Chereads / May dan Aji (Completed Story - TAMAT) / Chapter 7 - 7. Gantungan Kunci

Chapter 7 - 7. Gantungan Kunci

- Aku terbenam, dalam ratapan masa lalu, akibat salah mengartikan rasamu -

- May -

*****

13 Tahun Yang Lalu

Maira sudah bertekad. Ia akan menyatakan perasaannya pada Aji, kakak kelasnya itu hari ini, di kantin. Itulah tantangan yang diberikan oleh Sasti padanya. Untuk menembak cinta pertamanya itu di depan khalayak ramai.

Sementara sahabatnya, Ruri, sudah merasa gelisah. Nalurinya berkata sepertinya akan ada sesuatu yang buruk bakal terjadi.

Bel istirahat berdentang. Pak Marwo, guru Matematika, menyudahi ajarannya. Setelah sosok Pak Marwo menghilang dari dalam kelas, Maira pun langsung beranjak dari kursinya. Ia sudah mempersiapkan mentalnya untuk hari istimewa ini.

"May, batalin aja deh! Kok gue ngerasa nggak enak ya?" Ruri menarik - narik baju Maira seperti anak kecil yang sedang merajuk.

"Iih, apaan sih?" Maira melepaskan tangan Ruri dari seragamnya.

"Gue udah siap tempur, nih! Harusnya lo semangatin gue, dong! Bukannya bikin gue down. Masa iya prajurit kabur dari medan perang?"

"Lebay lo! Emangnya lo mau ikutan perang dunia?"

"Lo juga lebay! Gue 'kan mau memperjuangkan cinta gue." Maira bersikap sedikit jumawa.

"Iihhh, serius May! Gue ngerasa nggak enak banget, nih! Serasa kayak lo yang mau ditembak mati, gitu."

"Ish, lebay parah!" Toyoran Maira mampir di dahi sahabatnya itu lalu ia beranjak pergi.

"Lo mau ikut nemenin gue, apa nunggu disini?" Maira yang sudah berada di depan pintu kelas membalik badan, melihat Ruri yang masih berdiam diri di posisinya. Ruri yang sedang menggigiti bibir bawahnya itu pun akhirnya turut menyusul. 

Maira segera berjalan menuju kantin sekolah mereka yang tentu saja sudah dipenuhi oleh para siswa - siswi yang sedang kelaparan. Tak terkecuali Aji, siswa kelas 3 yang akan ditembaknya. Maira menemukan sosoknya di sana, sedang bersiap diri menyantap semangkok bakso di hadapannya.

Maira pun hanya berdiri menunggu di pojokan. Ruri yang bingung melihat Maira hanya diam saja di sana, akhirnya menegur, "May, kok nggak lo samperin si Kak Aji? Lo berubah pikiran?"

"Ya enggaklah! Gue lagi nunggu dia selesai makan."

"Heh? Emang kenapa kalo tembak sekarang?"

" Kalo entar dia jadi keselek bakso gimana? Kan rempong urusannya. Lagian, biar dia kenyang dulu. Lebih gampang ngomong sama orang kenyang daripada sama orang laper. Lo aja kalo lagi laper bawaannya gahar kayak cewek lagi PMS."

"Ampun Dijah!" Ruri menepuk dahinya.

"Nggak sekalian Markonah?" Dan candaan mereka berdua di pojokan itu pun berlangsung sembari menunggu Aji menyelesaikan santapannya.

Sementara di pojokan lainnya, Sasti sudah bersiap menunggu momentum yang sudah dinanti - nantinya itu. Sembari menghitung detik - detik menuju kemenangannya.

"May, kayaknya dia udah kelar tuh." Colekan Ruri di bahu Maira, menyadarkannya dari lamunannya pada kotak mungil yang terbungkus kertas kado di genggamannya. Sebuah senyum sumringah hadir di wajahnya. Kotak itu dimasukkannya ke saku bajunya. Dengan langkah mantap, Maira pun segera mendekati Aji yang sedang asyik bercengkerama dengan teman - teman seangkatannya di meja itu. Diikuti dengan Ruri yang berjalan di belakangnya.

"Hai, Kak Aji!" Mendengar namanya disebut, Aji pun menolehkan kepalanya ke belakang. Terlihat sedikit terkejut dengan kehadiran Maira di belakangnya.

"Ya?"

"Aku Maira dari kelas 1F. Kakak sudah kenal aku 'kan?" Dengan percaya diri, Maira menyapa Aji.

