Chereads / May dan Aji (Completed Story - TAMAT) / Chapter 18 - 18. Kemalangan Alma atau Maira?

Chapter 18 - 18. Kemalangan Alma atau Maira?

- Ternyata semua ini hanya fatamorgana.

Dan aku terperangkap di dalamnya -

- May -

*****

Razi dan Maira berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Di tengah perjalanan mereka menuju warung bajigur Mang Dadang untuk kencan pertama mereka, Razi menerima panggilan dari asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Alma. Ia mengabarkan jika Alma saat ini sedang dirawat di ruang ICU dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Raut wajah Razi menunjukkan kecemasan mendalam. Maira tahu pasti bagaimana perasaan suaminya.

"Mbak Tun, gimana kondisi Bu Alma?" tanya Razi dengan cemas kepada asisten rumah tangga Alma yang sedang menggendong Sarah yang tertidur pulas.

"Saya kurang tau, Pak. Perawat minta saya menghubungi pihak keluarga. Yang saya ingat cuma nomornya Pak Razi."

"Mbak, memangnya apa yang terjadi dengan Bu Alma? Kok bisa sampai begini?" tanya Maira penasaran.

"Maaf, Ibu keluarganya Bu Alma?" tanya wanita berumur 40-an yang dipanggil Mbak Tun itu kepada Maira.

"Bukan, saya..." Maira melirik kepada Razi sejenak lalu melanjutkan, "saya May, temannya."

Razi terlihat tidak setuju dengan jawaban yang dilontarkan Maira.

"Ooh, begini Bu. Jadi, tadi Bu Alma naik motor buat belanja ke pasar. Biasanya saya yang disuruh ke pasar. Tapi tadi tumben, Bu Alma sendiri yang mau kesana. Ya udah, saya momong Sarah di rumah. Terus sekitar setengah jam kemudian ada Pak Nasir ketua RT, teriak - teriak manggil saya kayak orang panik. Pas saya keluar, dia langsung bilang Bu Alma kecelakaan lagi di bawa pake ambulans. Saya buru - buru ke sini bawa Sarah dianterin sama Pak Nasir. Terus saya pinjam HP Pak Nasir buat nelpon Pak Razi. Ya Allah, saya bingung sendiri harus gimana, Pak, Bu." papar Mbak Tun panjang lebar dengan nada takut.

Razi terdiam setelah mendengar penjelasan dari Mbak Tun. Ia terduduk lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Astaghfirullah. Ada saksi matanya, Mbak?" tanya Maira dengan antusias.

"Saya kurang tau, Bu. Saya juga nggak paham gimana kejadiannya. Pak Nasir juga dikasitau sama tetangga lain yang liat ada rame - rame di jalan. Pas tetangga itu liat Bu Alma yang terkapar di jalan, dia langsung ngabarin Pak Nasir."

Maira menggigit bibir bawahnya. Ia pun ikut cemas. Dilihatnya suaminya yang sedang duduk diam tanpa ekspresi.

Maira menyentuh pundak suaminya dengan lembut, "Mas, kamu mau masuk?" Razi langsung menatap mata Maira.

Ini pertama kalinya Maira memanggilnya dengan sebutan itu. Bukan waktu yang tepat memang. Tapi Maira ingin menguatkan hati suaminya. Razi pun langsung menggenggam erat tangan Maira yang masih melekat di bahunya lalu berkata padanya, "kita masuk sama - sama ya? Aku butuh kamu."

Maira menjawab dengan anggukan kepala. Ia menggandeng tangan suaminya untuk berjalan masuk ke dalam ruang ICU.

Mbak Tun mengerutkan dahinya melihat keduanya berpegangan tangan. Ia menjadi penasaran siapa Maira sebenarnya. Karena sepengetahuannya, Razi memiliki hubungan dekat dengan majikannya.

---------------

"Mas, jangan lupa susunya lima sendok ya. Air hangatnya jangan banyak - banyak, nanti keenceran!" teriak Maira dari dalam kamarnya. Ia sedang memasukkan baju - baju ke dalam backpack besarnya. Siang nanti ia akan terbang ke Bali untuk mengikuti seminar Jalak Bali.

