- My heart is confused, but i couldn't resist you. My love is terminated, yet i marry you. -
- Aji -
*****
"Maira - san, have you prepared for the third interview?" Kondo - san menanyakan pada Maira yang sedang sibuk mengetik di belakang meja kerjanya.
Maira pun segera melayangkan pandangan ke arah bosnya yang sedang berdiri di depan pintu ruangannya. "Hmmm...i guess so. It's kind of freak me out, actually."
"I know, it is. But i'm sure you'll be okay. You are the most eligible candidate! Remember, you still have a week to go. Don't forget to give in your form of application!" Setelah mengucap kalimat terakhirnya, Kondo - san segera berlalu dari hadapan Maira. Meninggalkan Maira yang segera memijat pelipisnya. Badannya dihempaskan bersandar ke kursinya.
Maira sedang dilanda kepanikan. Tahap seleksi selanjutnya akan segera dimulai, dan hingga detik ini ia masih belum mengantongi restu orangtuanya untuk bekerja di negeri asal atasannya itu. Hampir setiap malam ia mencoba membujuk Ayah Bundanya dengan berbagai rayuan, bahkan iming - iming hadiah, hanya untuk mendapatkan izin mereka. Namun, tetap saja selalu penolakan yang ia peroleh.
Ia harus memikirkan kembali tawaran yang pernah dilayangkan oleh Razi kepadanya. Benarkah jika mereka menikah, maka Maira akan mendapatkan izin dari sang suami untuk bekerja di luar negeri? Lalu bagaimana dengan Razi? Bagaimana dengan Alma? Bagaimana dengan kelanjutan hubungan mereka berdua? Sebenarnya, apa tujuan Razi akhirnya setuju untuk menikah dengannya? Pertanyaan - pertanyaan ini muncul bagai benang kusut di otaknya.
Tapi Maira sudah tidak memiliki waktu untuk berpikir, ataupun melakukan kompromi. Mungkin memang sebaiknya ia menikah dengan Razi. Jika memang itu satu - satunya cara. Jika itu artinya ia harus mengorbankan perasaan Razi dan Alma. Anggap saja ini sebagai pembalasannya atas perlakuan Razi kepadanya di masa lalu. Tapi, Alma...ia tidak bersalah. Sanggupkah Maira menjadi duri dalam hubungan mereka berdua? Tidak, kalau Maira menikah dengan Razi, itu artinya ia lebih memiliki hak atas Razi. Justru Alma yang akan menjadi duri, jika masih berani muncul dalam kehidupan Razi.
Maira meraih ponselnya. Ia membuka aplikasi Whatsapp lalu mengetik pesan untuk mantan kakak kelasnya itu. Mereka harus segera bertemu.
‐-------------
Maira bergegas berjalan menuju tempat makan yang dimaksud oleh Razi dalam pesannya tadi siang. Untung saja lokasinya tidak terlalu jauh dari kantornya, sehingga bisa ditempuhnya dengan berjalan kaki. Untuk seorang Maira yang juga seorang pendaki gunung, berjalan kaki menempuh belasan kilo meter sudah merupakan hal lazim untuknya.
Sudah dua minggu ini ia tidak lagi menggunakan motor bebeknya. Maira berniat menjual kendaraan kesayangannya itu. Hasil penjualannya akan menjadi tambahan pundi - pundi yang lumayan baginya untuk menunjang kehidupannya di negeri sakura nanti, itupun jika ia berhasil mendapatkan posisi itu. Anggap saja sekarang ini ia sedang melatih dirinya untuk berpisah dengan motor kesayangannya itu.
Sepanjang perjalanannya menuju tempat makan itu, jantung Maira berdebar tidak karuan, sesekali muncul desiran halus di dadanya. Bisa dikatakan mendadak ia merasakan seperti orang yang sedang demam panggung. Bagaimana tidak? Sebentar lagi, ia akan menyampaikan keputusan yang paling penting dalam hidupnya. Entah ia akan menyesali keputusan ini atau tidak, yang jelas untuk saat ini, itulah yang terbaik menurutnya.
Maira telah tiba di tempat makan itu, sebuah warung tenda nasi soto lamongan. Tumben sekali pria itu mengajaknya bertemu di tempat seperti ini, pikirnya.
Memasuki tempat itu, Maira langsung menemukan sosok Razi yang tengah menyantap soto pesanannya. Lalu Maira melihat sebuah nasi dan soto yang sudah tersedia di meja. Sepertinya Razi sudah memesankan hidangan itu untuknya.
