Ini bukanlah diksi
Bukan pula cintamani
Melainkan teriakan nurani
Untuk kamu, sang permaisuri
- Aji -
*****
13 Tahun Yang Lalu
Hiruk pikuk sorak-sorai siswa - siswi kelas XII terdengar di lapangan sekolah. Hari ini merupakan hari pengumuman kelulusan di SMA Maira dan Razi.
Untungnya saja seratus persen siswa - siswi di sekolah itu dinyatakan lulus. Babak selanjutnya dalam hidup mereka baru akan dimulai, termasuk Razi.
Beruntung bagi Razi, berkat otaknya yang encer, ia tidak perlu pusing memikirkan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri seperti teman-temannya. Razi sudah dipastikan diterima di perguruan tinggi negeri ternama di Yogyakarta lewat jalur undangan.
Itu artinya, ia akan segera meninggalkan ibukota, keluarganya, dan juga perempuan yang masih mengisi hatinya.
Tanpa ia sadari, matanya melirik ruang kelas Maira. Ia hapal betul posisi duduk Maira di pinggir kanan jendela. Kadang - kadang mereka saling bersitatap, saat itu pula Razi sering melempar senyum pada Maira. Tapi, sejak drama penolakannya yang berlangsung tiga bulan yang lalu di kantin, Maira tidak pernah sekalipun menatap keluar jendela. Bahkan jika mereka berpapasan pun, Maira hanya memandang lurus seperti halnya berpapasan dengan orang asing.
Razi memang membencinya, tapi juga merindunya. Dan anehnya, rindu itu tak mampu untuk dibendungnya.
"Ji, kenapa lo? Bengong aja, bukannya ikutan foto - foto." tepukan di bahunya membuat Razi menoleh ke arah sang pelaku.
"Eh, foto - foto apaan, Dit?
"Ya foto - foto sekelas-laaah! Sama foto bareng anak-anak kelas lain juga." jelas Radit, teman sekelasnya.
"Ooh, pake kamera siapa?"
"Gue, pinjem kamera kakak gue. Buruan ke kelas! Udah ditungguin anak-anak 'tuh!"
Dengan enggan, Razi menuruti ajakan teman sekelasnya itu. Potret demi potret di ambil oleh Radit.
Setelah selesai berfoto bersama dalam beberapa jepretan, tercetus sebuah ide di pikiran Razi. Razi mengangkat sebelah sudut bibirnya, lalu mendekati Radit.
"Dit, bisa minta tolong nggak? tanya Razi berbisik di sebelah Radit.
"Apaan?"
Razi membisikkan sesuatu ke telinga Radit, khawatir terdengar oleh teman-temannya yang sedang ramai di ruang kelas.
Radit menaikkan kedua alisnya saat mendengar permintaan Razi.
"Hah?? Lo beneran suka sama dia?" tanya Radit dengan intonasi naik. Razi langsung memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut agar Radit menurunkan volume suaranya.
"Ji, kalo lo suka kenapa lo tolak dia? Pake drama segala lagi!" tanya Radit kembali, kali ini dengan suara pelan.
"Gue punya alasan sendiri. Tolong ya, Dit!" mohon Razi sambil menangkup kedua tangannya.
-------------------
Masa Kini
"Apa kamu bilang? Cerai?" tanya Razi tidak percaya.
"Ya, cerai! Ini yang terbaik untuk kita." ucap Maira dengan tegas sambil menahan sesak di dadanya.
Tanpa disangka oleh Maira, Razi menghambur pelukan padanya. Tangan kanannya merangkul kepala Maira.
"Jangan bicara yang tidak - tidak. Aku cinta kamu, May." ucap Razi pelan di samping telinganya.
Maira mengumpulkan segenap kekuatannya lalu mendorong dada Razi untuk melepas pelukannya.
"Kamu cinta aku, tapi juga cinta Al?" tanya Maira sambil kembali terisak.
"Kenapa sih kamu harus bahas Alma lagi?"
"Kenapa? Kamu tanya kenapa? Dari cara kamu menatap dia, cara kamu tertawa bersama dia, cara kamu bicara dengan dia, semuanya memperlihatkan bagaimana perasaan kamu ke dia. Satu lagi, perasaan kamu ke Al itu nggak salah, yang salah itu perasaan kamu ke aku." Maira menatapnya nanar.
Pemaparan Maira membuat Razi berang. Ia lelah perasaannya terus - terusan didikte oleh istrinya. Dengan menahan emosi, Razi segera mengeluarkan dompetnya dari saku celana lalu berkata, "kamu mau bukti perasaan aku ke kamu? Ini buktinya!"
Razi mengeluarkan selembar foto yang tersimpan di dalam dompetnya.
Maira terkesiap, heran bagaimana suaminya bisa memiliki fotonya di masa lalu. Dengan tergagap ia berkata, "i-ini 'kan....kok kamu..."