"Ada perlu apa?" Dengan sikap dingin Aji bertanya.

Maira sedikit bingung dengan ekspresi Aji yang terlihat sedikit berbeda dari biasanya. Kakak kelasnya itu memang terkenal tegas, tidak banyak bicara, kaku, namun bisa dipastikan ia orang yang ramah jika diajak bicara.

"Kak Aji, aku..." Maira menghentikan kalimatnya. Mendadak rasa gugup melandanya. Padahal tadi ia merasa biasa saja. Ia terdiam sejenak, mematung diselimuti kecemasan. Matanya mengedar ke sekeliling, ternyata sekarang ia dan Aji menjadi pusat perhatian seluruh penghuni kantin.

Dan tatapan Razi yang seolah tidak suka melihat kehadirannya, justru menambah keresahannya.

Dari belakang, Ruri sedikit mendorong punggung Maira, "cepetan May!" Ia berbisik. Maira sedikit terkesiap, lalu berhasil mengumpulkan alam sadarnya.

"Emm, Kak Aji...aku...aku suka sama Kak Aji! Aku mau kita jadian!" Akhirnya kalimat itu keluar dengan lantang dari mulut Maira. Maira pun menghela napas lega telah melepaskan beban hatinya.

Razi yang tadi masih duduk kini bangkit berdiri, ia mendekati Maira. Mata mereka saling bertatapan.

"Jadian? Saya? Sama kamu?" Razi menegaskan dengan agak ketus. Telunjuknya di arahkan pada Maira.

"I - iya." Maira menurunkan pandangan. Tiba - tiba keberanian yang tadi sudah dikumpulkannya menghilang.

"Kamu pikir saya suka sama kamu?" Tatapan Aji terlihat menghakimi.

"Emmm, Kak Aji suka nonton di pinggir lapangan 'kan kalo aku lagi tanding basket? Kakak juga ramah sama aku. Jadi...mungkin perasaan kita sama."

"Pede bener! Ck...cewek model kamu ini yang bikin saya muak! Sok kecakepan! Sok sempurna! Padahal ngikat tali sepatu juga nggak becus!" Razi menghardiknya. Tatapannya turun ke arah kaki Maira. Maira sendiri ikut melihat ke arah sepatunya.

Dibiarkannya tali - temali sepatunya yang terjurai itu. Ia terperangah mendengar kata - kata kasar yang tercetus dari lisan kakak kelas yang dicintainya itu. Terutama menggaris - bawahi kata 'muak'. Maira jadi berpikir kesalahan apa yang sudah diperbuatnya sehingga membuat cowok yang sering melempar senyum padanya itu merasa muak dengannya?

"Maaf, Kak? Maksud Kak Aji apa?" Maira masih berusaha bersikap tenang, meskipun deru napasnya meningkat dan adrenalinnya mulai terpicu.

"Pake nanya lagi! Telinga kamu bermasalah? Apa saya harus ulangi kata - kata saya tadi?" Intonasinya semakin meninggi. Wajahnya terlihat semakin gusar.

Emosi Maira mulai bekerja, ekspresi marah tercermin di wajahnya. "Aku perlu penjelasan! Maksud Kakak tadi apa bilang muak sama aku? Aku sok cakep? Sok sempurna? Aku salah kalo ngerasa Kakak suka sama aku? Sama tali sepatuku aja, Kakak perhatian. Dan asal Kakak tau, telingaku tidak bermasalah!" Intonasi Maira mulai meninggi.

Dalam benaknya mulai bertanya - tanya. Sepertinya tidak mungkin jika cowok itu marah padanya hanya karena ia tidak bisa menyimpul tali - temali dengan benar ataupun karena dia salah menangkap sinyal - sinyal yang diberikan kakak kelasnya itu.Tapi Maira tidak menemukan alasan lain yang membuat Aji meradang padanya. Jangankan untuk mengajak bicara, berdekatan dengan cowok itu juga tidak pernah.

"Salah besar! Aku tidak pernah suka sama kamu! Kamu pikir kamu siapa di sekolah ini? Baru jadi Kapten basket aja udah belagak tengil. Dengar ya! Saya, bukan orang yang suka mempermainkan orang lain seperti kamu. Saya, bukan berandalan seperti kamu!"

Plaakkk! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Aji, hingga melukai sudut bibirnya. Namun bukan tamparan itu saja yang diterima oleh Aji.

