Aku dipindahkan ke kursi, tanganku diikat di belakang kursi menggunakan tali, mulutku ditempelkan lakban hitam yang membuatku tak bisa bicara atau hanya membuka mulut.
***
Lengkap sudah, aku benar-benar sendirian dalam lingkaran dengan kondisi buruk, tangan diikat dan mulut dilakban.
Tak lama, sisi lingkaran di depanku terbuka dan kulihat jelas Vio dan Leon berjalan depan-belakang. Vio tersenyum dengan sinisnya dan Leon menatapku cemas campur takut. Aku kembali menatap Vio yang sekarang sedang memainkan gunting di tangannya.
Mereka berdua semakin mendekat ke arahku. Vio sibuk memainkan guntingnya dan sesekali melihatku. Sedangkan, Leon terus saja menunduk. Ia tidak berani menatap ke arahku, mungkin karena kondisiku yang mengenaskan ini.
"Saviraa..." kata Vio nyaring, memandangku lekat-lekat.
Ia sudah berada di depan kursiku, berjongkok di depanku. Gunting yang ada di tangan kanannya di dekatkan ke wajahku seakan menyuruhku untuk memperhatikan gunting itu lebih saksama. Leon tetap berdiri tidak jauh dari Vio. Aku berusaha melepas ikatan di tanganku sambil berusaha bicara. Rasanya aku ingin memaki-maki Vio yang justru tersenyum tanpa merasa bersalah.
"Savira... Savira... gak ada gunanya lho ngelawan lagi. Sekalipun lho berhasil ngelepas ikatan tangan lho, lho tetep gak bisa kemana-mana." kata Vio santai.
"Lho liat gunting ini? Gunting ini yang bakal buat rambut lho hilang nanti kalau Leon nolak permintaan gue." katanya lagi sambil melirik Leon.
Aku memaksakan diri untuk membuka mulut, walau aku tahu tidak akan bisa sampai lakban hitam di mulutku ini dilepas. Mataku sampai melotot karena geram melihat tingkah Vio yang semena-mena.
Vio kembali bangkit dan membelakangiku sambil menghela napas panjang, "Padahal gue berharap lho bakal nangis-nangis, gak berdaya, mohon-mohon sama gue. Lho emang beda dari semua orang yang pernah gue dudukin di kursi itu."
Aku masih berusaha berbicara dan hanya menghasilkan suara "mmm". Vio yang mendengar itu menjadi jengkel karena suara "mmm"ku semakin menjadi-jadi. Ia langsung menghadapku dan melepas lakban hitam itu dengan kasar membuatku mengaduh.
"Apa maumu, hah?" teriakku garang persis saat lakban itu terlepas. Aku sudah tidak sabar ingin terlepas dari jeratan tali ini dan memukul telak wajahnya.
"Jangan buang-buang tenaga, Savira! Mau gue simple kok. Tapi, gue harus ngelakuin cara yang ribet biar lebih cepat. Oke?" kata Vio dengan sangat tenang.
Ia masih berdiri di depanku dengan gunting yang siaga di tangan kanannya. Menatap gunting itu lekat-lekat dan bersiap menggunakannya.
"Leon, kalau lho mau Savira baik-baik aja, jadi pacar gue! Gue jamin dia baik-baik aja selama tiga tahun di sini. Sebaliknya, kalau lho nolak, yah... lho tau sendiri." jelas Vio dengan tenang tanpa melirik Leon sekalipun.
"Lho ternyata semenyedihkan itu, ya? Untuk buat Leon jadi pacar lho, lho harus kayak gini? Segitu gak yakinnya lho gak bakal diterima dia?" sindirku padanya dan aku yakin kena telak.
Tanpa berkata apa-apa, Vio langsung mengambil rambutku yang dikuncir kuda dan bersiap mengguntingnya. Ia memang sengaja belum mengguntingnya. Ia menatap tajam langsung ke arahku dan berkata, "Lho diam atau gue potong rambut lho, pilih mana?" kata Vio dingin.
Ekspresi Vio dan tatapannya sudah tidak sesantai sebelumnya. Baru kali itu aku merasa takut terhadapnya. Ekspresi yang dingin dengan tatapan tajam seakan ingin membunuh serta menguliti mangsanya. Tangan kanannya yang memegang gunting tidak segan memotong rambutku, bahkan mungkin sangat dinantikannya. Aku menelan ludah melihat kebengisan yang terpampang jelas di wajahnya. Apalagi ditambah wajahnya yang sangat dekat denganku, hal itu terlihat semakin jelas. Beberapa saat kemudian, ia melepaskan rambutku dan menjauh dariku, lalu tertawa keras.