"Aku selalu menyimpan foto ini sejak hari kelulusan." jelas Razi pada Maira yang terlihat sangat terkejut.
"Ta-tapi...kok kamu bisa..."
"Aku yang minta tolong Radit waktu itu." jawab Razi sambil menghela napas.
"Hah?? Jadi Kak Radit...kamu yang nyuruh dia?" tanya Maira kembali memastikan.
"Iya, Sayang. 'Tuh liat sendiri 'kan, aku nyimpennya foto kamu, bukan foto Alma." Razi menaik-turunkan alisnya. Ia melihat istrinya sudah jauh lebih tenang.
"Tapi 'kan...dulu...kamu benci aku. Kenapa kamu bisa..."
"Aku juga nggak tahu. Mungkin benar kata orang-orang, benci dan cinta bedanya tipis. Lebih tipis dari pantyliner." seloroh Razi yang disambut dengan senyum yang tertahankan oleh Maira.
"Iiih, apaan siiih! Emang tau pantyliner itu apa?"
"Perlu aku jawab?" tantang Razi sambil tertawa.
"Enggak perlu! Enggak penting!" ketus Maira.
"Hmmm...berarti udah nggak ngambek, dong?" tanya Razi menggoda.
"Siapa juga yang ngambek!"
"Gengsi banget sih! Ngaku ngambek juga nggak papa." goda Razi sekali lagi.
"Kamu 'tuuuh...manusia paling nyebelin seduniaaa!!" seru Maira gemas.
"Tapi paling ngangenin 'kan?" Razi menaik-turunkan kedua alisnya.
"Ckckck, nggak nyangka aku kalo kamu narsis berat!"
"Narsis sama istri sendiri ini." sahut Razi sambil kembali merangkul Maira.
"Kamu kok jadi seneng main peluk-peluk sih? Ngelunjak nih lama-lama."
"Malahan kalo boleh lebih dari pelukan." rangkulan Razi lebih mengerat.
Jantung Maira berdegup kencang. Wajahnya terlihat gugup. Ucapan suaminya itu sontak membuatnya panik. Buru - buru dilepasnya rangkulan suaminya itu.
"Iih, apaan sih? Jangan kegatelan deh! Urusannya belum kelar nih! Aku 'tuh ngeliat cara kamu menatap Al, beda."
Razi memutar bola matanya. Lagi - lagi topiknya kembali ke persoalan Alma.
"Kamu pernah perhatikan cara aku menatap Asha? Cara aku menatap Ummi?" tanya Razi setelah berpikir sejenak.
Maira mengernyitkan dahinya bingung, tidak mengerti maksud pertanyaan suaminya. Akhirnya Maira menanyakan kembali, "maksud kamu apa?"
Razi menghela napasnya lalu menjawab, "cara aku memandang Al, sama seperti cara aku memandang Asha, ataupun Ummi. Al...seperti keluargaku sendiri. Selama ini, aku salah mengartikan perasaanku ke Al. Awalnya aku memang kagum dengan sosoknya, yang mampu bertahan demi Sarah. Lalu lama - lama, aku merasa harus melindungi dia, sama seperti seorang kakak ke adiknya."
Maira terdiam mendengar jawaban suaminya. Benarkah perasaan suaminya seperti itu? Kenapa rasanya sulit bagi Maira untuk mempercayai ucapannya? Sebenarnya, bukti seperti apa lagi yang ia inginkan dari suaminya?
"Kenapa? Kamu belum percaya?" tanya Razi sambil membelai rambutnya.
"Terus, gimana perasaan Al ke kamu?" tanya Maira dengan mendongakkan wajahnya.
"Yaa...aku nggak bisa jawab yang itu. Kamu harus tanya sama Al."
"Tapi...aku yakin dia punya perasaan mendalam sama kamu." balas Maira pelan.
"Kamu sendiri gimana?" Razi menatapnya serius.
"Gimana apanya?" tanya Maira sambil memalingkan wajah. Ia mengerti benar maksud pertanyaan suaminya itu.
"Kamu tahu maksudku!" jawab Razi tegas.
"Enggak tau, kok!" ketus Maira.
Razi menggenggam kedua tangannya erat, lalu berlutut di hadapan Maira yang terduduk di atas ranjang. Dipandangnya Maira dengan tatapan mendalam lalu sekali lagi bertanya, "gimana perasaan kamu ke aku?"
Maira sekali lagi memalingkan wajahnya. Namun Razi memegang kedua pipinya untuk menolehkan wajah Maira tepat berhadapan dengannya. Razi menatapnya semakin dalam. Maira sudah tak mampu mengelak. Ia menarik napas berkali - kali untuk menenangkan jantungnya yang berdetak semakin kencang.
"Iya, aku juga cinta sama kamu."