Razi yang sedang sibuk menggendong Sarah yang sedang rewel pun langsung menjawabnya, "iya, Sayang! Tenang aja, aku bisa kok."

Sudah dua hari ini Sarah berada dalam pengasuhan Maira dan Razi sejak kunjungan mereka di ICU. Malam itu Mbak Tun menyatakan ketidaksanggupannya mengurus Sarah sendirian, apalagi tanpa bimbingan Alma yang saat ini masih tak sadarkan diri di ruang ICU.

"Maaf ya, aku harus ninggalin kamu sama Sarah. Cuma sehari kok." sahut Maira dengan rasa menyesal. Ia mendekati Sarah lalu mencium kedua pipi Sarah yang montok.

"Yah, kok cuma Sarah yang dicium? Suami kamu nggak kebagian jatah nih?" sindir Razi sambil memberikan pipinya.

"Iih, modus! Nggak segampang itu, Fernando!" seloroh Maira sambil menahan tawanya.

"Fernando? Siapa?" tanya Razi heran.

"Duh, nevermind deh! Ngomong sama kamu berasa ngomong sama bapak - bapak."

Razi hanya mengangkat sebelah alisnya lalu berkata, "besok, insyaa Allah sudah ada bala bantuan. Ummi dan Asha pulang besok pagi. Jadi aku bisa ngantor dari siang."

"Untung atasan kamu orangnya pengertian ya."

"Pak Bahar orang bijaksana. Beliau juga sedih mengetahui kondisi Alma yang tinggal sebatang kara. Apalagi dengan kondisinya sekarang."

Maira menghela napasnya pelan. Raut penyesalan muncul di wajah Maira. Ia mengingat cerita Razi tadi malam tentang Alma yang sudah tidak punya siapa - siapa lagi di dunia, kecuali Sarah. Maira tidak bisa membayangkan jika ia yang berada di posisi Alma. Mengurus seorang anak tanpa suami, tanpa orangtua, tanpa saudara.

"Ma - maaf ya..." ucap Maira dengan wajah menunduk.

"Maaf kenapa?" tanya Razi bingung.

"A-aku...selama ini aku...sudah bersikap dingin sama Al. Aku nggak tau kalo..." Maira semakin terlihat menyesali sikapnya.

"Sudahlah, May. Kita do'akan saja yang terbaik untuk Al dan Sarah." hibur Razi dengan tersenyum. Meskipun terlihat kekhawatiran di semburat wajahnya.

Maira tidak mau membuat suaminya itu tambah sedih. Ia memaksakan senyumannya. Justru saat ini Razi yang sedang membutuhkan penghiburan darinya.

"Iya. Semoga Allah segera memberi kesembuhan untuk Alma. Aamiin."

"Aamiin."

Maira memposisikan backpack besarnya di punggung. Lalu segera berpamitan, "ya udah, aku berangkat dulu ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam, Tante May. Dadah, Tante...hati - hati ya. Jangan lupa kabari kalo sudah sampai di Bali." Razi mengangkat tangan Sarah untuk dilambaikan kepada Maira.

Maira yang sudah berada di luar pintu, tiba - tiba berbalik lalu menghampiri Razi kembali. Ia menarik tangan kanan Razi untuk diciumnya.

"Hehe...lupa. Katanya biar dapat berkah." ucapnya dengan tersenyum.

Maira lalu membalikkan badannya, namun tangannya ditarik oleh Razi.

"Bentar, aku juga lupa." Razi mendekati Maira lalu mengecup dahinya.

"Biar dapat ridhonya suami." balas Razi.

Maira pun melangkahkan kakinya keluar rumah dengan mengulas senyum bahagia. Namun hatinya bertanya, salahkah jika ia menikmati kebahagiaan ini ditengah kemalangan yang melanda Alma?

------------

Sebentar - sebentar Razi melirik jam tangannya. Rasanya tak sabar 'tuk menjemput kepulangan istrinya dari Bali. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran Maira di sampingnya, meskipun mereka masih tidur terpisah.

