Hidup itu tidak selalu keras.
Kadang ia lunak, fleksibel, berjalan mengikuti kemana pilihan manusia jatuh. Jika manusia mengatakan hidup itu keras, bersabarlah. Karena akan ada waktunya hidup melunak, saat jalan yang dipilih benar.
- Author -
*****
Razi berjalan mondar-mandir dengan gelisah, mengitari ruang kerjanya. Bersamaan dengan ponsel yang sejak tadi tergenggam di tangannya. Kepalanya tengah menyusun rencana. Sekejap ia merasa mantap dengan rencana itu, detik berikutnya ia menggeleng ragu. Berawal dari sebuah ide yang terlintas di pikirannya dua hari yang lalu itu, Razi pun mulai memperhitungkan segala sesuatunya dengan matang. Tapi untuk saat ini, disebut setengah matang juga belum. Karena masih ada banyak hal yang harus ia lakukan. Dan hal pertama yang harus ia lakukan adalah menanyakan sesuatu yang penting itu pada Maira.
Razi menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang labil karena ketakutan yang melanda. Ketakutan akan apa? Ditolak. Ya, ditolak oleh Maira. Mungkin bisa dibilang ditolak oleh Maira menjadi salah satu ketakutan terbesarnya dalam hidup. Ketakutan terbesar lainnya? Takut pada Allah, takut masuk neraka, dan takut durhaka pada orangtua.
Razi berdiri cukup lama hanya menatapi layar ponselnya. Sebelum akhirnya mulai menyentuh huruf-huruf di keypad.
Me : Assalamu'alaikum, May.
Razi menunggu balasan dengan jantung berdebar kencang.
Dear Wife : Wa'alaikumussalam
Akhirnya Maira menjawab setelah lima menit berlalu. Dan selama lima menit itu menunggu, Razi masih terpaku kaku dalam posisi berdirinya.
Me : Sdg sibuk?
Dear Wife : Nggak jg
Me : Ooh
Dear Wife : Ada apa?
Kini Razi berpindah posisi, menduduki kursi kerjanya yang memiliki sandaran tinggi hingga di atas kepala. Razi membenamkan kepalanya di sana. Kakinya terasa lemah untuk menopang tubuhnya yang sedang dilanda kegelisahan.
Me : May
Dear Wife : Ya?
Me : How about if we meet?
Lagi-lagi Razi kembali menunggu balasan. Maira tak langsung merespon pertanyaannya. Positive thinking! Hanya itu yang bisa Razi lakukan saat ini. Siapa tahu Maira memang lagi sibuk. Kini Razi mulai menyesali keputusannya. Kenapa juga harus bertanya sekarang? Di jam-jam kerja seperti sekarang ini. Bisa jadi ia malah mengganggu pekerjaan Maira. Razi pun meletakkan ponselnya dengan malas di atas meja. Yang saat baru menyentuh permukaan meja, layarnya tiba-tiba menyala karena ada pesan masuk. Razi kembali mengangkat ponselnya dengan dihujam sejuta rasa penasaran.
Dear Wife : Kamu mau ke Jpg?
Me : Maybe
Dear Wife : Ada urusan krj?
Me : Just to see you
Razi menggigit bibirnya sambil menahan senyum. Perutnya terasa geli menahan sensasi rasa layaknya seorang remaja yang sedang jatuh cinta.
Dear Wife : Knp tiba2 mau ktmu aku?
Me : Tdk tiba2
Dear Wife : Kita blm kenal bgt lho. Cuma sebatas dunia maya ๐ค
Kita sudah kenal, May! Aku mantan suami kamu dan akan segera jadi calon suami kamu! Ucap Razi gemas dalam hati.
Me : That's why. Let's meet
Dear Wife : Kalo aku blg blm siap?
Me : Knp?
Dear Wife : I never hear your voice. I never see your face. I don't even know your full name
Razi mendesah lemah. Ia tahu pada akhirnya Maira akan menyatakan semua itu padanya.
Me : So that's why. Let's meet! Kamu akan tahu siapa aku
Dear Wife : Kamu ngga mau coba tlp aku dulu gitu? Ngga penasaran sama suaraku? Atau vical gitu? Biar slg tatap wajah
Aku mau banget, May! Cuma bikin aku tambah kangen nantinya. Teriaknya dalam hati.
