Am i being selfish?
I just want you for my own
I want this endless moments forever
May i be the selfish one?
- May & Aji -
*****
Di Sabtu pagi ini, Maira tengah menyibukkan diri di dapur. Ia menyiapkan terigu, gula pasir, susu, telur, margarin, vanilli, dan baking-soda. Pasalnya, tadi malam ia sudah berjanji akan menyiapkan sarapan istimewa bagi Razi, sang kekasih hati. Mumpung Sarah masih terlelap di kamarnya dan suaminya tengah jogging keliling komplek, Maira harus bergegas menyelesaikan pekerjaannya di dapur.
Ia menyatukan semua bahan di mangkuk lalu mengaduk-aduk dengan whisk. Selanjutnya Maira memanaskan panci teflon, mengolesinya dengan sedikit minyak lalu menuangkan adonan yang telah diaduknya tadi. Dalam sekejap, pancake buatannya sudah jadi. Setelah menempatkan di piring, ia menuangkan sedikit madu di atasnya, lalu memberi taburan roasted-almond yang sudah dicincang. Maira juga telah menyiapkan teh hijau hangat kesukaan suaminya.
Tak lama setelah menghidangkan sarapan buatannya di meja, Razi pulang dengan membawa sekantong bakwan goreng kesukaan Maira.
Mereka saling terpukau dengan sarapan yang terhidang di atas meja makan. Sarapan favorit Maira dan Razi, pancake dan bakwan.
"Aku bahagia banget kalau kamu mau menyiapkan ini setiap pagi," celetuk Razi saat menikmati pancake itu.
"Gombal!" seru Maira sebelum menenggak minuman coklat panas kesukaannya.
"Buat suami, menikmati masakan istri itu surga dunia," ujar Razi dengan tersenyum.
"Masa sih, Kak? Bukannya surga dunia suami itu kalau 'ehem-ehem' sama istri di ranjang, ya?"
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Maira tersedak.
"Asha?!" seru Razi sambil menoleh pada Asha yang berjalan menghampiri mereka.
"Assalamu'alaikum. Hehe... pagi-pagi udah romantis aja, bikin mupeng!" sahut Asha yang langsung menyalami keduanya.
"Wa'alaikum - uhuk - salam. Uhuk! Uhuk!" jawab Maira masih sambil terbatuk.
Razi mengulum senyum melihat wajah istrinya yang sudah merah maksimal karena ucapan adiknya tadi. "Ada apa, Sha?"
"Mau ngambil Sarah. Hari Sabtu jatahnya Kak Razi menginap di mertua, kan?" jawab Asha mengingatkan.
"Sebenarnya... Kakak sudah punya rencana lain hari ini." Jawaban Razi ini membuat Maira mengerutkan dahinya.
"Rencana apa, Kak?" tanya Asha sambil mencomot salah satu bakwan di piring.
"Emmm... Kakak mau ngajak Kak May liburan ke Bandung." Usai menjawab, Razi melirik Maira untuk melihat reaksinya.
"Hah? Ke Bandung? Kok... kamu nggak bilang-bilang? Terus, urusannya sama bunda bagaimana? Terus... Al?" Maira menaikkan kedua alisnya.
"Tenang saja, aku sudah minta tolong Arga untuk menjaga Al saat weekend. Aku juga sudah minta ijin bunda. Aku bilang kalau kita mau bulan madu. Bunda langsung kasih ijin."
"Hah??" seru Maira terperanjat.
"Ciyeee, mau honeymoon! Biar cepet jadi, ya Kak. Asha sudah nggak sabar ingin punya 'ponakan." Asha berujar senang.
Bulan madu? Satu kamar? Satu tempat tidur? Itu artinya... aku dan dia akan...
Keduanya hanya tidur sekamar jika sedang menginap di rumah orangtua Maira, tapi tidak seranjang. Pikiran Maira dipenuhi dengan kecemasan memikirkan kemungkinan jika ini akan menjadi 'malam pertama' mereka. Sontak rona-rona merah itu muncul kembali di kedua belah pipinya, seperti baru tersengat terik matahari.
Razi kembali mengulum senyum melihat reaksi panik Maira yang menurutnya menggemaskan. Memancing sesuatu yang telah lama ditahan olehnya.
