- Aku bertanya pada gemerisik angin, salahkah perasaan ini? Salahkah perasaannya? Ataukah cinta memang tak pernah salah? -
- May -
*****
13 Tahun Yang Lalu
"Kak Aji! Ada yang mau gue omongin!" Sasti bersama Edo, pacarnya menghampiri Aji di depan pintu kelas. Edo adalah teman seangkatan Aji namun beda kelas. Tapi keduanya sama - sama mengikuti ekstrakurikuler taekwondo.
"Ada apa?" tanya Aji dengan muka bingung. Pasalnya, adek kelasnya ini belum pernah mengajaknya bicara sama sekali.
"Ji, cewek gue mau ngasitau info penting, nih! Lo dengerin dulu ya. Tapi inget, abis itu lo kudu sabar. Jangan kepancing emosi. Soalnya gue pas denger ceritanya Sasti juga jadi emosi." Edo menimpali.
"Info apaan?" tanya Razi semakin penasaran.
"Kak, lo tau 'kan Maira? Anak basket dari kelas 1F?" tanya Sasti dengan wajah terlihat cemas.
"Iya. Kenapa?"
"Jadi...gue sebenernya nggak enak nih ngomongnya. Tapi gue merasa harus kasitau lo, Kak! Gue nggak suka temennya pacar gue dijadiin bahan taruhan!" jelas Sasti dengan wajah iba.
"Taruhan apaan sih?" tanya Razi semakin penasaran.
"Besok, Maira mau nembak lo, Kak!"
"Tapi lo jangan seneng dulu, Ji. Gue tau lo suka sama dia. Tapi ada hal lain yang perlu lo tau." lagi - lagi Edo menyela.
"Sok tau lo! Kapan gue bilang suka sama dia?" sangkal Razi sembari mengangkat sebelah alisnya.
"Yaelah, keliatan Ji. Di jidat lo aja bisa kebaca tuh tulisan 'gue suka Maira'." jawab Edo sambil menunjuk dahi Razi.
"Jadi, Kak...lo cuma jadi bahan taruhan dia. Seminggu yang lalu dia nantangin gue. Katanya kalo lo terima cinta dia, jabatan Kapten Basket tetap dipegang sama dia. Kalo lo tolak, gue yang jadi Kapten Basket. Soalnya dia lagi merasa posisinya terancam sama gue."
"Apa maksudnya gue yang dijadiin bahan taruhan? 'Kan kalian yang rebutan jadi Kapten." Razi terlihat tidak percaya.
"Yaelah, Kak 'kan yayang gue udah bilang, keliatan banget lo sukanya sama dia. Makanya dia pede berat lo bakal terima cintanya dia. Jadi, dia cuma mau manfaatin lo aja buat menangin taruhan."
"Masa dia orangnya begitu?" tanya Razi masih tidak percaya.
"Kak, dia udah biasa mainin perasaan cowok. Bukan cuma lo doang. Dari SMP tuh, banyak cowok yang suka sama dia. Gaya preman gitu tapi 'kan modal muka, cowok pada gampang klepek - klepek deh. Akhirnya dimanfaatin deh 'tuh cowok - cowok. Kalo Kak Aji nggak percaya, tanya aja 'tuh sama si Firman kelas 1A. Dia pernah nembak Maira, berhubung ke sekolah cuma modal jalan kaki, ya ditolaklah. Nah kalo Kak Aji 'kan punya motor, lumayanlah buat jadi supir ojek dia."
"Sabar ya, Ji! Ini ujian! Besok kalo dia nembak lo, langsung tolak aja. Nggak usah pake mikir." hasut Edo sembari menepuk pundaknya.
Dengan mudahnya cerita Sasti merasuk di pikiran Razi. Adik kelas yang sudah beberapa bulan ini mencuri perhatiannya, ternyata sosok yang berbeda dari perkiraannya.
"Oh ya, Kak satu lagi. Besok dia bakalan ngasih lo hadiah, semacam gantungan kunci gitu. Trus dia bakal ngaku - ngaku kalo itu dia bikin sendiri, biar lo melting. Jangan percaya! Yang jual model begitu banyak." tambah Sasti lagi.
