Chapter 6 - 6. Dida

- Bagaimana mengatakan apa yang aku rasa, sedangkan aku belum bisa mendefinisikan rasa itu. -

- Aji -

*****

Maira segera membereskan meja kerjanya. Kini di ruangan kantor itu hanya tersisa ia dan atasannya, Kondo - san. Waktu menunjukkan pukul setengah delapan malam. Maira sengaja berlama-lama berada di ruangannya untuk mengulur waktu. Berharap ia membuat Razi menunggunya lama di coffee - shop. Cengiran nakal tersungging di bibirnya.

"Maira - san, nani shiten no ¹?

Are you done yet?" Kondo - san muncul di depan pintu ruangannya.

"Ummm, i'm cleaning my desk. Just a few more minutes. You can go first." Maira masih menyibukkan diri menyusun berkas-berkas dengan mengurutkannya sesuai tanggal. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.

"Etto ²...Do you want to have dinner together?" Dengan sedikit gugup, Kondo - san menawarkan untuk makan malam bersama. Maira memperhatikan sikap bosnya itu. Sudah seringkali ia makan bersama dengan atasannya itu, namun ia merasa seperti ada yang beda kali ini.

Maira pun menjawab apa adanya, "gomen nasai ³. Actually, i'd love to. But unfortunately, someone is waiting for me downstairs."

"Boyfriend?"

"What? No, of course not! Just an acquaintance. Maybe next time? Is that okay? ⁶" Maira tersenyum simpul. Sedikit khawatir atasannya itu akan tersinggung atas penolakannya. Karena memang salah satu sifat yang tidak disukainya dari atasannya itu adalah terlalu sensitif.

"Ii yo!⁴ Jaa mata ashita!⁵" Setelah menjawab dengan nada kecewa, Kondo - san pun segera berlalu.

"Mata ashita.⁶" Maira tersenyum simpul melihat kepergian atasannya itu. Maira menarik napas dalam lalu menghempaskan diri di kursi kerjanya. Ia melirik layar ponselnya yang menyala di atas mejanya. Tandanya ada notifikasi yang masuk. Dengan malas, ia pun meraih telepon pintarnya itu. Dilihatnya ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor yang tak dikenalnya. Maira pun meletakkan kembali ponselnya itu. Kerap kali ia mendapat panggilan dari nomor yang tak tersimpan di daftar kontaknya, dan panggilan - panggilan itu selalu ia abaikan. Paling - paling penawaran kartu kredit atau asuransi. Begitu pikirnya.

Lalu beberapa detik kemudian layar ponselnya kembali menyala. Kini terlihat icon amplop yang muncul. Maira pun segera membuka pesan dari nomor asing yang tadi menghubunginya berkali-kali.

Kamu dimana?

Maira berpikir sejenak, siapa pengirim SMS tersebut. Ia pun menduga-duga, jangan-jangan...

Maira langsung menyambar tas punggungnya lalu segera keluar dari kantornya. Kakinya melangkah menuju coffee-shop di gedung itu. Entah kenapa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Seirama dengan langkahnya yang mengayun cepat.

Tiba di depan pintu kecil coffee-shop, Maira memejamkan matanya, menstabilkan napasnya yang tiba-tiba tidak teratur, mengendalikan pikiran dan jantungnya. Setelah berhasil menenangkan dirinya, Maira melangkah masuk dengan wajah tegasnya. Matanya langsung menemukan sosok yang dicarinya.

Maira langsung mendudukkan diri berhadapan dengan pria itu, Razi.

"Kamu lama!" Razi menatapnya tajam, seperti hendak menghakiminya.

"Masa?" Maira menjawab dengan santai.

"Kamu pikir cuma kamu manusia yang punya kesibukan? Aku juga ada keperluan lain." Razi menaikkan intonasinya. Menunjukkan kekesalannya. Ia melirik jam tangannya.

"Tadi kamu cuma bilang kita ketemu sepulang kerja. Kamu nggak bilang jam berapa 'kan? Kerjaanku baru beres!" Sambil melebarkan matanya, Maira menjawab dengan tidak kalah ketusnya.

Razi menghela napasnya. Menurutnya sia-sia mengadu argumen dengan perempuan di hadapannya ini. Hanya membuang-buang waktu dan tenaganya.

"Oke! To the point aja! Kapan kamu bisa menikah?" Razi menyandarkan badannya di kursi. Pandangannya lurus tepat ke manik mata Maira.

"Hah?? Kamu waras nggak sih?" Maira semakin merasa naik pitam. Lamaran macam apa ini? Benaknya berpikir.

Razi menegakkan duduknya, badannya dicondongkan ke depan, kedua lengannya menekan permukaan meja. Ia menatap tajam, "aku serius!"

