Chapter 5 - 5. Alma

- Siapalah aku yang hanya tanaman tundra dibandingkan dengan teratai? -

- May -

*****

14 TAHUN YANG LALU

"May, serius lo mau nembak Kak Aji?" Ruri yang baru saja tiba dari kantin dengan membawa Chiki Balls, langsung mengambil posisi duduk di sebelah Maira di pinggir lapangan sekolah.

"Ya seriuslah, Rur! Masalah hati ini, mana mungkin gue main-main." Maira mengambil satu per satu snack berbentuk bola kecil itu untuk dilahapnya.

"Lo udah mikir masak-masak? Lo ini cewek, kalo ditolak gimana?" Ruri yang sibuk mengunyah cemilan itu pun kembali memastikan.

"Hmmm...feeling gue sih kayaknya bakalan diterima."

"Kepedean, lo! Tau dari mana lo bakalan diterima? Emangnya dia ada ngasih tanda-tanda suka sama lo?"

"Gue sering mergokin dia lagi ngeliatin gue, Rur. Lha, kalo bukan karena suka sama gue, terus ngapain dia ngeliatin gue melulu?"

"Karena muka lo aneh? Dia lagi sakit mata? Ngeliatin kunti yang lagi ngintilin lo? Atau ternyata dia lagi ngeliatin gue?"

"Iiih, ngomong sama lo suka nggak beres deh." Maira menjilati jari-jarinya yang penuh dengan remahan bumbu mengandung MSG itu.

"Lo lebih nggak beres! Cewek nembak cowok, cuma modal kepedean karena berasa sering diliatin doang. Absurd bener, deh!"

"Tapi gue suka sama dia, Rur! Gue harus bilang sama dia. Daripada entar hati gue meledak karena overload oleh cinta. Duaarrr!" Maira meniru suara bom meledak.

"Preeettt!"

"Dung dung preeettt!" Maira menyambung dengan nada dangdut.

"Lo berdua sama nggak beresnya!" Sasti, saingan Maira dalam tim basket, yang juga cewek populer di SMA mereka, berdiri tepat di hadapan mereka berdua. Keduanya mendongakkan kepala menatap sosok itu.

Melihat kehadiran sang cewek idola sekolah mereka, Ruri pun memperlihatkan ketidaksukaannya. "Apaan sih, Sas? Nimbrung aja!"

"Gue dengar tadi yang lo berdua bicarain. Lo beneran mau nembak Kak Aji, May?"

"Iya. Emang kenapa?"

"Gue dukung!" Sasti menepuk pundak Maira.

"Tumben! Gue pikir lo mau jadi saingan juga." Ruri mencebik.

"Eh, Miss Rumpi! Gue kagak niat saingan dalam urusan percintaan. Tapiii, gue mau ngajak taruhan nih!" Sasti menyungging senyum liciknya.

"Taruhan?" Maira mengerutkan dahinya bingung.

"Woi, Miss Gurita alay! Taruhan itu dilarang dalam agama, dosa!" Ruri beranjak dari duduknya. Menunjukkan rasa keberatannya.

"Ngatain orang gurita juga dosa dalam agama! Ape lo ape lo ape lo?" Balasan Sasti langsung membungkam mulut Ruri.

"Gue nggak minta taruhan duit! Tapi, taruhan posisi!" Sasti mengambil duduk di sebelah Maira.

"Maksud lo?" Maira masih tetap dengan kebingungannya.

"Gini taruhannya! Kalo cinta lo diterima Kak Aji, posisi Kapten basket boleh lo ambil. Tapiiii, kalo lo ditolak, gue yang jadi Kapten. Gimana?" Dengan menampilkan seringai di wajahnya, Sasti membusungkan dadanya di hadapan Maira.

"Eh Sastro, apa hubungannya jadi Kapten dengan diterima nggaknya si May?" Ruri mencondongkan wajahnya mendekat dengan wajah Sasti.

Namun dengan santainya Maira menjawab, "oke! Gue terima tantangan lo! Lo jual, gue beli!"

Maira menjabat tangan Sasti untuk menandakan ia menyepakati taruhan yang ditawarkan oleh saingannya itu.

