Hatiku bersenandung
Melonjak riang diantara irama jantung
Melesakkan sebuah rasa di setiap sudutnya
Rasa yang menciptakan simfoni renjana
Dan aku tak ingin kehilangan simfoni itu
Tidak sekejap pun
- May -
*****
"Jadi...tadi senyam-senyum karena mau ngenalin aku ke teman-teman kamu?" tanya Razi sambil sesekali menoleh pada Maira yang duduk di sampingnya.
"Hehe...yaaa lega aja sih, akhirnya bisa ngenalin kamu ke mereka." jawab Maira dengan sumringah.
"Akhirnya, diakui juga status aku sebagai suami kamu."
"Yeee, emangnya selama ini nggak diakui?"
"Hmmm...nggak tau ya. Aku juga bingung."
"Ishhh, mulai deh nyebelin!" cibir Maira dengan merengut.
"Jangan cemberut gitu dong, entar level cantiknya turun."
"Aku bukan cewek pecinta gombal, lho!"
"Memangnya ada cewek pecinta gombal?"
"Ada aja sih yang suka makan gombal."
"Ada cewek makan gombal? Memangnya enak makan gombal? Gombal itu kain yang buat ngelap-ngelap gitu 'kan?"
"Iiiiiiihhhhh, kamu nyebeliiiiinnnnn!!" cubitan maut Maira terlayang ke lengan kiri Razi.
Sontak Razi meringis kesakitan, "aaawwwww! Ssshhh"
"Makanyaaa, jangan rese'!"
Sembari menyeringai kesakitan, Razi mengelus-elus lengannya yang baru saja jadi korban jepitan jemari istrinya.
"Kamu tega banget, sih!"
"Kamu yang tega! Sukanya ngusilin aku terus."
"Bukannya tadi kamu yang ngusilin aku tapi nggak berhasil?"
"Tau ah!" ketus Maira kesal.
"Ngambek lagi deh! Ya udah, biar kamu nggak ngambek...gimana kalau aku traktir makan malam?"
"Ya iyalah, kamu yang traktir. 'Kan emang kewajiban kamu!"
"Maksudnya, diluar uang bulanan yang sudah aku kasih ke kamu."
Ya, sejak kepulangan mereka dari rumah orangtua Maira, Razi telah memberikan seluruh penghasilannya kepada Maira untuk dikelolanya. Namun Maira menolak, ia hanya mengambil setengahnya saja untuk kebutuhan mereka di rumah. Jika ada sisa, akan ia tabung bersama dengan penghasilannya. Meskipun Maira belum tahu akan diapakan nantinya uang tabungan mereka itu. Ia bahkan belum tahu kemana pernikahan mereka nanti akan bermuara. Saat ini, Maira tidak ingin ambil pusing. Hanya ingin menikmati kebersamaan mereka. Sepertinya setiap detik yang mereka habiskan bersama-sama terlalu berharga.
"Sayang? Kamu kenapa?" tanya Razi mengernyitkan dahi karena melihat Maira yang sedang melamun.
"Eh, eng-enggak. Nggak apa-apa, kok. Jadi, kita mau makan di mana?"
"Hmmm...kamu maunya makan di mana?"
"Kamu aja yang milih deh. Aku ngikut aja."
"Hmmm, oke!" jawab Razi yang sudah terpikirkan suatu tempat yang akan mereka tuju.
Razi melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menyusuri jalur jalan tikus yang diambilnya untuk menghindari kemacetan yang mendera Jakarta di Kamis malam ini.
"Kok kamu lewat gang-gang kecil gini sih?" tanya Maira sambil memperhatikan pemukiman padat penduduk yang mereka lewati.
"Ini jalan pintas, biar lebih cepat sampai."
"Emangnya kita mau kemana?"
"Ada, salah satu tempat makan favoritku juga." Razi mengulas senyumnya.
Keluar dari gang sempit yang hanya cukup dilewati oleh satu mobil itu, Razi masuk ke gang lain yang lebih lebar. Tiba di ujung gang tersebut, terdapat warung tenda favorit Razi. Razi memutar balik mobilnya untuk parkir di seberang jalan.
"Yuk, turun!" ajak Razi sambil melepas seatbelt-nya
"Tempatnya yang mana?" tanya Maira sambil menebak-nebak tempat yang dituju oleh suaminya.
"Tuh di seberang." tunjuk Razi ke arah warung tenda kecil bertuliskan SATE PADANG JALIL di seberang jalan. Terlihat di dalamnya hanya ada dua meja kecil saja.
"Sate padang??" seru Maira dengan mulut menganga.
"Kenapa? Kamu nggak suka?"
