- Ketika rasa itu hadir, aku takut Takut akan statusku
Takut hanya aku yang merasa
Takut rasa itu tidak selamanya
-Alma-
*****
Pertemuan dengan Alma
"Pak Razi kenalkan, ini Alma Rasyida. Dia baru masuk ke tim Site Engineer. Pindahan dari kantor cabang di Medan." jelas Bahar, sang Project Manager di kantor Razi.
Alma menangkup kedua tangannya di depan dada, Razi pun melakukan hal yang sama. Semenjak hijrahnya hampir setahun yang lalu, Razi semakin mengerti adab sebenarnya dalam Islam. Dan melihat dari penampilannya yang sopan dan tertutup, juga sosoknya yang terlihat cantik tanpa polesan, Razi bisa mengasumsikan wanita di hadapannya ini adalah seorang akhwat solehah.
"Assalamu'alaikum, Pak Razi. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik ya, Pak."
"Wa'alaikumussalam, Mbak..."
"Al, Pak. Panggil saya Al saja." sambung Alma melanjutkan kalimat Razi yang terlihat bingung mau memanggilnya apa.
"Oh, panggil saya Razi aja kalo gitu. Tidak perlu terlalu formal."
Alma mengangguk dengan sedikit rasa sungkan.
Diawali dari perkenalan yang terjadi setahun yang lalu itu, dan seringnya mereka terlibat proyek bersama dalam pekerjaan, Alma dan Razi pun menjadi semakin dekat. Apalagi setelah mengetahui kalau Alma adalah seorang janda beranak satu, Razi semakin kagum pada sosoknya. Alma gigih dalam bekerja keras demi menghidupi buah hatinya.
Alma bercerita padanya, tak lama sepeninggal suaminya dalam sebuah kecelakaan beruntun, Ibundanya juga turut berpulang ke Rahmatullah, menyusul Ayahnya yang telah berpulang terlebih dahulu dua tahun sebelumnya. Alma yang merupakan anak semata wayang ini pun menghabiskan waktunya dalam kesendirian. Untung saja Alma memiliki Sarah yang menggemaskan sebagai pelipur laranya.
Dari rasa kagum itu, Razi semakin menaruh perhatiannya pada seorang Alma. Bahkan teman - teman mereka di kantor acap kali mendo'akan mereka berdua berjodoh. Namun tak jarang pula Alma menerima picingan mata dari kaum hawa lainnya di kantor yang mengidolakan sosok Razi. Bagi para kaum hawa itu, Razi adalah sosok pria idaman hati. Beberapa wanita sudah mencoba peruntungan mereka untuk mendekati Razi, sayangnya pria itu acuh dan hanya menanggapi dengan dingin. Sehingga beberapa di antara mereka memberi julukan pada Razi 'Beruang Kutub'.
Dan mereka pun tidak terima ketika mengetahui sang Beruang Kutub bisa dengan mudahnya ditaklukkan oleh Alma. Pernah beberapa wanita bahkan menjahili Alma karena rasa dengki mereka, mirip kelakuan anak baru gede. Hingga julukan 'Janda Gatel' pun dialamatkan kepadanya.
Awalnya Alma merasa tertekan dengan perlakuan tidak senonoh yang ia terima dari beberapa karyawan wanita itu. Namun, ketika secara tak sengaja Razi memergoki salah seorang asisten manajer sedang mengancam Alma saat jam pulang kantor, Razi segera mengambil tindakan. Bahkan melaporkan kelakuannya pada sang Direktur hingga mengakibatkan sang asisten manajer mendapat SP1. Setelah kejadian itu, tidak ada satupun fans-nya yang berani mendekati Alma. Namun tetap saja ketika berpapasan atau bertatap muka, mereka masih melayangkan pandangan menghakimi kepada Alma.