Emosi Razi kian memuncak, rasa kecewanya amat dalam. Sepertinya ia harus segera mengubur perasaan yang sudah setengah semester ini dipendamnya.
‐------------------
Tiga Hari Setelah Pernikahan
Hari ini Razi pulang cepat, tidak terlalu banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan di kantor. Sebenarnya ia merindukan menemui sosok istrinya, tapi apa daya permusuhan mereka masih berlanjut. Kata - katanya saat itu pun pasti melukai hati sang istri. Sepertinya terlalu sering ia menyakiti Maira dengan lisannya yang tajam. Padahal hatinya berkata lain.
Razi ingin segera berdamai dengan istrinya. Ia pun mengetuk pintu kamar Maira perlahan, "May...May, kamu sudah pulang?"
Berkali - kali memanggil namun tidak ada jawaban. Razi memberanikan diri membuka pintu kamarnya. Razi mengedar pandangan, kamar itu masih kosong. Tempat tidurnya masih rapi. Namun terlihat sebuah kotak kecil di atas meja, diatasnya ada sebuah kertas kecil berpita bertuliskan:
Semoga kamu suka 😊
M ❤ A
Razi segera membuka kotak itu untuk melihat isinya.

Razi tersenyum melihat benda itu. Benda yang seharusnya ia terima tiga belas tahun yang lalu. Razi langsung terpikirkan sesuatu. Otaknya segera menyusun rencana. Hari Sabtu sepertinya waktu yang tepat, karena di hari itu ia yakin Maira akan meluncurkan gencatan senjata. Sekarang dirinya hanya harus bersabar beberapa hari lagi.
----------------
Hari Ini
Sejak kata - kata sakti itu keluar dari lisan suaminya tadi siang, Maira justru mendiamkannya. Ia tidak tahu harus bagaimana menyikapi pernyataan itu.
Lalu bagaimana perasaan Razi terhadap Alma? Pria itu mampu berbagi perasaan? Sini mau, sana mau? Atau jangan - jangan dia berniat poligami? Makanya menolak bercerai? Pikiran Maira muncul bagai bola liar di kepalanya.
"May, itu steak cuma ditusuk - tusuk gitu. Nggak doyan?" Fita menegur putrinya yang terlihat seperti tidak bernafsu menyantap potongan daging wagyu bakar di hadapannya. Saat ini mereka sedang makan malam di restoran steak favorit Malik dalam rangka merayakan keberhasilannya lolos program student-exchange ke Jepang selama setahun dari kampusnya.
"Eh, eng - enggak. Masih kenyang aja, Bun." Maira beralasan.
Fita yang sangat kenal dengan perangai putrinya, spontan meletakkan sendok garpunya di sisi hotplate, "ayo cerita sama Bunda. Kamu kenapa? Lagi ada masalah? Tadi siang perasaan biasa aja."
Sedangkan Razi yang duduk di sebelah Maira mengetahui persis penyebab diamnya Maira. Ia jadi menyesal terlalu cepat mengungkap segalanya kepada Maira. Wanita itu pasti sekarang sedang dilanda kebingungan.
Razi punya kekhawatiran sendiri di pikirannya. Ia sudah mengakui perasaannya, tapi Maira justru bungkam seribu bahasa. Mungkin istrinya itu sudah tidak memiliki perasaan cinta terhadapnya seperti di masa lalu. Lalu, kenapa saat Alma mampir ke rumah Maira terkesan seperti cemburu? Bahkan sampai menangis. Apakah Razi salah menangkap sinyal?
"Emmm...itu, Bun...em, May lagi kepikiran pengumuman besok." Maira terlihat sedang berpikir.
Fita pun mengerutkan dahinya heran, "pengumuman apa?"