Tapi sebelumnya, ia harus menyempatkan diri melihat kondisi Alma yang masih koma di ICU. Tiga hari yang lalu Dokter sudah memberitahunya bahwa harapan itu masih ada, yang bisa ia lakukan hanyalah menengadahkan tangannya memohon kepada Sang Pemilik Ruh untuk memberikan keajaiban bagi Alma.

"Zi, habis ini mau langsung ke rumah sakit?" tanya Arga sambil menepuk bahu Razi.

"Iya. Siapa tau ada perkembangan sama kondisinya Al."

"Kasian ya Al, sudah nggak punya siapa - siapa lagi. Aku pikir kalian bakal berjodoh, eh ternyata Allah berkehendak lain. Semoga Allah memberi yang terbaik untuk Al."

"Aamiin. Terima kasih, Ga. Masalah hubungan aku dan Al, kalian aja yang pada iseng. Kami hanya berteman baik." jelas Razi setengah tertawa.

"Hmmm, Bro...sepertinya kamu yang salah menafsirkan hubungan kalian. Kamu nggak pernah ngasih kejelasan sih ke Al. Aku pikir endingnya bakalan kamu melamar dia."

Razi hanya setengah tersenyum menanggapi pernyataan rekan kerjanya. Sebelum perjodohannya dengan Maira berlangsung, Razi sudah beberapa kali berusaha mengajak Alma bicara tentang kejelasan hubungan mereka berdua. Tapi selalu saja Alma mengelak atau mengalihkan pembicaraan. Jadi lebih tepatnya Alma yang tidak pernah ingin memperjelas status hubungan mereka. Padahal saat itu Razi sudah berniat untuk menghalalkan hubungan mereka.

Namun sekarang Razi sudah lebih memahami porsi perasaannya terhadap Alma ataupun Maira. Hanya saja situasi selalu menjadi lebih sulit baginya untuk menjelaskan kepada kedua wanita yang ia sayangi itu. Apalagi mengingat kondisi Alma saat ini.

"Ga, pulang dari sini kamu ada acara?" tanya Razi pada Arga.

"Enggak 'tuh. Jomblo kayak aku mah, bebas! Kenapa emangnya?"

"Ikut ke rumah sakit, yuk!" ajak Razi.

"Hmmm, minta ditemenin nih biar istri nggak cemburu?" ledek Arga sambil menaik-turunkan alisnya.

"Hehe...tau aja! Kerjaan udah beres 'kan? Yuk, cabut sekarang!"

-------------

Maira kerap memanggil nomor Razi di ponselnya, namun hingga nada dering habis suaminya itu tidak mengangkat teleponnya. Sudah satu jam Maira menunggu kedatangannya untuk menjemput di bandara. Mendadak benar Maira merasa tidak enak, khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada suaminya itu.

Maira lalu teringat pesan suaminya tadi siang. Sebelum menjemput ke bandara, Razi akan mampir dulu ke rumah sakit. Maira akan mencoba peruntungannya. Ia segera memanggil taksi untuk menuju ke rumah sakit tempat Alma di rawat.

Selama berada di dalam taksi Maira berkali - kali mencoba menghubungi kembali suaminya, namun sia - sia. Yang didengarnya saat ini justru pemberitahuan bahwa nomor suaminya itu sedang tidak aktif. Maira semakin merasa kalut.

Setibanya di sana, ia langsung menuju ruang ICU. Pintu ruang ICU setengah terbuka. Maira membeku, dari luar ia bisa melihat pemandangan itu. Suaminya sedang tertawa bahagia bersama Alma yang telah sadar. Tawa yang berbeda ketika sedang bersama dirinya.

"Maaf, Mbak mau jenguk pasien yang mana?" suara seorang pria yang tiba - tiba muncul dari belakang mengagetkannya.

"Eh, em...saya mau jenguk teman saya yang...yang pake kerudung itu." jelas Maira dengan sedikit terbata - bata sambil menunjuk ke arah Alma. Ada dua pasien yang sedang dirawat di ruang Intensive Care Unit itu.

"Ooh, Alma?" tanya pria itu untuk memastikan.

"Lho, Mas keluarganya Al?" tanya Maira penasaran.

