Ketika simfoni cinta kembali bertabuh di dada
Ku tak kuasa menolaknya
Meski ragu ini nyata
Atau sekedar euforia sesaat
- Dida -
*****
Musim semi di Jepang tiba lebih dahulu di Kyoto, dikarenakan lokasinya yang terletak di bagian Selatan kepulauan. Di musim ini, Kyoto memang menjadi tempat pilihan untuk melihat hanami. Seperti berada di negeri dongeng, bunga sakura bermekaran di mana-mana, menyuguhkan setiap pasang mata dengan pemandangan menakjubkan di musim semi. Tak terkecuali bagi Maira dan Dida yang saat ini sedang berjalan berdampingan di tepi Sungai Kamogawa.
Kemarin Maira baru saja keluar dari rumah sakit, namun karena kondisinya yang masih lemah, rencana jalan-jalannya dengan Dida pun baru terlaksana hari ini. Maira jelas membutuhkan vacaday (vacation-day) ini untuk mengusir penat dan suntuknya akibat menangis semalaman.
"Cantik banget, ya!" ucap Dida pada Maira yang sedang tersenyum memandangi kumpulan sakura di atas kepalanya.
Maira sedikit menurunkan kepalanya menatap wajah Dida. "Hmmm? Iya, sakuranya cantik banget, ya?"
"Bukan, kamu yang cantik banget!" jawab Dida dengan senyum manis.
Maira menjadi salah tingkah, wajahnya tersipu malu. "Apaan sih, Did! Eh, kamu laper nggak?" Maira buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Laper sih, tapi jadi kenyang karena ngeliatin kamu terus."
"Aaawww!" Cubitan maut Maira langsung melayang di lengan atas Dida. Spontan raungan kesakitan keluar dari mulut Dida.
"Kamu tau kan, Did? Aku bukan cewek yang suka makan gombal! Aku suka makanan beneran, yang bisa dikunyah dan ditelan. Laper, nih!"
Sambil mengusap lengannya dan wajah masih meringis, Dida menjawab, "Nggak suka makan gombal, tapi mukanya merah."
"Karena kedinginan tauuuu!!!" Maira langsung berjalan cepat meninggalkan Dida yang tengah tersenyum. Ia pun berlari kecil guna mengejar langkah cepat Maira.
"Maaf, maaf! Jadi, mau makan di mana?"
"Tau, ah!"
"Jangan ngambek begitu, nanti aku tambah gemes kan repot," sindir Dida usil.
"Awas lho ya kalo iseng lagi!" ancam Maira seraya menunjukkan jemarinya yang mencapit.
"Iya, maaf! Jadi, kita mau makan di mana?"
"Hmmm ...," Maira terlihat berpikir sejenak lalu menjawab, "Di Higashiyama aja. Nggak jauh juga."
"Okay, show me the way, princess!" Dida membungkuk sambil memutar2 tangan kanannya bak seorang pangeran mempersilahkan sang putri untuk berjalan di depannya.
Maira tergelak melihat sikap konyol Dida.
Keduanya berjalan kaki menyusuri lorong-lorong jalan kecil yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan klasik Jepang yang sebagian besar sudah beralih fungsi menjadi pusat kuliner, oleh-oleh, dan hiburan di area Gion. Beberapa kedai teh di sekitarnya turut menampilkan hiburan dari maiko dan geiko (geisha).
Dida yang sempat tertarik untuk masuk ke salah satu kedai itu segera ditarik menjauh oleh Maira.
"Jangan! Tempatnya geisha itu."
Dida membentuk huruf O dengan bibirnya sambil mengangguk mengerti.
Maira mengajak Dida berjalan memasuki sebuah gang menuju sebuah kedai Ramen halal yang terkenal di daerah Higashiyama. Dari depan pintu kedai itu sudah terlihat barisan antrian pelanggan. Maira menghitung ada lima orang yang sedang berdiri menunggu di barisan itu. Ia menarik tangan Dida untuk ikut mengantri.
