruri berjalan mondar-mandir di kamar dengan mengenakan daster tidurnya. Sesekali ia menggigiti kukunya, menahan rasa cemas di dada. Galang yang sedang mengetik di sudut kamar itu, turut terganggu dengan gerak-geriknya.

"Udah, Sayang. Nggak usah mikir yang aneh-aneh," rayu Galang untuk menenangkan istrinya. Tatapannya tetap tertuju pada layar laptopnya.

"Kamu, sih! Ngapain sih kamu ngenalin Kak Aji ke cewek lain, Mas? Rencanaku kan bisa rusak!" protes Ruri dengan wajah bersungut.

"Biar tambah seru, Sayang!" Galang tersenyum jahil.

"Apanya yang seru? Yang ada bisa berabe semuanya!" sergah Ruri dengan tangan tersilang di dada.

Galang berdiri lalu mendekatinya dari belakang. Melingkarkan kedua tangannya di pinggang Ruri. Dagunya disandarkan ke bahu sang istri.

"Apa? Main peluk-peluk segala!" seru Ruri sebal.

"Kamu kalo lagi marah-marah gini malah bikin aku jadi pingin โ€”"

"Jangan harap, ya!" Ruri melepaskan kedua tangan suaminya lalu bergerak menjauh.

Galang mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Pokoknya, sebelum kamu memperbaiki situasi ini, jangan harap dapat 'jatah'!" Ruri berjalan keluar kamar lalu membanting pintu dengan kesal.

Galang menghela napas berkali-kali. Padahal Garu sedang menginap di rumah orangtua Galang yang berdekatan dengan rumah mereka. Sepertinya rencana Galang untuk membuat anak kedua, gagal.

I'd climb every mountain

And swim every ocean

Just to be with you

And fix what I've broken

Oh, 'cause I need you to see

That you are the reason

There goes my hand shaking

And you are the reason

My heart keeps bleeding

I need you now

Terdengar lagu You Are The Reason yang dinyanyikan Calum Scott terlantun dari ponsel Galang. Dengan sedikit malas, Galang meraih ponselnya itu lalu mengangkat tanpa membaca nama yang tertera di layar.

"Halo?"

"Galaaaang, i'm so happy! Makasih yaaa!" Suara di seberang sana berteriak kegirangan.

"Hm? Siapa ya?" tanya Galang heran karena merasa asing dengan suara itu.

"Ini Amara, Lang! Amara!"

"Ooo ... kamu! Aku pikir siapa. Kenapa teriak-teriak girang gitu?"

"Kok kamu nggak cerita sih kalo cowok itu ternyata Arsan?"

"Hah?" Galang masih belum paham.

"Cowok yang mau kamu kenalin ke aku. Ternyata Arsan, cinta lamaku!"

"Hah? Si Aji cinta lama kamu??" Kini Galang terlonjak kaget. "Gimana ceritanya?"

"Dia temen S2 ku dulu di Jepang. Dulu aku pernah gebet dia, tapi setelah lulus kita lost contact. Ya ampuuun, ternyata Tuhan baik banget sama aku, mempertemukan aku dan dia lewat kamu." Dania masih bersorak kegirangan.

"Astaghfirullah!" gumam Galang pelan dengan mulut ternganga dan mata membelalak.

"Apa, Lang?" tanya Dania karena tidak mendengar jelas gumamannya.

"Eh, engโ€”enggak. Mar, maksud kamu ... kamu suka sama Aji?"

"Arsan! Buat aku, dia itu Arsan. Aku pernah suka sama dia, dan ternyata ... sekarang aku makin suka."

Galang terduduk lemas di atas ranjang sembari menepuk dahinya berkali-kali. "Mampus aku!"

------------

Maira menatap ponselnya kesal. Sudah tiga hari ini Robocop tidak mengirimkan satupun pesan padanya. Meskipun pria asing itu menyebalkan, diam-diam Maira merindukannya. Hari ini Maira benar-benar tidak dapat fokus menyelesaikan pekerjaannya. Padahal ada laporan dari dua taman nasional yang harus ia serahkan ke pusat. Maira menghela nafasnya berat. Sesekali sorot matanya tertuju pada ponsel di samping laptopnya. Ada kalanya tangannya terasa gatal ingin duluan mengetik pesan. Namun seperti yang semua orang tahu, gengsi Maira sama tingginya dengan Menara Burj Khalifa.

"What's wrong, May?" Pi Nun yang sedang melintas di depannya menegur karena melihat Maira yang sibuk termenung sejak pagi.