Me : Better meet in person
Dan kembali Razi dibuat menunggu oleh Maira. Sepertinya wanita itu sedang berpikir lama untuk menjawab. Kenapa juga Maira harus mau bertemu dengan orang asing yang hanya dikenalnya lewat obrolan tak jelas di dunia maya? Ya, lewat obrolan tak jelas. Karena biasanya mereka hanya mendebatkan hal-hal yang tidak penting di aplikasi WA itu.
Seperti lebih enak mana antara ayam bakar dengan ayam goreng. Geisha yang sebenarnya cantik atau justru mengerikan dengan wajah dipoles pucat. Standar suhu yang pas di tubuh manusia, karena Maira selalu merasa kedinginan di sana. Bahkan memperdebatkan masalah celana dalam Superman yang harusnya digunakan di dalam atau di luar kostumnya. Dan Maira paling kesal jika pertanyaannya selalu dibalas pertanyaan balik oleh Razi. Razi tersenyum geli sendiri mengingat sejarah obrolan mereka di dunia maya.
Dear Wife : Ok, let's meet. Kpn kamu kesini?
What?! Did she just say 'OK'? Razi mengerjap-ngerjapkan matanya tidak percaya. Seketika, wajahnya tersenyum lebar hingga deretan gigi putihnya terpampang jelas.
Me : Aku akan kabari kamu sblm brgkt ๐
Dear Wife : Jgn dadakan, ya. Aku jg hrs ngatur schedule
Me : Iya sayang
Tak ada lagi balasan darinya setelah itu. Maira tidak memprotes panggilan itu. Itu saja sudah cukup membahagiakan bagi Razi. Yang tidak diketahui oleh Razi adalah, jauh di seberang sana Maira juga sedang tersenyum bahagia. Merasa lega karena gelisah yang selama ini melandanya sudah lenyap.
Dengan senyum yang masih terkembang di wajahnya, Razi kembali memfokuskan pandangannya pada layar PC. Kembali menatap pekerjaan yang harus ia selesaikan. Meskipun ia tak sepenuhnya bisa fokus, karena hatinya sedang melonjak penuh kebahagiaan. Satu langkah sudah ia lakukan, tinggal langkah berikutnya. Dan sepertinya langkah berikutnya akan berkali lipat lebih sulit.
Tok! Tok! Tok! "Permisi, Pak." Seorang wanita berusia 23 tahun, dengan rambut model bob nungging di atas bahu, mengetuk daun pintu ruangan kerja Razi yang memang sedikit terbuka.
"Ada apa, Vir?" Razi menengadahkan wajahnya yang tadi sedang fokus pada detail gambar rancangannya mengunakan program autocad di PC. Pandangannya tertuju pada wanita itu, Vira, sang sekretaris.
"Ada masalah di perijinan PT. Karya Cipta. Jadi pelaksanaan pembangunannya di-pending, Pak." Vira menjelaskan sambil menyerahkan detail laporan yang ia terima.
Razi membaca dokumen itu dengan seksama, lalu bibirnya tersenyum. "Hm, oke! Kalau begitu tolong kabari Pak Galang, ya. Biar Pak Galang yang mewakili saya untuk pertemuan minggu depan."
Vira mengernyitkan dahinya lalu bertanya penasaran, "Lho, memangnya kenapa, Pak? Minggu depan sepertinya Bapak tidak ada jadwal padat."
"Saya mau ke Jepang. Mungkin selama seminggu," jelas Razi pada sekretarisnya itu. Ia memang sengaja benar-benar mengosongkan jadwal untuk dua minggu ini.
"Ke Jepang? Urusan apa ya, Pak?" Lagi-lagi Vira bertanya penasaran.
Razi kembali mengarahkan penglihatannya pada layar PC sambil mengarahkan tetikus untuk melanjutkan gambarnya. Lalu ia menjawab dengan tak acuh, "Urusan pribadi saya."
Tanpa sadar, Vira memanyunkan bibirnya. Itu artinya selama seminggu ini ia akan kehilangan objek cuci matanya. Padahal diam-diam, ia menyimpan rasa pada pria yang terkenal sebagai duda keren di biro arsitek yang baru dirintis oleh Razi dan Galang selama delapan bulan ini.
"Sendirian, Pak?" tanyanya lagi.
Razi menaikkan alisnya lalu menyorot pada Vira dengan datar, "Ya, sendirian. Ada lagi?"