"May, lama nggak nih nunggunya? Aku laper!"
"Ya tergantung yang di dalam situ, makannya lama apa nggak."
"Nggak nyari makan di tempat lain aja?"
"Hei, ini satu-satunya yang halal, lho di sekitar sini!"
"Tumben kamu peduli sama masalah halal. Biasanya makanan apa juga disikat," sindir Dida sambil memutar bola matanya.
"Soalnya apa yang masuk ke badan kita, masuk ke pikiran, masuk ke hati, masuk ke jantung, kan? Kalo makanan yang masuk ternyata yang dilarang, apa kabarnya pikiran, hati, dan jantung kita? Ya nggak?"
Dida menyambut ceramah kecilnya dengan tepukan tangan. "Big applause to you! Alhamdulillah, kamu sudah insyaf."
Maira langsung menurunkan kedua tangan Dida setelah melihat sorot mata orang-orang tertuju pada mereka. "Hush! Lebay banget, sih! Nggak enak tau, diliatin!" Bola mata Maira melirik ke sekitarnya.
"Cuek aja, May! Mereka kan nggak ngerti kita ngomong apa. Eh, ini depan-depan kita yang antri ... kayaknya bukan orang jepang, deh!"
"Memang bukan! Justru kebanyakan pengunjung kedai ini travellers dari Asia, Timur Tengah, orang-orang muslim negara lain pokoknya."
Penjelasan Maira itu disambut Dida dengan anggukan kepala. Ia melirik jam tangannya yang menyuarakan alarm.
"Reminder apaan tuh, Did?"
"Sepuluh menit lagi waktunya sholat Maghrib di sini. Aku sengaja nyetel alarm waktu sholat, mundur sepuluh menit dari waktu adzan. Biar bisa cari tempat sholat dulu."
"Oooh, tenang, Did! Di dalam ada mushola kecilnya, kok. Kecil siiih, tapi lumayanlah buat sholat," jelas Maira dengan sumringah.
Maira menunjuk pada papan menu yang terpampang di depan pintu masuk. "Kamu mau makan apa, Did? Maze-soba? Soyu ramen? Miso ramen pedas? Atau nasi pake lauk?" tanya Maira menawarkan pilihan menu pada Dida.
"Hmmm ... apa maze-soba?"
"Semacam ramen kering gitu. Enak juga. Mirip-mirip mie ayam."
"Terserah kamu, deh. Samain aja."
"Jadi ... kalo aku pesen ramen pedas, nggak papa?" Maira yang sangat tahu kalau perut Dida sensitif, menggodanya.
"May, kamu nggak kasian sama perutku?" Dida meringis ngeri.
"Tadi katanya samain aja."
"Ya maksudnya, apa aja asal nggak pedas."
"Naaah, gitu! Ngomong yang jelas, dong!" cibir Maira.
Setelah menunggu 15 menit, akhirnya tiba giliran Dida dan Maira memasuki kedai itu. Maira langsung menyampaikan pesanannya kepada sang chef yang sibuk memasak di depan sebuah meja makan panjang.
Interior kedai itu didominasi oleh kayu-kayu berwarna coklat. Begitu memasuki kedai, terlihat dua meja makan memanjang yang dihuni oleh banyak pelanggan. Beberapa wanita mengenakan hijab menempati meja panjang itu. Mereka terlihat sangat menikmati hidangan yang disajikan.
Maira memilih dua kursi kosong yang berada di ujung dalam meja panjang itu.
"Did, mau kamu atau aku yang sholat duluan? Gantian aja," tanya Maira sambil membawa sebuah piring berisi potongan ayam goreng untuk diletakkan di atas meja.
"Kamu ... sholat?" Dida seakan tidak percaya mendengar pertanyaan Maira yang baru saja diajukan.
"Ya sholatlah, masa nggak? Malu ah, islam KTP terus!"
"Boleh nggak aku tepuk tangan lagi?" goda Dida sambil tersenyum jahil.
"Mau capit kepiting melayang di kulitnya lagi, Pak?" ancam Maira dengan sorot mata horor.