"Ituuu, hasil seleksi interview ketiga. Besok diumuminnya." cetus Maira secara spontan. Ia tidak berbohong. Memang benar Senin besok adalah hari pengumumannya. Tapi dalam hati, Maira merasa percaya diri kalau dirinya akan lolos dalam tahap ini. Namun anehnya, antusiasmenya seperti berkurang.
"Hah?? Jadi kamu beneran mau kerja di sana? Kamu belum mengundurkan diri dari program seleksinya?" kejut Fita dengan terperangah.
"Bun...May di sana cuma dua tahun, kok. Lagian, Malik aja Bunda kasih ijin kesana setahun. Masa May nggak boleh?" rajuk Maira dengan wajah cemberut. Matanya melirik pada Razi mengisyaratkan permohonan bantuan.
"Beda, May! Kamu perempuan, Malik laki - laki. Dia bisa jaga diri. Lagian dia cuma di sana setahun, terus balik lanjutin kuliahnya di sini. Lha kalo kamu? Ada kemungkinan diperpanjang kerjaannya di sana." Fita beralasan.
"Ehem, Bunda, Ayah...saya mohon maaf sebelumnya. Saya ijin untuk bicara mewakili Maira, yang sekarang sudah menjadi istri saya, sekaligus tanggung-jawab saya." sela Razi tiba - tiba. Razi kembali mengingatkan pada kedua mertuanya akan status Maira sekarang. Ini adalah janji yang harus ia penuhi kepada Maira.
Melihat semua perhatian penghuni meja itu tertuju padanya, Razi pun melanjutkan, "kalau saya pribadi tidak berkeberatan May mengejar cita - citanya. Selama May masih mengetahui batas - batasnya sebagai seorang istri dan seorang wanita karir."
"Tapi kalo May berangkat ke Jepang, itu artinya kalian akan hidup terpisah selama bertahun - tahun. Terus masalah anak bagaimana? Mengurus keluarga itu tidak bisa dari jarak jauh." kini Farhan yang angkat bicara. Ia terlihat tidak sependapat dengan menantunya.
"Saya mengerti kekhawatiran Ayah dan Bunda. Jujur, sekarang ini saya juga belum menemukan solusinya. Kami masih membicarakan mengenai hal itu. Tapi yang jelas, saya mendukung May seratus persen dalam berkarir. May wanita hebat, jadi sayang sekali jika potensinya dikubur. Jadi saya mohon restu dari Ayah dan Bunda untuk keputusan May, karena saya sebagai suami sudah memberikan restu untuk istri saya."
Mendengar ucapan tegas dari menantunya, Fita dan Farhan saling menatap. Seperti sedang berkomunikasi lewat mata batin. Lalu Fita mengangkat kedua bahunya. Ia sadar, kini Razi yang memegang tongkat hierarki tertinggi atas putrinya itu. Dengan enggan ia berkata, "ya sudah. Kalo suami kamu sudah ngomong begitu, Ayah dan Bunda nggak bisa ngomong apa - apa lagi. Tapi ingat, May...jangan melanggar batasan. Ingat, kewajiban utama kamu sebagai istri, bukan sebagai pencari nafkah."
Selesai dari acara makan malam yang berlangsung dingin itu, mereka semua kembali ke rumah orangtua Maira dengan kendaraan masing - masing. Selama di perjalanan pulang, Maira masih mendiamkan Razi. Razi mencoba beberapa kali menegurnya, namun Maira masih betah bungkam. Pikirannya terlalu kusut malam ini. Padahal yang Maira tidak ketahui, pikiran suaminya itu jauh lebih dari kusut.
Sesampainya di halaman rumah, Maira langsung keluar dengan membanting pintu mobil. Ia bergegas masuk ke rumah menuju kamarnya. Fita dan Farhan yang melihat sikapnya hanya geleng - geleng kepala. Sedangkan Malik, mengejeknya, "Mbak Siomay tukang ngambek!"
Razi pun merasa tidak enak hati dengan kedua mertuanya. Ia memohon izin untuk langsung menemui istrinya di kamar.
"Sayang...kamu kenapa lagi sih?" tanya Razi dengan dahi mengernyit.