"Bukan, saya Arga teman kantornya."

"Ooh, temannya Mas Aji."

"Mas Aji?"

"Eh, maksud saya Razi." ralat Alma.

"Ooh, Mbak kenal Razi? Jangan - jangan...Maira ya? Istrinya Razi?" tebak Arga.

"Iya, panggil saja May." jawab Maira dengan tersenyum.

Arga mengangguk - anggukkan kepalanya. Dalam hatinya, ia merasa istri Razi tidak kalah cantiknya dengan Alma. Hanya bermasalah di penampilannya saja yang seperti pendaki gunung. Tapi satu hal yang menurut Arga menjadi perbedaan signifikan antara Maira dan Alma, Maira belum berhijab.

"Em...Mas Arga, boleh tau Al sadar sejak kapan?" tanya Maira untuk mengalihkan fokus Arga yang sejak tadi terlihat memperhatikan dirinya dari atas ke bawah.

"Tadi waktu saya dan Razi datang, Al baru saja siuman. Kata perawat, Al nyariin Sarah dan..." Arga terlihat ragu - ragu untuk meneruskan. Ia ingin menjaga perasaan Maira.

Maira sudah bisa menebak isi kelanjutan kalimat Arga yang tiba - tiba terhenti. Maira hanya tersenyum kecil lalu berkata, "saya ngerti, Mas Arga. Kalo gitu, saya permisi dulu."

"Lho...lho, mau kemana?" tanya Arga heran karena melihat Maira yang baru saja tiba sudah berniat hengkang dari tempat itu.

"Emmm...mau pulang duluan, gantian ngurus Sarah. Kasihan Ummi dan Asha sudah ngurus Sarah seharian. Biar Mas Aji di sini dulu aja. Permisi, Mas." tanpa menunggu balasan dari Arga, Maira cepat beranjak pergi.

Arga tidak bisa mencegah kepergiannya. Tebaknya, sebagai seorang wanita pasti Maira merasakan yang namanya cemburu. Mata Arga melihat pemandangan di dalam ICU. Jelas saja, wanita mana yang tidak cemburu melihat suaminya bercengkerama dengan wanita lain seperti itu?

Arga pun merasa bersalah karena ia sudah pergi ke kantin sehingga membiarkan Razi hanya berduaan dengan Alma seperti itu.

Sementara Maira bergegas mencari taksi untuk mengantarnya pulang, ia tidak sanggup menahan perasaan pilunya. Dan ia tidak mau kembali menangis di depan umum untuk kesekian kalinya karena ulah pria itu.

Sesampainya di rumah, Maira mengunci kamarnya. Ia terduduk di lantai, isak tangisnya terdengar hingga ke setiap penjuru ruangan di rumah itu. Maira bukan wanita cengeng, tapi semenjak Razi masuk ke dalam kehidupannya, ia bukan lagi wanita yang tangguh hatinya. Sebentar Razi membuatnya bahagia, sebentar kemudian kembali menyakitinya. Ingin ia menyalahkan pria itu sepenuhnya atas setiap bulir air matanya yang telah tumpah.

Tapi bukan, bukan salah Razi! Tapi salah dirinya yang sudah masuk ke dalam kehidupan Razi. Seharusnya dari awal mereka tidak menikah jika rasanya sesakit itu. Maira sudah merasa tidak sanggup lagi.

"May! May! Kamu sudah pulang? Tolong buka pintunya!" dari balik pintu terdengar suara ketukan. Razi sudah kembali ke rumah.

Beberapa kali suaminya itu memanggil dan mengetuk pintu, tapi didiamkannya.

"May, aku mau bicara. Tolong buka pintunya!"

Maira memejamkan matanya sebentar, sedang memikirkan keputusan yang tadi terlintas olehnya. Dihapusnya air mata yang sudah membanjiri wajahnya. Perlahan Maira membuka pintu kamarnya. Wajahnya tertunduk, tak mampu berhadapan dengan suaminya.

"May, kamu sudah datang ke rumah sakit tapi kenapa langsung pulang? Kenapa nggak..."

"Aku...aku ingin kita cerai!"

*****