Chereads / May dan Aji (Completed Story - TAMAT) / Chapter 29 - 29. Asha dan Malik

Chapter 29 - 29. Asha dan Malik

Di antara taburan gemintang di angkasa bumi

Berkawan dinginnya serayu malam

Terlafal satu nama

Dalam munajat berbalut asa

- Razi -

*****

"Ummi, Razi minta maaf! Razi sudah mengecewakan, Ummi. Razi sudah dua kali gagal menjadi imam. Razi gagal menjadi teladan bagi Asha dan Arsi! Razi gagal menjadi anak yang membanggakan Ummi!" Razi bersimpuh di kaki Winda, memohon ampunan sang ibunda dengan bersimbah air mata.

Winda sendiri tak dapat menahan tangisnya. Dukanya turut tertumpah untuk sang putra sulung. Tak pernah terbayang olehnya, jika sang anak lagi-lagi gagal dalam membina rumah tangga.

"Maafkan Razi, Ummi! Razi sudah berusaha, tapi ..." Sekali lagi Razi mengungkapkan penyesalannya. Derai air mata menghiasi wajahnya yang tengah pucat.

"Zi, banyaklah beristighfar. Jangan lupakan Allah, hatimu ada dalam genggaman-Nya. Apa selama ini kamu sudah menjadi hamba yang baik? Apa selama ini kamu sudah berserah diri? Apakah kamu semakin mendekat? Atau justru menjauh dari Allah?"

Barisan pertanyaan dari wanita yang telah melahirkannya itu terasa bagai rentetan tembakan peluru menembus ke dasar hatinya. Razi menurunkan kepalanya, terlalu malu untuk menjawab.

"Diamnya kamu sudah menjawab semua pertanyaan Ummi tadi," lanjut Winda penuh kesedihan, "Banyak-banyaklah memohon ampunan, Nak. Ingatlah, dalam hidup ini berlaku hukum sebab-akibat. Jika sekarang kamu berada dalam keadaan seperti ini, pasti ada penyebabnya. Apa kamu sudah menyadari kesalahanmu?"

Razi hanya mengangguk pelan. Netranya masih belum berani bersitatap dengan sang ibunda.

"Terus, kamu sudah tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahanmu?" tanya Winda lagi.

Kali ini Razi menjawab dengan gelengan kepala.

"Mendekatlah kembali pada Allah, mohon petunjuk dan perlindungan dari jalan yang menyesatkan."

"Kak! Sebenarnya yang Kakak cintai itu siapa? Kak May atau Kak Al? Jangan bilang Kakak cinta keduanya ya, menjijikkan!" seru Asha yang duduk di sebelah umminya dengan membelalakkan mata.

Lagi-lagi Razi hanya menunduk dalam diam. Saat ini dengan mudah ia dapat menjawab pertanyaan adik perempuannya itu. Namun lidahnya terlalu kelu untuk berkata sepatah lisanpun. Hardikan demi hardikan pun, ia merasa pantas menerimanya.

"Asha, nggak boleh ngomong gitu! Bantu do'akan Kak Razi. Jangan ikut terpancing emosi," nasehat Winda dengan suara lirih.

"Ummi, Asha selalu berdo'a untuk kebahagiaan kita semua, termasuk untuk Kak Razi. Tapi, kalo Kak Razi-nya sendiri ngulah, ya do'anya mental!" sergah Asha sambil mendengus.

"Sudah, sudah! Zi, ambil wudhu! Sebaiknya kamu sholat dhuha. Ingat pesan-pesan Ummi tadi."

Razi mendongak menatap umminya penuh kasih sayang. Tak terlihat sedikitpun amarah terlintas di wajah sang ibunda yang sudah dipenuhi garis kerut.

"Kenapa?" tanya Winda karena dapat menebak arti tatapan sang putra sulung.

"Ummi ... kenapa ... kenapa Ummi waktu itu ngotot menjodohkan Razi dengan Maira? Kenapa saat dulu Razi menyatakan ingin melamar Alma, Ummi langsung menolak?"