"Ya ampuuuun, itu makanan favorit aku bangeeeettt!! Mana aku udah lama nggak nyantap sate padang. Makasih ya, sayaaang." Maira bersorak kegirangan, tanpa sadar ia mengecup kecil pipi kiri Razi dengan sikap manja.
"Astaghfirullah!! Ma-maaf ya...a-aku eng-enggak se..."
Razi balas mencium pipi kanan Maira dengan penuh kesadaran. Membuat Maira tersentak akan tindakannya.
"I love you, May." bisiknya kemudian.
Maira membeku, lisannya tak mampu mengucap sepatah kata pun. Sesuatu di dalam dirinya terasa melejit, berteriak menginginkan sesuatu yang lebih.
Maira menarik napasnya panjang, berusaha mengumpulkan segenap keberaniannya. Sebelah tangannya terangkat, melekat di pipi Razi. Matanya menatap dalam. Perlahan wajahnya bergerak mendekati wajah Razi. Mereka dapat merasakan hembusan napas masing-masing. Hingga hampir tidak berjarak, matanya memejam, bibirnya sedikit terbuka.
"Tok! Tok! Tok!" suara ketukan di jendela mengejutkan mereka berdua. Razi menarik wajahnya dan berusaha menelan ludah, terkejut dengan ketukan yang mengacaukan momen yang sudah ditunggu-tunggunya. Sedangkan Maira memalingkan wajahnya yang sudah semerah kepiting rebus sambil merutuki dirinya sendiri di dalam hati.
"Wak Jalil? Ada apa?" sapa Razi kepada sosok yang sudah dikenalnya lama itu setelah membuka jendela mobil.
Uwak Jalil membalas dengan logat khas Medan, "Awak baru ngantar sate ke mobil sebelah. Lihat mobil Bang Razi tapi tak turun rupanya? Mau dibawakan ke mobil?"
"Eh, bo-leh Wak. Dua ya. Saya lagi ngobrol sama istri." jawab Razi dengan salah tingkah.
"Istri? Kapan nikah? Macem mana pula? Tak cakapnya kau. Cantiklah nih istri kau."
"Kalau nggak cantik, masa saya mau, Wak? Baru sebulan." gurau Razi dengan tertawa.
"Baek-baeklah kau sama istri. Jangan sikit-sikit ribut, macem awak sama istri dulu. Disayang itu istri kau."
"Pasti, Wak!" jawab Razi kepada Uwak Jalil yang segera berlalu dari depan kaca jendela mobilnya. Pria berusia 50-an itu menyeberangi jalan menuju gerobak satenya.
Setelah menutup kaca mobil, Razi menoleh kepada istrinya yang sedang menutup wajahnya dengan sebuah car-pillow, lalu tertawa geli.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Razi sambil berusaha melepas bantal itu dari wajahnya.
"Humhmmhmhm..." Maira yang sedang berusaha mempertahankan posisi bantal itu, menggumam tidak jelas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
"Ehem...enggak mau melanjutkan yang barusan tertunda?"
"Enggak usah dibahas!" akhirnya Maira membuka sedikit ruang dari wajahnya lalu berseru dengan ketus.
Razi yang sangat mengerti bahwa istrinya yang punya ego tinggi itu sedang malu berat, hanya mengulum senyumnya. Ia berusaha untuk menahan komentar.
Karena tidak mendengar kalimat balasan dari suaminya, perlahan Maira menjauhkan bantal yang tadi membekap wajahnya. Matanya mencuri lirik ke arah suaminya yang sedang diam saja memandang setir mobil.
"Kok...diam?" tanya Maira dengan mengerutkan dahi.
"Kamu yang nyuruh."
"Iiihhh, aku nggak nyuruh kamu diam! Aku cuma bilang jangan bahas yang...iiih, tau ah!!" jawab Maira kesal sambil kembali memalingkan wajah.
Razi kembali tertawa melihat rona di wajah istrinya yang kembali memerah.
"Emangnya aku pelawak diketawain terus!" semprot Maira lagi.
"Iya, maaf. Udahan dong ngambeknya. 'Kan mau makan sate padang." Razi menggenggam tangan kanan Maira. Maira tidak mengelak, malahan semakin menautkan jari-jemarinya. Namun wajahnya masih berpaling, menyelamatkan sebagian egonya yang masih tertinggal.
Tak berapa lama kemudian, Uwak Jalil yang sudah membawa dua porsi sate padang, kembali mengetuk jendela mobil.
Maira menyambut gembira kehadiran piring berisi potongan ketupat dan 10 tusuk sate yang disirami kuah coklat kental itu. Tanpa menunggu lebih lama, Maira langsung menyantap makanan kesukaannya itu.
"Ya ampuuun, juaraaa!" Maira berkata dengan mulut penuh sambil mengacungkan jempolnya.