"Bapak nggak perlu saya ikut untuk bantu-bantu?" tanya Vira dengan sedikit lancang. Namanya juga usaha. Syukur-syukur jika bosnya ini mengajaknya. Jika tidak, ya usaha lagi.
"Tadi saya sudah bilang urusan pribadi. Untuk apa saya ajak kamu ikut?" Razi menatapnya tajam.
"Yaaa ... kali Bapak butuh bantuan saya untuk urusan pribadi Bapak. Misalnya, bantu membawakan barang-barang Bapak. Nemenin Bapak jalan-jalan. Nemenin Bapak kulineran. Nemenin Ba โ"
"Tadi saya suruh apa, Vir?" potong Razi terdengar kesal.
"Eh, nyuruh? Nyuruh apa, Pak?" tanya Vira sambil berusaha berpikir keras.
"Hubungi Galang, suruh dia yang ikut pertemuan minggu depan!" ucap Razi dengan tegas.
Ia mulai sering terganggu dengan sikap Vira yang suka berlebihan. Satu-satunya alasan Razi menerimanya bekerja di kantornya ini hanya karena gadis ini merupakan keponakan Pak Hardi, mantan atasannya. Hardiyanto Soenyoto adalah alasan utama Razi mendirikan biro arsitek ini. Hardi melihat potensi besar yang ada di diri Razi. Saat Razi mengungkapkan ingin mencoba berdikari, dengan mantap Hardi menyetujui idenya itu. Bahkan Hardi adalah donatur terbesar dalam mendirikan biro ini.
Sehingga mau โ tak mau, Razi menyetujui permintaan Hardi saat mengajukan Vira, keponakannya yang baru saja lulus kuliah itu, untuk menjadi sekretarisnya.
"Memangnya Pak Galang akan bersedia, Pak?" Bukannya langsung melaksanakan titah sang atasan, Vira justru dengan lancangnya balik bertanya.
Razi mencoba menahan kesabarannya dengan menghempaskan napasnya. "Sudahlah, nanti saya yang akan bicara langsung dengan Galang. Kamu lanjutkan pekerjaanmu."
"Pak?" Vira bergeming di tempatnya.
Kali ini Razi hanya meliriknya dengan mata memicing. "Apa?"
"Mmm ...," Vira memainkan jari-jemarinya. "Nanti ... kita makan siang bareng, yuk?"
"Saya akan makan siang di luar, setelah itu saya tidak akan kembali ke kantor. Jika pekerjaan kamu sudah selesai, kamu boleh pulang cepat hari ini," jawab Razi dingin tanpa menoleh sedikitpun ke arah Vira.
Sementara Vira lanjut bertanya dengan menampilkan senyum termanisnya, "Emangnya mau makan di mana, Pak?"
"Di rumah calon mertua!"
--------------------
Dan disinilah ia berada saat ini, di rumah yang sudah setahun ini tidak pernah ia injak lagi. Rumah yang sempat memberikan kenyamanan dan hangatnya rasa kekeluargaan, sama seperti rumah orangtuanya. Bedanya, di rumah ini ia merasakan kembali kasih sayang seorang ayah.
Pandangannya tertuju pada papan catur lipat yang tersimpan di rak sudut ruang tamu. Teringat masa-masa ia menjadi lawan sang mantan ayah mertua, dan bagaimana ayah dari Maira itu dengan mudah mengalahkannya berkali-kali. Bukan Razi tidak pandai bermain catur, ia hanya sengaja mengalah. Toh, tujuannya juga untuk membahagiakan pria yang saat itu sudah dianggapnya sebagai seorang ayah. Karena jika bermain melawan Malik, Farhan selalu saja kalah. Dan pria tua itu benci kekalahan.
"Ada apa kemari?"
Razi terkejut dengan suara dingin yang menyapanya itu. Tidak menyadari kehadirannya.
"Assalamu'alaikum, Ayah." Razi berdiri lalu meraih tangan Farhan untuk diciumnya dengan takzim.
"Masih punya nyali manggil saya Ayah?" Farhan enggan membalas salamnya. Karena itu sama saja ia mendo'akan keselamatan dan rahmat bagi mantan menantunya ini. Dan Farhan memang tidak ingin mendo'akannya, mengingat apa yang sudah dilakukan Razi kepada putrinya.