Winda mengulas seutas senyuman sebelum menjawab, "Karena waktu kecil, kamu yang minta Ummi berjanji untuk menjadikan May istri kamu kalo sudah besar."

Razi mengerutkan dahinya, mencoba mencari-cari kepingan masa itu di ingatannya.

"Kak Razi lupa kali, Um!" sambar Asha sebal.

Winda mengabaikan celetukan putrinya yang sedang ikut sewot itu. "Zi, waktu kamu bilang ingin melamar Alma, Ummi sudah tahu bagaimana perasaan kamu sebenarnya. Kamu memang perhatian, peduli, dan sayang sama Alma, tapi bukan jatuh cinta. Ummi menolak, karena tahu kamu sudah menyalahartikan perasaan sendiri."

"Kenapa Ummi nggak bilang waktu itu?" Razi tercekat.

"Ummi pikir kamu bakal tahu sendiri nantinya."

"Ah, Ummi kayak nggak tau aja! Kak Razi kan lemot kalo menyangkut perasaan," ledek Asha sambil mendelik.

"Kali ini Ummi setuju sama omongan Asha." Winda menaik-turunkan alisnya jahil.

Razi yang tadi masih diliputi kesedihan, kini ikut tersenyum tipis. "Iya ya, aku memang bodoh soal beginian!"

Asha memutar kedua bola matanya lalu berseru kencang, "Baru nyadar! Selama ini kemana aja?!"

"Asha!" Winda menegur dengan delikan.

"Makanya, Kak. Kalo ada masalah tuh, jangan dipendam sendiri. Apalagi masalah perasaan ... ckckck ... bisa jadi depresi lhooo! Kan serem kalo berakhir macam orang-orang yang putus cinta di TV, sampai bunuh diri segala," Asha mencerocos panjang lebar.

"Aduh!" Sebuah sentilan mendarat di dahi Asha.

"Kamu tuh! Kalo ngomong suka melebar kemana-mana," decak Razi yang bersiap-siap melayangkan sentilan kedua.

"Kak Razi, kalo lagi galau soal cewek, bisa tanya sama Asha. Jangan pernah lupa kalo punya adek yang beda jenis kelamin," cetus Asha lagi tanpa menghiraukan ancaman kakaknya.

Razi hanya tersenyum kecut menanggapi komentar adiknya itu.

Winda bangkit lalu menarik tangan anak-anaknya. "Sudah, sudah! Kakak-adik ribut aja. Ayo, pada sholat dhuha! Nanti keburu siang."

-----------------

"Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumussalam! Maliiiiiikkkkk!" Maira segera memeluk erat adiknya yang sudah hadir di depan pintu apartemennya.

"Kok kamu kurusan, siiih? Nggak doyan makanan Jepang?" Maira melepaskan pelukannya lalu memperhatikan penampilan adiknya itu dengan seksama.

"Aku dipersilahkan masuk dulu kali, Mbak," sindir Malik yang tengah menjinjing tas ranselnya.

Maira tergelak lalu mendorong Malik untuk masuk ke dalam.

"Waaah, apartemen Mbak lebih besar!" seru Malik terperangah melihat kondisi apartemen Maira.

"Lumayanlaaah! Kan, difasilitasi kantor. Eh, aku udah masakin capcay kesukaan kamu, tuh! Kamu laper, kaaan?" Maira menarik tangan Malik menuju dapur yang merangkap ruang makan.

Malik tergiur melihat tiga piring hidangan yang sudah tersaji rapi di atas meja. Liurnya menetes seketika. "Mbak Siomay, i love you somad!"

Malik seketika melayangkan puluhan ciuman di wajah kakaknya itu. "Iiih, Maliiiik!! Jijay aaaah!!" elak Maira berusaha menjauh.

"Mbak ada angin apa sih baik-baikin aku? Hmmm ... jangan-jangan ... ada udang di balik siomay, ya?" tuduh Malik menyeringai curiga.

"Apaan sih! Walaupun kamu nyebelinnya sampai ke ubun-ubun, Mbak beneran kangen sama kamu. Mbak juga kangen ayah sama bunda," jelas Maira dengan wajah sedikit sedih.