--------------
"Maira-san, have you prepared the presentation for last stage?" tanya Kondo-san pada Maira. Saat ini mereka sedang makan siang bersama di sebuah hotel bintang lima, lunch-break setelah mengikuti sesi FGD (Focus Group Discussion) yang diadakan oleh Kementerian Kehutanan.
"Umm, nope! Not yet! I still have two weeks, don't i?" balas Maira dengan santai.
"Yes, but...i can help you, if you want to."
"Like...how?" tanya Maira ragu-ragu. Ia merasa tumben atasannya itu menawarkan bantuannya.
"Well, we...can do it together, tonight. Maybe at my apartment?"
"Uhuk...uhuk!" Maira tersedak makanannya. Ia langsung meneguk segelas air putih di sampingnya. Kondo-san refleks menawarkan minumannya juga kepada Maira, namun ditolaknya dengan isyarat tangan.
Maira kaget, baru kali ini juga atasannya itu mengajaknya masuk ke apartemen sewaannya. Sebelumnya, mereka selalu menyelesaikan pekerjaan mereka di kantor, meskipun hingga larut.
"Sumimasen! I was startled." seru Maira masih dengan terbatuk - batuk.
"No-no, it's my fault. I'm sorry, maybe it's too early." balas Kondo-san dengan ragu-ragu.
"What do you mean by 'too early'?" tanya Maira sembari mengernyitkan dahinya.
"Ehm, nothing! So, what do you think?" tanya Kondo-san kembali.
"Oh, thank you for your help, but i think i'll do it myself. It's my job anyway." jawab Maira masih sambil mengatur napasnya.
Sementara semburat kekecewaan terlihat di wajah Kondo-san setelah mendengar jawaban Maira. Sedangkan Maira memandang Kondo-san dengan tatapan bingung.
"Alright. So, how things with your husband?"
"Umm, we're fine." jawab Maira dengan tersenyum. Beberapa hari yang lalu Maira dan Razi telah mengungkapkan perasaan mereka masing - masing. Dan sekarang keduanya sedang menikmati masa - masa seperti orang - orang berpacaran pada umumnya. Memang benar kata suaminya itu, karena mereka sudah terikat pernikahan, apapun yang mereka berdua lakukan sebagai pasangan sudah halal, bahkan membawa berkah.
Kondo-san memandang curiga kepada Maira. Ia tidak suka melihat semburat kebahagiaan yang muncul di wajah Maira kini.
"I thought you said you don't love your husband?" tatapan Kondo-san terasa dingin.
"Maybe i change my mind." jawab Maira lagi-lagi dengan senyum sumringah.
"Goshisousama desu!" Kondo-san sontak berdiri. Ia berniat meninggalkan meja makan. Wajahnya terlihat tidak bersahabat, tidak seperti biasanya. Sebelum meninggalkan Maira yang terlihat terheran-heran dengan sikap atasannya, Kondo-san mengucap, "i'm done! I'll get back to my seat."
"Kondo-san..." panggilan Maira tak digubrisnya. Dan Maira pun semakin bertanya - tanya akan sikap atasannya itu.
Maira hanya mengangkat kedua bahunya, ia tak mau ambil pusing akan sikap bosnya itu. Maira lebih memikirkan akan rencananya nanti sore bersama Razi. Mereka berdua akan mengunjungi Alma yang saat ini sudah tidak lagi berada di ICU, melainkan di ruang rawat inap rumah sakit. Pasalnya, sejak kepulangannya dari Bali, ia belum lagi memunculkan batang hidungnya di rumah sakit itu. Semoga saja pertemuannya dengan Alma nanti tidak berakhir dengan drama yang sudah lelah dihadapinya. Ia, juga Razi harus berani mengambil sikap. Mereka adalah suami istri yang sah. Dan Alma harus menerima kenyataan itu.
Terasa getaran di sebelah piring makan Maira. Layar ponselnya menampilkan notifikasi pesan chat masuk. Maira meraih ponselnya lalu membuka pesan itu.
Sayang, nanti aku jemput di hotel. Tunggu ya.
Maira segera mengetik balasan pesan untuk suaminya sembari senyum-senyum sendiri. Hatinya berbunga-bunga. Hanya membaca pesan masuk dari suaminya saja membuatnya deg-degan. Mungkin seperti ini rasanya pacaran, pikirnya.
Sementara dari seberang ruangan, seseorang memandang Maira dengan picingan mata. Semburat kekecewaan dan juga kekesalan meliputi wajahnya. Mungkin ini rasanya patah hati, pikirnya
Ia segera beranjak pergi dari tempat itu, berusaha menenangkan emosinya yang bergejolak. Hanya Tuhan yang tahu betapa ia sangat mencintai seorang Maira. Sekarang, ia harus segera melenyapkan perasaan itu. Dan ia belum tahu bagaimana caranya.
*****