"Ehem... ehem! Baru ngomongin mau bulan madu saja sudah pada malu-malu gitu. Aku melipir ngecek Sarah aja, deh! Daripada di sini ganggu pengantin baru mau honeymoon," pungkas Asha sambil berlalu menuju kamar yang ditempati oleh Sarah.
Tiba-tiba Sarah teringat sesuatu. Lalu ia bangkit berjalan cepat menyusul Asha yang sudah memasuki kamarnya. Razi yang terlihat bingung akan sikap istrinya pun mengikuti dari belakang.
Begitu membuka kamar, Asha terpaku melihat sekelilingnya. Kamar itu dipenuhi dengan barang-barang milik Maira. "I - ini... kenapa kamar ini dipenuhi barang Kak May?" tukasnya cepat sambil berbalik menghadap Maira dan kakaknya. Tatapannya penuh selidik.
"Eh, i - itu... so - soalnya..." Belum selesai Maira berbicara, Asha langsung bergerak cepat menuju lemari pakaian. Ia membuka pintunya dan terperangah melihat isinya yang dipenuhi baju-baju Maira.
"Kalian tidur terpisah??" tanya Asha terlihat kecewa.
"Asha! Tidak seharusnya kamu membuka lemari orang lain tanpa ijin!" tegas Razi. Ia menaikkan kedua alisnya.
"Ta - tapi, Kak -"
"Asha! Ikut Kakak!" potong Razi sambil berjalan keluar kamar. Maira menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan kecemasannya. Khawatir berita ini akan sampai di telinga ibu mertuanya. Apa yang nantinya akan ia jelaskan kepada wanita yang telah dianggapnya seperti orangtua sendiri itu?
Razi duduk berhadapan dengan Asha di sofa ruang tamu. Asha memalingkan wajahnya yang dipenuhi kekecewaan. Ia menepuk bantalan sofa di sebelahnya, meminta Maira yang hanya berdiri terpaku untuk duduk bersamanya di sana. Namun Maira menggelengkan kepalanya, ia menolak.
"Kenapa Kak Razi dan Kak May tidur terpisah?" tanya Asha kesal. Matanya menatap taman kecil di halaman rumah kakaknya itu.
"Sha, kami menikah karena dijodohkan. Kami perlu waktu untuk saling mengenal dan beradaptasi. Itu yang sekarang sedang kami lakukan," jawab Razi, "dan bisa dibilang, saat ini Kakak dan Kak May sedang menikmati masa layaknya orang berpacaran."
"Ya tapi, kenapa harus pisah kamar, Kak? Banyak orang di luaran sana yang menikah dengan proses ta'aruf, mereka bahkan baru saling mengenal. Tapi apa mereka tidur pisah kamar setelah menjadi pengantin baru? Jangan bohong, Kak! Asha minta jawaban jujur!" tuntut Asha kesal. Ia merasa Kakaknya ini tidak mengatakan yang sebenarnya.
"Kakak mengatakan yang sejujurnya, Sha. Selama proses ini, kami menghormati privacy masing-ma -"
"Aku yang minta, Sha! Aku... yang minta tidur terpisah," sergah Maira memotong kalimat Razi. Ia menghela napas panjang.
Asha menatap kakak iparnya itu dengan pandangan tajam. "Kenapa, Kak? Apa Kak May - jangan-jangan Kak May tidak cinta dengan Kak Razi?"
"Bu - bukan begitu, Sha. Aku cuma - aku... ," tepis Maira dengan mata terpejam. "Kami baru bertemu lagi setelah sekian lama. Mungkin Ummi juga sudah bercerita kalau pertemuan kami di Mal tidak berlangsung dengan baik. Aku tidak mengenal bagaimana Mas Aji yang sekarang, begitupun sebaliknya. Terlalu banyak kesalah-pahaman yang terjadi di antara kami." Maira menggigit bibir bawahnya.
Sejenak suasana menghening, tidak ada yang berkomentar atas pernyataan Maira itu. Tidak juga Razi, meskipun saat ini yang ingin dilakukannya hanyalah menghambur pelukan untuk istrinya itu.
Sementara Asha, ia bertanya-tanya apa kesalah-pahaman yang pernah terjadi di antara mereka. "Kak Razi, apa maksud perkataan Kak May?" Kini giliran Razi yang dituntut untuk angkat bicara oleh Asha.