Ruri pun terperanjat melihat dengan mudahnya sahabatnya itu menerima tantangan yang mempertaruhkan posisinya. Batinnya pun merasa tak tenang. Nalurinya mengatakan akan ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi.

------------

MASA KINI

Tanda lampu sabuk pengaman telah mati. Maira dan para awak kabin lainnya di dalam pesawat pun melepas seatbelt, lalu bergiliran menurunkan bawaan yang disimpan di ruang bagasi kabin.

Maira segera turun dari pesawatnya yang baru saja mendarat di bandara Soekarno Hatta. Perjalanan business - trip tiga harinya telah usai. Pelariannya dari penat kerja dan omelan Bundanya pun berakhir.

Untung saja ia hanya membawa sebuah backpack dan satchel yang ukurannya cukup untuk disimpan dalam bagasi kabin, sehingga ia tidak perlu turut berlama-lama menunggu di area pengambilan bagasi untuk mengambil bawaan lain, seperti penumpang lainnya. Dan Maira bukan jenis wanita yang doyan belanja, bahkan untuk urusan oleh-oleh sekalipun. Sehingga jika ia melakukan perjalanan keluar kota, jumlah bawaannya saat pergi maupun pulang bisa dipastikan sama, tidak beranak-pinak.

Jam di bandara menunjukkan pukul 19.05. Gara-gara pesawatnya yang sempat delay 2 jam di Makassar tadi, ia pun harus rela tiba di Jakarta malam hari. Maira menghela napasnya. Saatnya ia menghadapi kemacetan Jakarta di malam hari. Sesuatu yang selalu ia hindari saat pulang kerja.

Biasanya sepulang dari perjalanan bisnis, Pak Gito supir kantornya akan menjemputnya di bandara. Namun karena tadi Pak Gito mengabari bahwa cucu pertamanya baru saja lahir, Maira pun membebaskannya dari tugasnya itu. Tiba di depan lobi kedatangan, Maira mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi online. Belum sempat membuka aplikasi, seseorang berdiri tepat di hadapannya lalu mengucapkan salam. Ia mengenali suara itu. Maira pun menengadahkan kepalanya tepat ke arah wajah orang tersebut.

Wajahnya terperangah, Maira membeku sesaat. Tidak menyangka sosok tersebut berada tepat di hadapannya, Razi.

"Kok...? Tahu dari mana aku pulang sekarang?"

Razi hanya setengah tersenyum, mengangkat sebelah sudut bibirnya ke atas. Maira memutar bola matanya sembari menghembuskan napas kasar. Tak perlu menunggu jawaban Razi, ia sudah bisa menebak bagaimana pria itu bisa mengetahui jadwal kedatangannya. Tentu saja dari Bundanya.

Dengan wajah malas, Maira menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Ngapain kamu kesini?"

"Aku sudah bilang 'kan, kita ketemu sepulang kamu dari Makassar." Razi menjawab dengan singkat.

Maira memejamkan matanya selama beberapa detik sebelum akhirnya mencelik, "Not for me! Aku capek! Aku mau langsung pulang."

Dengan acuh, Maira langsung berjalan cepat sembari melambaikan tangannya. Mencoba menyindir Razi dengan 'saIam perpisahan' yang diberikan oleh pria itu tiga hari yang lalu di Rumah Sakit.

Maira merubah niatnya untuk batal memesan taksi online. Ia langsung saja menghampiri supir-supir taksi yang sudah setia menunggu para calon penumpang. Kali ini Maira bahkan tidak peduli jika taksi yang akan dinaikinya menggunakan argo kuda. Ia hanya ingin segera menghindari pria itu, Razi. Ia pun memasuki salah satu taksi yang sudah menunggunya dengan pintu terbuka. Setelah berada di dalam taksi, Maira segera memerintahkan sang Supir untuk bergegas meninggalkan tempat itu. Juga meninggalkan Razi yang masih berdiri dalam gemingnya disana.