Razi tidak terintimidasi dengan sorot tajam yang saat ini tertuju padanya, bagaikan sebilah pedang yang ingin segera menghabisi nyawanya. Ia berusaha bersikap layaknya laki-laki sejati. Menghadapi segala sesuatunya dengan kepala dingin.
"Maaf kalau saya tiba-tiba datang kemari. Ada maksud dan tujuan yang ingin saya sampaikan kepada Ayah dan Bunda."
"Apa yang mau kamu sampaikan? Kalo kamu sekarang sudah bahagia dengan istri barumu? Iya?" Fita berjalan menuju ruang tamu lalu duduk di samping suaminya yang terlihat seperti ingin melahap mantan menantunya itu hidup-hidup. Diraihnya tangan Farhan untuk digenggamnya kuat-kuat. Keduanya sama-sama butuh saling menguatkan agar tidak mudah terbawa bisikan setan. Amarah yang sudah lama mengendap, kini naik ke permukaan.
Razi membaca basmallah dalam hati. Meminta sedikit kekuatan kepada Yang Maha Kuat.
"Ayah, Bunda ... saya sudah resmi bercerai dengan Alma." Razi menjawab tanpa basi-basi, langsung ke pokok pembicaraan.
Spontan Fita mengatup mulutnya yang menganga dengan sebelah tangannya. Sedangkan Farhan berusaha untuk tidak bereaksi atas berita yang baru saja didengarnya.
"Lantas? Kalau kamu sudah bercerai, apa urusannya dengan kami?" tanya Farhan penuh selidik.
Razi menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Perlu Ayah dan Bunda ketahui, kalau saya masih sangat mencintai Maira, putri Ayah dan Bunda. Demi Allah, saya sangat mencintainya. Saya tidak pernah bisa berhenti mencintainya. Karena itulah ... saya tidak dapat mencintai Alma. Saya sama sekali tidak pernah menginginkan perceraian dengan Maira. Maira-lah yang menginginkan perceraian itu terjadi."
"Jadi sekarang kamu nyalahin anak saya?!" Emosi Farhan mulai meradang. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya.
"Tidak, Ayah. Saya sama sekali tidak menyalahkan Maira. Saya tidak menyalahkan siapapun. Justru saya-lah yang bersalah di sini. Dengan mudahnya, menuruti permintaan Maira. Dengan mudahnya melepaskan wanita yang saya cintai. Saya yang salah, karena tidak memperjuangkannya. Saya minta maaf pada Ayah dan Bunda. Yang terjadi sebenarnya ...."
Razi berusaha menceritakan awal mula kesalah-pahaman yang terjadi antara ia dan Maira. Karena saat dulu mereka menghadap Fita dan Farhan untuk memberitahukan keputusan keduanya untuk bercerai, Maira-lah yang berbicara. Ia menyatakan jika pernikahan mereka ini terjadi karena niat yang salah. Saat itu Maira menyampaikan jika ia menikah hanya untuk mendapat persetujuan Ayah dan Bunda agar diperbolehkan bekerja di Jepang, dan Maira juga menyampaikan jika Razi sudah memiliki calon lain dalam hidupnya. Bodohnya Razi karena saat itu membiarkan saja cerita yang tidak sepenuhnya benar itu mengalir keluar dari lisan Maira.
Ia terlalu lelah menghadapi Maira yang keras kepala dengan pemikirannya sendiri.
"Maaf sudah menyakiti perasaan Ayah dan Bunda. Maaf, sudah membiarkan semua salah paham ini hingga berlarut-larut." Razi mengemis dengan kepala tertunduk. Kali ini, ia tak mampu menegakkan kepalanya. Sungguh merasa malu.
Air mata Fita tak terbendung lagi. Perasaannya campur-aduk. Ingin rasanya membenci, memaki, bahkan menendang pria di hadapannya itu. Bagaimanapun juga, ia terlanjur menyayangi Razi sejak kecil. Yang tampak di hadapannya saat ini adalah Razi kecil berusia 10 tahun, yang sedang mengemis maaf padanya, karena tidak sengaja memecahkan pot bunga kesayangannya di teras rumahnya saat bermain bola. Meskipun saat itu yang bersalah adalah Ryan, anak tetangga depan rumah.