Razi menghela napas panjang sebelum menjawab, "Sudahlah, Sha! Yang jelas, sekarang kami saling mencintai. Segala salah paham di antara kami sudah selesai."
"Iya, Sha. Lagipula, se - sekarang kami sudah tidur sekamar, kok. Aku cuma belum sempat memindahkan saja. Jadi, untuk sementara barang-barangku masih terletak di kamar itu," tambah Maira dengan menambah sedikit kebohongan agar pembicaraan ini tidak melebar.
Asha terlihat sedikit lega, wajahnya sudah tidak setegang beberapa menit yang lalu, meskipun masih banyak pertanyaan tergantung di kepalanya. "Alhamdulillah, kalau begitu. Asha, terutama Ummi, pasti akan sangat kecewa jika Kak May dan Kak Aji tidak bahagia dengan pernikahan ini. Karena Ummi tahu kalau Kak Razi sudah suka dengan Kak May sejak kecil."
Maira tersentak mendengar pengakuan dari Asha. "Apa, Sha? Dari kecil?"
"Iya, memangnya Kak May nggak ing -?"
"Sudah, nggak usah dibahas lagi! Pembicaraan sudah selesai! Kakak dan Kak May harus siap-siap dulu. Semakin siang, jalanan menuju Bandung akan semakin macet," potong Razi sambil bangkit lalu menggandeng tangan May menuju kamarnya.
Setelah mengunci pintu kamar, Razi mendudukkan dirinya yang terasa lemas di atas ranjang. Razi mengusap-usap wajahnya dengan kedua tangan.
"Kamu suka sama aku sejak kecil?" tembak Maira. Ia duduk di sebelah Razi.
"Sayang, kamu siap-siap, ya. Mumpung Sarah masih tidur," Razi mengalihkan pembicaraan sambil mengelak pandangan.
Maira memegang kedua sisi wajah Razi untuk diarahkan menghadapnya. Maira menatapnya dalam. "Kamu... beneran suka sama aku sejak kecil?"
Razi menggenggam kedua tangan Maira yang masih menempel di pipinya. Matanya menatap dalam. "I've told you, i always love you."
Maira menahan senyumnya. Kali ini Maira memilih untuk menuruti bisikan hatinya. Dengan mengumpulkan segenap keberanian, ia mendekatkan wajahnya lalu menempelkan bibirnya dengan bibir suaminya. Awalnya sentuhan itu hanya berupa kecupan kecil yang berlangsung beberapa detik. Kemudian, Razi menuntut lebih hingga keduanya saling memagut, melampiaskan kerinduan yang telah terpendam selama ini. Hasrat keduanya yang kian menggebu akhirnya mengambil alih. Tangan Razi turun ke punggung Maira untuk mendekapnya lebih erat. Keduanya saling membelai satu sama lain. Perlahan Razi menarik bibirnya, lalu mengarah ke leher jenjang Maira. Maira terkejut akan reaksi tubuhnya sendiri, tanpa sadar ia mengerang.
Tok! Tok! Tok! "Kaaak, Sarah sudah bangun, nih! Mau dikasih makan dulu atau dimandikan dulu?" Teriakan Sarah dari luar pintu kamar mengejutkan keduanya yang sempat terbawa suasana. Maira yang terlebih dahulu menarik dirinya. Ia membenahi kemejanya yang sedikit terangkat oleh ulah suaminya tadi.
Keduanya saling salah tingkah. Bahkan kali ini wajah Razi turut memerah.
"Kaaak, kok nggak dijawab? Pada lagi ngapain, sih?" teriak Asha lagi.
"Eh, i - iya, Sha! Sebentar, lagi - ini lagi ... beresin kamar!" balas Maira dengan gugup.
Maira akan keluar kamar, tapi tangannya ditahan oleh Razi. "Aku saja. Wajah kamu masih merah banget." Dengan cepat, Razi mencium dahi Maira, lalu membuka pintu.
Akibat aksi suaminya itu, tentu saja wajah Maira semakin merona merah. Ia cepat berlari masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar Razi untuk membasuh wajahnya. Berharap rona malu di wajahnya itu segera memudar.
---------------
"Mas, kamu nggak salah kita menginap di sini?" tanya Maira untuk kesekian kalinya mencoba memastikan. Ia masih terpukau dengan kamar suite di hotel bintang lima yang akan mereka tempati ini.