Sejak kejadian itu pula, Razi memerintahkan Alma untuk tidak berada jauh dari jangkauan pandangannya. Ia mulai bersikap protektif, bahkan sering mengantar - jemput Alma dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Alma pun mulai terbiasa dengan perhatian - perhatian yang diberikan oleh Razi. Keduanya pun mulai mempertanyakan kepada hati mereka masing - masing, hubungan macam apa yang sedang mereka jalani saat ini.
Hingga akhirnya Razi bercerita perihal perjodohannya kepada Alma, "Ummi mau menjodohkan aku dengan anak temannya, Al."
Alma terkesiap dan terlihat tidak siap mendengar pernyataan Razi. Mulutnya tiba - tiba menganga setelah mendengar pengakuan Razi.
"Aku sebenarnya ingin menolak. Tapi...kamu sudah tau 'kan bagaimana Ummi?" Razi menatap Maira yang duduk di hadapannya. Mereka sedang menikmati secangkir kopi di cafe sebelah kantor mereka.
"Oh...kamu, sudah kenal orangnya?" tanya Alma dengan suara lirih.
"Belum. Sejam lagi rencananya, aku akan ketemu dia dan keluarganya."
"Emmm...bagus kalo begitu. Siapa tau dia cantik, baik, dan memang jodoh kamu." balas Alma dengan nada ragu - ragu.
"Al...aku...sebenarnya..."
"Temui dia, Zi. Kalau dia pilihan Ummi, pastilah dia yang terbaik untuk kamu." potong Alma dengan mengulas senyum aneh.
"Tapi Al, bagaimana kalau aku berniat melamar wanita lain? Bagaimana kalau pilihanku sudah jatuh pada wanita lain?" Razi menatapnya dengan harap - harap cemas.
Alma langsung menundukkan pandangannya. Ia terlihat salah tingkah, "Zi...dulu aku tidak mencintai suamiku. Aku juga...dijodohkan. Aku berusaha mencintainya segenap hatiku. Aku berusaha mencintainya karena Allah. Allah yang sudah menetapkan dia jodohku saat itu lewat kedua orangtuaku."
"Tapi Al, aku tidak seperti kamu. Cinta itu tidak bisa dipaksakan."
"Bukan memaksakan Zi, tapi mengikhlaskan. Belajar untuk mengikhlaskan hati."
"Al, aku tahu bagaimana perasaanmu padaku. Kamu ikhlas kalau aku menikah dengan wanita lain?"
"Em, pe - perasaanku? Maksud kamu apa, Zi?" Alma terlihat panik. Bola matanya melirik ke arah lain.
"Al, kita bukan anak remaja lagi. Kamu mengerti maksudku."
"Zi, stop! Sepertinya sekarang kamu harus cepat - cepat datang ke pertemuan itu. Aku juga harus ke site lagi. Detail rancangannya masih kurang." lontar Alma dengan terburu - buru seperti orang yang sedang dikejar oleh waktu. Ia segera beranjak berdiri.
"Al..."
"Kita ketemu besok ya. Assalamu' alaikum." Alma langsung berjalan cepat untuk keluar dari cafe itu, meninggalkan Razi yang merasa jengkel pada dirinya sendiri. Ia tahu Alma sedang melarikan diri.
Diliriknya jam tangannya, satu jam lagi ia harus menemui wanita yang menjadi jodoh pilihan Umminya untuknya. Razi bahkan tidak punya niat untuk mengenal wanita itu.
Dengan perasaan malas, Razi pun pergi mengendarai mobilnya menuju ke Mall yang sudah diinfokan oleh Umminya. Razi sengaja berlama - lama di jalan, bahkan ia melajukan mobil dengan pelan. Membuat kendaraan - kendaraan lain di belakangnya menghentak klakson berkali - kali.
Razi telah tiba di Mall itu, ia telat setengah jam. Dengan santai, Razi berjalan memasuki sebuah restoran eksklusif yang berada di lantai tiga.
Dari depan, ia bisa melihat sosok itu. Perempuan dari masa lalunya. Perempuan yang pernah membuatnya kecewa. Ia tidak menyangka bahwa Maira yang dimaksud Umminya adalah Maira mantan adik kelasnya.