Dalam lubuk hatinya Fita tahu, bukan Razi yang salah dalam perceraian itu. Razi hanyalah sasaran pelampiasannya saja. Fita tahu, putrinya itu sangat keras kepala. Sangat sulit untuk berkompromi dengan Maira bagi siapapun. Kalaupun ada yang mau disalahkan, Fita-lah yang bersalah dalam hal ini. Ia yang mendorong Maira untuk bersegera menikah. Sampai-sampai putrinya itu nekat mempermainkan sebuah pernikahan yang sakral.
"Sudahlah, Zi. Semua sudah berlalu. Nggak cuma kamu yang bersalah di sini. Kalau saja saya dan ummi-mu tidak memaksakan kehendak terhadap kalian, mungkin ini semua tidak akan terjadi. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Masa lalu tidak bisa diulang kembali. Jadi sekarang, apa maumu?" tanya Fita sambil menghapus air mata yang membanjiri pipinya. Sedangkan Farhan, pria yang biasanya bijak itu, hanya diam saja, tidak mampu berkata-kata. Tangan kanannya sibuk mengusap punggung istrinya.
Razi memandang sepasang suami istri di hadapannya dengan penuh hormat. "Mungkin permintaan sayaย ini terkesan lancang, tapi ... jika Ayah dan Bunda mengijinkan, saya ingin kembali melamar Maira untuk menjadi istri saya ... yang kedua kalinya." Razi menelan ludahnya.ย "Saya berjanji, kali ini saya akan berusaha lebih keras. Saya berjanji akan membahagiakan Maira semampu saya. Saya berjanji akan memperjuangkannya sekuat yang saya bisa. Saya hanya manusia biasa yang tidak sempurna, tidak luput dari sekecil pun kesalahan. Dan saya sudah melakukan kesalahan yang sangat besar. Saya mohon pada Ayah dan Bunda untuk memberikan saya satu lagi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu."
Kali ini Farhan menghela napas seperti orang yang baru saja kelelahan. "Kamu sudah mendapat satu kesempatan itu, dan kamu menyia-nyiakannya!"
"Kalau begitu, beri saya kesempatan terakhir, Ayah. Saya berjanji tidak akan menyia-nyiakan Maira ... lagi."
Farhan dan Fita saling memandang satu sama lain. Seperti saling berbicara lewat tatapan mata mereka yang sayu.
"Yah, Bun, Mbak May juga bikin kesalahan. Ayah sama Bunda juga salah! Kalian semua salah! Gila! Semua terjadi cuma gara-gara salah paham?" Malik yang baru saja masuk ke dalam rumah, menyela sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Menertawakan kekonyolan yang tidak sengaja didengarnya dari balik pintu depan sejak tadi.
"Malik!" seru Farhan sengit, memperingati putranya itu.
"Kalian semua manusia dewasa yang tidak dewasa!" sentak Malik dengan penuh kemarahan.
"Malik, bicara yang sopan dengan kedua orangtua kamu." Kali ini Razi yang menegurnya.
"Malik benar," sahut Fita menganggukkan kepala dengan sedih.
Malik berusaha menenangkan diri sesaat dengan memejamkan matanya. Berusaha menelan bulat-bulat amarah yang sedang menguasainya.
"Bun, Yah, beri dia satu kesempatan lagi." Kali ini suaranya terdengar lebih tenang.
"Kamu bicara apa, Mal?" tanya Farhan dengan intonasi meninggi. Tidak menyetujui permintaan putra bungsunya itu.
"Mereka saling mencintai, Yah, Bun. Mbak May masih mencintai lelaki ini," tunjuk Malik pada Razi.
Fita menghela napasnya lelah. Ia pun mengetahui benar putrinya itu sangat mencintai Razi
"Apa buktinya kalau kakak kamu masih mencintai dia?" tanya Farhan ketus.
Malik duduk di sofa single yang berseberangan dengan orang tuanya. Menyandarkan kepalanya yang lelah. Matanya menyalang pada langit-langit rumah. "Yah ... waktu berangkat ke Jepang, Mbak May sedang hamil. Tapi di sana ... Mbak May keguguran."
Maaf, Mbak ... aku tidak bisa menepati janji. Mereka semua harus tahu! Sesal Malik dalam hati.
Sontak ketiganya tercengang mendengar penuturan Malik itu. Bahkan secata otomatis, air mata Fita mulai berderai kembali. Tidak ada satupun yang berkomentar di tengah-tengah berita yang mengejutkan itu.