Maira ikut mencondongkan badannya ke depan. Ia tak gentar untuk beradu kontak mata dengan pria itu, "aku - juga serius! Aku sudah menolak perjodohan! Apa kata-kataku masih kurang jelas?"

"Jelas! Aku juga sudah menolak perjodohan ini dari awal." Razi tak melepas tatapannya.

"Ya terus? Kenapa sekarang tiba-tiba ngajak nikah?" Maira mengernyitkan dahinya bingung.

Razi tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya, "aku tanya, kapan kamu bisa menikah. Bukan mengajak nikah."

Wajah Maira memerah, ia semakin tidak mengerti maksud pria itu. Apa bedanya bertanya kapan bisa menikah dengan mengajak menikah?

"Kelihatannya kamu bingung." Razi menyeringai senyum datar.

"To the point aja deh! Maksud kamu sebenarnya apa?" Maira menggeram marah. Ia mulai terpancing. Kedua tangannya mengepal di atas meja.

"Oke, aku akan jujur sama kamu! Kamu sudah kenalan dengan Alma tadi 'kan? Dia itu..." tiba-tiba Razi memutus kalimatnya, seperti sedang berpikir sejenak.

"Begini, bisa dibilang...Alma itu wanita pilihanku. Tapi kamu, wanita pilihan Ummiku. Dan aku sendiri tidak mengerti pertimbangan apa yang dipakai oleh Ummi sehingga memilih kamu untuk menjadi calon menantunya. Mungkin beliau berpikir kamu masih gadis yang sama seperti di waktu kecil. Walaupun menurutku tidak. Tapi, aku sayang Ummi. Dan, aku tidak mau menjadi anak durhaka. Jadi, aku akan menuruti apapun permintaan Ummi, termasuk menikahi kamu."

Maira terperangah mendengar penjelasan Razi. Bisa-bisanya pria itu bercerita dengan tenangnya tanpa memperdulikan perasaannya.

"Lho, Tante Win 'kan orangtua kamu, bukan orangtuaku. Jadi, aku tidak punya kewajiban untuk menuruti permintaannya." Maira menyedekapkan kedua tangannya.

"Kamu lupa kamu juga punya orangtua? Bagaimana dengan Bunda kamu? Perjodohan ini permintaannya juga 'kan?"

Skakmat! Balasan Razi membuatnya terdiam sejenak. Maira harus mencari argumentasi lainnya.

"Aku sayang Bunda, tapi bukan berarti aku harus menuruti semua keinginannya. Setiap orang menunjukkan kasih sayang dengan cara yang berbeda. Termasuk aku. Aku akan membahagiakan orangtuaku dengan caraku sendiri. Bukan dengan menikahi kamu!" Maira beranjak dari duduknya. Rasanya sudah malas berlama-lama berhadapan dengan seorang Razi. Semakin lama ia berada di sana, semakin sulit mengendalikan akal sehatnya. Entah berapa lama ia bisa menahan semua gemuruh di dadanya itu sebelum akhirnya meledak.

Melihat lawan bicaranya berdiri, Razi pun segera bangkit dari duduknya. Ia menyadari bahwa Maira akan segera beranjak dari tempat itu.

"Kita belum selesai bicara." Razi berkata dengan tegas.

"Pembicaraan kita sudah selesai, Bapak Arsan Fahrurazi!" Maira berbicara tegas perlahan agar kalimatnya itu bisa terdengar dengan jelas oleh Razi.

"Oh ya, Alma? Menurutku dia cantik, anggun, sopan, ramah. Sudah pasti tipe kamu. Bagai bumi dengan langit kalau dibandingkan dengan aku yang - well, cewek berandalan, kamu bilang. Aku yakin, Tante Win bakalan suka punya menantu seperti dia." Maira berkata sembari menahan tangisnya yang akan segera meledak.

Mendengar perkataan Maira, Razi hanya tersenyum kecut.

"Tolong, jangan temui aku lagi!" Maira segera berlalu dari hadapannya. Meninggalkan Razi yang hanya diam dengan ekspresi yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Maira berjalan dengan menundukkan wajahnya ke bawah, berusaha menyembunyikan tangisnya yang akan segera merebak. Dan tiba-tiba ia menabrak seseorang hingga limbung. Dukkk!

Sosok yang ditabraknya memiliki postur tinggi badan jangkung. Ia pun menengadahkan wajahnya ke atas untuk melihat siapa yang ditabraknya dengan tidak sengaja itu.

"Dida?"

"May? Kamu masih disini? Belum pulang?" Sosok yang bernama Dida itu menggenggam lengan Maira.

"Eh, emmm...ini baru mau pulang." Maira segera menegakkan badannya dan menarik lengannya dari genggaman Dida.

Sementara penglihatan Razi memperhatikan mereka berdua dengan seksama.

