Perkataan itu membuat moodku menjadi membaik. Di situlah letak hiburannya untukku.
***
Esok paginya, saat aku turun hendak sarapan, Papa masih duduk di meja makan dengan tatapan mengarah ke smartphonenya, mungkin sedang mengecek e-mail yang masuk. Di hadapannya, piring makanannya sudah kosong yang tandanya sudah habis dimakannya. Aku menarik kursi yang ada di hadapan Papa dan mendudukinya. Papa tidak mengangkat kepalanya, tetap fokus pada layar smartphonenya.
Aku pun memutuskan untuk bertanya, "Papa tumben belum berangkat, ada apa? Oh, ya, Mama mana?" tanyaku sambil menengok ke arah dapur. Tidak ada bunyi berisik berasal dari sana, hening.
"Mama pergi ke pasar. Papa tunggu Mama balik dulu, baru berangkat." jawab Papa datar tanpa melirik sedikit pun ke arahku.
Baiklah. Aku menyendok nasi goreng yang tersedia di meja ke atas piringku dan menuangkan air yang akan mengisi gelasku penuh. Aku pun mulai memakannya sendok demi sendok hingga tandas tak tersisa. Lalu, saat aku menenggak air di gelasku, aku baru menyadari bahwa Papa menatapku tajam. Entah sejak kapan. Aku nyaris tersedak karenanya.
"Ada apa, Pa?" kataku setelah menghabiskan minumku.
"Kamu dijemput Leon lagi?" tanya Papa pendek dengan ekspresi yang tak bisa ditebak.
"I-Iya, Pa." Aku menjawab takut-takut.
Papa menghela napas panjang setelah beberapa detik senyap. Papa pun buka suara, "Jangan sering-sering ngerepotin dia! Jangan pa---"
Pembicaraan Papa seketika terhenti saat ada bunyi klakson motor yang berbunyi nyaring. Lalu, dilanjutkan dengan teriakan berupa namaku oleh suara laki-laki yang kukenal, Leon.
"Itu dia, ya? Ya sudah, kamu cepat berangkat. Hati-hati!" kata Papa pasrah.
Aku sejujurnya kaget karena Papa tidak begitu mempermasalahkan hal ini seperti kemarin. Alhasil, aku mengangguk kaku dan berjalan sambil sesekali melihat ke arah Papa yang justru menatapku tenang.
Sebelum aku membuka pintu, aku berkata, "Berangkat, ya, Pa!" kataku sedikit cemas. Sebelum aku menutup pintu pun, aku mengatakan hal yang sama sekali lagi memastikan bahwa Papa sadar apa yang sedang dilakukannya. Responnya sama, hanya menggangguk tenang.
Aku menaiki motor Leon masih dengan hal tadi yang menghantui pikiran. Aku masih tidak percaya akan apa yang baru saja terjadi. Anehnya lagi, aku justru khawatir bukannya senang karena sudah diberi izin, walau masih dilarang berpacaran. Aku masih tidak paham hal apa yang berhasil mengubah pandangan Papa. Apa kemarin Mama tetap bicara kepada Papa? Entahlah. Selama ini tidak ada yang bisa mengubah pemikiran Papa, termasuk Mama.
Menyadari ekspresiku yang tidak seperti biasanya, Leon pun bertanya, "Kenapa? Ada masalah?" tanyanya cemas. Ia masih belum menjalankan motornya.
"Eh? Gak kok, gak ada masalah. Tiba-tiba kepikiran nilai ujian kemarin, takut kecil nilainya." bohongku dengan sedikit terbata.
"Gak mungkin kecil. Kamu kan pinter dari SMP. Aku yang harusnya takut." katanya, lalu menjalankan motornya dengan kecepatan normal.
"Kamu tahu dari mana? Aku gak pernah cerita." tanyaku heran.
"Tahu dong! Bahkan aku lebih tahu tentang kamu daripada yang kamu kira." jawabnya sombong.
"Paling juga tahu dari Sisi atau Yesi. Gak usah sombong." kataku malas dan sedikit menggerutu.
Leon hanya tertawa kecil sambil terus memperhatikan jalan. Tidak ada percakapan lagi di antara kami. Mungkin sekarang, kami sama sama bingung mau membahas topik apa. Rasanya canggung sekali dalam hening ini, yang terdengar hanya suara motor. Tanpa aba-aba, Leon melajukan motornya lebih cepat yang membuatku reflek memegang pundaknya.
"Bilang dulu dong kalau mau ngebut! Kaget tau!" Aku melayangkan protes padanya.