Malik yang tadi mulai sibuk menyendok lauk ke atas piringnya, berhenti. Mimik wajahnya berubah.

"Mbak, beneran nggak papa?"

"Apanya?"

"Mbak ... nggak papa setelah pisah ... sama โ€”"

Maira yang sudah mengerti arah pembicaraan adiknya, cepat-cepat memotong, "Mal, pokoknya hari ini Mbak mau hepi-hepi sama kamu! Nggak usah bahas yang aneh-aneh!"

"Tapi, kan โ€”"

"Gimana kuliah kamu di Tsukuba? Dosennya baik-baik apa killer semua?" Maira mengalihkan topik pembicaraan. Ia mulai menyendok makanan di atas piring.

"Enak-enak, sih! Akrab malahan sama mahasiswa. Tapi sikap mereka tegas."

"Hmmm ... terus-terus, ehem ... ada cewek cantik nggak di kelas kamu?"

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Malik tersedak. Pertanyaan kakaknya itu cukup mengejutkannya. Maira langsung menyodorkan segelas air putih.

Malik cepat-cepat minum hingga megap-megap. Segelas air itu langsung ditenggaknya hingga habis.

"Hei, entar kembung tuh perut!" tegur Maira.

"Mbak sih pake nanya begituan, bikin kaget aja!"

Maira mengangkat sebelah sudut bibirnya. Sebelah alisnya ikut terangkat. Sorot matanya memandang curiga. Ia langsung menembak, "Hmmm ... berarti ada something-something, nih! Kamu lagi naksir cewek, ya?"

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Malik kembali tersedak untuk kedua kalinya. Wajahnya memerah malu. Maira kembali melayangkan serangan ejekan. Kedua kakak-beradik itu pun larut dalam candaan makan siang.

Selesai makan, Maira mengajak Malik menemaninya belanja kebutuhan sehari-hari di supermarket. Sang adik dengan senang hati membuntuti kakaknya yang juga mampir ke berbagai toko. Bahkan seorang Malik yang biasanya malas membawa belanjaan, kini justru bersikeras menenteng seluruh hasil 'lapar-mata' kakaknya itu. Malik sendiri terkejut mengetahui Maira sekarang gemar belanja. Karena seingatnya, kakak perempuannya itu bukan pendoyan shopping layaknya seorang wanita pada umumnya. Maira juga mengajaknya mampir ke sebuah butik, lalu membelikan beberapa kaos, sebuah sweater dan syal untuk Malik. Keduanya menikmati waktu di jalanan Kyoto hingga senja.

Sebelum waktu Maghrib tiba, keduanya telah sampai di apartemen. Setelah selesai melaksanakan sholat Maghrib bersama, Maira pergi ke dapur untuk mempersiapkan makan malam bagi mereka berdua.

Sedangkan Malik sibuk mencoba-coba baju pemberian kakaknya.

"Mbak, gunting di mana? Mau motongin label baju, nih!" teriak Malik dari dalam kamar tamu.

"Ada di kamarku, laci meja paling atas!" jawab Maira turut berteriak dari dalam dapur.

Malik masuk ke dalam kamar Maira yang berukuran kecil itu. Matanya mencari-cari laci meja yang dimaksud. Ada dua meja yang terletak di sana. Yang satu meja kecil dengan sebuah vas bunga berisikan kunci-kunci, dan satunya lagi sebuah meja kerja.

"Meja yang mana, Mbak?" teriak Malik lagi.

"Meja kecil, yang ada tempat kunci!"

Malik pun mendekati meja itu lalu membuka laci paling atas. Benda yang dicari pun langsung diketemukan. Namun sorot matanya menangkap keberadaan benda lain di dalam laci itu. Tangannya memungut benda itu dengan wajah terkesiap. Ia bergegas menghampiri Maira sambil membawa benda itu.

"Mbak hamil???"

Maira menjatuhkan pisau yang ada dalam genggamannya. Ia lupa jika menyimpan hasil test-pack di dalam laci tersebut. Untung saja benda tajam itu tidak menimpa kakinya. Wajahnya terperangah kaget. Otaknya seketika membeku mendengar pertanyaan Malik.