"Enak 'kan?"
"Mmmhhh, enak banget! Eh, tapi kayaknya tadi Wak...Wak siapa?"
"Wak Jalil?"
"Iya, si Wak Jalil itu ngomongnya bukan kayak orang padang. Tapi kok jualan sate padang?" tanya Maira penasaran.
"Wak Jalil aslinya orang Medan. Tapi istrinya orang Padang. Awalnya memang istrinya yang jadi juru masaknya. Tapi, lima tahun lalu istrinya terkena kanker darah. Waktu istrinya sakit itu, Wak Jalil yang ambil alih semuanya."
"Kasian ya...terus, sekarang gimana istrinya?"
"Sudah meninggal, setahun setelah divonis. Wak Jalil cuma bisa pasrah, beliau juga tidak punya uang berlebih untuk biaya pengobatan."
Maira menghentikan makannya sejenak, piringnya diletakkan di atas pangkuannya, lalu meraih selembar tisu untuk menyeka matanya yang sedikit membasah.
"Kamu nangis?" tanya Razi.
"Enggak! Kepedesan!" Maira berusaha berdalih.
Razi menyendok kuah untuk memastikan rasa. "Nggak pedes, kok."
"Emang nggak pedes! Anggap aja pedes! Nggak sensi banget sih jadi orang!" gerutu Maira.
"Hah?"
"Iyaaa, aku lagi nangis! Puasss???"
"Gara-gara cerita aku?"
"Ya a-ku...ng-nggak bisa bayangin aja gimana...Wak Jalil bisa..." Maira kembali menetes air mata.
"Masih banyak diluaran sana orang-orang yang kehidupannya seperti Wak Jalil dan keluarganya. Bahkan yang lebih buruk dari itu juga ada."
"Iya, aku tau! Sama seperti Mang Dadang, tukang bajigur langganan aku. Dulu pertama kali ketemu, dia cerita lima anaknya putus sekolah semua. Istrinya harus cuci darah tiap minggu. Hutangnya di rumah sakit menumpuk. Akhirnya aku dan Ruri inisiatif menggalang dana agar Mang Dadang bisa melunasi hutang-hutangnya dan istrinya bisa cuci darah lagi. Sayangnya...telat...aku..." Maira menunduk menyembunyikan matanya yang kembali sembab.
Razi mengelus pucuk kepala istrinya, senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia tidak menyangka jika Maira berjiwa sosial tinggi.
"Nggak salah aku milih istri."
Maira menengadahkan kepalanya untuk menatap tajam suaminya, mencoba memahami maksud perkataan suaminya.
"Ya udah, nggak usah nangis lagi. Dimakan lagi 'tuh satenya. Nanti kuahnya keburu encer."
"Ya salah kamu, sih! Pake cerita yang sedih-sedih segala! Terus tadi maksudnya apa 'tuh? Nggak salah milih istri?" tanya Maira sambil kembali menyeka matanya
"Diselesaikan dulu makannya, nanti lagi ngomongnya."
Setelah selesai makan dan membayar kepada Uwak Jalil, Razi mengajak Maira untuk berjalan kaki menghampiri tukang wedang ronde di ujung jalan. Maira terlihat riang sekali malam ini. Dan di mata Razi, istrinya itu terlihat cantik sekali. Sesekali diam-diam Razi memotret Maira dengan ponselnya.
Harapnya, semoga pernikahan mereka akan tetap berlanjut hingga maut memisahkan. Dan Razi berharap Allah mengabulkan keinginan terdalamnya itu.
-----------------
Ruri menatap sahabatnya yang sejak tadi mengetuk-ngetuk gelas minumnya menggunakan sumpit dengan wajah galau. Mereka sedang menunggu kedatangan ramen pesanan mereka. Pasalnya, Ruri sedang mengidam ramen menu andalan restoran Jepang favoritnya, di trimester pertama kehamilannya ini. Dan saat tadi pagi Maira mengabari ingin bertandang ke rumahnya untuk curhat, Ruri langsung terpikir mengajak sahabatnya itu untuk menemaninya.
"Katanya mau cerita sama gue, tapi daritadi diem aja." sindir Ruri.
"Huffthh..." Maira menghembuskan napasnya kasar.
"Kenapa sih lo? Kayak ABG labil aja keliatannya."
"Gue juga merasanya begitu." sahut Maira dengan lemas.
"Ya udah, cerita! Jangan cerita pas gue lagi menikmati ramen, ya. Entar buyar ngidam gue."
"Rur...salah nggak sih gue?"
"Salah naon?"
"Salah nggak sih...kalo gue... gue...membatalkan...perjanjian nikah gue?" tanya Maira ragu-ragu
"Sudah gue duga! Lo pasti sekarang makin cinta berat sama Kak Aji."