Seluruh nadinya berdenyut cepat. Sebelah alisnya naik ke atas. Matanya memandang tajam dengan sinis.
----------
Masa Kini
"Aku cintanya sama kamu, Sayang."
"Terus Alma? Maksud kamu apa sih?" tanya Maira dengan menuntut.
Razi berpindah posisi duduk di sebelah Maira lalu menyandarkan kepalanya ke dinding. Dengan mata terpejam ia menjawab pertanyaan Maira, "sepertinya perasaanku yang salah."
"Maksudnya apa sih? Aku makin nggak ngerti. Kalo ngomong yang jelas!"
"Perasaanku ke Alma."
"Iih emang perasaan bisa salah gitu?" cibir Maira dengan memutar bola matanya.
"Ya bisa aja, kalo perasaan sama logika sedang nggak sinkron. Seperti perasaan dan logika aku ke kamu sekarang."
"Apa? Sekarang hati sama kepala kamu lagi sinkron?"
Razi menjawab dengan anggukan kepala.
"Jadi perasaan kamu yang sebenarnya ke Alma gimana?" tanya Maira kembali, masih penasaran.
"Hoaahm. Bisa nggak ceritanya dilanjut besok aja? Aku ngantuk." Razi menutup mulutnya yang sedang menguap.
"Kentang!" seru Maira.
"Kentang? Kamu mau makan kentang?" tanya Razi heran karena tiba - tiba istrinya menyebut salah satu tanaman umbi - umbian itu.
"Iiiih, kudet bener sih! Itu istilah, maksudnya nanggung."
"Ooh, kalo ngomong sama aku jangan pakai bahasa begituan. Aku nggak ngerti."
"Dasar situ aja yang udah tua!" ledek Maira setengah tertawa. Kesal dan jengkelnya sudah menghilang entah kemana.
"Aku mau ke kamar mandi dulu." dengan langkah gontai, Razi keluar kamar untuk melakukan rutinitasnya sebelum tidur. Berganti baju, sikat gigi, dan wudhu.
Sementara jantung Maira berdegup kencang. Malam ini ia akan tidur sekamar dengan suaminya, bahkan mungkin seranjang, untuk pertama kalinya. Namun lagi - lagi Maira kembali diingatkan, ia harus fokus pada tujuan awalnya menikah.
Lalu tiba - tiba Maira teringat, ia menyimpan kantong tidur yang biasa ia gunakan untuk camping di atas lemari. Maira pun langsung naik ke atas kursi untuk mengambil benda itu dari atas lemari. Maira membuka pembungkusnya, lalu menggelar kantong tidur itu di atas karpet kamarnya. Ia akan meminta Razi tidur di kantong itu.
Sekembalinya dari kamar mandi, Razi membaca do'a dan tiga surat terakhir dalam Al - Qur'an lalu meniup kedua tangannya untuk dibasuh. Maira memperhatikan kelakuan Razi itu dengan heran.
Sedangkan Razi segera merebahkan badannya di atas ranjang. Kantuknya terasa tak tertahankan.
"Eh, eh, jangan tidur di situ! Kalo kamu tidur di situ, aku tidur di mana?" protes Maira. Ia refleks menarik bantal yang tadinya akan ditiduri Razi.
"Ya tidur bareng - bareng di kasur, Sayang." jawab Razi dengan mata setengah terpejam. Kepalanya direbahkan begitu saja di atas ranjang, tanpa beralaskan bantal. Dalam hitungan detik, Razi langsung terlelap.
Maira hanya bisa terperangah melihat suaminya yang dengan mudahnya terbang ke alam mimpi. Maira melirik kantong tidur di atas karpet. Dengan menghela napas, Maira pun masuk ke dalam kantong itu lalu menutupnya.
Malam ini setidaknya ia bisa tertidur dengan tenang tanpa beban pikiran apapun. Maira mengingat kata - kata Razi tadi, kata - kata yang seketika menentramkan hatinya. Dalam tidurnya ia pun tersenyum.