"Jam segini baru mau pulang? Habis lembur? Nggak biasanya." Dida yang memang mengetahui rutinitas Maira pun bertanya dengan selidik.

"Emmm - iya. Kondo - san juga baru pulang kok. Kamu ngapain disini?"

"Mampir beli kopi aja. Kamu bawa motor?"

"Enggak! Sedang di bengkel. Aku naik trans-Jakarta aja."

"Kalo gitu, pulang bareng aku aja yuk." Tanpa menunggu jawaban Maira, Dida langsung menggandeng tangan Maira mengajaknya keluar dari tempat itu. Maira berusaha menolak namun tidak digubrisnya.

Jika sudah berhadapan dengan Dida, Maira selalu kebingungan untuk menyatakan penolakan. Karena pria itu keras kepala dan super - protektif terhadapnya. Itulah alasan kenapa Maira pernah menolak niat pria itu untuk melamarnya. Karena ia tidak suka dikekang, dan tidak suka dikendalikan oleh orang lain.

"Mas, tolong lepaskan tangannya Maira!" Razi tiba-tiba datang menghadang jalan pria itu.

"Maaf, anda siapa?" Dida mengernyitkan dahinya.

"Did, lepasin! Aku sudah bilang, aku pulang sendiri!" Maira mencoba menarik tangannya. Namun kalah tenaga dengan pria jangkung yang gemar berolahraga di gym itu.

"May, kamu itu perempuan! Bahaya pulang malam sendirian! Aku nggak ijinin kamu!" Dida bersikeras, ia justru mempererat genggamannya.

"Mas, dia nggak akan pulang sendirian. Dia pulang sama saya." Razi kembali berkata, dengan nada baik-baik.

Akhirnya Dida melepaskan genggamannya dari tangan Maira. Ia menatap tajam pada Razi, "anda siapa?"

Sebelum menjawab, Razi memperhatikan Maira sekilas. Razi bisa mengetahui Maira merasa tidak nyaman dengan kehadiran pria jangkung itu.

"Saya Razi, calon suami Maira." Mendengar jawaban Razi, Dida membelalakkan matanya tidak percaya. Tatapannya dialihkan kepada Maira yang juga melebarkan bola matanya.

"May, kamu..."Dida menghentikan kalimatnya, menunggu penjelasan dari Maira.

"Aku dijodohin sama orangtuaku." Maira memilih menjawab dengan singkat.

Ekspresi kecewa tercermin dari wajah Dida. Sulit baginya untuk mendengar wanita pilihannya itu akan menikah dengan orang lain.

"Oh...selamat kalo gitu." Dida menjulurkan tangannya untuk memberi selamat pada Razi. Meskipun menyakitkan, Dida berusaha bersikap layaknya laki-laki sejati. Razi pun menjabat tangannya dengan singkat.

"Ehm, kalo gitu, ayo kita pulang!" Kini giliran Razi yang menggandeng tangan Maira. Egonya menyuruhnya untuk menunjukkan rasa kepemilikannya terhadap Maira.

Maira terkesiap dengan aksi Razi itu. Namun ia membiarkannya, masih ada Dida di sana. Meskipun hatinya merasa tersengat.

"Sori, Did..." Maira menunjukkan rasa penyesalannya pada Dida. Ia tahu pria itu merasa terluka.

"Bro, tolong jaga Maira baik-baik ya. You're lucky to have her." Selepas mengucapkan kalimat itu, Dida pun segera berlalu dari hadapan mereka. Menyembunyikan rasa sakitnya.

Setelah Dida menghilang dari pandangan, Maira pun segera melepas tangannya dari genggaman Razi.

"Jangan pernah sentuh aku!" Maira kembali menatap tajam pada Razi.

"Ayo, aku antar kamu pulang!" Razi melengoskan pandangan.

"Enggak! Aku pulang sendiri!"

"Yakin? Nanti kalo diluar ketemu sama si - siapa tadi? Did - Did?" Goda Razi kepada Maira.

Maira tersentak mendengar cibiran Razi itu. Benar juga yang dikatakan pria itu.

"Oke! Tapi kamu cuma anterin aku sampai terminal Dukuh Atas."

Razi hanya mengangkat kedua bahunya lalu ia mulai berjalan menuju parkiran mobil.

Maira menepuk dahinya, hari ini batinnya sungguh lelah.

Dikarenakan kondisi jalanan di Jakarta yang masih dihiasi oleh kemacetan, Maira sepertinya akan terjebak lebih lama di dalam mobil hanya berdua dengan pria itu.

Selama setengah perjalanan, tidak ada sepatah pun kata yang keluar dari lisan keduanya. Selama itu juga, Maira hanya menatap pemandangan diluar jendelanya. Tidak sedetikpun matanya beralih untuk melihat pria itu.

Berbeda dengan Razi yang beberapa kali melirik ke arah wanita disampingnya itu.