Maira yang sudah berkaca - kaca langsung meraih mangkok bakso yang masih berisi kuah dari atas meja. Ia segera menyiram isi mangkok itu ke atas kepala Aji.

Setiap pasang mata di sana memperhatikan mereka berdua dengan ekspresi terperangah. Tidak ada satu pun yang berani melerai keduanya, termasuk Ruri. Keduanya terlihat seperti singa yang menakutkan.

"Kamu! Dasar cewek preman!" Razi terlihat sangat berang.

"Kakak jahat! Jahat banget! Aku benci Kak Aji!" Selesai mengutarakan perasaannya, Maira pun segera berlalu dari tempat itu.

Ia berlari menuju toilet perempuan. Dikeluarkannya kotak kecil yang tadi berniat untuk diberikannya pada Aji dari dalam sakunya. Ia membuangnya di tempat sampah depan toilet.

Dengan cepat Maira masuk ke dalam toilet dan mengunci pintunya. Ia tersungkur, tangisnya pecah, meledak - ledak. Belum pernah ia menangis sehebat itu. Semua gara - gara Arsan Fahrurazi, yang bukan hanya mematahkan hatinya, tapi juga menoreh catatan kelam di masa remajanya.

---‐-----------

Masa Kini

Maira memandangi gantungan kunci yang dibuatnya sendiri 14 tahun yang lalu. Benda yang pernah dibuangnya namun kemudian dipungutnya kembali di tempat sampah. Benda yang tadinya akan ia berikan kepada seseorang yang spesial di masa lalu.

Maira sendiri tidak mengerti kenapa ia masih menyimpan benda itu hingga saat ini. Apakah itu artinya dulu ia masih menyimpan harap pada pria itu?

Terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Bundanya sedang berdiri di depan pintu kamarnya yang memang terbuka.

"May, Bunda mau bicara sebentar." Tanpa menunggu jawaban Maira, Fita langsung masuk ke dalam kamar, menghampiri putri sulungnya itu yang sedang duduk di atas ranjang. Fita pun duduk di sebelahnya.

"Ada apa, Bun?" Maira menatap Bundanya penasaran.

"Bunda teleponan sama Tante Winda beberapa hari yang lalu. Tante Winda tanya. Kamu, sudah punya jawabannya?"

"May 'kan sudah menolak, Bun." Maira menghela napasnya.

"Tapi waktu itu 'kan Tante Win minta kamu pikir - pikir dulu."

"May udah mikir masak - masak, Bun."

Kini giliran Fita yang menghela napasnya. Rasanya sulit sekali merubah pendirian putrinya yang keras kepala ini.

"May, sebenarnya ada apa sih antara kamu dan Razi dulu?"

Maira meragu, bimbang mau cerita atau tidak ke Bundanya itu. Ia tahu benar Bundanya adalah seseorang yang reaktif. Maira khawatir jika menceritakan kejadian sebenarnya, Bundanya justru akan membenci Razi melebihi dirinya. Ia takut kejujurannya akan merusak hubungan baik antara Umminya Razi dengan Bundanya.

"Waktu SMA, dia kakak kelas yang nyebelin, Bun. Mentang - mentang mantan wakil ketua OSIS, suka semena - mena sama adik kelas." Maira memilih mengikuti skenario ciptaan Ruri.

Fita mengerutkan dahinya, ia tampak tidak percaya dengan cerita putrinya itu. "Masa sih, dia orangnya begitu? Perasaan Bunda dia anaknya baik."

"Dulu May pikir juga begitu. People changed, Bun." Maira mengangkat kedua bahunya sambil mencibir.

"Terus, masa kamu nggak mau sama dia cuma gara - gara itu? Bunda nggak  percaya, ah!" Fita menggelengkan kepalanya.

"Terserah Bunda, deh!" Maira memutar bola matanya ke atas.

"Nih ya, Bunda ingat waktu kecil, Razi sering bantuin Bunda nyapuin halaman rumah. Kamu malah males kalo Bunda mintain tolong. Sampai sekarang juga masih aja males. Lihat nih kamar, udah berapa hari nggak di sapu, di pel? Seprai berantakan, ini meja juga penuh kertas - kertas apa nih berantakan begini?" Fita bergerak untuk merapikan meja kerja Maira, ia membereskan kertas - kertas yang berceceran di atas meja.

"Eh eh, Bun...nggak usah! Biar May aja!" Maira segera merebut tumpukan kertas - kertas itu dari tangan Bundanya. Namun tulisan di kertas paling atas menarik perhatian Fita.