Sayup kumandang adzan Subuh membangunkan Maira dari tidurnya yang terasa nyenyak sekali, serasa sedang menikmati kasur lamanya. Lalu ia mengernyitkan dahinya heran, ia memang sedang berada di atas kasurnya. Seingatnya tadi malam ia memejamkan matanya di dalam kantong tidur. Dan Maira baru tersadar jika saat ini ia hanya berada seorang diri di dalam kamar. Suaminya tidak berada bersamanya di sana.
Maira tidak mau ambil pusing. Ia segera berwudhu untuk menunaikan sholat Subuh, rutinitas yang baru dijalaninya semenjak ia menikah. Sebelumnya, jangankan bangun untuk sholat. Untuk sekedar sarapan pagi pun ia bermalas - malasan. Apalagi di hari libur yang merupakan hari kemerdekaannya.
Selesai sholat Subuh, Maira mendapati Bundanya yang sedang sibuk di dapur. Tidak biasanya sang Bunda mempersiapkan sarapan sepagi ini.
"Eeeh, tumben anak perawan Bunda udah bangun jam segini. Eh iya, lupa Bunda. Udah nggak perawan lagi ya?" ujar Fita dengan setengah berbisik malu - malu.
Maira menelan ludahnya, ia hanya tersenyum aneh. Satu hal yang belum Bundanya ketahui, sampai detik ini ia masih menyandang status perawan. Maira cepat - cepat mengalihkan pembicaraan, "ehem, Bunda masak apa?"
"Nasi goreng aja yang gampang. Eh May, Bunda bersyukuuur banget! Alhamdulillah, nggak salah pilih mantu. Tadi Bunda terbangun jam setengah tiga, liat Razi keluar dari kamar mandi. Katanya mau sholat malam. Terus, sebelum adzan Subuh dia sudah siap - siap mau ke masjid. Masyaa Allah, solehnya mantu Bunda." jelas Fita dengan senyum bahagia.
Sedikit terselip rasa malu di benak Maira. Karena level ketakwaannya kepada Sang Khalik masih sangat jauh dibandingkan suaminya. Diam - diam dalam hati Maira berniat ingin mengejar ketertinggalannya.
"Eh, nanti kalo suami kamu pulang jangan lupa langsung salam, cium tangannya. Hormati suami kamu, dia itu imam kamu, pembimbing kamu di dunia dan pintu surganya kamu." nasehat Fita untuk putrinya.
Maira terdiam untuk berpikir sejenak lalu berkata, "iya, Bun. Tapi kalo dia yang nyebelin gimana? Kalo dia nggak bisa jadi imam yang bener buat aku gimana?"
"Namanya juga manusia, pasti punya banyak salah. Kalo suami melenceng dari jalurnya, tugasnya istri untuk mengingatkan. Tapi, tetap dengan cara yang baik. Apa kamu pernah lihat Bunda marah - marah sama Ayah?"
"Yah, Bunda sih kalo ke Ayah ngambekan doang. Tapi kalo ke May sama Malik ngomelnya panjang kayak barisan gerbong kereta." jawab Maira setengah meledek.
Fita malah tertawa cekikikan mendengar celoteh putrinya itu, "soalnya kalo sama Ayah didiemin doang juga mempan. Kalo sama kamu dan Malik, Bunda diem malah didiemin balik."
"Assalamu'alaikum." seru Razi yang baru saja pulang dari masjid.
"Wa'alaikumussalam, Zi." jawab Fita dan Maira serempak. Lalu Fita mendekati telinga putrinya itu untuk berbisik, "inget kata Bunda tadi, cium tangan! Terus temenin suami kamu nge-teh. Bunda udah siapin 'tuh di meja."