Namun, ia seolah tidak mendengarku. Ia kembali melajukan motornya lebih cepat lagi padahal sekolah sudah mulai terlihat. Aku mengeratkan peganganku pada pundaknya sambil menutup mata. Aku selalu takut jika dibawa ngebut. Rasanya ingin terlempar dari motor dan akan merasa mual jika berada di mobil.
Akhirnya, Leon pun memperlambat laju motornya. Aku mulai berani membuka mata dan mendapatkan kami sudah ada di parkiran sekolah. Anak ini benar-benar membuatku ketakutan, untung saja aku tidak sampai gemetaran dibuatnya.
"Lain kali kalau kamu ngebut kayak gitu lagi, gak usah antar-jemput aku lagi." Aku menggerutu padanya saat turun dari motornya.
"Kamu gapapa? Muka kamu pucat banget." tanya Leon cemas setelah melihatku.
"Untungnya gapapa. Jangan ngebut kayak tadi lagi! Serem tau!"
"Takut, ya? Gak nyangka orang yang berani ngelawan Vio bisa takut dibawa ngebut." katanya dengan nada mengejek.
Rasanya ingin kupukul saja mulutnya itu agar tak perlu bicara lagi. Namun, aku urung melakukannya saat melihat Vio datang sendirian sambil berlari ke arah kami berdua.
"Leon, Leon, tadi gue liat Kiki sama Jerry ke arah gudang sama anak kelas lain. Anak itu keliatan takut sama mereka. Buruan kita samperin!" kata Vio panik sambil menarik-narik lengan Leon.
"Aku ke sana dulu, ya, Sav? Kamu duluan ke kelas aja." kata Leon buru-buru, terus berlari mengikuti Vio.
Seperti yang dibilang Leon, aku akan ke kelas. Juga tidak ada hal yang bisa aku lakukan selain itu. Maka, aku pun berjalan dengan kecepatan normal menuju kelasku sambil memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kepada anak kelas lain itu. Namun, rasanya ada yang janggal dalam kata-kata Vio. Bagaimana mungkin Kiki dan Jerry sejahat itu kepada anak kelas lain? Setahuku, mereka adalah orang yang baik dan tidak mungkin melakukan hal itu. Tapi kalau dilihat dari ekspresi Leon, hal itu mungkin sudah pernah terjadi sebelumnya. Apa mungkin sebelumnya Kiki dan Jerry pernah membully seseorang saat SMP? Mereka tidak pernah cerita apa-apa kepadaku, sama dengan Sisi dan Yesi. Atau mungkin mereka tahu? Kurasa tidak. Tapi, tetap saja aku tidak bisa membayangkannya.
Belum habis lamunanku, aku dicegat oleh tiga orang yang tidak kukenali. Bahkan wajahnya saja aku tidak tahu. Tapi, aku yakin seratus persen kalau mereka adalah murid sekolah ini dan masih seangkatan denganku. Tatapan mereka garang dan juga ada sedikit kecemasan tertinggal di sana.
"Kal--" ucapanku terpotong akibat bekapan tangan salah satu dari mereka.
Dua lainnya segera memegang tanganku erat, berusaha mengunci tanganku. Sialnya, di daerah parkiran itu benar-benar sepi. Satu orang pun tidak terlihat selain kami berempat. Mereka kesusahan membawaku karena aku terus melawan. Seorang perempuan yang membekap mulutku menyuruh dua temannya membawa tanganku ke belakang punggungku yang membuatku semakin susah untuk melawan. Mereka terus saja menggiringku entah mau ke mana. Tidak peduli sekeras apapun aku melawan.
Sepertinya aku tahu aku mau dibawa ke mana. Iya, ini arah ke gudang yang waktu itu. Tunggu! Vio bilang Kiki dan Jerry menuju gudang dan dia membawa Leon bersamanya. Artinya, Vio membawa Leon ke sini. Pasti dia sudah merencanakan hal ini sebelumnya. Dia pasti sengaja melakukannya.
Dan benar saja. Di gudang, aku melihat banyak orang yang berkumpul membentuk lingkaran. Aku dibawa masuk ke dalam lingkaran itu sambil terus ditawan. Belum ada siapa-siapa di dalam lingkaran buatan itu. Aku dipindahkan ke kursi, tanganku diikat di belakang kursi menggunakan tali, mulutku ditempelkan lakban hitam yang membuatku tak bisa bicara atau hanya membuka mulut.
----
Hai, para pembacaaa
Mohon maaf ya kemarin saya tidak bisa update cerita ini dikarenakan ada hal lain yang harus diselesaikan. Maka dari itu, saya update cerita ini pada hari ini sebagai ganti yang kemarin.
Semoga kalian terus menikmati cerita ini!
Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ke teman-teman kalian :)