Tanpa disangka oleh Maira, Razi memeluknya dari belakang lalu berbisik tepat di telinganya, "Anything for you, my lovely wife."
Maira terkesiap, sontak tubuhnya menegang. "Eh, a - aku lapar, nih. Cari makan, yuk!" Maira dengan cepat melepas diri dari pelukan suaminya.
Razi menghela napas panjang. Ia tahu istrinya sedang berusaha menghindar dari usahanya untuk melanjutkan 'kegiatan' keduanya yang tertunda tadi pagi.
"Kamu mau makan apa?" tanya Razi dengan nada sedikit kecewa.
"Hmmm... yang enak apa, ya?" Maira terlihat berpikir sambil memandangi penampakan kota Bandung dari jendela balkon.
"Kalau aku sih, inginnya makan kamu!" jawab Razi berusaha menggoda. Tidak ada salahnya untuk kembali mencoba, pikirnya.
"Iiih, dasar mesum!"
"Ehem, kan kamu duluan yang mulai," sindir Razi. Sebelah alisnya terangkat.
"Bisa nggak sih, ngomongin makanan aja? Aku beneran lapar! Tadi pagi cuma makan bakwan," sahut Maira dengan wajah memelas.
"Room service dulu, gimana? Aku masih capek," saran Razi dengan wajah memelas juga.
Maira akhirnya menuruti permintaan suaminya itu. Keduanya menikmati hidangan makan siang berupa set-sushi di dalam kamar sambil menonton siaran TV yang meliput tentang kehidupan binatang buas. Kali ini liputannya membahas tentang Badak Sumatera.
"Kenapa bisa populasi badak menurun drastis?" tanya Razi sambil mengunyah sushi pesanannya.
"Ulah poachers ilegal! Cula-culanya itu diperdagangkan di pasar gelap."
"Kan sudah ada polhut."
"Jumlahnya tidak sebanding dengan luasnya hutan belantara di Indonesia. Makanya ada kerjasama dengan volunteers dari luar dan NGO lokal," jelas Maira lalu menyeruput minuman fruit-punch-nya.
Razi mengangguk-anggukkan kepalanya lalu kembali bertanya, "Untuk apa cula-cula itu diperdagangkan?"
"Macam-macam, ada yang untuk bahan ramuan obat-obatan, ada yang sekedar untuk koleksi, ada yang untuk -" Maira menghentikan kalimatnya yang tadinya akan menyebut 'obat kuat' lalu melanjutkan, "Ehem, intinya... banyak demand akan cula-cula itu. Terus, kamu tau nggak? Bikin badak kawin itu susah, lho! Terus, kalo sudah kawin, hamilnya itu juga lama. Bisa 2 tahun."
Sama kayak kamu, susah diajak kawin!
Razi merungut dalam hati. Ia tidak balas mengomentari.
"Kok kamu diam aja?" tanya Maira memperhatikan wajah Razi yang terlihat datar.
"Habis ini kamu mau kemana?" Razi bertanya balik dengan tidak acuh.
"Mmm... eh, hotel ini ada kolam renangnya, kan? Berenang, yuuuk!" ajak Maira dengan mata membelalak lebar.
"Ehem, jangan berenang deh!" tolak Razi memicingkan matanya. Di kepalanya sudah terbayang jika istrinya ini akan mengenakan baju renang yang memperlihatkan auratnya secara berlebihan. Kolam renang di hotel itu bukan private-pool, pastinya akan ada pengunjung hotel lainnya yang nantinya menikmati lekuk tubuh istrinya ini.
"Yaaah, nggak seru banget, sih! Terus, kamu ngajak aku liburan kesini mau ngapain?"
"Bulan madu! Kamu tau kan, kalau pasangan suami-istri bulan madu itu ngapain?" Mata Razi menyalang.
Maira membeku. Di dalam pikirannya sudah terpatri jika yang namanya 'bulan madu' terasosiasi dengan kegiatan di atas ranjang. Digigitnya kuat-kuat bibir bawahnya sambil menatap karpet di lantai. "A - aku... takut."
Razi tertawa kecil lalu menghela napas sejenak. Ia mendekati istrinya yang duduk di atas ranjang, meninggalkan piring sushi-nya yang sudah hampir kosong di atas meja. Ia berlutut di hadapan Maira, lalu meraih gelas yang ada di tangan Maira untuk diletakkan di atas nakas.