Dengan memutar bola matanya, Maira pun menuruti instruksi Bundanya. Ia langsung menghampiri Razi untuk salam takzim. Razi sedikit terkejut dengan perlakuan istrinya itu. Namun lagi - lagi yang ada di pikirannya, mungkin istrinya itu terpaksa karena mereka masih berada dalam pengawasan mata Bundanya di dapur.
"Diminum tehnya, udah disiapin Bunda 'tuh." ujar Maira sambil menunjuk ke arah meja di ruang keluarga. Mereka berdua pun duduk di sana.
"Emmm...tadi malam...kamu mindahin aku ke tempat tidur? Terus kamu yang beresin sleeping-bag?" tanya Maira dengan ragu - ragu.
Razi yang sedang meneguk teh manis hangat itu menganggukkan kepalanya.
"Ka - kamu...gendong aku?" tanya Maira sambil menggigit bibirnya.
"Kalo nggak digendong, gimana caranya mindahin kamu? Ngomong - ngomong kamu berat juga." seloroh Razi sambil tertawa.
"Iiih, ngapain sih pake gendong - gendong segala? Bangunin aku 'kan bisa!"
"Kamu juga ngapain pake tidur di sleeping-bag segala? Tidur di kasur 'kan bisa." jawab Razi dengan membalikkan omongan istrinya.
Maira yang langsung cemberut pun enggan menjawab. Percuma berdebat dengan pria di sampingnya ini.
"Udah, jangan ngambek lagi. Pagi - pagi sambil minum teh, enaknya dikasih senyuman manis sama istri." rayu Razi dengan mengangkat kedua alisnya.
"Ogah! Entar kamu diabetes karena kemanisan." balas Maira dengan mencibir.
"Gula darahku termasuk rendah, lho. Makanya aku perlu asupan yang manis - manis nih." rayu Razi kembali.
"Emangnya aku pikirin! Makan aja 'tuh gula jawa yang banyak." Maira memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan pipinya yang memerah di luar kendalinya.
Razi tertawa melihat sikap istrinya itu. Perlahan Razi menautkan jemari mereka berdua. Saat Maira menolehkan kembali wajahnya karena terkejut, Razi pun mengajukan tanya, "pulang dari sini mau jalan - jalan kemana?"
"Hah? Eh...jalan - jalan?" tanya Maira kaget.
"Iya, kamu mau jalan - jalan kemana? Hari ini kita kencan." tanya Razi balik dengan menampilkan senyum lebarnya.
"Kencan? Emangnya kita pacaran?" sindir Maira.
Razi mengangkat tangan mereka yang saling menggenggam lalu berkata, "nih buktinya. Orang pacaran itu pegangan tangan 'kan? Tapi, kita pacarannya setelah menikah. Mau ngapain juga sudah halal, nggak takut dosa." jelas Razi masih sambil tersenyum.
"Ya lagian ngapain nih, pegang - pegang tangan segala? Emangnya aku mau kabur harus dipegangin begini?" tanya Maira dengan sikap acuh, berusaha menyembunyikan rasa malunya.
"Bisa aja kamu kabur ke...siapa 'tuh? Dit - Dit waktu itu?"
"Ih, apaan sih bawa - bawa Dida segala! Lagian aku nikahnya sama kamu, bukan sama Dida." jawab Maira dengan setengah tersenyum.
"Ooh, berarti kamu sukanya sama aku 'kan, bukan sama Dida?"
"Kepedean banget sih! Aku nggak pernah bilang begitu lho..."
"Kamu nggak usah bilang juga, aku tau kok."
"Apaan sih? GR aja jadi orang!"
"Ehem, ehem...subuh - subuh udah ngeliat Mbak Siomay pacaran. Bikin mupeng aja!" sindir Malik yang baru saja keluar dari kamarnya yang berada di sebelah ruang keluarga.
"Apaan sih, anak kecil baru bangun komen nggak penting! Subuh udah lewat!" ketus Maira pada adiknya.
"Yeee, biasanya juga jam segini Mbak Siomay masih ngiler di kasur!"
"Maliiiiiiikkkkk!!!"
*****