Chereads / May dan Aji (Completed Story - TAMAT) / Chapter 10 - 10. Dosa Masa Lalu

Chapter 10 - 10. Dosa Masa Lalu

- Kau adalah kisah yang tak pernah usai. Dahulu, sekarang, dan yang akan datang, kau tetap kisahku. -

-Aji-

*****

Dua minggu telah berlalu sejak acara makan siang bersama di rumah Razi, namun hingga sekarang Maira tidak pernah lagi bertemu dengan pria itu. Bahkan Razi tidak pernah berusaha menghubungi ataupun menemuinya. Harus Maira akui, perlahan ia kembali merindukan sosok pria dingin itu. Maira semakin tidak mengerti dengan perasaannya sendiri.

Sesungguhnya, ia sangat membenci pria itu. Apalagi atas luka yang ditorehnya di masa lalu. Namun ia tidak bisa memungkiri perasaannya saat ini. Benci tapi rindu? Mungkin itu yang dirasanya saat ini. Maira merasa pertemuannya dengan Razi semacam permainan takdir. Apakah memang takdirnya untuk berjodoh dengan Razi? Ataukah...takdir kembali mempertemukan mereka hanya agar dirinya kembali merasakan sakit itu? Ia teringat akan sosok Alma...Razi, menginginkan sosok Alma, bukan dirinya.

"May, ngelamun lo?" Ruri melambai - lambaikan tangannya didepan penglihatan Maira.

"Enggak, kok. Eh, udah dipanggil belum? Lama amat sih?" Maira mengalihkan pembicaraan.

"Dua paisen lagi, abis itu gue." Jawab Ruri dengan sumringah.

Ya, saat ini mereka sedang berada di Poliklinik Ibu dan Anak. Tadi siang, Ruri meminta kepadanya untuk ditemani memeriksakan kandungannya. Tepatnya tiga hari yang lalu, Ruri baru saja mengetahui kalau dirinya sedang mengandung calon anak pertamanya, lewat alat tes kehamilan. Untuk memastikan kondisi kandungannya itu, Ruri pun berniat memeriksakan diri ke dokter kandungan. Ia ingin memberi kejutan pada suaminya yang saat ini sedang berada di Malaysia, saat ia pulang besok.

"Gue nggak sabar nih buat ngabarin Mas Galang. Pas banget momennya, minggu depan anniversary kita yang ke-dua." Ruri terlihat penuh dengan kegembiraan.

"Gue ikut senang buat lo sama Mas Galang. Dijaga baik - baik nih, calon dedeknya." Maira mengusap perut sahabatnya itu.

"Insyaa Allah. Do'ain yang baik - baik ya buat calon ponakan lo ini."

"Gue bakal do'ain...semoga anak lo nggak petakilan dan manja kayak emaknya." Maira terkekeh pelan.

"Iihhh, do'anya kok gitu sih? 'Kan gue bilang do'ain yang baik - baik!"

"Lho, 'kan itu termasuk do'a yang baik."

"Maira?"

Maira segera menoleh ke samping kursinya. Di sana telah berdiri sosok yang sedang dirindukannya itu. Maira pun segera bangkit dari duduknya, menyamai posisi pria itu. Ruri juga turut berdiri di sampingnya.

"Kamu? Lho...ngapain di sini? Tante Win, sakit lagi?" Maira terlihat cemas.

"Sssttt...ini klinik ibu dan anak, May." Ruri mengingatkan dengan berbisik di samping telinganya. Maira segera menyadari kekeliruan pertanyaannya.

"Bukan, Ummi alhamdulillah baik - baik aja. Aku lagi ngantar..."

"Lho, May? Kamu lagi di sini juga? Eh, ada Ruri juga. Apa kabar kalian? " dan Alma pun tiba - tiba muncul dari belakang Razi. Ia yang sedang menggendong Sarah, langsung menghampiri Maira dan Ruri untuk salam pipi.

"Alhamdulillah, baik. Ini, Maira lagi nganterin aku mau cek kandungan. Soalnya suamiku lagi ke negri tetangga." Ruri yang segera menjawab pertanyaannya.

"Ooh, kamu sedang hamil, Rur? Alhamdulillah, barokallah. Semoga sehat - sehat terus ya. Sudah berapa minggu?"

"Ini baru mau dicek. Baru tau dari test-pack tiga hari yang lalu. Kamu sendiri, ngapain?"

"Ini, Sarah demam sejak dua hari yang lalu. Terus, aku minta tolong Razi untuk mengantar kesini. Ini baru aja selesai konsul dari spesialis anak." Alma menjelaskan dengan gamblang.

"Ooh, kasihan. Sarah sayang sakit apa? Cepet sembuh ya, Cantik." Ruri membelai pipi gembil balita cantik itu.