Ia menggenggam kedua tangan Maira yang terasa dingin, matanya menatap Maira lekat. "Sayang, bulan madu bukan sekedar 'urusan ranjang'," tutur Razi seolah membaca pikiran Maira, lalu ia melanjutkan, "Aku mengajak kamu ke sini untuk liburan. Kita bisa jalan-jalan, kulineran, belanja. I want to spend my time with you. Untuk masalah - ehem, yang satu itu... kita lakukan semuanya perlahan, sampai kamu siap."
Maira tersenyum kecil. Ia sedikit membungkukkan badan lalu melayangkan kecupan di dahi Razi. "Terima kasih ya, sudah mau bersabar sama aku."
Razi tersenyum sumringah lalu balas mengecup kedua tangan Maira yang masih berada dalam genggamannya. Ia kembali menanyakan, "Jadi, kita mau jalan-jalan kemana?"
"Hmmm... cari taman, yuk!"
"Taman? Taman apa?"
"Taman bunga-lah. Mau cari bunga cempaka," Maira mengerlingkan matanya nakal.
Razi tersentak. "Kamu... ingat?"
"Maaf ya, waktu itu aku menolak bunga pemberian kamu. Aku tidak bermaksud -" sesal Maira dengan tulus.
"Ehem, nggak usah dibahas! Ayo, kita cari taman." Razi menghindar dengan malu.
"Ciyeee, sekarang ada yang gantian malu," goda Maira sambil tertawa.
"Kalau kamu begitu terus, nanti aku gendong ke atas ranjang, nih!" ancam Razi untuk balik menggodanya.
"Iya, iya, maaf! Mainnya ngancam, sih!"
"Belajar dari gurunya!" Razi memicingkan mata ke arahnya.
Mereka segera meninggalkan hotel bintang lima itu dan berkeliling mencari tempat-tempat yang direkomendasikan dari hasil pencarian di internet.
Sebuah taman bunga indah menjadi destinasi awal perjalanan mereka. Tak lupa Maira membawa kamera DSLR-nya. Razi mengambil alih kamera itu. Ia mengambil beberapa jepretan gambar istrinya. Maira juga beberapa kali mengambil foto suaminya itu.









Selesai menikmati taman bunga itu, mereka melanjutkan dengan berwisata kuliner di sekitar kota Bandung, hingga malam menjemput.
Sekitar pukul sembilan malam, keduanya sudah kembali berada di kamar suite bulan madu itu dengan kondisi kelelahan, setelah mengitari kota Kembang itu dalam setengah hari.
"Kamu mandi duluan saja," ujar Razi yang masih telentang di atas sofa sembari menonton TV.
"Kamu duluan aja, deh. Aku masih capek!"
"Aku juga," sahut Razi lagi.
"Mau nggak mandi?" sindir Maira sambil melirik tajam.
"Kalau mandi berdua?"
"Mulai, deeeh!" Maira melempar bantal ke arah suaminya, sayangnya meleset hingga bantal itu terjatuh di lantai.
Razi cepat-cepat memungutnya, mengingat aturan 'sebelum lima menit'. "Ya sudah, aku duluan." Razi bangun dengan malas lalu melepas t-shirt atasannya.
"Eh! Eh! Jangan buka-bukaan di sini!" Maira menutupi wajahnya dengan bantal.
Razi hanya tertawa melihat sikap istrinya itu. Ia langsung meraih handuk lalu segera berlalu ke dalam kamar mandi.
Setelah mendengar suara pintu tertutup, Maira baru membuka wajahnya sambil melirik. Jantungnya berdebar hebat. Di kepalanya terlintas pikiran, bagaimana ia akan melewatkan malam ini berdua dengan sang suami.
Maira mengalihkan pandangannya. Ia menonton sebuah film box-office yang sedang tayang untuk mengalihkan pikirannya yang mulai berkelana. Tanpa diduga oleh Maira, ternyata film itu justru menayangkan adegan panas antar sepasang kekasih yang baru saja selesai kencan. Spontan ia meraih remote di atas nakas lalu mengganti dengan saluran yang sedang menayangkan berita.
Maira bangkit dari ranjang lalu berjalan untuk mengambil minuman dingin dari dalam kulkas. Ia perlu mendinginkan kepalanya.