"Bodoh banget ya gue! Apa gue terlalu lemah sampai bisa jatuh lagi ke lubang yang sama?" Maira menepuk dahinya berkali-kali.
"Ya karena pada dasarnya, lo emang udah cinta sama dia dari dulu. Lo nggak bisa denial sama perasaan lo sendiri. Perasaan nggak pernah bohong dan nggak bisa dibohongi, May."
"Terusss...gue harus gimana? Sebentar lagi gue harus ikut presentasi final buat tawaran di Jepang. Dan...kalo gue yang kepilih, berarti...gue sama dia...pisah?"
"Ya salah lo sendiri! Dari awal, gue udah memperingatkan lo. Jangan coba-coba mainin pernikahan. Pernikahan itu sakral, May. Elo terlalu menyepelekan sih. Sekarang menjilat ludah sendiri 'kan?"
"Iih, lo mah...bukannya nenangin gue, nyupport gue, ngasih masukan buat gue, malah nyukurin gue!" cibir Maira dengan sikap jengkel.
"Ya lo ndablek sih! Udah dibilangin juga."
"Tau nggak sih looo? Kemarin gue hampir nyium dia di pipi. Udah gitu, parahnya lagi...gue hampir nyium dia di bibir!" Maira menutup wajah dengan kedua tangannya untuk menyembunyikan rasa malunya atas aksi nekatnya itu.
Spontan kedua bola mata Ruri membelalak lebar, mulutnya pun ikut menganga lebar. "Whaaaattt??? Lo nyium dia?? Trus-trus...dia gimana? Gimana responnya dia? gimana?" desak Ruri sambil mendorong-dorong tubuh Maira.
"Dia bales nyium pipi gue...trus bilang...the "L" word!"
"Ow...Em...Jiiii!! Akhirnya dia pengakuan sama lo??"
"Sebenernya siiih, sebelum itu juga dia udah pengakuan soal perasaannya ke gue dari dulu. Cumaaa, yang kemarin itu beda. Lemesss gue abis itu! Makanya trus gue nekat mau..." wajah Maira spontan memerah. Ia pun berusaha mengipas-ngipas wajahnya dengan jari-jarinya sambil menghirup napas berkali-kali.
"Waahhh ini sih, beneran lo udah dibikin klepek-klepek, May. Kenapa nggak sekalian ngamar aja lo berdua? Dijebol 'tuh biar nggak virgin mulu."
"Ssstttt!!! Public place, nih! Boro-boro ngamar, tidur juga masih terpisah." bisik Maira yang melihat pengunjung di meja sebelah mendelik ke arah mereka.
"Whaaattt??? Lo nggak normal kali ya? Tahan tidur se-atap beda kamar dengan suami seganteng itu yang udah halal lo apa-apain?" seru Ruri dengan berbisik khawatir suaranya kembali mengusik pengunjung lainnya.
"Apaan sih lo! Ya...ya nggak mungkin dong, gue duluan yang...yang minta...ehem...ti-dur bareng." jawab Maira gelagapan.
"Ya ampuuun, May! Gengsi lo 'tuh segede komplek Candi Borobudur ya? Hari gini ya, udah wajar cewek agresif. Lagian lo udah nikah juga, nggak ada salahnya lo duluan yang ngasih sinyal. Apalagi, si Kak Aji udah nyatain perasaan sama lo. Gue jamin nggak bakalan nolak dia! Mana ada kucing nolak dikasih ikan."
"Emangnya gue ikan? Amis dong gue!"
"Perumpamaan, May sayangkuuuh cintakuuuh maniskuuuh!"
"Tapi...gue takut, Rur. Apalagi...masalah Alma..."
"Udah kelar 'kan? Kak Aji 'kan udah bilang cuma nganggap Al sebagai adeknya. Apalagi masalahnya?"
"Masalahnya di Al, Rur. Dia...dia... benar-benar mencintai Mas Aji. Dan gue...gue ingin benar-benar menyelesaikan masalah ini dengan Al."
Ruri menghela napasnya sejenak lalu mengajukan pertanyaan, "May, gimana kondisi Al sekarang? Dia udah sadar?"
"Alhamdulillah, tadi malam matanya sudah mulai membuka. Tapi, masih belum bisa diajak ngomong. Kata dokter ada masalah dengan jantungnya."
"Sabar ya, May. Gue yakin Al akan segera sembuh." Ruri menggenggam tangan sahabatnya.
"Aamiin. Gue juga berharap begitu."
Pembicaraan mereka berakhir saat dua porsi ramen terhidang di hadapan mereka. Dalam hati Maira benar-benar berharap Allah mengabulkan do'anya. Ia ingin kisah cinta segitiga ini segera berakhir.
*****