"Mbak, jawab! Mbak lagi hamil? Sudah berapa bulan? Sudah kabarin bunda? Mas Razi tau apa nggak?" Rentetan pertanyaan Malik tertuju padanya.

Dengan lemas, Maira mendudukkan dirinya di kursi makan. Tidak tahu jawaban macam apa yang akan ia lontarkan pada adiknya.

Malik yang menyadari perubahan sikap Maira, langsung mengambil duduk berhadapan dengannya.

"Mbak? Mbak kenapa?" kini Malik bertanya dengan lebih lembut.

Perlahan bulir-bulir bening mencuat dari kedua sudut mata Maira. Lagi-lagi ia kembali diingatkan dengan peristiwa itu. Saat ia harus rela kehilangan janinnya.

"Aku ... keguguran, Mal." Maira menjawab lirih.

Malik terperanjat dengan jawaban Maira. Ia memperhatikan kesedihan yang kini menyelimuti wajah sang kakak.

"Mbak ... mbak nggak bisa menjaga amanah ini dengan baik," lanjut Maira dengan penuh linangan air mata.

"Inna lillahi wa inna ilaihi roji'uun. Mbak sudah kabarin ayah, bunda? Mas Razi?" tanya Malik lagi dengan lebih sabar.

Maira menggelengkan kepala perlahan. Hingga detik ini, ia belum memberitahu perihal kegugurannya itu pada orang lain, kecuali Ruri dan Nakamura Ai, rekan kerjanya. Bahkan ia berbohong pada pihak kantor, mengatakan kalau ia dirawat karena sakit.

"Kenapa nggak, Mbak?"

"Aku nggak mau ayah, bunda kepikiran. Terutama bunda, pasti nanti jadi sedih. Mas Aji ... aku nggak mau mengganggu kehidupan barunya."

"Dasar brengsek!" umpat Malik dengan penuh emosi, "Aku pikir selama ini dia laki-laki sejati! Aku nyesel pernah kagum sama dia!"

"Malik! Jangan berprasangka buruk sama Mas Aji! Kamu nggak tahu apa-apa."

"Lho, kok Mbak malah belain dia, sih? Dia sudah nyakitin Mbak! Nyakitin keluarga kita! Belum ketuk palu di pengadilan, dia sudah kawin lagi! Apa namanya kalo bukan laki-laki brengsek?!" sergah Malik berapi-api.

"Malik! Jangan picik! Aku yang nyuruh dia nikah lagi!" Emosi Maira terpancing.

Malik terdiam tak percaya mendengar bantahan Maira.

Tidak mengerti dengan penjelasan yang tidak jelas itu.

"Sudahlah, Mal. Nanti suatu saat Mbak cerita semuanya ke kamu. Tapi, nggak sekarang. Ya?"

"Terserah Mbak, deh!" Malik kesal lalu berlalu meninggalkan Maira sendirian di dapur. Terdengar suara gebrakan pintu ditutup.

Maira meremas-remas kaos yang sedang dikenakannya. Bibir bawahnya kembali digigit kuat-kuat. Kedua matanya kembali menyemburkan tangisan. Saat ini hal yang paling tidak diinginkannya hanyalah adu-mulut dengan adik satu-satunya itu. Maira dan Malik sebenarnya dua pribadi yang sama. Sama-sama mudah terbawa emosi. Jika keduanya sudah 'berperang', sulit sekali untuk berdamai. Tapi kali ini Maira harus menelan bulat-bulat egonya. Karena Malik hanyalah satu-satunya orang yang bisa diandalkan olehnya untuk saat ini.

Sambil menyeka sisa-sisa air mata di wajah, Maira berjalan menuju kamar tamu. Dengan sedikit ragu, ia mengetuk pintu kamar sambil memanggil nama adiknya. Setelah beberapa kali panggilan, barulah Malik membuka pintu dari dalam. Tatapannya nanar.

"Mal, maaf ya. Kamu nggak marah, kan?" tanya Maira dengan nada merayu.