Namun Razi mengepal kedua tangannya kuat-kuat. Merasakan cambukan yang amat kuat menghantam ulu hatinya. Merobek setiap bagiannya hingga ke dalam.
Lalu Malik berujar sambil tertawa miris, "Dan kalian semua tahu? Kakakku tersayang itu, tidak mau memberitahukan kabar buruk itu pada kalian. Kenapa? Dia takut Ayah dan Bunda jadi khawatir, kepikiran, ikut sedih. Sedangkan sama Mas? Dia nggak mau mengusik rumah tangga Mas, nggak mau cari masalah sama istri baru Mas. Dia juga nggak mau aku jadi kepikiran, tidak fokus kuliah. Dia ... dasar cewek bodoh! Mikirin orang lain, tapi nggak mikirin diri sendiri. Merasa bisa menanggung semua rasa sakit sendirian!"
Kata-kata Malik bagaikan belati panas yang menghunjam jantung Razi. Sekarang otaknya sibuk merutuki dirinya sendiri yang begitu bodoh. Kenapa bisa tidak terpikirkan jika Maira mungkin saja hamil setelah malam pertama mereka di Bandung. Karena malam itu, mereka tidak hanya sekali, dua kali melakukan hubungan suami istri.
"Terus setelah itu, bagaimana kondisi kakak kamu? Ya Allah, kenapa kamu baru cerita sekarang, Mal?" Fita merengek sambil merangsek ke pelukan suaminya. Mencari sedikit bantuan untuk menenangkan batinnya yang tengah bergejolak. Terdengar olehnya degupan kencang dan cepat di dada suaminya. Ia tahu Farhan pun butuh untuk ditenangkan.
"Mbak May yang minta. Dia nggak mau ada yang tau. Sok jadi wonder woman!" jawab Malik seraya menghembus napas kasar.
Razi semakin mengepal erat tangannya. "Ayah, Bunda, bagaimana kalau kita semua berangkat ke sana?" ucap Razi cepat. Ia tak mau lagi mengulur waktu.
Fita yang tadi membekap wajah di dalam dekapan suaminya, menoleh dengan raut bingung. "Maksud kamu?"
"Kita adakan pernikahan di sana."
---------------
Razi sedang menunggu Alma selesai terapi di luar ruangan. Sudah dua jam lebih ia menunggu di kursi tunggu itu. Selesai melakukan pembicaraan yang cukup menguras pikiran dan mentalnya tadi siang, setelah melakukan perundingan yang cukup alot tapi akhirnya menemui kesepakatan, Razi langsung menjemput Alma untuk mengantarnya melakukan terapi. Sarah beserta babysitternya turut ikut serta. Saat ini keduanya sedang menghabiskan waktu di playground yang memang disediakan di klinik anak.
Ia tidak mau hanya berduaan saja dengan Alma, status keduanya bukanlah lagi suami istri. Meskipun mereka telah resmi bercerai, Razi bersikeras tetap akan membantu kehidupan Alma dan Sarah, terutama untuk masalah keuangan. Apalagi Razi sudah menyayangi Sarah seperti darah-dagingnya sendiri. Dan baginya, Sarah akan tetap menjadi anaknya, sampai kapanpun.
Anak. Tiba-tiba pikiran Razi teringat pada cerita Malik tadi. Maira sempat hamil. Ia pernah memiliki calon anak. Calon anak yang tidak dapat dijaga olehnya. Calon anak yang pergi akibat kebodohannya karena tidak bisa menjaga sang calon ibu. Ya, lagi-lagi Razi menyalahkan dirinya sendiri. Menyesali betapa brengseknya ia sebagai seorang laki-laki. Lalu ia teringat akan ucapan Fita. Nasi sudah menjadi bubur. Masa lalu tidak dapat diulang. Ya, masa lalu tidak dapat diulang. Dan akan terus membekas di benaknya untuk seumur hidup. Dan Razi tidak tahu apakah dapat memaafkan dirinya sendiri akibat kesalahan di masa lalu itu.
"Kamu kenapa, Zi?" tanya Alma yang tanpa ia sadari sudah duduk di sampingnya, di ujung kursi panjang itu. Kruknya disandarkannya di belakang kursi.
"Sudah selesai? Gimana perkembangannya?"
"Zi, aku duluan yang nanya. Kamu kenapa? Kayak suntuk banget," tanya Alma dengan dahi mengernyit.