"Ampuuunnn!!! Tega bener, kamu! Aku kan cuma ikut senang, karena akhirnya ... kamu —"
"Apa? Apa? Akhirnya aku apa? Mau bilang akhirnya aku insyaf lagi?" potong Maira dengan tatapan tajam.
Dida bergidik ngeri. Wajahnya mengisyaratkan ketakutan. "Ngeri kali, cewek yang satu ini! Ya udah, aku sholat duluan. Tapi, jangan diabisin nih ayamnya."
"Ya udah sana, buru!" Maira mencomot sepotong gorengan ayam berbalut tepung di piring.
Setelah Dida selesai sholat dan kembali ke meja, giliran Maira yang menuju mushola kecil itu. Dida tergiur melihat dua mangkok ramen bertabur sayuran, potongan daun bawang, rumput laut, disertai irisan telur dan daging ayam yang sudah tersaji di atas meja makan.
Meskipun penampakan hidangan di atas meja telah menggugah air liurnya, Dida memutuskan menunggu Maira selesai sholat untuk makan bersama.
"Lho, kok belum dimakan?" tanya Maira yang baru saja kembali dari mushola. Ia langsung duduk di sebelah kanan Dida.
"Nunggu kamu."
Maira mengernyitkan dahinya sambil tersenyum kecil. Keduanya pun mulai menikmati hidangan yang tersaji. Maira mengaduk-aduk seluruh bahan di dalam mangkuk ramen agar kuah bumbu yang terletak di dasar mangkuk ikut tercampur. Dida mencontoh Maira.
Sesekali keduanya menyelingi kegiatan makan malam itu dengan obrolan dan canda tawa. Ada
kalanya Dida menggoda Maira dengan tingkahnya di masa lalu.
Dalam hati Maira bersyukur, hari ini kesedihan sama sekali tak merundung dirinya. Dida berhasil membuatnya menikmati hidup sejenak.
"Goshisosama deshita¹." Maira menangkupkan kedua tangannya di depan dada seperti layaknya kebiasaan orang Jepang setelah selesai makan.
Beberapa detik kemudian terdengar suara tangisan bayi dari samping kanannya. Ternyata tangis itu berasal dari bayi yang sedang di gendong oleh seorang ibu yang terlihat kerepotan. Si ibu berusaha menenangkan bayinya sambil menundukkan kepalanya berkali-kali untuk meminta maaf kepada para pelanggan di sekitarnya yang mungkin terganggu oleh kerewelan bayinya. "Ah, sumimasen²."
Maira memperhatikan wanita itu sepertinya datang ke kedai ini hanya berdua dengan bayinya saja. Lalu sorot matanya tertuju pada semangkuk mangkuk rice-bowl yang terlihat sudah dingin belum tersentuh di meja.
Ia pun beringsut mendekati wanita itu lalu menawarkan bantuan. Awalnya sang wanita berperawakan Jepang itu ragu-ragu untuk menerima tawaran Maira. Namun Maira berhasil meyakinkannya. Sang bayi pun kini telah berpindah tangan. Maira menggendong bayi itu, berusaha untuk menenangkannya. Sementara sang ibu berusaha menghabiskan makanannya dengan cepat.
Dida tersenyum kagum melihat tindakan Maira. Bahkan dadanya kini berdegup kencang. Dalam hati ia bertanya, salahkah jika ia kembali jatuh hati kepada Maira?
Hanya dalam hitungan menit, Maira berhasil menenangkan bayi rewel itu dengan senandungnya. Setiap pasang mata yang menyaksikan kesuksesan Maira itu pun memujinya. Maira hanya tersenyum tipis seraya menunduk malu.
Sang ibu telah menyelesaikan makannya. Berkali-kali ia menundukkan kepala sambil berkata, "Shitsurei shimashita³. Honto ni arigatou gozaimashita⁴."
Dengan cepat Maira menegakkan badan sang ibu. " Iie, dou ita simashita⁵."