"Waahhh...sedaaap! Ini buat aku 'kan?" Maira hendak menyambar mangkuk berisi kuah kuning itu, namun tangan Razi berhasil menggeser mangkuk itu terlebih dahulu ke arahnya.
"Ini punyaku! Pesan sendiri kalo mau." Tangan Razi langsung menguasai mangkuk soto dan sepiring nasi di hadapannya itu. Sementara Maira hanya bisa terkesiap dan menyetel wajah kecewa. Ia melempar tatapan sinis pada pria itu. Namun Razi bersikap tak acuh, fokusnya tetap pada hidangan soto yang sedang disantap.
"Iisshhh, dasar cowok egois! Di mana - mana 'tuh cowok ngalah sama cewek!"
"Cewek pada umumnya, kecuali kamu." Razi melanjutkan dengan sikap cuek. Saat Razi lengah, dengan cekatan kedua tangan Maira menarik piring dan mangkuk soto itu dari hadapan Razi. Lalu ia menjulurkan lidahnya untuk mengejek. Tangannya segera bekerja, menyendok kuah soto tersebut untuk disiram ke atas nasi.
Bukannya marah, Razi justru tertawa melihat sikap Maira yang kekanak - kanakkan menurutnya. Apalagi memperhatikan Maira yang menyantap soto itu bak orang kelaparan.
"Kamu belum makan dari siang?" tanyanya penasaran pada Maira.
"Udah kok. Porsi makanku emang banyak." Maira menjawab dengan santai lalu melanjutkan, "hmmm...enak ya sotonya. Aku belum pernah nyobain."
"Ini soto favoritku."
"Ooh, jadi kamu suka soto lamongan?" Maira memberanikan diri menatap Razi di tengah - tengah aktivitas mengunyahnya.
"Aku suka semua soto. Tapi hanya soto ayam. Aku tidak terlalu suka daging sapi." Razi yang telah menyelesaikan makannya, segera membersihkan mulutnya dengan tisu.
"Hmmm...kalo soto ayam doang sih gampang."
"Maksudnya?" dahi Razi mengernyit.
"Masak soto ayam? Kecil!" jelas Maira dengan menjentikkan jari - jarinya.
"Kamu bisa masak?"
"Yaaah, nggak semua jenis masakan. Tapi kalo soto ayam sih, bisalaaah." Maira terlihat percaya diri dengan ucapannya.
Razi mengulum senyum, "Hmmm...berarti sudah siap buat jadi istri?"
"Uhuk...uhuk! Uhuk!" Maira yang sedang menelan makanannya, sontak tersedak. Ia segera meraih segelas air putih di hadapannya untuk meredakan tenggorokannya. Setelah menenggak hampir setengah gelas air, Maira masih terbatuk kecil. Ia berusaha mengatur napasnya yang gelagapan.
Melihat kondisi Maira yang seperti itu, membuat Razi sedikit merasa bersalah. Wajahnya terlihat sedikit panik. "Kamu nggak papa?"
"Uhuk! What do you think?!" Maira melebarkan bola matanya.
"Maaf," sembari berucap, Razi mengalihkan pandangannya.
"Serius kamu ngomong 'maaf'? Tumben!"
Bukannya merespon sindiran Maira, Razi justru menatapnya dengan mimik wajah yang serius. "Ya udah, to the point aja. Apa yang mau kamu omongin?"
Maira pun segera meletakkan sendok garpunya di pinggir piring. Ia balas menatap Razi tajam. "Aku terima tawaran kamu!"
Razi terlihat berpikir sejenak, lalu melontarkan tanya, "untuk menikah?"
"Iya, aku mau nikah sama kamu. Tapiii, ada syaratnya." Telunjuk Maira mengetuk - ngetuk meja.
"Aku juga punya syarat."
"Iih, ikut - ikutan! Kemaren - kemaren perasaan kamu nggak ngomongin syarat." Maira mencibirnya.
"Apa syarat kamu?"
"Kamu duluan! Syarat kamu apa?" dagunya dinaikkan, seperti sedang menantang Razi.
"Kamu duluan." Razi bersikeras. Ia menunjukkan sikap dominannya.
"Oke! Yang pertama...ehem, kita tidak tidur seranjang. Malahan kalo bisa, beda kamar. Yang kedua, kamu menyetujui aku bekerja di Jepang. Kalo kamu sudah setuju, orangtuaku pasti ikut setuju."
Razi terdiam beberapa detik. Ia berusaha memikirkan dua syarat yang diajukan oleh Maira. "Kalo kamu ke Jepang, gimana dengan aku?"
"Naaah, aku belum selesai nih. Syarat yang ketiga, setelah aku berangkat ke Jepang, kita cerai. Dan kamu bisa melanjutkan hubungan kamu dengan Alma."