"Pandangan lurus ke depan aja, Pak! Entar nabrak, lho!" Dengan sikap cuek, Maira menegurnya.

"Ooh, nyadar diliatin." Razi setengah tersenyum.

"Dari pantulan jendela keliatan! Yang cerdas dikit dong!" Maira menyindir sarkastik.

"Pedes bener omongannya." Razi membalas menyindir.

"Situ lebih pedes! Kayak Ma'icih level 50."

"Ma'icih? Apaan tuh?"

Mendengar pertanyaan Razi, Maira hanya memutar bola matanya. Malas memberikan jawaban untuk hal-hal tak penting.

"Eh, bukannya tadi kamu bilang mau ada keperluan lain?" Maira tiba - tiba teringat kata - kata Razi di coffee - shop tadi.

"Nggak jadi! Sudah telat!"

"Gara - gara aku?"

"Gara - gara dua jam nungguin kamu!" Tatapan tajam Razi kembali dilayangkan kepadanya.

"Oh...maaf!" Penyesalan itu disampaikan oleh Maira dengan suara lirih. Ada sedikit rasa bersalah menelisik hatinya.

"Waaah, bisa juga kata maaf keluar dari mulut kamu." Razi tertawa mengejek.

"Keahlian kamu itu cuma sarkasme ya? Aku serius minta maaf!" Kini giliran Maira yang balik menatapnya kesal.

"Kalo tadi kamu angkat telepon aku, mungkin aku nggak akan nunggu sampai jamuran kayak tadi!" Razi kembali memfokuskan pandangannya pada jalan di depannya.

"Ooh, cuma gara - gara kelamaan nunggu bisa bikin kamu kurapan ya?"

Mendengar sindiran balik Maira, membuat Razi tertawa terbahak - bahak. Maira  justru dibuat kaget mendengar tawa lepas pria itu. Kebalikan dengan Razi, Maira justru merasa semakin kesal

"Yang tadi itu nomor aku, disimpan." Kali ini Razi berucap dengan lebih ramah.

Maira diam saja, malas menanggapi lebih lanjut. Ia merasa tidak perlu untuk menyimpan nomor pria itu di daftar kontaknya. Toh, sepertinya mereka tidak akan bertemu lagi.

"Ehm, jadiii...siapa tadi si Did - Did itu?"

"Dida! Kalo nyebut nama orang jangan sembarangan."

"Lho, kan tadi kamu yang manggil Did, Did. Aku udah kenalan, dia malah diam. Sama nggak sopannya kayak kamu."

"Mulai deh!" Untuk pertama kalinya, Maira melayangkan lirikan tajam ke arah Razi.

"Jadi, siapa dia? Mantan kamu?" Razi melanjutkan pertanyaan. Tidak menghiraukan tantangan yang dialamatkan kepadanya.

"Kepo! None of your business!" Maira kembali menatap jendela disampingnya.

"Kalo aku jadi suami kamu, ya jadi urusankulah."

"Astaghfirullah!" Maira mengelus dadanya. Entah bagaimana lagi harus menghadapi pria di sampingnya ini. Untung saja penampakan terminal Dukuh Atas sudah terlihat oleh pandangan matanya.

"Turunin aku di sini!" Maira melepas seatbelt-nya lalu meraih tas punggungnya di kursi belakang mobil sedan itu. Ia sedang malas berdebat, tidak mau mengulangi perdebatan di coffee - shop tadi. Ia sudah terlalu lelah.

"Nope! Aku antar kamu sampai rumah! Pakai lagi seatbelt-nya!" Dengan santainya Razi menolak.

"Hah? Aku tadi bilang cuma sampai Dukuh Atas."

"Dan aku tidak meng-iya-kan!" Razi memandangnya dengan tatapan tegas.

Tingkat kekesalan Maira telah sampai di ubun-ubun. Jika menggunakan kekerasan itu tidak termasuk tindakan kriminal, mungkin sejak tadi pria ini sudah habis dengan bogemnya.

Tiba-tiba Razi menyalakan lampu sein kiri mobilnya. Ia memutar setir, meminggirkan mobilnya di sebelah trotoar.

Setelah mobil berhenti, Razi memutar kepalanya menghadap Maira di sampingnya. Matanya menatap tepat di bola mata Maira, "okay! Let's do it in a proper way. May, will you marry me?"

Maira balas menatapnya tajam, ia terdiam sejenak sebelum menjawab, "no, i won't! Aku akan ke Jepang!"

*****

______________________________________

TERJEMAHAN :

1. nani shiten no : apa yang sedang kau lakukan

2. Etto : emmm / anu

3. Gomen nasai : maaf

4. Ii yo : tidak apa-apa

5. Jaa mata ashita : Kalau begitu sampai ketemu besok.

6. Mata ashita : sampai ketemu besok