Namun lagi-lagi sang ibu menundukkan kepalanya. "Moushiwake arimasen⁶."
"Tonde mo arimasen⁷." Maira segera menyerahkan sang bayi ke dalam dekapan ibunya.
Sang ibu pun segera mohon diri dari hadapan Maira lalu membayar makanannya. Maira sendiri kembali menempati kursinya.
Tatapan Dida yang penuh makna tak lepas dari Maira. Bahkan ia tak sanggup berkata-kata untuk memuji kebaikan Maira.
"Kenapa kamu?" tanya Maira yang merasa risih terus-menerus dipandang olehnya.
"Nggak papa. Senang aja ngeliatin kamu."
"Emang kenapa?" tanya Maira lagi sambil berusaha bersikap acuh.
"Sesaat tadi, aura keibuanmu keluar. Andai saja ..." Dida berhenti sampai di situ, urung menyelesaikan kalimatnya.
Namun Maira terlanjur penasaran dengan lanjutan perkataannya. "Andai saja apa?"
"Nggak papa. Aku bayar dulu." Dida bangkit dari kursinya. Kini gantian wajahnya yang terlihat memerah.
Keluar dari kedai itu, keduanya langsung berjalan menuju halte bis. Lima menit kemudian mereka menaiki bis Kyoto yang menuju Kyoto Station.
Setelah berjalan kaki lima belas menit dari Kyoto Station, keduanya tiba di depan apartemen Maira.
"I had so much fun today. Thanks ya, Did!" Maira menepuk lengan Dida sekilas.
Dida memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Menahan hasratnya yang sejak tadi ingin sekali memeluk wanita di hadapannya ini. "Sama-sama. Aku senang kamu bisa senyum lagi. Ingat May, untuk memiliki anak itu hak prerogatifnya Allah. Mungkin sekarang belum saatnya untuk kamu, tapi aku yakin someday in the future, you'll be the greatest mom."
"Aamiin. Makasih banyak, Did. Ya udah, kamu pulang, gih! Nanti ketinggalan kereta, lho! Hati-hati ya." Maira melambaikan tangan kanannya lalu segera membalikkan badan. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa gamang.
Namun Dida masih ingin menyatakan sesuatu, ia berseru, "May!" Seketika Maira membalikkan badan menghadapnya. "Kalau hati kamu sudah kosong, boleh aku jadi orang pertama yang menempati?"
Maira terpaku di posisinya. Tak ada jawaban yang bisa diberikannya untuk saat ini. Sesaat hening di antara keduanya. Saat Dida melangkah mendekat, Maira langsung berujar, "Nanti kamu ketinggalan kereta, Did. Have a nice and safe flight, tomorrow. Fii amanillah, ya." Lalu diakhiri dengan seulas senyuman. Maira kembali membalik badan lalu bergegas masuk ke dalam bangunan bertingkat lima itu. Meninggalkan Dida yang menarik napas dengan lemah.
Di dalam kamarnya, Maira meringkuk menatap langit melalui jendela dengan tatapan kosongnya. Kehampaan kembali menemani, seperti di hari-hari sebelumnya. Setetes bulir bening mengalir dari sudut mata. Hidungnya kembang kempis berusaha menahan sesenggukan.
Maira kembali mengingat kejadian sore tadi. Di mana ia menggendong bayi lucu itu. Sesaat tadi intuisinya sebagai seorang calon ibu bekerja. Maira sempat membayangkan jika bayi itu adalah anaknya. Matanya beralih pada stick test-pack di genggamannya. Pikirannya mulai berandai-andai.
I found a love for me
Darling just dive right in
And follow my lead
Well I found a girl beautiful and sweet
I never knew you were the someone waiting for me
'Cause we were just kids when we fell in love
Nada dering ponselnya berbunyi. Maira membaca nama yang tertera di layar. Buru-buru dihapus air matanya yang menggenang. Beberapa kali Maira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.
"Assalamu'alaikum, Bunda."