Ekspresi wajah Razi terlihat datar, sulit dilukiskan dengan kata - kata oleh Maira. Ia tidak paham bagaimana respon pria itu terhadap syarat - syarat yang baru saja dilontarkannya.
"Oke! Syarat aku cuma satu." Razi mencondongkan badannya. Matanya menatap bola mata Maira lekat.
"Apa?" Maira balas menatapnya tajam.
"Tidak ada kata CERAI! Aku menolak syarat ketiga."
Maira menatapnya dengan nanar. Ia semakin tidak mengerti dengan pola pikir pria itu. "Kalo kita tidak cerai, terus gimana hubungan kamu sama Alma? Kamu nggak mau nikah sama dia?"
"Syaratku cuma itu. Take it or leave it!" alih - alih memberikan jawabannya, Razi justru menantang Maira.
"Terus Alma?"
"Ini urusan kita. Jangan bawa - bawa Alma!" Razi mulai terlihat berang, rahangnya mulai menegang. Ia jengah jika Maira terus - menerus menyebut nama Alma.
Kedua alis Maira terangkat ke atas. Sudut mulutnya ditarik ke bawah. Ada rasa nyeri terselip di dada. Maira benar - benar tidak paham kenapa Razi tidak mau bercerai. Namun Maira sudah tidak punya pilihan lain. Yang paling utama baginya saat ini adalah kontrak nikah ini akan menguntungkan bagi kelanjutan karirnya. Urusan perpisahannya dengan Razi, nanti saja ia pikirkan.
"Oke, kalo itu mau kamu. Yang jelas, aku sudah menawarkan solusi untuk kamu."
"Solusi buat aku, atau buat kamu?" Razi kembali melayangkan tatapan menghakimi padanya.
"Eh, emmm...yaa, buat kita berdua sih." Maira menjawab dengan salah tingkah.
"Kapan kamu berangkat ke Jepang?"
Maira memutar bola matanya ke atas, "kalo diterima sih, yaaa...mungkin sekitar tiga bulan lagi."
"Berarti pernikahan kita harus segera dilaksanakan."
"Hah??"
"Kamu bilang tiga bulan."
"Eh, i - iya sih. Waktunya mepet. Kamu...mmm...nggak papa?"
"Nanti aku minta tolong Asha untuk mengurus berkas - berkas yang diperlukan ke KUA."
Mendadak jantung Maira berdebar kencang. Ia harus menikah dengan Razi dalam kurun waktu dekat. Siapa yang bisa menyiapkan pernikahan dalam waktu sesingkat ini? Mentalnya, terutama mentalnya yang harus ia persiapkan. Tinggal satu atap, bahkan menyandang status istri dari seorang Razi, tidak akan mudah untuk seorang Maira. Namun semua ini demi, demi cita - citanya.
"Emmm...kira - kira, berapa lama waktu buat mengurus ke KUA?"
Razi mengangkat kedua bahunya untuk menjawab pertanyaan Maira, "harusnya kamu tanya sama teman kamu yang sudah menikah. Jangan tanya sama aku, yang baru saja mau menikah."
Maira hanya menyeringai sudut mulutnya. Pria ini selalu berhasil membuatnya geram.
"Sebaiknya kita adakan akad sederhana dulu. Masalah resepsi bisa menyusul nanti." Melihat Maira sudah menyelesaikan makannya, Razi melambaikan tangannya kepada sang penjual soto, memberi kode bahwa ia meninggalkan selembar uang seratus ribu di atas meja.
"Aku ngikut aja. Terserah mau gimana. Yang penting..."
"Yang penting kamu bisa ke Jepang, ya 'kan?" Razi langsung menyambar omongan Maira. Maira mendelikkan matanya, kata - kata Razi terdengar sarkasme di telinganya.
"Kamu naik apa tadi?" Razi memperhatikan tidak ada motor terparkir di luar tenda.
"Jalan kaki." Maira menjawab masih dengan nada kesal.
"Ayo, aku antar."
"Enggak usah. Aku naik trans - Jakarta aja."
"Nggak mau diantar sama calon suami?"
Mendengar kata - kata itu, entah kenapa Maira merasakan desiran halus muncul di dadanya. Desiran yang mendebarkan. Tanpa sadar, ia menggigit bibir bawahnya, pandangannya dialihkan ke arah lain, "ehm...nggak usah."
"Aku antar! Sekalian aku mampir, mau ketemu sama orangtua kamu."
"Eh - eh, ngapain?" Maira terlihat gelagapan.
"Mau melamar anaknya."
*****