Berbeda dengan respon Ruri yang berkesan ramah dan asyik berbincang dengan Alma, Maira justru bersikap dingin. Ia hanya menampilkan senyum kecutnya. Lirikan tajamnya diarahkan pada Razi, namun pria itu justru membalasnya dengan setengah senyum. Maira mengalihkan pandangannya ke sisi lain.

"Ibu Ruri Maheswari!" Seorang perawat menyebut nama Ruri dengan kencang dari depan pintu ruang poli kandungan.

"Udah dipanggil 'tuh, Rur! Yuk!" Maira segera menggamit lengan Ruri, menariknya menuju ruang poli itu. Ia tidak perduli dengan sepasang pria - wanita di hadapannya itu

"Eh, aku masuk dulu ya, Al, Kak Aji!" Ruri melambaikan tangannya.

"Sehat - sehat ya, Rur!" Alma balas melambaikan tangannya seiring dengan menghilangnya sosok keduanya setelah pintu ruang poli tertutup.

"Zi..." Alma menegur pria di sampingnya itu.

"Hm?"

"Kok aku ngerasa May dingin ya sama aku?"

"Perasaan kamu aja."

"Masa sih?"

"Udahlah, nggak usah dipikirin. Ayo, aku antar kalian pulang." Razi segera membalik badannya berjalan ke arah pintu keluar. Alma mengikutinya dari belakang disertai dengan tangisan rewel Sarah yang mulai merebak.

-------

1 Bulan Sebelumnya

"Pernikahan itu akan menggenapkan separuh dien antum. Sehebat apapun sebelum menikah, masih belum komplit keber-Islaman kita. Nikah itu sunatullah. Mumpung antum belum ketemu calon istri, perbanyak ibadah, qiyamul lail, antum akan dipertemukan oleh Allah Subhanahu Wata'ala pasangan yang sekufu dengan antum."

"Namun bisa jadi pasangan yang antum dapatkan, tidak sesuai dengan yang antum bayangkan. Tidak sama dengan kriteria yang antum idam-idamkan, sebagaimana di buku-buku yang pernah antum baca, atau ceramah-ceramah yang pernah antum dengar. Sikapilah itu sebagai pemberian terbaik dari Allah untuk antum. Tidak usah protes, jangan mengeluh." (Dikutip dari ceramah Asih Subagyo https://m.hidayatullah.com/kajian/jendela-keluarga/read/2017/04/25/115528/nasihat-untuk-calon-pengantin.html)

Ceramah seorang ustadz di kajian kali ini, mengetuk hati dan pikiran Razi. Keseluruhan isi ceramahnya membuat Razi merenung sepanjang waktu, hingga ia tidak menyadari waktu kajian telah usai dan para jama'ah mulai membubarkan diri.

"Zi, masih mau di sini?" Arga teman kantornya menepuk bahunya, menyadarkannya dari lamunannya.

"Eh, iya Ga. Duluan aja." Razi mempersilahkan Arga untuk keluar dari masjid itu duluan. Arga pun pamit padanya.

Seminggu sekali, setiap hari kamis, kajian rutin diadakan di masjid dalam komplek perkantorannya ini. Dan Razi menjadi bagian dari jama'ah yang rutin menghadiri acara kajian tersebut. Kajian inilah, alasan dibalik hijrahnya seorang Razi. Sudah dua tahun ini ia mendalami ilmu agama Islam. Meskipun ia sedang berusaha mengejar ketertinggalannya, Razi selalu berusaha istiqomah.

Awalnya, Asha - lah yang mendorongnya untuk segera hijrah, memperbaiki keislamannya. Adiknya itu sudah lebih dahulu melaksanakan hijrahnya berkat pergaulannya dengan muslimah - muslimah di kampusnya dulu. Lalu disusul oleh Arsi yang saat ini bekerja di Makassar. Rasa malu pada adik - adiknya yang sudah terlebih dahulu hijrah, menghantarkannya pada kajian di masjid ini.

"Kak Aji, ya? Beneran ini Kak Aji? Masyaa Allah."

Razi yang sedang memakai sepatunya di anak tangga teras masjid, segera mendongakkan kepalanya. Silaunya sinar matahari membuat penglihatannya samar untuk mengenali wajah perempuan berjilbab di hadapannya.

"Maaf, siapa ya?"

"Ya Allah, Kak Aji beneran lupa sama aku? Aku Sasti, Kak. Adek kelas Kakak dulu di SMA." Sasti berusaha mengingatkan mantan kakak kelasnya itu.

"Oh, Sasti. Mantannya Edo 'kan?"