-------------

Maira menyandarkan dagunya dengan malas di atas meja kerjanya. Laporan yang harus ia serahkan nanti sore terbengkalai. Saat ini pikirannya sedang berkelana. Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Razi di bandara, namun belum ada tanda-tanda pria itu berusaha menemuinya kembali. Entah kenapa seketika pikiran dan perasaannya tertuju pada pria itu. Ia pun gelisah. Batinnya bertanya-tanya, apakah pria itu benar-benar sudah menyerah? Atau memang Maira saja yang terlalu percaya diri merasa bahwa pria itu akan tetap berusaha menemuinya? Maira mengacak-acak rambutnya yang memang sudah tergerai kusut.

"Maira-san, daijoubu?¹ Are you okay? You seem unwell these few days." Bermata sipit, kulit putih, hidung mancung, berkacamata, dengan penampilan fisik persis Nobita sahabat dari Doraemon. Itulah Kondo Arata, atasan Maira, yang merupakan ekspatriat asal negeri Sakura.

Untuk ukuran orang Jepang, bahasa inggrisnya termasuk sangat lancar. Meskipun kadang ia sering tertukar dengan penggunaan huruf L dan R. Di kantor Maira ini, setiap karyawannya tidak diwajibkan untuk lancar dalam menggunakan Nihongo (bahasa Jepang). Namun wajib menggunakan bahasa Inggris, karena kadang mereka harus berinteraksi dengan badan donor internasional lainnya.

"Ah, daijoubu, Kondo-san. I'm perfectly fine. Just need a mood-booster." Maira pun langsung menegakkan posisi duduknya.

"Then go get some! Do you need a break? I'm kind of dislike to see you like this." Kondo-san dengan ramah menawarkan pada Maira untuk mengambil waktu istirahat sejenak.

"Yeah, me too. Can i go to the coffee shop for a while? I promise i won't be long."

"Okay, you have an hour! Then bring your smile with you when you come back here." Kondo-san tersenyum dengan ramah.

Maira merasa beruntung memiliki atasan seperti Kondo-san yang ramah dan sangat baik kepadanya. Berbeda dengan teman-temannya di divisi lainnya yang harus bekerja sama dengan ekspatriat yang tegas dan perhitungan. Bahkan terkadang jika ia sedang makan siang bersama dengan teman-teman dari divisi lainnya, mereka kerap mengutarakan kecemburuan mereka terhadap Maira yang beruntung memiliki atasan seperti Kondo-san. Olivia, salah satu temannya dari divisi mangrove berpendapat jika sebenarnya Kondo-san menaruh hati pada Maira. Teman-temannya yang lain berpikiran sama, wajar saja mengingat Kondo-san berusia 38 tahun dan masih menyandang status single. Namun Maira kerap menampik dugaan teman-temannya tersebut. Ia bisa merasakan jika Kondo-san memang pribadi yang baik, tidak ada motif lainnya dibalik itu.

Maira segera pamit undur diri dari hadapan atasannya itu. Saat ia sudah hampir keluar dari ruangan, Kondo-san tiba-tiba memanggilnya kembali, "And Maira-san, please bring me an espresso too. I think i'm going to need one of those mood-boosters too."

Maira mengulas senyum sembari membungkukkan badannya 30 derajat.

Maira pun menuju ke coffee - shop yang berada di lantai 1 gedung perkantoran itu.

Setibanya di coffee - shop langganannya itu, Maira memesan jenis kopi favoritnya, yaitu Caffe Macchiato pada Andre, sang barista yang sudah dua tahun ini dikenalnya. Maira mengambil duduk di atas stool yang tersedia di hadapan meja counter. Ia mengeluarkan ponselnya untuk membaca berita-berita online sembari menunggu kopi pesanannya disiapkan oleh Andre.

"Tumben kesini sebelum jam istirahat." Andre yang sedang menggunakan kedua tangannya untuk meracik kopi, membuka percakapan.

"Pak Bos lagi baik banget. Lihat anak buahnya lagi galau, malah dikasih break." Maira menjelaskan.

"Wow, lagi ada angin apa 'tuh Kondo san?"

"Angin cepoi-cepoi, Ndre."

"Sejuk, dong!"

"Sejuk bangeeet! Berasa AC suhu 16."

Dan pembicaraan absurd mereka pun berlanjut hingga secangkir macchiato itu dihidangkan di hadapan Maira, "enjoy!"