Razi tampak ragu-ragu untuk menceritakan perihal keguguran Maira. Khawatir ceritanya justru akan menyakiti Alma. Meskipun mereka sudah bercerai, Razi tahu wanita itu masih menyimpan rasa terhadapnya. Razi terdiam cukup lama membiarkan Alma menunggu jawaban.
"Zi, kamu nggak mau cerita sama aku?" Alma menatap mantan suaminya itu lekat.
"Ayo, kita jemput Sarah."
"Ziii!" Alma tidak mau mengikutinya yang sudah berdiri. Ia masih menuntut jawaban.
"Apa ada kaitannya dengan ... May?" tanyanya pelan.
Razi menghembuskan napas yang tadi mencekat tenggorokannya lalu kembali duduk. Jika Alma sudah menuntut seperti ini, ia tidak bisa mengelak. Dengan mata terpejam, kepalanya mengangguk pelan.
Alma mengerti benar mantan suaminya ini. Sejak pria ini mengenal wanita bernama Maira, tidak ada hal lain yang dapat benar-benar mengusik pikirannya selain Maira.
"Cerita sama aku. Kenapa kamu galau begini? Lamaranmu ditolak sama May?" tanya Alma menyindir. Ia sudah mengetahui rencana Razi untuk kembali melamar mantan istrinya itu. Bukan dari mulut Razi, tapi dari Ruri. Alma kini berteman dekat dengan Ruri. Ruri menceritakan semuanya pada Alma. Bahkan tentang Razi yang berperan sebagai A'an atau ROBOCOP.
Saat itu Alma bahkan tidak mengerti kenapa Razi harus menjadi A'an atau ROBOCOP. Lalu Ruri menjelaskan jika ternyata suaminya dan Razi adalah teman sepermainan di TK. Mereka baru mengetahui itu saat sedang menemani ibunya Galang belanja di supermarket, tidak sengaja berpapasan dengan Razi yang juga sedang menemani umminya belanja. Dan kedua wanita berusia senja itu pun saling mengenali satu sama lain. Lalu keduanya sedikit bernostalgia dan menceritakan bahwa Galang yang dulunya cadel itu belum bisa menyebut 'Arsan', sehingga yang keluar dari mulutnya hanya kata A'an.
Ruri juga menjelaskan bahwa ROBOCOP adalah julukan Maira untuk A'an. Karena menurutnya A'an yang dikenalnya ini adalah pria kaku berhati robot. Dan Alma pun terpingkal-pingkal mendengarnya. Menurutnya, julukan dari Maira itu pas untuk Razi.
Dan Alma sama sekali tidak marah ataupun kesal saat mendengar rencana Ruri untuk mempertemukan kembali Razi dengan Maira. Alma justru bersyukur, karena pria yang dicintainya itu bisa mendapatkan kembali cintanya. Mungkin ini yang dinamakan ikhlas. Bahagia jika melihat orang yang kita cintai bahagia.
"Kamu tahu?" Razi melebarkan matanya. Bertanya-tanya dalam pikirannya bagaimana mantan istrinya mengetahui berita itu.
"Aku punya mata-mata dimana-mana, Zi," jawab Alma sambil mengedipkan matanya.
"Hah?"
"Ya ampuuun, becanda Zi! Ruri yang cerita."
Razi mendesah hingga matanya terpejam. Tak percaya jika ternyata istrinya Galang itu menceritakan rencananya pada Alma.
"Ruri cerita apa saja?" tanya Razi penuh selidik. Lagi-lagi, cemas jika ada hal yang menyinggung atau bahkan menyakiti Alma.
"Semuanya. Bahkan soal ROBOCOP!" jawab Alma sambil tertawa cekikikan.
Razi tercengang melihat reaksi Alma. Ia tertawa, bukan kecewa atau bahkan menangis. Razi pun ikut tertawa. Bukan karena menurutnya cerita itu lucu. Ia hanya merindukan momen seperti ini. Tertawa lepas berdua dengan Alma.
"Jadi gimana?" Alma memintanya untuk bercerita sambil berusaha menahan tawanya menjadi berkepanjangan.
"Tadi siang aku menemui orangtua May. Aku menyampaikan maksud dan tujuanku untuk ..." Razi melirik sejenak pada Alma lalu menghentikan kalimatnya. Kembali memperhatikan perubahan raut wajah Alma.