"Ya ampun, Kak. Kok yang diinget Edo sih? Udah masa lalu itu, nggak usah dibahas lagi. Kak Aji apa kabar? Habis ikut kajian ya?"

"Alhamdulillah, baik. Kamu...ikut kajian juga?" Razi yang sudah selesai mengenakan sepatunya pun berdiri, berhadapan dengan Sasti.

"Iya, aku duduk di barisan akhwat."

"Alhamdulillah, berarti sekarang kamu sudah berubah lebih baik." Razi tersenyum melihat penampilan Sasti saat ini. Sasti yang merasa dipuji, tentu saja tersipu malu.

"Ah, nggak Kak. Aku masih tahap belajar. Pake jilbab juga baru sebulan." Sasti berkata dengan malu - malu.

"Setidaknya niat dan amal baik kamu sudah tercatat. Semoga bisa istiqomah ya."

"Aamiin, insyaa Allah. Oh iya, Kak mumpung kita ketemu...emmm, ada yang mau aku bicarakan sama Kak Aji."

"Bicara soal apa?"

"Emmm...soal...dosa masa lalu." Sasti menjawab dengan ragu.

"Lho, tadi katanya nggak usah bahas masa lalu. Malah sekarang mau ngomongin dosa? Mau curhat soal Edo?" Razi menaikkan sebelah alis matanya.

"Iih, kok Edo lagi sih yang dibahas! 'Tuh orang udah ke laut, Kak! Aku mau ngomongin hal lain yang lebih penting."

"Ngomongin apa sih?" Razi merasa penasaran, dalam hatinya bertanya - tanya penuh selidik.

"Soal...emmm, kita cari tempat lain deh, Kak. Nggak enak disini, entar disangka berkhulwat lagi."

Karena rasa penasarannya, Razi segera mengiyakan ajakan Sasti. Mereka segera berjalan menuju cafe terdekat untuk berbicara.

Setelah memesan minuman, Sasti pun tidak membuang waktu. Ia segera mengutarakan apa yang menjadi tujuannya tadi.

"Kak Aji, sebenarnya...emmm, pokoknya sebelumnya aku mau minta maaf dulu."

"Minta maaf? Kenapa?" Razi semakin bingung dibuatnya.

"Aku...dulu...emmm...duh, gimana ya ngomongnya?" Kedua tangan Sasti saling meremas - remas di atas pangkuannya. Ia menggigiti bibir bawahnya. Khawatir apa yang akan ia sampaikan nantinya akan memicu kemarahan Razi.

"Ada apa, Sas?"

"Jadi...dulu, aku udah bikin dosa. Sampai sekarang, aku masih kepikiran. Aku merasa bersalah banget."

Razi mencondongkan badannya. Jari - jemarinya saling terkait di atas meja. Tatapannya fokus pada Sasti. Ia memberi wanita itu kesempatan untuk meneruskan ceritanya.

"Emmm, aku...dulu...bohong ke Kak Aji." Wajah Sasti tertunduk. Matanya tidak berani beradu pandang dengan Razi. Sedangkan pandangan Razi masih tertuju padanya, ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Perlahan, Sasti mengangkat kepalanya. Ia tidak melihat adanya respon terkejut atau pertanyaan yang meluncur dari mulut pria itu.

"Kak Aji kok diam? Aku jadi tegang nih!"

"Aku ngasih kamu kesempatan buat cerita."

"Huffth..." Sasti menghela napasnya sejenak, sebelum melanjutkan, "ternyata memang benar ya. Berat untuk mengakui kesalahan."

"Kamu bohong apa?" Tatapan Aji masih terlihat teduh padanya. Tidak sedikit pun terlihat angkuh.

"Tapi...setelah dengar ceritaku, Kak Aji janji ya nggak marah?" Sasti berkata dengan was - was.

"Aku nggak bisa janji."

"Tuh 'kan, nggak ada jaminannya kalo Kak Aji nggak bakalan marah. Terus, gimana aku mau cerita dengan tenang?"

"Ya udah, lain kali aja. Kamu cerita kalo udah siap. Aku harus balik ke kantor duluan." Razi sudah mengangkat setengah badannya untuk berdiri, namun Sasti mencegahnya, "eh - eh, Kak jangan dulu! Iya, aku cerita sekarang!"

"Yakin udah siap cerita?" Razi kembali mendudukkan badannya di kursi.

Sasti menganggukkan kepalanya mantap. Pelan - pelan Sasti menarik dan menghembuskan napasnya berulang - ulang. " Bismillah! Jadiii....dulu aku bohong sama Kak Razi. Aku memfitnah May dulu. Masih inget 'kan sama May? Anak kelas 1F yang..."

"Iya, aku ingat! Maksud kamu fitnah apa?" Razi mengernyitkan dahinya.