Tak berapa lama, Razi keluar dari kamar mandi. Kali ini Maira tidak mau melihatnya.
Razi yang mengerti sikap Maira yang membuang muka pun berujar, "Tenang, aku berpakaian lengkap."
Perlahan Maira menolehkan kepala. Dilihatnya Razi mengenakan sebuah kaos oblong dan celana pendek selutut. Ia bernapas lega. Dengan cepat, Maira meraih handuknya lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Razi kembali tertawa melihat tingkahnya. Lalu ia setengah berteriak, "Jangan lupa berwudhu. Habis itu kita sholat Isya."
Razi membuka Al-Qur'an kecil yang selalu dibawanya jika bepergian. Sambil menunggu istrinya selesai mandi, ia membaca beberapa lembar surat.
Di dalam kamar mandi, Maira yang sudah selesai baru saja menyadari ia lupa membawa baju ganti. Untung saja ada bathrobe yang tergantung, ia langsung mengenakannya. Maira keluar kamar mandi dengan berlari kecil menuju lemari pakaian. Berharap suaminya yang sedang sibuk mengaji itu tidak memperhatikan dirinya.
Selesai berganti dengan sebuah dress tidur pendek, Maira mengenakan mukenanya lalu menggelar sajadah di belakang suaminya itu. Razi langsung menutup bacaannya. Keduanya segera menunaikan sholat Isya.
Selesai sholat, keduanya bermunajat dalam hati masing-masing. Yang tanpa mereka ketahui, keduanya memanjatkan isi do'a yang sama.
Razi terlebih dahulu naik ke atas ranjang dengan duduk bersandar. Ia kembali menyetel saluran film box-office.
Maira yang terlihat seperti orang bingung, hanya berdiri di sebelah ranjang. Tiba-tiba Razi menarik tangannya hingga ia terjatuh ke dalam pelukan Razi di atas ranjang.
Maira terkesiap, tapi ia diam saja. Tubuhnya terasa kaku, seperti tidak mampu melawan. Bukan, bukan tubuhnya yang tidak mampu melawan. Hatinya yang tidak ingin.
Razi mencium pucuk kepalanya. Ia menghidu aroma wangi yang menguar dari rambut Maira. Aroma itu membangkitkan sesuatu di dalam dirinya yang menuntut lebih.
Maira menengadahkan kepalanya, menatap suaminya lekat-lekat. Perlahan Razi mendekati wajah Maira hingga keduanya dapat saling merasakan hembusan napas masing-masing. Ia membuka mulut lalu perlahan memberikan ciuman lembut di bibir Maira. Maira justru menarik kepala Razi lebih dekat. Ciuman itu berlangsung panas dan dalam, hingga keduanya sama-sama menarik diri karena kehabisan napas. Razi merapal sebuah do'a di dalam hati. Keduanya saling menatap sambil menautkan jari-jemari.
"Mas... aku siap," ucap Maira setengah berbisik.
Razi mengembangkan senyumnya. Ia mencium tangan Maira yang berada dalam genggamannya. Lalu beralih untuk mencium dahi Maira. Turun ke pucuk hidung, lalu kembali melumat bibir Maira yang telah siap menyambutnya.
Tiba-tiba ponsel Razi yang terletak di atas nakas berdering. Awalnya Razi tidak menghiraukan, ia terlalu sibuk melampiaskan hasratnya. Namun ringtone itu bunyi berkali-kali, mengusik rungu Maira. Hingga akhirnya Maira menghentikan aksi Razi dan memintanya untuk mengangkat panggilan itu. Dengan sedikit kesal, Razi menuruti permintaan istrinya. Ia melihat tulisan di layarnya. Arga.
"Assalamu'alaikum. Ada apa, Ga?"
"Wa'alaikumussalam. Alma, Zi... Al, dia - kamu harus pulang sekarang juga. Maaf, aku sudah mengganggu bulan madu kalian. Tapi ini - tolong segera pulang, Zi. Assalamu'alaikum," Arga menutup telepon. Suaranya terdengar panik. Di telepon tadi, sayup-sayup Razi mendengar suara seorang wanita menangis histeris.
Maira melihat ekspresi wajah Razi yang terlihat cemas. Ia beringsut mendekatinya untuk bertanya, "Ada apa?"
"Kita harus pulang sekarang!"
*****