"Thanks, Ndre." Maira menghirup aroma kopi favoritnya, "as usual, my mood-booster!"

"Emangnya kamu lagi ada masalah apa, May? Tumben galau. Biasanya lempeng kayak plat baja." Andre yang sedang senggang pun melanjutkan pembicaraan.

"Emmm...Ndre, inget 'kan cerita soal orangtuaku maksa jodohin aku dengan anak teman mereka?"

"He'em! Terus? Kamu sudah ketemu sama orangnya?"

Maira mengangguk lemah sembari menyeruput kopi yang agak pahit itu.

"Terus? Habis ketemu kenapa jadi galau? Orangnya jelek ya? Pesek? Botak? Perjaka tua?"

"Ndreee!" Maira berusaha mencubit lengan Andre untuk menghentikan pertanyaannya yang semakin nyeleneh. Namun Andre sudah terbiasa dengan serangan maut Maira itu sehingga ia dengan cekatan dapat mengelak sambil tertawa dengan kemenangan.

"Makanyaaa, jangan rese'! Entar kena sengatan kalajengking anti - mainstream nih!" Maira membuat gerakan seolah sedang memelintir sesuatu dengan ibu jari dan telunjuknya.

"Katanya mau nikah, belajar kalem dong. Kasian 'kan kalo nanti suami jadi korban KDRT." Andre menaik-turunkan alisnya untuk kembali meledek Maira.

Maira mengacuhkan sikap Andre itu, ia sudah terbiasa menghadapi kejahilan pria yang lebih muda tiga tahun darinya itu. Alih-alih membalas ledekan Andre, Maira justru melanjutkan menyesap kopi Macchiato-nya sembari melanjutkan, "jadiii, mau dengar lanjutan ceritanya nggak nih?"

"Maira?" Sebuah suara lainnya terdengar memanggil dari arah belakang punggungnya. Maira pun menoleh ke belakang. Dan, semesta pun kembali mempertemukannya dengan Razi. Pria yang berhasil membuatnya tidak fokus bekerja beberapa hari ini. Maira mendesah napasnya. Sejenak ia ingin membalikkan kepalanya, namun lalu pandangannya tertuju pada sosok yang berdiri di samping Razi.

Seorang wanita cantik, anggun, berjilbab syar'i tertutup hingga ke pinggang. Wajahnya putih, natural tanpa riasan, tatapan matanya teduh, ia mengulas senyum yang menampilkan kedua lesung pipinya.

Melihat penampilannya, Maira terasa tertampar. Bandingkan dengan penampakannya yang mengenakan jaket denim, kemeja lusuh, celana cargo dan sepatu boot dengan rambut yang tergerai kusut masai.

Melihat perhatian Maira yang tertuju pada wanita di sebelahnya itu, Razi pun memperkenalkannya.

"Maira, ini Alma. Alma, ini Maira."

Wanita bernama Alma itu langsung mengulurkan tangannya untuk berjabat dengan Maira. Dan maira pun menyambutnya dengan perlahan. Ia masih tersihir oleh kecantikan wanita itu.

"Assalamu'alaikum, Maira. Aku Alma. Kamu boleh panggil aku Al." Alma menyapanya dengan ramah. Bahkan suara wanita itu pun terdengar lembut dan syahdu di telinganya. Apakah ini makhluk Tuhan yang disebut bidadari? Begitulah batin Maira.

"Wa'alaikum salam. Aku Ma-Maira, panggil aja aku May." Maira masih menatapnya lekat.

"Razi sudah cerita tentang kamu." Alma memamerkan senyum menawannya. Sementara Maira hanya membalas dengan senyum terpaksa.

"Zi, kamu ngobrol dengan Maira dulu aja. Aku pesan minuman dulu, ya. Kamu pesan yang biasa 'kan? Green tea?"

Untuk menjawab pertanyaan Alma, Razi hanya menganggukkan kepala.

Alma segera menghampiri Andre untuk memesan sekaligus membayar di kasir. Razi mengambil duduk di sebelah Maira.

"Kamu sendirian?"