"Waktu dulu dia mau nembak Kakak, sebenarnya...emmm...sebenarnya memang waktu itu dia beneran suka sama Kakak. Tapi 'kan...aku bilang ke Kak Aji kalo dia nembak Kakak cuma buat menangin taruhan. Demi jabatan kapten basket. Jujur, waktu itu sebenarnya, aku yang ngajak dia taruhan. Aku tahu rencana dia mau nembak Kak Aji. Aku merasa...punya kesempatan buat...buat...emmm...merebut posisi Kapten Basket. Terus, cerita soal...banyak cowok - cowok yang...yang jadi korban taruhannya, itu semua...maaf, Kak. Aku udah bikin salah!" Sasti menundukkan wajahnya, menunjukkan rasa penyesalan terdalamnya.

"Jadi dulu semua cerita itu fitnahnya kamu?" Razi kembali memastikan. Terlihat guratan kemarahan di wajahnya, namun ia berusaha menahan diri.

Sasti hanya mengangguk pelan. Kepalanya masih tertunduk. Ia tidak memiliki nyali untuk beradu - pandang dengan Razi. Razi pun terdiam sesaat. Ia tak habis pikir, perempuan di hadapannya ini tega memanfaatkan dirinya, bahkan memfitnah Maira, hanya demi sebuah kedudukan di sekolah. Razi menggeleng - gelengkan kepalanya sembari mengangkat sebelah sudut bibirnya.

"Terus, setelah drama di kantin itu, kamu sukses jadi Kapten Basket 'kan?"

"Iya." Sasti menjawab dengan suara lirih.

"Kamu nggak merasa bersalah?"

"Yah...namanya juga baru jadi ABG, ego masih setinggi langit. Tapi, sekarang aku bener - bener menyesal, Kak."

"Kamu sudah pernah ketemu Maira dan cerita soal fitnah kamu ini?"

Sasti menggelengkan kepalanya pelan. Setitik air mata jatuh di pipinya.

"Aku benar - benar menyesal, Kak. Aku niat hijrah. Aku ingin memperbaiki diri. Aku malu dengan semua dosa - dosa yang sudah aku perbuat. Alhamdulillah, Allah mempertemukan kita sekarang. Jadi...aku punya kesempatan untuk..." Sasti tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Pipinya sudah dipenuhi derai air mata. Isak tangisnya pun mulai terdengar.

Razi menggeser kotak tisu di atas meja ke hadapan Sasti yang kini sedang sesenggukan. Sasti menarik beberapa lembar kertas tipis itu untuk diusap di pipinya.

"Maaf, Kak. Aku jadi baper."

"Alhamdulillah, Allah sudah membuka pintu hati kamu. Yang sudah terjadi di masa lalu, sudah berlalu. Yang penting, bagaimana kita menjadi lebih baik di masa depan."

"Kak Aji...maaf ya..."

"Terima kasih kamu sudah mau jujur."

----------

Masa Kini

Razi mengingat pertemuannya dengan Maira siang tadi di klinik. Ada perasaan bersalah terselip di hatinya. Lagi - lagi wanita itu harus melihat kebersamaannya dengan Alma, hal yang paling tidak ia inginkan. Sejak ia melihat bagaimana tatapan Maira terhadap dirinya dan Alma saat makan siang bersama di rumahnya.

Siang itu, sebenarnya secara tidak sengaja Alma mampir ke rumahnya untuk menyerahkan beberapa gambar blueprint yang harus segera ia adopsi. Kebetulan saat itu, Alma membawa Sarah ikut serta karena ART-nya sedang mudik ke kampung. Dan kebetulan juga saat itu Umminya sedang mengadakan acara makan bersama sup kimlo. Tentu saja Ummi dan Asha mengajak Alma untuk ikut serta. Apalagi Asha yang keburu gemas saat melihat sosok balita lucu seperti Sarah.

Sedangkan tadi pagi, saat Razi sedang mampir ke rumahnya untuk menyerahkan flashdisk berisi file pekerjaan, Alma sedang terlihat panik karena Sarah panas tinggi. Alma pun langsung meminta bantuannya untuk mengantarkannya dan Sarah ke klinik.

Razi membuka laci mejanya. Ia menarik sebuah kotak berisi koleksi gantungan kuncinya. Ya, sejak dulu ia senang mengoleksi gantungan kunci unik yang selalu menjadi oleh - oleh dari Ayahnya saat bepergian keluar kota ataupun keluar negeri. Di dasar kotak itu, ada sebuah kertas foto terselip. Ia memandangi foto itu, foto yang telah ia simpan sejak lama. Pikiran Razi mengelana, apakah ia sedang menatap masa lalunya? Ataukah masa depannya?

*****