Maira yang sedang duduk bersandar di ranjang, membuang mukanya ke arah lain. Dipangkunya bantal Doraemon kesayangannya. Wajahnya terlihat kesal.
Razi mendekatinya dengan duduk di hadapannya. Razi sendiri tidak begitu mengerti arti diamnya Maira. Karena tadi di restoran, ia sudah menepati janjinya. Lalu sekarang apa lagi masalahnya?
"Mau diem - dieman lagi seperti kemarin? Aku sih nggak mau." cetus Razi.
"Bodo!" bentak Maira tak mau tahu.
"May...bisa nggak sih semua diomongin baik - baik?"
"Emang dulu kamu bisa nolak aku dengan baik - baik? Enggak 'kan?!" balas Maira dengan ketus.
"Tapi aku sudah minta maaf."
"Kalo semua urusan kelar pake kata 'maaf', maling nggak perlu dilaporin ke polisi. Orang korup nggak perlu ditangkap KPK."
"Jadi kita masih bahas masa lalu?"
"Siapa juga yang bahas masa lalu! Aku cuma nggak ngerti maunya kamu itu apa!"
Razi tambah bingung, karena menurut pikirannya, justru ia yang tidak tahu apa maunya sang istri. Razi memutar otak lalu angkat bicara, "kamu mau tahu apa maunya aku?"
"Nggak usah kamu jawab juga aku udah tau!" ketus Maira.
Razi semakin bingung, "tadi katanya nggak tau aku maunya apa, sekarang bilang udah tau. Yang bener yang mana nih?"
"Ah, tau ah! Males ngomong sama kamu!" sahut Maira jengkel.
"Kamu lagi...PMS ya?" dengan ragu - ragu Razi bertanya. Umminya pernah berpesan pada Razi, hati - hati dengan PMS-nya wanita, karena segala urusan bisa jadi runyam.
"Tau darimana soal PMS? Alma?" tuding Maira dengan kesal.
"Kenapa sih kamu bawa - bawa Alma terus? Kamu lupa Ummi dan adekku itu perempuan?" Razi mulai terpancing emosi.
Maira terdiam, tidak bisa balas berkomentar. Maira sendiri tidak mengerti kenapa nama Alma bisa keluar dari mulutnya. Sepertinya memang semuanya harus diperjelas.
"Sebenarnya...maksud kata - kata kamu tadi siang apa sih?" tanya Maira dengan lebih tenang setelah berkali - kali menarik napas.
"Kata - kata yang mana?"
"Ituuu....yang soal...perasaan." Maira berkata sambil membuang muka.
"I still love you?"
"Eh, iya itu. Nggak usah diomongin juga kali." wajah Maira terlihat memerah.
"Kata - kata itu masih kurang jelas?" tanya Razi lagi.
"Ya...maksud kamu itu apa? Kamu bilang kamu cinta sama Alma 'kan? Kenapa sekarang kamu bilang begitu? Bikin bingung aja!" Maira menyedekapkan kedua tangannya di depan dada.
Tawa Razi langsung merebak. Tingkah istrinya ini justru membuatnya gemas. Andai diperbolehkan, mungkin Razi sudah melakukan sesuatu yang sudah dipendamnya pada Maira.
"Apaan sih? Malah ketawa nggak jelas!" kadar kekesalan Maira bertambah.
"Habis kamu dari tadi marah - marah nggak jelas. Ternyata karena cemburu." jelas Razi masih disertai tawanya.
"Iiih, kepedean banget jadi orang! Siapa juga yang cemburu!"
"Ya kamu, sama Alma."
"Kamu sama Alma itu...sebenarnya gimana sih?" alih - alih mengiyakan pernyataan Razi, Maira ingin lebih memperjelas status Alma dalam hati suaminya itu.
Tawa Razi perlahan menghilang. Ia terdiam sesaat. Berusaha merangkai kata - kata yang tepat dalam pikirannya. Karena ia baru saja menemukan jawabannya.
"Aku cintanya sama kamu, Sayang."
*****