"Mata itu, mata yang selalu gue impiin. Mata ketakutan Savira." katanya dengan lantang di sela-sela tawanya.
Aku melirik Leon yang balas melirikku. Aku menatapnya cemas, pun sama dengan dirinya. Tidak ada yang bisa kami berdua lakukan. Hanya pasrah dan menuruti kemauannya. Setelah tawa Vio reda, ia beranjak ke belakangku.
Ia berdiri di sana, menggenggam ujung rambutku dan berbicara kepada Leon, "Lakuin seperti apa yang gue suruh tadi! Cepat! Atau liat cewek lho ini nangis!" Vio memerintah. Dari nada bicaranya, ia sama sekali tidak gentar, ia bersungguh-sungguh.
Leon menatapku terlebih dahulu sebelum akhirnya mengangkat suara, "Vio, kita gak perlu kayak gini. Kita bisa bicarain ini baik-baik. Please?" ucap Leon hati-hati.
Vio justru memotong sedikit demi sedikit rambutku dengan santainya sebagai jawaban. Bunyi gunting dan helai-helai rambut yang jatuh di kepalaku membuatku tahu hal itu.
"Gue gak suruh lho ngomong gitu. Gue suruh lho lakuin apa yang gue suruh tadi. Kalau lho gak lakuin juga, tunggu aja sampai rambut dia habis gue potong." kata Vio tanpa ada bentakan dalam nadanya. Ia benar-benar santai melakukannya sambil terus memotong rambutku sedikit demi sedikit.
Aku menatap Leon cemas, berharap padanya melakukan apa yang disuruh oleh Vio sebelumnya lewat tatapan mata. Namun, Leon justru menggeleng pelan. Ia kembali berusaha membujuk Vio yang aku yakin tidak akan mengubah pikirannya hingga ia mendapatkan apa yang ia mau. Vio tetap diam seolah tuli dan guntingannya semakin membesar. Aku mendapati helai-helai rambutku yang berjatuhan semakin banyak.
Aku menatap Leon dengan memelas. Air mataku perlahan keluar tanpa bisa kutahan. "Lakukan saja, Leon!" pintaku dengan lirih. Aku tidak sanggup berteriak.
Leon yang melihatku menangis dalam senyap semakin panik. Ia bingung hal apa yang harus dilakukannya sedangkan ia tidak punya banyak waktu karena Vio terus saja memotong rambut Savira dengan santai.
Dengan berat hati, ia harus berkata, "Jadilah pacarku, Vio! Aku akan selalu bersamamu dan tidak akan lagi menemui Savira. Aku janji!" kata Leon tanpa jeda sambil menutup mata.
Vio seketika berhenti melakukan aktivitasnya dan tersenyum. Sedangkan, aku merasa rapuh, hancur. Dadaku serasa sesak. Air mata yang kukira akan berhenti justru semakin menjadi. Waktu seakan berhenti dan bebunyian yang ada seketika menghilang. Aku tahu ia terpaksa mengatakan kalimat-kalimat itu, tapi rasanya tetap menyakitkan. Aku menatap Leon tak percaya. Saat matanya membuka, kulihat rasa bersalah di dalamnya dan air matanya terjatuh di pipinya.
"Iya, Leon. Gue terima." kata Vio senang sambil berpura-pura menghapus air mata yang sebenarnya tidak ada.
Tepat selesai ia mengatakan itu, bel masuk bernyanyi nyaring memenuhi sekolah dan mengingatkan bahwa sudah waktunya masuk kelas. Vio tanpa menunggu hingga bel itu berakhir, ia sudah memerintahkan anak buahnya untuk menaruhku dalam gudang dengan keadaan seperti semula, tangan terikat dan mulut dilakban. Leon juga diperlakukan sama denganku.
Sebelum pintu gudang itu menutup, Vio berbicara mesra dengan Leon. "Maaf, ya, sayang! Gue harus ngelakuin ini biar sayangku ini tidak memberi tahu keberadaan pelakor. Aku tinggal dulu, ya, sayang? Cuma sampai istirahat, kok. Bye!" ucapnya dengan nada mesra lalu mengecup kening Leon.
Lalu pintu pun menutup dan menyisakan kami berdua bersama gelap. Aku menoleh ke arah Leon, pasrah. Aku lelah melepaskan diri dari semua ini. Rasa sedih ini menambah keputusasaanku yang berakhir dalam diam.