"Form of application? Form apa ini May?" Fita memandang penuh rasa ingin tahu.

"I - itu...form lowongan kerja, Bun." Dengan lirih Maira menjawab.

"Lowongan kerja? Kamu 'kan udah kerja. Mau cari pekerjaan lain?"

Maira mengembalikan tumpukan kertas ke atas meja lalu menarik tangan Bundanya untuk kembali duduk di ranjang, "sini deh, Bun."

Fita yang terlihat bingung, menuruti ajakan putrinya itu. "Ada apa sih?"

Sebelum berbicara, Maira menarik napas dalam. Ia sedang mempersiapkan mentalnya. Seharusnya tidak sekarang ia menceritakan perihal ini pada Bundanya, tapi daripada Bundanya semakin penasaran, Maira terpaksa harus bercerita sekarang.

"Jadi begini, Bun. Sebulan yang lalu, Kondo - san bilang ada posisi kosong sebagai kepala project restorasi. Dari kantor pusat di sana sedang nyari kandidat yang sesuai buat mengisi posisi itu. Terus, Kondo - san coba merekomendasikan May ke kantor pusat. May lulus seleksi awal."

"Waaah, alhamdulillah! Berarti kamu dipromosikan dong! Kamu hebat, May! Bunda bangga sama kamu." Mendengar kabar baik itu, Fita spontan memeluk anaknya penuh haru. Maira sedikit terkejut dengan perlakuan Bundanya itu, karena ceritanya belum selesai.

Maira yang tidak membalas pelukan Bundanya akhirnya melanjutkan, "emmm, bentar Bun...ceritanya belum selesai nih."

Mendengar perkataan Maira, Fita pun segera melepas pelukannya. Ekspresi bingung kembali terpancar di wajahnya. Ia menunggu Maira melanjutkan ceritanya.

"Tapiii...posisi itu...untuk project di Kyoto. Jadi...kalau May beneran terpilih, mungkin akan menetap beberapa tahun di sana." Maira berkata dengan hati - hati, ia mengamati reaksi Bundanya.

"Maksud kamu tinggal di Jepang?" Fita terlihat terperangah. Maira hanya mengangguk pelan sekali untuk menjawab pertanyaannya.

Fita terdiam, ia membeku di hadapan anaknya. Tak pernah terpikir olehnya jika anak pertamanya ini akan bekerja di negri orang. Bahkan tak pernah terpikir olehnya jika Maira akan mengangkat kakinya dari rumah. Fita juga sudah menetapkan, jika pun Maira dan adiknya sudah menikah, mereka beserta pasangannya akan tinggal bersama mereka.

Maira mengerti atas reaksi Bundanya ini. Ia pun segera mencetuskan sesuatu yang akan membuat Fita sedikit tenang.

"Tapi Buuun, belum pasti juga May yang terpilih.  Proses seleksi masih berlanjut. Masih ada 19 orang kandidat lainnya. Jadi, peluangnya May ya termasuk kecil. Seleksi administratifnya aja ketat." Ia berharap informasi lanjutannya ini akan membuat hati Bundanya sedikit lebih tenang. Ia mengusap punggung belakang Fita.

Fita yang masih terlihat shock setelah mendengar berita itu, bangkit berdiri. Ia menatap dalam ke kedua bola mata putrinya itu.

"May, Bunda nggak rela kalau kamu tinggal di negri orang! Sebaiknya kamu mengundurkan diri dari proses seleksi itu dan terima perjodohan dengan Razi." Setelah berkata demikian, Fita langsung keluar dari kamar Maira menuju kamarnya sendiri yang terletak berhadapan. Pintunya ditutup rapat.

Melihat sikap Bundanya, Maira membanting badannya di atas kasur, lalu menutup wajahnya dengan bantal. Ia tidak menyangka semua akan menjadi kacau - balau. Sudah berminggu - minggu ia menahan informasi ini dari kedua orangtuanya. Awalnya, Maira berniat menyelesaikan satu persatu terlebih dahulu semua permasalahan yang menimpanya, termasuk masalah perjodohannya dengan Razi, dan hubungan pertemanannya dengan Dida. Tapi kini persoalannya justru bertambah.

Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Yang jelas, Maira harus segera menyelesaikan permasalahannya. Ia harus segera mengambil tindakan. Dan tindakan pertama yang dilakukannya adalah mengirim pesan teks kepada Razi.

Bisa kita ketemu? Aku perlu bicara

*****