"Keliatannya?" Maira menjawab dengan dingin. Pandangannya tertuju pada cangkir kopinya. Awalnya Maira berpikir jika ia bertemu dengan Razi, batinnya akan lebih tenang. Tapi ternyata, kini batinnya menjadi tidak karuan. Pikirannya semakin kalut. Mungkin kehadiran Alma penyebabnya. Namun egonya masih berusaha menyangkal.

"Kamu nggak kerja?"

"Kamu sendiri?" Maira menampilkan senyum sinisnya.

"Kantor kamu di gedung ini?"

"Emang kenapa?" Maira mengetuk-ngetuk cangkir kopinya.

"Kamu kenapa sih?

"Kamu yang kenapa?" Maira berdecak.

"Bisa nggak pertanyaanku dibalas dengan jawaban?"

"Nggak bisa!" Ketus Maira tanpa sedikitpun melihat ke arah lawan bicaranya itu.

Melihat sikap Maira yang seperti bermusuhan dengan Razi, Andre mengambil suatu kesimpulan di kepalanya. Ia yang sedang menyiapkan pesanan Alma pun memutuskan untuk menginterupsi pembicaraan yang berlangsung dingin itu, "Mas, saya aja yang jawab mewakili May ya. Jawabannya, iya sendirian, sedang dikasih waktu istirahat sama Bosnya, kantornya di lantai enam gedung ini, dan yang terakhir...May lagi galau."

Maira pun mendelik tajam pada Andre. Wajahnya memberengut kesal. Ia memikirkan untuk membuat perhitungan dengan Andre nantinya.

Razi tersenyum lebar pada sang barista itu. Senyum yang sangat dirindukan oleh Maira. Baginya, serasa telah sekian abad tidak melihat senyum pria yang pernah dicintainya itu.

Namun ego Maira terlalu besar untuk mengakui betapa ia merindukan senyuman itu. Ia memilih mengalihkan wajahnya, berusaha untuk tidak terpikat kembali oleh senyuman maut itu.

"May, jadi...bisa kita bicara?" Razi kembali ke wajah tegasnya.

Maira terdiam sejenak. Sebenarnya dalam hati ia juga penasaran apa yang mau dibicarakan oleh pria itu. Dan sekarang hatinya sedang berperang dengan egonya. Mana yang harus dituruti olehnya, egonya atau kata hatinya? Dan akhirnya Maira mengambil keputusan.

"Oke! Kapan?" Maira akhirnya memberanikan diri melayangkan pandangan pada pria itu. Ia menatapnya tajam. Dan sepertinya Maira melupakan satu hal, mata yang sedang beradu pandang dengannya itu merupakan salah satu pesona terbesar pria itu.

"Sepulang kerja? Kita ketemu lagi disini."

Maira terdiam, seketika pertahanannya luluh lantak. Skenario kata-kata yang telah tersusun di kepalanya buyar begitu saja.

"Oke! See you later!" Selesai mengucap jawaban, Maira langsung berdiri dan meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat. Ia tak memperdulikan adab berpamitan sebelum berpisah. Kini yang ia perlukan hanyalah mengumpulkan kembali akal sehatnya.

Maira segera masuk ke lift untuk kembali ke kantornya di lantai enam. Sepertinya ia harus kembali fokus pada pekerjaannya untuk mengalihkan pikirannya yang semakin kacau. Setibanya di ruangannya, ia langsung menyalakan PC untuk kembali menyelesaikan laporan tentang mitigasi konflik gajah di Sumatra.

Saat sedang mengetik, tiba-tiba pikirannya teringat sepertinya ada sesuatu yang terlupa olehnya. Maira memejamkan matanya untuk mencoba mengingat-ingat hal apa yang sudah ia lupakan.

"Maira-san, you're back already!"

"Kondo-san!" Maira terbelalak melihat kehadiran bosnya itu di ruangannya. Dan kini ia tahu apa yang sudah dilupakannya, dan Maira hanya bisa menepuk dahi.

"Do you bring my espresso?"

Maira segera bangkit berdiri lalu membungkukkan badannya hampir 90 derajat ke depan, "sumimasen!²"

******

______________________________________________

TERJEMAHAN :

1. Daijoubu : tidak apa-apa / baik

2. Sumimasen : maaf (formal)