"Kenapa aku harus marah? Aku cuma kecewa, Mbak. Kalian orang dewasa, tapi pikirannya nggak ada yang dewasa. Egois semua! Mbak yakin nggak mau ngabarin ayah bunda cuma karena nggak mau mereka kepikiran?" Malik meringis sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Mal, masalahku tuh kompleks! Nggak sesimpel yang kamu pikir. Aku harus memikirkan yang terbaik untuk semua pihak."

"Apa perceraian itu hal yang baik? Menyembunyikan berita duka itu hal yang baik? Baik untuk semua pihak? Menurut siapa?" cecar Malik lagi.

"Ya ... meโ€”menurutku begitu," jawab Maira gelagapan.

"Menurut Mbak, kan? Dari sudut pandang Mbak? Apa mbak pernah bertanya ke pihak lainnya apakah mereka puas dengan kondisi ini?"

"Maksud kamu apa sih, Mal?" Maira mulai kesal.

"Mbak egois! Memutuskan semuanya sendiri. Tanpa meminta pendapat orang lain. Tanpa menganggap keberadaan orang lain. Mbak anggap aku apa? Apa Mbak ngabarin aku saat keguguran?"

Maira terpojok, tak mampu membantah rentetan pernyataan ataupun pertanyaan adiknya. Ya, ia memang egois. Semua itu hanya alasan yang dibuat-dibuat olehnya.

"Maaf, Mal. Aku cuma ... aku stres, Mal! Aku kesepian! Aku bingung! Aku tidak mau dikasihani, tapi aku ingin disayang. Aku tidak mau merepotkan, tapi aku ingin sekali diperhatikan. Aku sendiri, tidak tahuย  mau bagaimana."

Malik spontan memeluk kakaknya yang terlihat tertekan itu. "Maaf, Mbak. Maaf, Malik nggak ada waktu Mbak sedang butuh seseorang. Pokoknya mulai sekarang, Mbak harus ngabarin aku, masalah apapun itu. Jangan dipendam sendiri." Malik melepas pelukannya. "Pokoknya, Mbak Siomay harus janji!"

Sambil menghela napas, Maira mengangguk berkali-kali. Kelingkingnya ditautkan dengan kelingking adiknya. Kini Maira merasa lega, ada adiknya di sampingnya.

---------------

Ruree : May, gimana kabar lo? Udah sehat?

Me : Alhamdulillah, sudah ga papa kok. Malahan udah jln2 ๐Ÿ˜‰

Ruree : Emgnya kuat?

Me : Ga papa kok, Rur. Everything is ok! ๐Ÿค—

Ruree : Syukur kalo gitu. Gw kuatir berat, apalagi lo disana sendiri ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ

Me : Ga sendiri kok. Ada Malik nih

Ruree : Malik di Kyoto? ๐Ÿ˜ฑ

Me : Yup!

Ruree : Berarti dia tau dong soal lo keguguran

Me : Ketauan lbh tepatnya. Tp gw udah cerita smua ke dia

Ruree : ๐Ÿ˜ซ

Me : Dia jg udh janji ga bakal ngomong ke ayah bunda

Ruree : Knp mslh lo ribet bnr sih may? ๐Ÿ˜ฅ

Me : ๐Ÿ˜๐Ÿ˜ ini ujian

Ruree : ๐Ÿ˜’

Me : Bobo, gih! Udah mlm kan disana

Ruree : Disana lbh mlm bukan? ๐Ÿค”

Me : Yeeesss! Makanya gw jg dah ngantuk nih ๐Ÿ˜๐Ÿ˜ด

Ruree : Sleeping beauty, yuuuk ๐Ÿฅฐ

Me : Sehat2 yaaah, ikan kecilkuuuh ๐Ÿ˜˜. Tunggu kedatangan Ontih May 3 bln lg ๐Ÿค—๐Ÿค—

Ruree : Siyaaap!! Jgn smp gw dah lahiran lo baru nongol.

Me : Siiiippph! Miss u both ๐Ÿ˜˜โค

Ruree : Miss u 2 ๐Ÿ˜˜โค

*****