"Wa'alaikumussalam. Alhamdulillah kamu angkat telepon Bunda. Kamu nggak apa-apa, May? Bunda kok tiba-tiba kepikiran kamu. Perasaan serba nggak enak. Sudah dua hari Ini kamu juga nggak angkat telepon Bunda."
"May nggak papa, Bun. Alhamdulillah baik-baik aja." jelasnya dengan suara sedikit parau.
"Kamu ... lagi nangis? Ada apa, May?" Fita terdengar khawatir dengan putrinya itu.
"Enggak kok, Bun. Cuma sedikit flu. Di sini musim semi tapi udaranya dingin." Maira berusaha menormalkan suaranya.
"Benar kamu nggak apa-apa?"
"Beneran kok, Bun. Dua hari kemarin May cuma lagi banyak kerjaan aja. Bunda dan Ayah gimana kabarnya? Sehat-sehat semua, kan?" Maira terpaksa berbohong lalu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan.
"Alhamdulillah, kami di sini sehat-sehat semua. Oh ya, Ummi Winda dan Asha titip salam untuk kamu. Mereka sekarang sedang ada di Makassar, jagain Arsi yang lagi sakit tipus."
"Salam balik buat Ummi dan Asha, Bun. May juga do'akan semoga Arsi cepat sembuh. May kangen sama semuanya." Maira bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia memang merindukan keluarga Razi, terutama mantan suaminya itu.
"Insyaa Allah, nanti Bunda sampaikan. Walau bagaimanapun juga, silaturahmi dengan keluarganya harus tetap dijaga. Bunda juga mohon, jangan sampai kamu memendam amarah atau dendam terhadap mereka semua, termasuk Razi."
"Iya, Bun. May tetap sayang kok sama semuanya. Cuma ... belum ada waktu untuk menghubungi Ummi dan Asha." Maira lagi-lagi berdusta. Ia bukan tidak punya waktu, melainkan ada perasaan wanita lain yang harus dijaga olehnya.
"Alhamdulillah, Bunda bangga banget sama kamu. Oh ya, beberapa hari yang lalu Malik ngabarin Bunda. Katanya dua minggu lagi dia liburan. Jadi rencananya mau nyamperin kamu di Kyoto."
"Dari Ibaraki kan lumayan jauh kalo kesini, Bun."
"Katanya dia kangen ngusilin Mbak Siomay," balas Fita berkelakar.
"Awas aja tuh Malik kalo ketemu! May cubitin habis-habisan!"
Di seberang sana terdengar suara Fita tergelak tawa.
"Emmm, Bun ... May mau tidur dulu, ya. Habis minum obat, ngantuk."
"Istirahat ya, Sayang. Semoga cepat sembuh. Ayah dan Bunda kangen banget sama kamu dan Malik."
"Aamiin. May juga kangen berat sama Ayah, Bunda. Semoga May nanti beneran bisa pulang mendekati hari lahirannya Ruri. Salam buat Ayah ya, Bun."
"Aamiin. Insyaa Allah, nanti Bunda sampaikan ke Ayah. Jaga diri baik-baik, ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam, Bun. I love you."
Maira menutup telepon sambil bernapas lega. Untung saja sang bunda tidak menaruh curiga. Kini seutas senyuman tersungging di wajahnya. Rasa kangen di hati sedikit terobati karena mendengar suara sang bunda. Maira melempar kepala ke atas bantal beralaskan futon. Angannya berkelana jauh. Memimpikan pertemuan dengan orang-orang yang dirindukan oleh hati dan pikirannya.
*****
Terjemahan bahasa Jepang :
1. Goshisosama deshita : Terima kasih atas hidangannya
2. Ah, sumimasen : Mohon maaf
3. Shitsurei shimashita : mohon maaf (sudah bersikap tidak sopan)
4. Honto ni arigatou gozaimashita : Saya benar-benar berterima-kasih
5. Iie, dou ita simashita : Tidak, tidak apa-apa / sama-sama
6. Moushiwake arimasen : Benar-benar minta maaf
7. Tonde mo arimasen : Ah, sama sekali tidak apa-apa