"Ummm, i'm fine Pi Nun. Just feeling a bit hectic." Maira beralasan sambil berpura-pura melakukan peregangan tangan.

"May, you can't fool me! Tell me! What's wrong?" Pi Nun bersikeras, logat Thailandnya terdengar khas.

Maira diam sebentar untuk berpikir. Apakah Pi Nun akan menertawakan ceritanya nanti? Seorang Maira mulai menyukai seorang pria yang baru di kenalnya seminggu lewat dunia maya. Sebagai tambahan, Maira bahkan belum mengetahui bagaimana wajahnya. Meskipun rasa penasaran akan rupa pria itu mengusik batinnya setengah mati, namun gengsinya yang tinggilah yang memenangkan pergolakan batin itu. Maira tidak pernah meminta fotonya.

"Come on! Tell me, May!" tuntut Pi Nun lagi.

"Pi, maybe you'll think that i'm weird if i tell you this! So it's better for me not to tell you," balas Maira sambil mendesah.

"You are weird already, in my humble opinion!" Pi Nun tertawa terbahak-bahak.

"Ouch! You hurt me!" Maira bersikap seolah-olah sakit hati dengan ucapannya.

"Ow, come on, tell me! I promise not to tell anyone." Pi Nun mengangkat dua jarinya untuk berjanji.

Maira mendesah napas pelan sebelum menjawab, "Fine! It's a promise then!"

Maira pun mulai menceritakan hubungan dunia mayanya dengan ROBOCOP hingga ke detail terkecil. Dan yang dimaksud dengan detail terkecil adalah perdebatan mereka yang sangat tidak penting mengenai hal-hal kecil. Karena Maira memang orang yang detail dalam segala urusan. Maira mengira jika Pi Nun akan menertawakan ceritanya, namun justru sebaliknya. Pi Nun justru tertarik dan antusias mendengar ceritanya.

"Oh My God, he's so misterious. No wonder you're attracted!" Pi Nun berpendapat.

"Really? You think that i'm attracted to him because of that?"

"What else?" Pi Nun mengangkat kedua bahunya.

"Don't you think he's just another 'someone else'?" Maira mengutip dengan kedua tangannya.

"Nope, he's not! If i were you, i would text him right away." Pi Nun meraih ponsel Maira lalu menyerahkan ke tangannya.

"But โ€”"

"NO BUT! Text him now!" Sorot mata Pi Nun terasa mengintimidasi. Sesaat Maira sempat bergidik ngeri.

"Piii ...,"

"NOW!"

Maira membuka aplikasi chat itu. Dengan sedikit bergetar, jemarinya mulai mengetik di keypad layar.

Me : Assalamu'alaikum

Maira menunggu. Balasan itu tak langsung datang.

"He's not answering, Pi," Maira berniat menghapus ketikannya saat tiba-tiba terlihat tulisan 'ROBOCOP is typing'. Jantung Maira berdegup kencang.

ROBOCOP : Wa'alaikumussalam

Me : Hai

ROBOCOP : Hai

Me : Sibuk ya?

ROBOCOP : Nggak jg

Me : Ooo

ROBOCOP : Ada apa?

Me : Ga papa. Lg iseng

ROBOCOP : You miss me ๐Ÿ˜Š

Maira terperangah membaca ketikan terakhir itu. Wajahnya sontak memerah seperti kepiting rebus. Pi Nun berusaha menahan tawanya saat ikut membaca dan melihat reaksi Maira secara bersamaan.

"Piii, don't laugh at me!"

"Aww, he's so sweet. He knows you miss him," Pi Nun berkomentar.

Sedangkan Maira bersungut-sungut untuk menutupi malunya.

Me : Sok tau!

ROBOCOP : Fakta!

Me : GR!

ROBOCOP : Nope!

Me : Ngapain jg kangen sama org yg ga dikenal ๐Ÿ˜’

ROBOCOP : Coba tanya sama diri kamu sendiri

Me : Tanya apa?

ROBOCOP : Knp bisa kangen sama org yg ngga dikenal

Me : Knp sih ngmg sama kamu bawaannya bikin kesel?!?!?!

ROBOCOP : Because you miss me ๐Ÿ˜Š

Me : Knp sih Allah nyiptain manusia

nyebelin kyk kamu?

ROBOCOP : Buat mendampingi kamu ๐Ÿ˜Š

Me : ๐Ÿ™„๐Ÿ˜’๐Ÿ™„๐Ÿ˜’๐Ÿ™„๐Ÿ˜’

ROBOCOP : ๐Ÿฅฐ

Me : Apaan tuh pake lope lope?

ROBOCOP : Because ... you love me ๐Ÿฅฐ

*****