"Melamar May untuk kedua kalinya. Lalu?" Alma melanjutkan potongan kalimat Razi sambil tersenyum.
"Lalu ... aku mendengar berita buruk itu dari Malik." Kini justru raut wajah Razi yang berubah. Senyumnya tadi memudar.
"Kenapa?" tanya Alma penasaran. Kedua alisnya bertemu.
"Maira hamil anakku lalu keguguran di sana."
Alma membeku. Tidak merespon. Jarinya mulai memilin ujung tunik yang dikenakannya.
"Aโaku ... aku tahu berita itu," ujar Alma dengan lirih.
"Hah? Kamu tahu May keguguran?" Razi bertanya untuk memastikan pendengarannya.
Alma menunduk lalu mengangguk lemah.
"Kenapa kamu nggak cerita sama aku? Siapa yang kasitau?" Razi terdengar kecewa.
"Ruโruri."
Razi bangkit dari duduknya. Menghentakkan sebelah kakinya dengan kesal. Lalu berkacak pinggang. Selama ini Ruri mengetahui berita itu tapi tidak memberitahunya? Razi berpikiran untuk membuat perhitungan.
Alma yang melihat sikap Razi langsung menyeringai takut. Ia menarik ujung baju Razi, memintanya untuk kembali duduk. "Zi, dengar dulu penjelasanku! Duduk!"
"Ayo, aku antar kamu pulang. Aku harus bicara dengan Galang dan Ruri!" Razi terlihat berang.
"Ziiii, dengerin aku! Ruri nggak salah! Aku yang salah!" imbuh Alma kesal.
Tatapan Razi yang bingung tertuju padanya. "Maksud kamu?"
"Duduk dulu! Lalu tenangkan dirimu!" Alma memerintah dengan tegas.
Razi pun menuruti permintaannya untuk kembali duduk. Berusaha menenangkan pikirannya yang terlanjur kacau.
Saat Razi siap mendengarkan, Alma justru berkali-kali mendesah. Khawatir mantan suaminya itu akan marah saat mengetahui kebenarannya.
"Jadi ... saat Ruri datang ke rumah waktu itu, ia menyampaikan kabar bahwa Maira baru saja keguguran. Ia sengaja memberitahuku terlebih dahulu, karena menurutnya itu keputusanku untuk memberitahumu atau tidak. Tapi ... waktu itu aku terlalu egois. Aku sengaja tidak memberitahumu. Bahkan dengan teganya aku bilang ke Ruri bahwa May akan baik-baik saja. Sama seperti aku yang juga baik-baik saja saat berjuang sendirian dalam kondisi hamil. Ya Allah ...astaghfirullah ... aku jahat banget ya, Zi!" Alma mengelus dadanya sendiri. Tidak habis pikir dengan pemikirannya saat itu. Menyesali segala tindakannya di masa lalu. Sungguh memalukan!
"Gara-gara aku terlalu cemburu sama May. Aku jadi tidak berperasaan. Astaghfirullah. Maafin aku ya, Zi." Setitik air bening menetes dari sudut matanya.
Razi menghela napas pelan. Lagi-lagi ia mengingat perkataan mantan ibu mertuanya. Nasi sudah menjadi bubur. Masa lalu tidak bisa diulang. Dan selamanya hanya akan menjadi sebuah penyesalan.
"Jujur, aku kecewa, Al. Tapi aku maklum akan sikap kamu. Aku sama sekali tidak menyalahkan kamu, Al."
"Nggak, Zi! Wajar kalo kamu kecewa sama aku. Aku memang salah. Andai waktu itu aku cerita sama kamu, mungkin kamu bisa menemani May melalui masa-masa sulitnya. Dan mungkin ... kalian punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Alma menundukkan kepalanya. Meresapi rasa penyesalan yang menjorok itu sedalam-dalamnya.
Razi menepuk pelan puncak kepala Alma yang tertutup hijab lalu tersenyum. "Al, terima kasih ya sudah mau jujur sama aku. Insyaa Allah, semuanya akan baik-baik saja."
Ya, semuanya akan baik-baik saja. Razi yakin itu. Allah pasti mendengar munajat yang dilantunkan oleh hamba-Nya di setiap sepertiga malam. Dan nama Maira selalu termaktub dalam munajat itu.
*****